Selasa, 31 Januari 2012

Selamat Datang Bulan Merah Jambu

Jemari bergerak perlahan, bunyi keyboards berdetak pelan. Menghiasi sunyinya malam yang dilewati. Bergelas cangkir kopi dengan berbatang rokok menghiasi isi gelas yang sudah kosong. Radiv masih tetap terjaga, siluet hitam berkelebat di kantung matanya. Menandakan waktu tidur yang semakin sempit.

Dihadapan layar monitor yang bernyala redup. Radiv melanjutkan pekerjaannya. Jarum jam bergerak menibulkan detak yang menghiasi sepi. Sekepulan asap kembali berterbangan di udara, Radiv kembali mencari ide yang terselip di dalam jutaan sel di otaknya. Deathline menunggunya, mengacungkan sabit kematian agar dirinya tak terlambat menyerahkan artikel untuk naik cetak beberapa jam lagi.

Malam semakin larut. Sepi semakin mencekam. Radiv melirik sejenak ke salah satu sudut ruang kerjanya, melihat jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam -sudah hampir 10 jam dirinya di depan monitor. Dia angkat tangan ke atas, melemaskan sendi di bahu yang menegang. Diputakannya leher ke kanan dan ke kiri, jika lebih lama lagi, mungkin sendinya akan mengeras permanen.

"Alhamdulillah, selesai juga semua artikelnya," ucap Radiv lega. Segera dikirimnya artikel terakhir yang ditunggu-tunggu oleh editor untuk segera diproses cetak untuk besok pagi. Dijentikkannya abu roko yang bertengger di ujung bara. Radiv menghela nafas sejenak lalu melirik lagi ke arah jam dinding. Pukul setengah satu pagi, hari telah berganti, dilihatnya kalender yang ada di sudut meja kerjanya. Sudah berganti bulan pula. Februari sudah menyambutnya. "Selamat datang bulan merah jambu, be nice please," ucap Radiv kepada kalender yang dipegangnya.

Sabtu, 28 Januari 2012

Kopi Tubruk

Pagi menyapa sinis kulit. Mengerutkan pori-pori yang menempel di sekujur tubuh, meresonansikan suasana malas untuk meninggalkan singasana yang berbalutkan selimut tebal.

Semalam hujan turun. Membasahi bumi dengan jutaan rintik air. Bercumbu dengan debu yang beterbangan di udara, dan membuatnya kembali ke tanah. Hembusan angin pagi ini menelusup dari ruas-ruas jendela tak berpintu. Merambat pelan meniupkan semilir sejuk ke dalam kamar. Menimbulkan dingin yang menusuk ; jiwa maupun raga.

Radiv masih bergelut dengan selimut dan bantal gulingnya. Seolah tak mau lepas dari kedua benda tersebut, dan membuat dirinya seperti seorang posesif yang tak ingin melepaskan kekasihnya barang sejenak.

"Sayang, bangun dong. Masa tidur melulu sih," ucap lembut Kirana seraya mengelus lembus pipi Radiv.

Radiv mengerjapkan matanya sejenak, menangkap sosok cantik yang terduduk di sampingnya. Radiv tersenyum simpul, pipinya terasa lebih hangat. Dinginnya pagi terkalahkan oleh hangat jemari Kirana. Ditangkupkannya telapak tangan Kirana agar tak segera lepas.

"Ayo dong, bangun. Nih aku udah buatin kamu minuman kesukaanmu." Kirana mengambil sebuah cangkir yang tadi dibuat olehnya. "Kopi tubruk spesial untuk kamu," ucapnya menyodorkan jenis kopi kesukaan Radiv.

Radiv segera terbangun dari gelutnya. Terduduk dengan balutan selimut, menerima secangkir kopi tubruk yang mengepulkan aroma khas yang sudah sangat dikenalnya. Senyum lebar tersungging di bibir Radiv sesaat setelah dia mencicipi kopi buatan istrinya tersebut. "Makasi ya, Sayang," ucap Radiv seraya mencium kening istrinya. Hangat menjalar keseluruh tubuh Radiv dan mengusir dingin yang sejak tadi menghinggap.

Kirana tersenyum senang. Mendapat sebuah senyum dan kecupan dari suaminya di pagi hari, selaluy membuatnya meraskan bahagia. "Gimana? Pas, kan?" Kirana menayakan sesuatu yang retoris. Sebuah pertanyaan yang sudah dijawab oleh Radiv dengan senyum dan kecupannya tadi.

"Pas banget. Nggak ada yang bisa ngebuat kopi tubruk sebaik buatanmu, Sayang." Radiv kembali mengecup Kirana, kali ini bibir manis istrinya yang menjadi sasarannya. Membunuh dingin dengan kehangatan yang menjalar hingga ke dalam hati.

Jumat, 27 Januari 2012

Soto Koya

Malam akan pergi sesaat lagi, menjadi pertanda pagi akan datang. Gelap langit masih menggulita di pandangan Rama. Dari beranda apartemennya di menatap ke bawah, melihat lampu ibukota masih bersinar terang menghidupi kota yang tak pernah tertidur ini.

Dilihatnya jam yang bertengger di dinding kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi. Lalu dari perutnya tetiba berbunyi suara merdu, cacing-cacingnya menuntut untuk diberikan pangan.

Rama mengelus perutnya. Bergegas dia ke arah dapur. Menghidupkan kompor, memasukkan air ke dalam panci dan membuka kotak rahasia di dapurnya. Kota berisi pangan kesukaannya, mie instan rasa soto koya. Dimasukkannya mie istan itu kedalam air yang sudah mendidih di dalam panci. Rama memasak mie instan itu dengan cepat, karena dirinya sudah terbiasa melakukan hal itu.

Setelah beberapa menit, mie instan rasa soto koya itu pun siap untuk disantap. Makan di saat pergantian hari selalu menjadi kebiasaan tersendiri bagi Rama. Jam makan malamnya selalu mundur jauh.

Ketika Rama mencium bau soto koya yang mengepul dari mangkuk yang di genggamnya, pikiran tetiba berlari pada sebuah kisah di masa lalunya. Kisah yang tak akan pernah dilupakan oleh Rama. 'Tragedi Soto Koya' begitulah Rama menyebut kisah itu.

