Minggu, 27 November 2011

Resensi Novel : Once Upon A Love



Judul : Once Upon A Love
Penulis : Aditia Yudis
Penerbit: GagasMedia
ISBN : 979-780-518-2
Tebal : 192 halaman

“Merindukanmu membuatku sempat lupa kenapa aku harus melupakanmu. Kau cinta yang bertepuk sebelah tangan. Kekasih yang tak pernah kumiliki. Kau memori yang seharusnya kusimpan dalam kotak dan kubuang jauh-jauh”
Kalimat di atas adalah kalimat yang mewakili jiwa dari novel Once Upon A Love. Novel kedua karya Aditia Yudis yang bercerita tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Novel ini mengisahkan keteguhan Lolita yang jatuh cinta kepada Ferio, seorang yang dikenal oleh Lolita di sebuah komunitas menulis dan menjadi mentor serta senior bagi Lolita di komunitas tersebut. Ferio yang bersikap baik dan ramah kepada Lolita dengan memberikan arahan-arahan dan masukan atas tulisan-tulisan Lolita, mampu membuat perempuan itu jatuh hati kepada seniornya. Walaupun mereka belum pernah bertemu sama sekali dalam dunia nyata.
Pertemuan pertama antara Lolita dan Ferio terjadi di sebuah gathering nasional komunitas menulis yang mereka ikuti. Lolita menyangka pertemuannya akan berlangsung dengan indah, namun kenyataan yang didapatkannya adalah bahwa Ferio datang bersama perempuan lain, yaitu Drupadi yang merupakan sahabat perempuannya yang sangat dengan Ferio. Dimanapun ada Drupadi, disana pasti ada Ferio.
Hubungan yang sangat dekat antara Ferio dan Drupadi tidak membuat cinta Lolita kepada Ferio surut. Dengan semua perasaan yang dimilikinya kepada Ferio, Lolita menjadikannya sebagai ide novel miliknya dan menuangkannya semuanya disana.
Dua tahun berjalan semenjak pertemuan pertama dengan Ferio dan Drupadi, Lolita menerbitkan novel terbarunya yang berjudul Inspirasi, novel yang merupakan curahan isi hati Lolita kepada Ferio. Novel tersebut merupakan ungkapan cinta secara tidak langsung dari Lolita kepada Ferio. Walau dua tahun sudah berlalu sejak pertemuan pertama mereka, Lolita masih mencintai Ferio. Dia masih menjaga dengan baik perasaannya kepada lelaki itu.
Cinta yang awalnya dipertahankan oleh Lolita sedemikian tahun, dengan harapan waktu dapat membuat hati sang Ferio berpaling kepadanya. Namun Lolita harus mendapat kenyataan bahwa dahsyatnya Sang Waktu tidak dapat menggeser posisi Drupadi–perempuan yang menjadi sahabat serta orang yang paling disayang oleh Ferio–dari dalam hati lelaki pujaannya itu.
Setelah dua tahun lamanya, Lolita kembali bertemu dengan Ferio dan Drupadi dalam keadaan yang sangat berbeda dari pertemuan sebelumnya. Tidak ada lagi Ferio yang selalu menempel kepada Drupadi. Lolita yang awalnya percaya bahwa dia sangat mengenal Ferio menyadari bahwa sebenarnya dia sama sekali tidak mengenal Ferio. Ada kisah kelam yang dialami oleh Ferio dan hanya Drupadi yang mengetahui hal itu. Lolita juga tidak tahu sebelumnya bahwa Drupadi dan Ferio putus komunikasi selama hampir dua tahun. Lolita menyadari banyak hal yang tidak dia ketahui mengenai lelaki pujaannya itu.
Penggambaran kuat deskripsi suasana dan latar tempat yang Aditia Yudis buat dalam novel ini membuat pembaca tidak kesulitan untuk membayangkan isi cerita.
“Hujan sudah berhenti, tinggal tersisa rintik-rintik. Namun, awan-awan hitam itu belum sepenuhnya terusir pergi.”
Pilihan kata dan rangkaian kalimat yang penulis buat, semakin menambah nyaman suasana saat membaca novel ini, sehingga membuat novel ini sangat mengalir saat dibaca dan tidak membosankan. Penggambaran karakter tokoh yang kuat dan konsisten juga menjadi nilai lebih yang disajikan oleh penulis, yang menjadikan setiap karakter yang ada di dalam novel ini terasa sangat hidup.
Walau memiliki kekuatan deskripsi dan penggambaran tokoh yang kuat, novel ini masih memiliki celah. Ending cerita yang dibuat oleh Aditia Yudis sudah bisa ditebak sejak awal. Bahwa Lolita tidak akan mendapatkan cinta dari Ferio. Begitu pun dengan Ferio yang tidak bisa menjadikan Drupadi sebagai kekasihnya. Mereka bertiga hanya memeluk cintanya masing-masing tanpa saling memiliki.
Terlepas dari mudah ditebaknya ending yang dibuat, novel Once Upon A Love ini memiliki kekuatan cerita yang bagus dan mengalir. Sebuah kisah dari kegigihan seorang perempuan terhadap apa yang dia cintai dan kisah tentang teguh serta konsistennya seorang lelaki yang jatuh cinta kepada seseorang yang tidak akan pernah bisa dimiliki.