Seraya menyuap makanan di tangannya, Rama tersenyum sendiri mengingat kejadia 'Tragedi Soto Koya' yang terjadi dua tahun yang lalu. Sebuah tragedi yang justru disyukuri olehnya. Tragedi yang melibatkan dirinya dengan seorang wanita bernama Raisa. Berkat Soto Koya lah dirinya berkenalan dengan Raisa dengan cara tidak biasa ; sebuah pertengakaran.

Raisa adalah teman satu kelompoknya saat menjalani tugas KKN dari kampus. Sebelumnya Rama tak pernah mengenal Raisa, dia satu kelompok dengan Raisa akibat kecuekkannya sendiri. Akibat Rama terlalu cuek dengan tidak memikirkan KKN, dia tidak punya kelompok sendirian, sehingga pihak universitas memasukkan namanya dengan keolmpok lain yang kekurangan anggota. Disanalah dia mengenal Raisa. Namun hal sebenarnya yang membuat Rama mengenal Raisa lebih jauh adalah berkat mie instan rasa soto koya. Saat akan membeli bahan makanan untuk satu kelompok, Raisa dan Rama yang mendapat tugas untuk berbelanja, dan Rama membeli banyak mie instan rasa soto koya -rasa kesukaannya. Sementara Raisa memaksa untuk membeli mie instan rasa mie goreng -katanha lebih banyak yang suka. Sejak itulah mereka sering terlibat pertengkaran-pertengkaran sepele yang membuat mereka menjadi lebih dekat.

Rama tersenyum puas saat isi mangkuk ditangannya sudah tandas. Tersenyum pula akibat mengingat kejadian itu. Berkat mie instan rasa soto koya lah dirinya berkenalan dengan Raisa yang kini menjadi istrinya.

Lampu dihidupkan, Raisa keluar dari dalam kamar dengan mata mengantuk, "Kamu bikin mie instan rasa soto koya lagi ya, Sayang?" ucap Raisa dari arah dapur. Lalu dia berjalan menuju ruang tengah. Duduk disamping Rama.

"Iya, Sayang. Sepertinya kita harus berterima kasih dengan orang yang sudah membuat mie instan rasa soto koya, sebab berkat orang itu, kita jadi seperti ini," ucap Rama tersenyum kecil seraya mencium ubun-ubun kepala Raisa.

Kamis, 26 Januari 2012

Sebuah Akhir Untuk Sebuah Awalan Baru

Ga terasa hajatan #15HariMenulisFF udah selesai. Sebuah keisengan yang tidak sekedar iseng. Peserta (termasuk gua) ditantang untuk menuliskan sebuah flashfiction dari sebuah judul yang sama.

Kebayang nggak tuh? Semua peserta (80-100an orang) menulis sebuah flashfiction dengan judul yang sama. Waw, amazing!

Mengikuti #15HariMenulisFF terbukti ampuh membuat gua bergairah lagi buat nulis. Ampuh banget ngehilangin rasa malas gua buat menulis.

Terbukti juga, ngikutin gawean ini bikin gua ga males nulis, buktinya gua selalu masuk dalam 10 besar tercepat yg posting cerita. *nyombong dikit boleh kan?* :))

Well, big thanks buat kakakku yang cantik, kak @wangims dan Mas @momo_dm yang baru gua follow selama gawean ini berjalan. Senang berkenalan dengan anda. :D

Buat kapten @adit_adit (dia cewek lho yah), Kak @_raraa (tukang rusuh mention gua), @pputrinl (bocah perusuh kedua) dan beberapa teman lainnya yg ngalong bareng selama gawean #15HariMenulisFF berlangsung. :D

Makasi juga buat orang-orang yang udah mampir dan komen di postingan gua. Gua nggak kenal kalian, tp tetap menulis kawan-awan semuanya. #15HariMenulisFF boleh selesai, tp kita ganti jadi #EveryDayMenulis :D sebuah akhir untuk awalan yang baru, right?

Rabu, 25 Januari 2012

Menikahlah Denganku

Menikahlah denganku. Aku sudah mengucapkan hal ini berkali-kali. Namun kau tak jua menjawabnya. Lebih tepatnya, kau tak jua menjawab 'iya' kepadaku.

Adakah ragu yang meraga di hatimu? Meninumbulkan enggan tuk berbagi hati denganku? Aku mencintaimu, bahkan tak ada lelaki lain yang mencintaimu sedalam cintaku.

Menikahlah denganku. Kau masih juga tak menjawab. Bibir mungilmu masih terkatup diam. Tak ada sepatah kata pun yang terucap disana.

Kubelai pelan rambut lurusmu yang selalu kau banggakan. Rambut hitam sebahu yang menjadi daya pesonamu, yang membuat dirimu terliha lebih menarik dari perempuan lainnya. Kuusap perlahan pipimu, menikmati lembutnya kulit yang membungkus bagian wajahmu.

"Menikahlah denganku, Sayang. Menikahlah denganku, jika tidak, temani aku ke surga," ucapku menggoreskan nadi tanganku dengan pisau yang kemudian kutuncapkan juga ke lehermu. Kumenyeringai pelan, kemudian pandanganku menggelap.

Sah

"Tak ada yang pernah tahu seperti apa masa depan yang akan kita pijak nanti. Waktu terlalu liat untuk kita ikat. Janji-janji yang pernah kita bangun tak lagi berdiri, dia telah hancur dirobohkan paksa oleh masa."

Andien berdiri tegap, tangannya memegang erat tungkai payung melindunginya dari terik matahari. "Kita hanya bisa berjanji dan membangun harapan. Tapi masa depan yang kita pijak adalah kenyataan. Aku nggak pernah menyesal pernah menjadi milikmu. Terima kasih, Andri," ucap Andien menabur bunga di atas nisan mantan kekasihnya, yang juga sahabatnya.

Tak ada penyesalan atas apa yang sudah diikhlaskan. Masa lalu yang indah tak pernah mati. Akan selalu hidup dalam kenangan. Namun kenangan hanyalah sebuah kenangan, berdamai dengan masa lalu akan membuat diri menjadi tetap memijak kenyataan.

"Kamu nggak perlu khawatir dengan keadaanku. Aku baik-baik saja. Kamu tenang saja disana. Sebab sahabat kita yang lain, Kevin, akan melindungiku seperti halnya dirimu yang selalu melindungiku. Ya, mulai hari ini aku sudah sah menjadi Nyonya Kevin."

Andien menutup percakapannya dengan doa, kemudian dia berjalan keluar dari tempat pemakaman. Di ujung jalan Kevin sudah menunggu istrinya, dengan senyum tulus penuh pengertian.

Selasa, 24 Januari 2012

Ini Bukan Judul Terakhir

Selalu ada akhir dari sebuah awal. Sebuah pepatah umum yang diyakini oleh banyak orang benar adanya. Hal itu juga yang diyakini oleh Julia. Perempuan berwajah khas bumi Parahiyangan dengan bulu mata lentik yang bertengger dikelopak matanya itu pun menyadari, ketika dirinya memulai sesuatu, akan ada akhir yang harus dihadapinya. Dan tak ada akhir yang menyenangkan.

Julia duduk di dalam kamarnya. Jemarinya menyusuri kertas-kertas yang terhampar di atas tempat tidur miliknya. Dia tersenyum, lalu mengambil satu kertas yang sudah cukup lusuh. "Ini puisi pertama yang kamu kirim kepadaku," ucap Julia kepada kertas puisi yang bergeming. "Aku hafal isinya, bahkan saat aku menutup mata, aku masih bisa membaca puisi ini."

Gelisah sedikit menyambangi hati Julia. Dilihat kembali satu per satu puisi-puisi yang dikirmkan oleh Arya, kekasihnya. Puisi-puisi yang dikirimkan oleh Arya dari beberapa kota yang menjadi tempat kediamannya beberapa tahun terakhir.

Memutuskan untuk memulai hubungan jarak jauh, membuat Julia menanggung rindu dan cinta kepada Arya. Julia memulai hubungan dengan Arya sejak 8 tahun yang lalu, namun baru 3 tahun terakhir dia menjalani hubungan jarak jauh dikarenakan perusahaan tempat Arya bekerja selalu mengutus Arya untuk bergabung dengan tim kerjanya yang selalu berpindah-pindah tempat kerja. Perusahaan tempat Arya bekerja adalah perusahaan yang bergerak di sektor tambang mineral, dan Arya termasuk dalam tim pengawas yang bertugas mengawasi lokasi eksplorasi perusahaan yang ada di beberapa daerah.

Julia mengambil selembar kertas puisi yang terlihat paling baru. Surat yang paling baru yang dikirimkan oleh Arya dari kota Martapura. Surat yang juga sebuah puisi yang berjudul "Ini Bukan Judul Terakhir". Surat yang dikirimkan oleh Arya enam bulan yang lalu. Surat yang dikirimkan ditengah hubungan mereka diambang perpisahan. Jarak dengan kejam menguliti perasaan mereka. Julia meminta Arya untuk segera kembali ke kota mereka.

Aku melihat awan berkelebat memenuhi langit
Dan mataku melihat ada wajahmu disana
Berarak pelan dalam hening

Sebuah dusta bila aku tidak mengakui bahwa aku rindu
Hati terjerat, sesak
Pikiranku selalu berlari, kepadamu

Tunggulah aku,
Sejenak saja kuminta kau bersabar
Ini bukan judul terakhir.


Julia mendesah pelan. Menghela kembali nafas untuk menguatkan hatinya untuk kuat bertahan. "Kamu pembohong," ucapnya pelan. Julia menganggap Arya sudah lupa dengannya. Sudah hampir enam bulan tak ada lagi surat dari Arya. Tidak seperti sebelumnya, dimana Arya selalu mengiriminya surat berisi puisi itu sekali dalam satu atau dua bulan. Kabar terakhir yang didapat dari Arya pun tiga bulan yang lalu. Dari sebuah percakapan singkat. Kekasihnya mengabarkan sedang ditugaskan di lokasi yang terpencil dan terisolasi dari sinyal telekomunikasi.

"Hari ini, hari kita delapan tahunan. Tapi kamu nggak ada kabar." Julia bermonolog dengan kertas-kertas puisi yang berserakkan. Mungkin itu surat terakhir darimu, Julia berasumsi dalam hati. "Selalu ada akhir dari sebuah awal. Dan sepertinya hubungan delapan tahun akan berakhir seperti ini. Tragis."

Tetiba dering panggilan masuk di ponsel milik Julia memecahkan hening yang menguasai suasana kamar. Arya Wicaksono. Julia memandangi layar ponselnya. Menatap tidak percaya. "Halo?" ucap Julia serak. Tangis membuat suaranya bergetar tak stabil.

"Kamu kangen aku nggak?" ucap Arya dibalik telepon.

"Banget. Kamu kemana aja kenapa nggak ada kabar? Kenapa nggak kirim surat buatku lagi? Kenapa ga bisa dihubungi sejak tiga bulan yang lalu? Kenapa?" Julia tidak dapat mengendalikan dirinya. Berbagai pertanyaan terlontar cepat dari mulutnya, menuntut jawaban.

"Kalau begitu keluar dari kamarmu sekarang. Aku menunggumu," ucap Arya.

Julia terdiam beberapa detik sebelum memutuskan panggilan dan segera bergegas membuka pintu kamarnya. Arya sudah berdiri di ambang pintu, dia tersenyum kepada Julia. "Kok?" ucap Julia tak dapat menahan rasa terkejutnya.

"Hai." Arya tersenyum kepada Julia. Senyum yang sudah lama tidak dilihat oleh Julia semenjak terakhir mereka bertemu delapan bulan yang lalu. "Maaf, aku nggak kasih kabar selama tiga bulan terakhir. Maaf, nggak ada surat lagi untukmu. Maaf untuk semua kesalahanku. Maaf." Arya memeluk erat bahu Julia dan melontarkan permintaan maaf berkali-kali.

Julia hanya diam mendengarkan dan menikmati hangatnya pelukan kekasihnya itu hingga dia berkomentar, "Aku pikir kamu lupa sama aku. Aku kira kamu sudah berfikir kita akan berakhir."