Rabu, 16 November 2011

Celoteh Anak Negeri : Pemuda dan Sumpah Yang Terlupakan

Celoteh Anak Negeri : Pemuda dan Sumpah Yang Terlupakan

27 Oktober,
Di salah satu ruang kelas SMA negeri ternama–yang juga dicap sekolah biang masalah oleh masyarakat sekitar–, seorang guru sedang memberikan materi pelajaran yang bagi –hampir–semua murid dilabeli sebagai pelajaran yang membosankan. Suasana kelas masih saja tidak tenang, tidak mengendurkan sedikit pun kebisingannnya. Padahal di depan kelas berdiri Pak Karya yang sedang menceritakan sejarah terjadinya sumpah pemuda. Pak Karya dengan semangat menceritakan detik-detik saat terjadinya kongres pemuda, mengisahkan kembali runutan salah satu bagian sejarah penting dalam kemerdekaan Indonesia.
“Jadi anak-anak, kongres pemuda itu diikuti oleh perkumpulan pemuda dari berbagai daerah di tanah air. Kongres berlangsung selama dua hari dan menghasilkan 3 butir yang disebut sumpah pemuda, yaitu berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu,” celoteh Pak Karya yang merupakan guru sejarah di sekolah ini. Sayangnya, semangat Pak Karya mengisahkan kembali sejarah Sumpah Pemuda ditanggapi acuh tidak acuh oleh para siswa. Hampir seluruh murid tidak memperhatikan dan sibuk berceloteh dengan teman sebangku mereka.
“Ngantuk nih gue,” ucap Roni berceloteh kepada Agus, teman sebangkunya.
Agus hanya mengangguk malas, sudah sedari tadi dia memejamkan matanya dan menempelkan kepalanya di meja. Sementara itu Pak Karya masih sibuk bercerita.
“Besok adalah hari sumpah pemuda, dan kita semua akan memperingati hari sumpah pemuda besok. Semoga semangat sumpah pemuda masih terjaga hingga kini.” Para murid hanya menjawab ‘Iya’ secara serempak. Ucapan kosong yang hanya diucapkan agar guru segera keluar dari kelas, sebab bel istirahat sudah berbunyi.
Suasana kantin riuh. Hampir semua meja sudah terisi oleh murid-murid yang menyaantap makan siangnya. Di salah satu sudut kantin berkumpul beberapa murid lelaki yang terlibat pembicaraan serius di antara mereka. “Gimana? Udah disiapin semuanya?” Roni bertanya kepada salah seorang di antara mereka, sementara yang lainnya hening memperhatikan.
“Lo semua santai aja, semua udah gua siapin kok. Besok kita serang. Kalau mereka jual, kita beli. Stay aja ditempat biasa. Kemudian bel kembali berbunyi, berangsur-angsur para murid meninggalkan kantin dan kembali ke kelas masing-masing, termasuk murid-murid lelaki yang berkumpul di sudut kantin.
Dendam di antara dua sekolah yang berdekatan ini sudah menjadi dendam turun menurun. Mereka hanya melanjutkan tradisi dendam tersebut, walau mereka tidak tahu asal muasal terjadinya konflik menahun di antara kedua sekolah yang bertetanggaan itu
“Pas pulang nanti, kumpul kayak biasa,” ucap salah seorang murid lelaki sebelum mereka bubar dan berpencar ke penjuru kelas.
*
Seperti sebuah ritual rutin, setiap pulang sekolah murid-murid lelaki berkumpul di warung rokok yang ada di dekat sekolah. Ada yang berceloteh, bernyanyi dengan petikan gitar di tangan dan ada juga yang hanya menyesap rokok ditemanin segelas kopi hitam yang mengepul. Tidak ada aktifitas khusus saat ‘nongkrong’ seperti ini, hanya untuk sebuah rasa ‘kebersamaan’ dan ‘solidaritas’ semata. Bila ada yang sudah diajak untuk ikut berkumpul dan menolaknya, maka konsekuensinya orang tersebut akan dikucilkan dari pergaulan. Menurut murid-murid tersebut, ritual seperti ini merupakan wujud konsolidasi dan berguna untuk mempererat tali solidaritas di antara mereka.
Awan yang menggupal di langit membuat suasana ‘nongkrong’ kali ini menjadi lebih bersahabat. Ditambah angin semilir yang bertiup lembut, menambah intim suasana berkumpul sore ini. Namun suasana yang bersahabat ini rusak. Salah seorang teman sekolah mereka datang dengan membopong seorang lainnya. Terlihat darah merembas dari sela rambut dan membuat sebagian wajah murid lelaki tersebut dipenuhi darah berwarna merah pucat.