"Sssttt." Raa menutup bibir Julia dengan jari telunjuknya. "Jangan bicara yang aneh-aneh. Aku kembali, dan aku tidak akan pergi kemana-mana lagi. Masa tugasku sudah selesai. Sekarang aku bakal diempatkan di kantor, bukan lagi di lapangan." Arya memberikan penjelasan kondisi dirinya. "Dan juga, aku tulis di surat terakhir. Bahwa itu bukan judul surat terakhir. Itu hanya awal..." Arya menggantungkan kalimatnya. "Will you marry me?" Arya mengeluarkan sebuah cincin permata dari balik sakunya. "Ini bukan yang terakhir. Ini hanya awal dari judul surat dan puisi cinta lainnya yang ingin aku buat untukmu.

Julia terkisap. Kelopak matanya tak mampu menahan gejolak rasa senang yang dialaminya, seketika airmata kembali mengalir, kali ini airmata bahagia. Dipeluknya erat Arya.

Ini Bukan Judul Terakhir

Selalu ada akhir dari sebuah awal. Sebuah pepatah umum yang diyakini oleh banyak orang benar adanya. Hal itu juga yang diyakini oleh Julia. Perempuan berwajah khas bumi Parahiyangan dengan bulu mata lentik yang bertengger dikelopak matanya itu pun menyadari, ketika dirinya memulai sesuatu, akan ada akhir yang harus dihadapinya. Dan tak ada akhir yang menyenangkan.

Julia duduk di dalam kamarnya. Jemarinya menyusuri kertas-kertas yang terhampar di atas tempat tidur miliknya. Dia tersenyum, lalu mengambil satu kertas yang sudah cukup lusuh. "Ini puisi pertama yang kamu kirim kepadaku," ucap Julia kepada kertas puisi yang bergeming. "Aku hafal isinya, bahkan saat aku menutup mata, aku masih bisa membaca puisi ini."

Gelisah sedikit menyambangi hati Julia. Dilihat kembali satu per satu puisi-puisi yang dikirmkan oleh Arya, kekasihnya. Puisi-puisi yang dikirimkan oleh Arya dari beberapa kota yang menjadi tempat kediamannya beberapa tahun terakhir.

Memutuskan untuk memulai hubungan jarak jauh, membuat Julia menanggung rindu dan cinta kepada Arya. Julia memulai hubungan dengan Arya sejak 8 tahun yang lalu, namun baru 3 tahun terakhir dia menjalani hubungan jarak jauh dikarenakan perusahaan tempat Arya bekerja selalu mengutus Arya untuk bergabung dengan tim kerjanya yang selalu berpindah-pindah tempat kerja. Perusahaan tempat Arya bekerja adalah perusahaan yang bergerak di sektor tambang mineral, dan Arya termasuk dalam tim pengawas yang bertugas mengawasi lokasi eksplorasi perusahaan yang ada di beberapa daerah.

Julia mengambil selembar kertas puisi yang terlihat paling baru. Surat yang paling baru yang dikirimkan oleh Arya dari kota Martapura. Surat yang juga sebuah puisi yang berjudul "Ini Bukan Judul Terakhir". Surat yang dikirimkan oleh Arya enam bulan yang lalu. Surat yang dikirimkan ditengah hubungan mereka diambang perpisahan. jarak dengan kejam menguliti perasaan mereka. Julia meminta Arya untuk segera kembali ke kota mereka.

Aku melihat awan berkelebat memenuhi langit
Dan mataku melihat ada wajahmu disana
Berarak pelan dalam hening

Sebuah dusta bila aku tidak mengakui bahwa aku rindu
Hati terjerat, sesak
Pikiranku selalu berlari, kepadamu

Tunggulah aku,
Sejenak saja kuminta kau bersabar
Ini bukan judul terakhir.


Julia mendesah pelan. Menghela kembali nafas untuk menguatkan hatinya untuk kuat bertahan. "Kamu pembohong," ucapnya pelan. Julia menganggap Arya sudah lupa dengannya. Sudah hampir enam bulan tak ada lagi surat dari Arya. Tidak seperti sebelumnya, dimana Arya selalu mengiriminya surat berisi puisi itu sekali dalam satu atau dua bulan. Kabar terakhir yang didapat dari Arya pun tiga bulan yang lalu. Dari sebuah percakapan singkat. Kekasihnya mengabarkan sedang ditugaskan di lokasi yang terpencil dan terisolasi dari sinyal telekomunikasi.

"Hari ini, hari kita delapan bulanan. Tapi kamu nggak ada kabar." Julia bermonolog dengan kertas-kertas puisi yang berserakkan. Mungkin itu surat terakhir darimu, Julia berasumsi dalam hati. "Selalu ada akhir dari sebuah awal. Dan sepertinya hubungan delapan tahun akan berakhir seperti ini. Tragis."

Tetiba dering panggilan masuk di ponsel milik Julia memecahkan hening yang menguasai suasana kamar. Arya Wicaksono. Julia memandangi layar ponselnya. Menatap tidak percaya. "Halo?" ucap Julia serak. Tangis membuat suaranya bergetar tak stabil.

"Kamu kangen aku nggak?" ucap Arya dibalik telepon.

"Banget. Kamu kemana aja kenapa nggak ada kabar? Kenapa nggak kirim surat buatku lagi? Kenapa ga bisa dihubungi sejak tiga bulan yang lalu? Kenapa?" Julia tidak dapat mengendalikan dirinya. Berbagai pertanyaan terlontar cepat dari mulutnya, menuntut jawaban.

"Kalau begitu keluar dari kamarmu sekarang. Aku menunggumu," ucap Arya.

Julia terdiam beberapa detik sebelum memutuskan panggilan dan segera bergegas membuka pintu kamarnya. Arya sudah berdiri di ambang pintu, dia tersenyum kepada Julia. "Kok?" ucap Julia tak dapat menahan rasa terkejutnya.

"Hai." Arya tersenyum kepada Julia. Senyum yang sudah lama tidak dilihat oleh Julia semenjak terakhir mereka bertemu delapan bulan yang lalu. "Maaf, aku nggak kasih kabar selama tiga bulan terakhir. Maaf, nggak ada surat lagi untukmu. Maaf untuk semua kesalahanku. Maaf." Arya memeluk erat bahu Julia dan melontarkan permintaan maaf berkali-kali.

Julia hanya diam mendengarkan dan menikmati hangatnya pelukan kekasihnya itu hingga dia berkomentar, "Aku pikir kamu lupa sama aku. Aku kira kamu sudah berfikir kita akan berakhir."

"Sssttt." Raa menutup bibir Julia dengan jari telunjuknya. "Jangan bicara yang aneh-aneh. Aku kembali, dan aku tidak akan pergi kemana-mana lagi. Masa tugasku sudah selesai. Sekarang aku bakal diempatkan di kantor, bukan lagi di lapangan." Arya memberikan penjelasan kondisi dirinya. "Dan juga, aku tulis di surat terakhir. Bahwa itu bukan judul surat terakhir. Itu hanya awal..." Arya menggantungkan kalimatnya. "Will you marry me?" Arya mengeluarkan sebuah cincin permata dari balik sakunya. "Ini bukan yang terakhir. Ini hanya awal dari judul surat dan puisi cinta lainnya yang ingin aku buat untukmu.

Julia terkisap. Kelopak matanya tak mampu menahan gejolak rasa senang yang dialaminya, seketika airmata kembali mengalir, kali ini airmata bahagia. Dipeluknya erat Arya.

Senin, 23 Januari 2012

Senja

Angin bertiup lembut, menarikan rambut-rambut tipis disekitar telinga. Membawa hawa tenang di raga. Menentramkan gundah yang melanda. Langit pun seperti berkonspirasi, awan-awan tebal menggantung, menambah sejuk suasana. Tentram.

Di sebuah tanah lapang, dikelilingi oleh alang-alang liar yang mulai meninggi, Rama duduk disana. Tangannya menggenggam erat jemari Raisa. "Mungkin ini senja terakhir yang bisa kita nikmati bersama," ucap Rama tenang. Matanya menatap arah matahari akan terbenam.

Raisa bergeming tenang. Tak ada kesedihan yang dirasakannya, walau pasti rasa takut kehilangan perlahan menelusup ke dalam hati. "Kapan jadwal keberangkatanmu?"

"Dua hari lagi."

Deg. Debar jantung Raisa mulai bereaksi. Batas waktu telah ditetapkan. Tinggal 2 hari lagi, dirinya dapat berada di kota dan negara yang sama dengan kekasihnya.

"Aku cinta kamu, Ra," ucap Rama lembut. Pandangannya menatap langsung ke dalam bola mata Raisa. Disentuhnya rambut di sekitar telinga Raisa dan diusap lembut pipi kekasihnya itu. "Aku nggak mau kehilangan kamu."

Matahari mulai lelah bertengger di puncak langit. Perlahan turun kembali ke peraduannya. Pilar-pilar jingga mulai tampak dibuku-buku awan. Menggantikan warna biru cerah yang mendominasi sepanjang hari.

Rama dan Raisa masih bisu dalam ucapan. Kini hati mereka yang berkomunikasi melalui mata. Ada isyarat yang hanya dapat diterjemahkan oleh debar jantung mereka. Rama tersenyum kecil. Di dekatkannya kepalanya ke arah wajah Raisa. "Tunggu aku, aku pasti kembali."

Raisa memejamkan matanya. Tak ada lagi keraguan. Tak ada bimbang dalam hatinya. Dia benar-benar mencintai lelaki yang ada di hadapannya. "Pergilah. Jangan ragu. Aku menunggumu disini," ucap Raisa setelah bibirnya terlepas dari bibir Rama.

Kecupan terakhir kembali dilakukan. Kali ini lebih lama. Tak ingin kehilangan waktu sedetik pun. Lalu keduanya berpelukan. Saling mencengkaram bahu satu sama lainnya. Merasa tak ingin berpisah.

Di bawah senja, Raisa melepas Rama tanpa air mata. Senyum terpatri kokoh di wajahnya. Tegar bersemayam dalam dirinya. Percaya, kekasihnya akan kembali untuknya. Setelah menjalani study masternya di Perancis.

Tak ada perpisahan yang lebih indah daripada perpisahan yang pasti akan kembali, dalam pelukan.

Kalau Odol Jatuh Cinta

Jatuh cinta adalah hak asasi paling dasar -setelah bernafas, bergerak dan berpendapat- hal itulah yang diyakini oleh Odol, seorang lelaki tulen. Dilahirkan dengan nama Fadhol, dia memiliki nama panggilan yang cukup unik ; Odol. Nama panggilan yang diberikan oleh babehnya ini membuatnya jadi bahan tertawaan teman-teman sekolahnya. Tidak hanya di sekolah dasar, nama panggilan Odol melekat pada Fadhol hingga lelaki berwajah khas betawi ini duduk di bangku SMA.

"Dol,lo lagi suka sama Friska?" ucap Bandar kepada Fadhol di sela jam istirahat. Fadhol hanya menjawab 'iya' dan mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannnya dari semangkuk baso miliknya.

Gema yang duduk di samping Fadhol seketika mengalihkan pandangannya ke arah Fadhol. "Serius, Dol?" ucap Gema tidak percaya. "Lo lagi nggak sakit gigi,kan?"

Fadhol mendongak. Dibalikkanya sendok dan garpunya -menandakan dia sudah selesai makan. Fadhol mengambil tissue gulung yang ada di atas meja. Dilapkannya tissue tersebut ke bibir dan dahinya. "Lha? Memang kenapa kalau aku suka beneran sama si Friska? Ada yang salah?" tanya Fadhol heran menatap teman-temannya.

"Ya nggak sih, Dol. Cuma... ya gimana yah. Seorang Odol, suka sama Friska." Bandar menggantungkan kalimat yang ingin diucapkannya.

Fadhol menangkap pesan yang tak ingin diucapkan oleh Rahman. "Karena Friska itu cewek paling pinter di sekolah, sementara gua cowok yang selalu mendapat rekor kebakaran paling banyak di sekolah? Menurut kalian kebanting? Dan gua nggak bisa dapetin Friska?" Fadhol mulai meracau. Di-underestimate-kan oleh teman-temannya sendiri sudah menjadi makanan sehari-hari Fadhol.

"Bukan gitu juga, Dol. Lo mah emosian sih," ucap Gema mencoba menentramkan suasana. "Bukan maksud gue dan Bandar buat ngecilin nyali lo. Coba ya realistis aja gitu. Seorang Odol jatuh cinta sama nona pintar. Kita nggak mau lo kecewa belakangan aja sih."