Seketika itu juga semua murid yang berkumpul bangkit dan merubungi kawan mereka yang bersimbah darah tersebut. “Si Roni kenapa, Wan?” tanya salah seorang murid.
“Diserang sama anak sebelah.” Ridwan melepaskan baju seragamnya yang sudah terkena noda darah. “Sekarang cepetan bawa Roni ke rumah sakit, dia ngeluarin banyak darah, dihantem stick bisbol soalnya.”
“Ga bisa dibiarin nih, kita mesti serang balik.” Salah seorang murid berceloteh menambah panas suasana.
“Tenang dulu. Sekarang kita bawa Roni dulu ke rumah sakit. Urusan serang balik, sesuai rencana aja. Gua udah siapin alat-alatnya,” ucap Agus yang–sepertinya–menjadi ketua.
Hembusan angin semakin kencang, gumpalan awan memekat, dan sesekali petir menggelegar membelah langit. Suasana yang tadi bersahabat, berubah menjadi kelam, seiring berkurangnya helaan nafas yang dikeluarkan oleh Roni. Saat hampir sampai di rumah sakit terdekat, tidak terdengar lagi suara helaan nafas dari lubang pernafasannya. Masa hidup murid lelaki malang itu sudah usai. Dokter juga sudah memastikan bahwa Roni sudah meninggal, saat dokter tidak menemukan adanya denyut nadi dan jantung dari tubuh pemuda itu. “Dia mengalami gegar otak yang hebat. Tempurung kepalanya pecah dan dia mengeluarkan darah yang sangat banyak,” ucap dokter memberikan penjelasan penyebab kematian Roni.
Hampir semua murid terdiam saat mengetahui kenyataan bahwa salah seorang teman mereka telah tiada. Kenyataan bahwa Roni meninggal ditangan musuh bebuyutan mereka, membuat emosi dalam diri setiap murid memuncak. Hampir semua mengepalkan tangan mereka, menahan emosi yang menguasai diri mereka. “Kita kabarin ke keluarganya, abis itu kita siapin semuanya buat besok. Gue gak bisa nahan diri lagi,” ucap Agus penuh dendam. Dia bersumpah dalam dirinya untuk membalaskan kematian sahabat terdekatnya. Emosi bergejolak dalam diri Agus, sedih dan amarah bercampur menjadi satu. “Lo tau siapa yang serang Roni?” tanya Agus kepada Ridwan yang membawa Roni dalam keadaan terluka parah. Suaranya terdengar bergetar, matanya sedikit memanas. Sekuat apapun dan seberingas apa pun seseorang, dia pasti akan tetap sedih saat kehilangan sahabat terdekatnya.
Ridwan hanya menggeleng lemah, “Gue nggak tau, Gus. Gue nggak liat yang mana yang nyerang Roni.” Kemudian hening menyergap sesaat, sebelum akhirnya salah seorang murid menelpon rumah Roni, dan memberi kabar mengenai kejadian yang dialami Roni.
*
28 Oktober,
Pemakaman selalu menawarkan duka bagi orang yang mendatanginya. Hari ini mendung yang menggelayut di langit Jakarta semakin menambah muram suasana. Agus berdiri menahan air mata yang sebentar lagi pecah dari kantung matanya. Pemuda berandal itu juga masih manusia, yang masih merasakan kesedihan saat menyaksikan sahabat terdekatnya kembali lagi ke tempat asalnya –dari tanah kembali ke tanah. Agus dan beberapa teman sekolah Roni sengaja tidak masuk sekolah untuk menghadiri pemakaman Roni.
Saat prosesi pemakaman selesai, berangsur-angsur para pelayat pergi. Agus dan beberapa teman sekolah Roni masih tetap berdiri mematung menatap nisan Roni. “Saya harap cukup Roni yang jadi korban,” ucap seorang lelaki paruh baya kepada Agus. Agus hanya terdiam mendengar celotehan ayah Roni tersebut.
Perlahan titik air jatuh perlahan dari langit yang semakin menggelap. Kesedihan yang melanda diri Agus dan teman-teman lainnya perlahan tergerus bersamaan dengan rintik hujan yang membasahi tubuh mereka, dan berganti menjadi amarah dan dendam untuk membalaskan kematian Roni. Emosi membutakan mata mereka, terutama Agus yang sudah mengepal tinjunya sejak tadi. “Kita pulang sekarang, terus kita siapin semuanya. Mereka harus dikasih pelajaran.” Kemudian Agus dan teman-temannya meninggalkan pemakaman Roni.