"Emang kenapa kalau seorang 'Odol' jatuh cinta?" ucap Fadhol menekankan suara di nama panggilannya. Nama panggilan yang sebenarnya dirasa olehnya cukup tidak menyenangkan pendengarannya. Dia merasa selalu direndahkan oleh nama panggilannya itu. "Jatuh cinta itu hak asasi manusia kali. Seperti bernafas, bergerak dan berpendapat. Gak ada yang bisa ngelarang seseorang untuk jatuh cinta kepada siapapun."

Hening menghinggapi obrolan diantara ketiga sekawan ini. Gema dan Bandar lebih memilih untuk diam, daripada harus menyela dan menimbulkan perbedaaan pendapat yang tidak penting ini semakin besar.

"Lagijuga kan gue cuma suka. Cuma jatuh cinta. Bukan berambisi ngejadiin dia pacar. Jadi, yah... Kalau Odol jatuh cinta, ya nggak bakal terjadi apa-apa. Itu tandanya gue masih normal," ucap Fadhol merendahakn suaranya yang sempat meninggi. Mencoba untuk mencairkan kembali suasana makan siang yang sempat kaku.

Gema dan Bandar tersenyum. Tak lama bel pertanda jam istrihat berakhir sudah berbunyi. Diiringi tawa dan senyum, ketiga sekawan itu berjalan kembali menuju kelas.

Minggu, 22 Januari 2012

Merindukanmu Itu Seru

Tatkala hujan turun menyapa bumi, saat tetesannya mencumbui tanah yang kering dan berdebu. Di kotaku yang gersang dan penuh oleh tumpukan manusia, aku merindukanmu.

Aku berteduh di kolong fly over yang kulewati. Ku biarkan motorku bermandikan air hujan di pinggir jalan. Bersatu dengan motor-motor lainnya yang sudah basah kuyup. "Aku kehujanan nih, lupa bawa mantel," ketik pesanku kepada dirimu.

"Nyampe rumah, langsung mandi yah, Sayang." Aku tersenyum membaca balasan pesan darimu.

Hujan makin menggila, angin bertiup kencang mematahkan ranting-ranting yang menggantung dari pucuk pepohonan. Entah kenapa, setiap melihat hujan, pikiranku selalu menghadirkan gambar wajahmu. Memainkan kembali memori kita beberapa tahun yang lalu. Kenangan pertama kita dibawah hujan, pelukan pertama yang kau hadirkan dibahuku saat airmata mengalir turun dari dinding langit yang muram.

Dulu kita selalu bersama, hampir setiap hari jemariku dapat membelai pipimu, hampir setiap malam bahuku menjadi sandaran kepalamu. Namun kini berbeda. Semenjak kita lulus sekolah, aku melanjutkan kuliah di ibukota, sementara kau tetap berada di kota kelahiranmu yang ada di ujung kotaku berpijak saat ini. Merindukanmu menjadi aktifitas sehari-hariku.

Merindukanmu adalah derita yang kunikmati. Tak pernah jera kusakiti hati demi memelihara rindu kepadamu. Bukankah sesuatu baru dibilang manis setalah kita merasakan pahit? Mungkin seperti itu juga dengan rindu. Rindu akan terasa seru setelah kita merasakan jenuh yang melanda diri. Kini aku menikmati rindu setelah aku pernah merasakan bosan menghampiri hubungan kita. Terkadang jarak menjadi obat, agar kita paham merindu itu seru.

Menunggu Hujan

Mata tergugup memandang
Terselip ragu dalam kata-kata yang tak jua termuntahkan
Gigi bergetar menahan riuh yang merongrong dari kerongkongan
Ada kata yang tertahan dalam ucapan

Bisakah aku berbicara kepada bulan?
Mencurahkan tiap isyarat hati yang tak tersampaikan
Kepada langit agar segera mengandung
Kumenanti hujan dalam kelam perasaan

Disini aku berdiri
Dengan jarak yang kejam menjauhkan bahu kita tuk berpelukan
Rindu menusuk-nusuk hati
Menciptakan satu lubang yang kucurkan kasih sayang yang tertahan


Aku hanya diam, menelan kalimat-kalimat yang ingin kuucapkan
Kepada bulan, aku rindu hujan datang.
Aku rindu kamu, saat kita lidah kita berpelukan di bawah airmata sang langit

Sabtu, 21 Januari 2012

Tentangmu Selalu Manis

Tentangmu selalu manis. Sebuah kalimat yang memang menggambarkan sosok dirimu. Tidak hanya senyum, setiap gerak tubuhmu, kelakuanmu, mimik wajah, maupun caramu berceloteh, selalu terlihat manis.

Aku baru saja mengisi buku diaryku. Ya, diary. Mungkin terlihat aneh bagi orang lain melihat diriku -wanita berusia 30an- yang masih menulis di buku diary. "Seperti remaja-remaja labil," seperti itulah yang pernah diucapkan seorang rekan kerjaku.

Buatku, tak mengapa, sebab dirimu memang selalu terlihat manis. Tak pernah habis senyumku terkembang saat dirimu tertawa renyah, saat dirimu berjalan ke arahku, saat diriku bermain-main dengan jemarimu. Semua terlihat indah. Aku bahagia memilikimu, buah hatiku tersayang.

"Mam... ma. Maamaa," ucapmu memanggil diriku. Kuhampiri dirimu yang masih belajar berjalan dengan berpegangan pada tembok. Kuangkat dirimu, kuciumi pipi mungilmu. Tentangmu -memang- selalu manis.

Jumat, 20 Januari 2012

Senyum Untukmu yang Lucu

Raisa memandangi selembar foto yang sudah mulai menguning. Foto antara dirinya dengan Rama saat merayakan acara wisuda dirinya beberapa tahun lalu. Foto tersebut tidak dapat membohongi berapa lama waktu yang telah jauh melangkah. Pikirannya melayang ke masa beberapa tahun yang lalu, bermain-main dengan mesin waktu untuk menonton kembali kisah itu. Sebuah senyum sedikit tersungging di bibirnya, senyum tulus tanpa ada getir yang menyelinap.

Diletakkannya kembali foto tersebut ke dalam tempatnya semula. Di dalam kotak kaleng kecil yang berisi foto dan benda kenangan lainnya. Raisa mengusap kotak tersebut, membersihkan debu-debu yang menempel di kotak tersebut. Sempat terlupa dan terabaikan sebelumnya, kini Raisa membuka dan mengeluarkan beberapa benda di dalam kotak tersebut.

Jemari lentik Raisa mengambil sebuah foto dirinya dengan Rama dibawah rinai hujan. Foto saat dirinya masih mengecap pendidikan di bangku SMA, sebuah foto yang sengaja di ambil orang seorang sahabatnya untuk dijadikan salah satu foto kenang-kenangan di buku tahunan sekolah. Raisa memejamkan matanya, mengingat kembali detail-detail kejadian di masa delapan tahun yang lalu itu. "Waktu memang terus berjalan, namun takkan pernah dapat menyentuh kenangan." Raisa berucap dalam benaknya sendiri. Sekali lagi senyum tersunggingkan dari bibir manisnya.

"Ahh, iya," ucap Raisa saat mengambil sebuah foto lagi. Dia tertawa kecil melihat foto tersebut. Foto saat perayaan ulang tahunnya yang ke 21, foto saat Rama berdandan menjadi seorang badut, lengkap dengan kostumnya. Raisa tertawa kembali mengingat kejadian tersebut. "Momen yang indah," ucapnya pelan.

"Dulu, kamu adalah penawar duka di keseharianku. Kalau ada kamu, gundah dan kekesalanku selalu dapat sirna terganti senyum jenaka dan lelucon yang selalu kau berikan. Kamu manis, dan sangat lucu." Raisa bermonolog kepada lembaran foto yang sudah sedikit memudar. "Nggak nyangka yah, keadaan kita sekarang kayak gini. Semoga kamu bahagia dengan semuanya. Setidaknya dulu, kita mengawali dengan baik-baik dan kita pun mengakhirinya dengan baik. Tanpa ada amarah, caci dan maki."

Dering telepon terdengar dari ponsel milik Raisa. Bunyinya yang nyaring memecahkan kesunyian yang tadi terjaga. "Ra, lo udah siap-siap? Lo tetep bakalan dateng kan ke "acara pestanya?" Terdengar celotehan Desi di speaker.

"Udah siap kok, lo kesini aja. Nanti kita berangkat jam delapan," ucap Raisa setelah melihat waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

"Lo yakin tetep dateng? Nggak bakal sakita hati nantinya?"

"Ya nggaklah, gua sama Rama putus baik-baik, Desi. Dan juga itu udah kejadian tiga tahun yang lalu kok. Santai aja," ujarku memberi pengertian kepada Desi. Ya, benar, takkan ada hati yang tersakit. Aku, kamu, dan kenangan kita, hanya akan ada di dalam kotak ini. Hanya dapat dinikmati, bukan untuk ditangisi. Raisa berbicara di dalam hati.

"Terus, pas ketemu Rama di pelaminan nanti, apa yang mau lo lakuin?" tanya Desi.

Raisa terdiam sejenak, "Mungkin gua bakal tersenyum. Senyuman buat badut lucu gua di masa lalu." Raisa terkekeh setelah mendengarkan ucapannya sendiri.

Tentangmu, Tentang Cinta, Tentang Kita

Pernahkah kamu mempertanyakan rasa cintaku padamu? Kuharap pertanyaan itu tidak pernah ada. Disatu sudut hatiku ada namamu. Sinarnya terang menemani gelapku saat kau jauh dariku. Di setiap malam sebelum tidurku, aku selalu merapalkan namamu sebagai doa pengantar tidurku. Berharap kau muncul di setiap mimpiku, menjadikanmu pemeran utama dalam setiap dunia cerita yang kubangun dalam mimpi.

Senyummu, tawamu dan ekspresi matamu meluluhkanku. Hatiku menguap saat bersamamu, tak tersisa sedikitpun untuk yang lain. Hanya untukmu. Jiwa ini tertahan dalam angan tentangmu. Tentangmu, memenuhi setiap sendi-sendi pikiranku. Tidak ada yang lain.

Taukah beban rindu yang kutanggung? Mengertikah dirimu berapa banyak air mata yang terbuang untuk mengingatmu, sebagai mahar setiap aku memikirkanmu. Jika untuk mengingatmu aku harus menggadaikan semua air mata yang kumiliki, aku rela. Jika memang mencintaimu adalah sebuah kesalahan, aku sanggup untuk tertawan dalam hatimu. Kau, dengan semua pesona yang kau miliki, sanggup membuatku tenang saat gundah merajaiku. Senyummu mampu cairkan hening yang selalu menyelimutiku. Tatapan matamu mampu memberikan hangat dalam hatiku, membuat diriku berbeda. Hadirmu menjadi warna terang dalam hidupku yang selama ini gelap.

Aku cinta kamu. Akan kugunakan semua definisi cinta untuk mengungkapkan besarnya rasa sayangku padamu. Kau adalah raja di hatiku, tempatmu selalu yang tertinggi dari siapapun. Kau adalah bilangan nomor satu jika seseorang mempertanyakan peringkatmu dalam hatiku. Kadang aku berfikir, apa jadinya diriku tanpa dirimu. Jika jauh darimu saja diriku rapuh. Apalagi harus benar-benar berpisah denganmu. Apakah aku sanggup menahan beban rindu yang membuncah dalam dadaku? Apakah diriku mampu menahan setiap cinta yang selalu tersalurkan kepadamu. Kehilanganmu adalah ketakutan terbesar dalam hidupku. Mimpi buruk terbesarku adalah saat aku harus menyadari kau telah pergi. Dari diriku. Dari hidupku.

Di depan nisanmu yang masih baru. Kucium harum tanah yang masih basah. Kenanganmu mengalir deras disana bercampur dengan air mataku yang tidak juga berhenti. Sudah 3 hari kau pergi meninggalkanku. Demi diriku, kau tukarkan sekeping nyawamu. Jika saja kau tidak mendorongku di sore itu. Saat hujan turun deras membasahi bumi, saat pertama kalinya aku marah kepadamu, pertama kalinya aku menaparmu ditengah hujan lalu berlari meninggalkanmu. Jika saja aku tidak berlari, jika saja tidak ada mobil yang melaju kencang di sore itu, jika saja kau tidak mendorongku untuk menyelamatkanku yang hampir tertabrak mobil tersebut, jika saja mobil itu tidak menabrakmu, pasti kau masih tetap hidup. Masih dapat tersenyum dan tertawa bersamaku. Namun percuma semua hanya ‘jika’, hanya sebuah pengharapan yang tidak mungkin terjadi. Nyatanya kau ada disini dihadapanku, tepatnya nisanmu telah berdiri tegak ditanah yang masih basah ini.