*
Suasana sore ini tidak sama seperti sore di hari sebelumnya. Kini awan mendung sudah setia bertengger di langit sejak pagi. Hembusan angin yang menyejukkan menghilangkan hawa gerah terus bertiup kencang. Serta sedikit gemuruh guntur dan kilat saling beradu, seolah menjadi musik pengiring pertikaian yang sebentar lagi akan terjadi.
Jalanan masih seperti biasa, sesak dipenuhi oleh mobil dan angkutan umum yang lalu lalang. Namun yang membuatnya jadi tidak biasa adalah kerumunan anak-anak SMA di pinggir jalan. Gerombolan itu terbagi menjadi dua kubu yang berada di sisi berlainan. Agus dan teman-temannya berkumpul dan duduk-duduk, seolah menunggu lawan mereka–SMA Tirta–memulai. Suasana sore itu yang seharusnya dapat dinikmati dengan duduk santai ditemani minuman hangat, namun yang terjadi sebaliknya, suasana tegang meliputi jalanan yang menjadi–calon–tempat pertempuran. Demi loyalitas dan persatuan, Agus dan teman-temannya menuntut balas atas apa yang menimpa sahabatnya itu.
Sebuah lemparan batu, menjadi lonceng penanda dimulainya tawuran antar SMA yang bertetanggaan ini. Setelah itu terjadi saling lempar batu ke kedua belah pihak. Agus dengan beringas maju dengan kopel–ikat pinggang dengan besi padat di kepala ikat pinggang–ditangannya. Dia mengayunkan benda tersebut ke arah gerombolan lawannya–berharap mengenai salah satu diantara mereka. Setelah Agus maju menekan lawan mereka yang notabene adalah SMA Tirta yang merupakan SMA tetangga mereka, Ridwan dengan stick golf-nya ikut maju menyerang. Diiringi leparan batu dari belakang, Ridwan menyeret stick tersebut ke arah beberapa musuh yang ada dihadapannya. Serangan langsung yang Agus dan Ridwan serta beberapa teman-temannya membuat gerombolan murid SMA Tirta tercerai berai dan melarikan diri ke sembarang arah. Salah seorang murid SMA Tirta terjatuh saat dia ingin melarikan diri. Kontan saja, Agus, Ridwan dan teman-teman lainnya langsung mengerubungi pemuda malang itu dan menjadikannya bulan-bulanan kemarahan dan dendam yang terpendam dalam diri Agus dan Ridwan. Agus mengayunkan kopelnya ke arah kepala dan Ridwan mengibaskan stick golfnya ke bagian yang sama, teman-temannya yang lain ikut menyumbang pukulan dan tendangan ke tubuh salah seorang murid SMA Tirta itu.
Tak lama kemudian polisi datang. Tawuran selesai, murid-murid dari masing-masing sekolah kabur melarikan diri dan meninggalkan sesosok jasad yang sudah bermandikan darah. Kepalanya sudah tidak berbentuk utuh, sebagian isinya berserakan keluar. Tengkorak pemuda malang itu pecah dihantam stick golf dan kopel yang digunakan Agus dan Ridwan. Pemuda malang itu bukanlah korban pertama atau kedua dari tawuran yang terjadi di kalangan pemuda. Menjadi korban dari egoisme yang dilabeli rasa solidaritas, kekompakkan dan persatuan disuatu kelompok. Bukan korban pertama dari melencengnya makna persatuan dan menjadikan makna persatuan menjadi begitu sempit.
Satu nyawa pemuda bangsa kembali melayang. Hari ini adalah hari dimana sumpah pemuda diperingati. Tanggal 28 Oktober, dimana puluhan tahun lalu, pemuda-pemuda bangsa dari berbagai daerah berkumpul dan bersatu atas nama Indonesia. Dan kini, setelah puluhan tahun setelah hari sakral itu, makna sumpah pemuda sudah hilang dan terlupakan. Yang ada hanya tinggal peringatan dan seremonial, dimana dulu pernah ada hari dimana pemuda bangsa dari berbagai macam daerah bersatu, berkumpul dan saling menguatkan persatuan di antara mereka. Ya, generasi pemuda saat ini tidak pernah merasakan kongres pemuda seperti apa. Maka dari itu, sudah banyak dari mereka yang tidak tahu apa makna sumpah pemuda, dan mungkin saja, pemuda generasi saat ini sudah lupa sumpah pemuda itu seperti apa.