Aku menggenggam tanah milikmu. Menciummu sesaat, menyesapi wanginya. Pikiranku mendadak tenang. Bimbang yang sejak tadi menghingapiku sirna. Kini kukeluarkan benda yang sudah ada di tasku sejak kematianmu. Di hari ketiga kematianmu aku dapat menemukan jawaban gundahku. Aku tersenyum menatap nisanmu. Kujulurkan lenganku dan kunikmati sensasi saat mata pisau mengiris nadiku. Darahnya mengalir lembut dari sela luka yang mulai menganga. “Sayang, sebentar lagi kita akan bersama kembali. “Seperti tiga hari yang lalu, dibawah hujan ini. Aku berjanji akan selalu bersamamu,” ucapku pelan seraya mengecup nisan kekasihku, Leo. Lelaki yang selalu kucintai dengan sepenuh hati. Beberapa saat kemudian pandanganku menggelap, dinginnya hujan sudah tak lagi kurasakan saat samar-samar kesadaranku mulai pupus dan pudar.

Kamis, 19 Januari 2012

Inilah Aku Tanpamu

Tak pernah aku menafsirkan rindu tanpa dirimu. Tak pernah kuartikan cinta yang menggebu tanpa dirimu yang menjadi tujuannya. Dan aku tak pernah membayangkan sebuah masa tanpa ada hadirmu dalam keseharianku. Semua terasa gelap tanpamu, semua akan terasa 'mati' jika kamu tak ada disampingku.

Kau adalah rumah tempatku berteduh. Hatimu adalah tempat hatiku berpulang. Senyummu adalah warna cerah yang menerangi kelam di jiwaku. Bagiku, kamu adalah jantung yang hidup di dalam dadaku. Kamu adalah bilang yang menggenapkan hitunganku.

Aku berdiri dibawah pohon beringin tempat biasa kita menghabiskan waktu. Menunggu sore tiba untuk melihat matahari terbenam dan memperhatikan semburat jingga membanjiri pelataran langit. "Sayang, lihatlah. Sebentar lagi senja akan hadir." Aku berdiri dalam diam, kupegang teguh payung yang menyelimuti diriku. "Tapi sebentar lagi hujan, pasti kamu tidak akan suka. Sebab katamu, hujan adalah pertanda buruk."

"Sepertinya aku mengerti kenapa kamu membenci hujan. Dan aku pun kini membenci hujan. Sebab hujan telah merebutmu dariku. Hujan menjadi orang ketiga dalam hubungan kita. Hujan telah memisahkan aku dan kamu. Hujan... hujan... hujan..." Tak mampu aku melanjutkan kata-kataku.

Hujan turun melesak dari pelipis mataku, airmata langit turun membasahi tanah yang kupijak. Bahkan beringin pun tak sanggup menaungi diriku dari terpaan hujan. "Sayang aku kangen kamu," ucapku lirih. Tanpamu, tiada hari tanpa hujan yang berdera dari kedua bolamataku. "Sayang, lihatlah. Inilah aku tanpamu. Rapuh. Serapuh ranting yang terhempaskan oleh hujan yang kau benci. Hujan yang menyaputkan matamu sehingga dirimu kecelakaan di hari hujan badai itu, dan pergi meninggalkanku selamanya.

Rabu, 18 Januari 2012

Delapan Kupu-Kupu

Satu kupu-kupu terbang mengitari telaga.
Kering kerontang.

Dua kupu-kupu berlari di udara.
Mencari saripati yang tersisa.

Tiga kupu-kupu menari di balutan-balutan sepi.
Kepaknya mencari tempat tuk singgah.

Empat kupu-kupu terdiam.
Menekur di atas dinginnya bunga-bunga layu yang haus.

Lima kupu-kupu menjerit.
Lehernya kejang dicekik oleh harapan.

Enam kupu-kupu hinggap di setiap taman.
Mencari bunganya tempat bersemayam.

Tujuh kupu-kupu terjatuh.
Sayap mengepak ringgih telah habis harapan mencari bunga tuk berpulang.

Delapan kupu-kupu mati.
Terbunuh oleh rindu akan saripati yang tak juga ditemukan.

Aku Benci Kamu Hari Ini

Radiv terdiam, pikirannya melayang dan berputar-putar pada kejadian-kejadian yang sudah terjadi. Dalam benaknya bayangan Stella berpendar dan merajai lamunannya saat ini. Stella adalah perempuan yang dicintai oleh Radiv. Demi dia, Radiv rela menahan derita dalam dirinya. Radiv menjadi seorang masokis jika dihadapkan pada Stella, dia menyukai dan menikmati setiap luka dan derita yang ditorehkan oleh gadis itu.

"Malam ini adalah malam ke 100. Masihkah rasa angkuhmu menutupi kehadiranku?" Radiv bermonolog di hadapan jendela. Pandangannya kosong menatap bulan yang bersinar redup, ada awan kelabu yang meutupi sinarnya, mungkin awan itu sedang bersimpati kepadanya.

Radiv menggenggam ponsel ditangannya. Dalam lamunan dia berharap benda komunikasi itu akan bergetar dan memunculkan nama Stella, lengkap dengan jawaban penerimaan maaf di dalamnya. Baru saja Radiv mengirimkan ucapan maaf yang kesekian banyaknya -tak mampu diingat- kepada Stella. "Kenapa kamu marah atas fakta yang benar terjadi? Kekasihmu itu memang benar-benar selingkuh. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Tapi, kenapa kamu menyalahkanku dan menganggap aku pria berengsek yang berusaha mengacaukan hubunganmu? Tidakkah kau sadar bahwa aku menyayangimu?"

Waktu berjalan lambat seolah menemani Radiv merenung. Cinta terkadang membuat logika lumpuh dan harga diri turun serendah-rendahnya. Bagi Radiv, untuk mendapatkan satu kata 'maaf' dari Stella, dia rela hatinya tergores dan terluka dalam, namun tak pernah ada kata benci dan menyerah yang terucap di bibir Radiv. "Tak apa, asal Stella memaafkanku," ucap Radiv di suatu kesempatan.

Sepertinya Tuhan dan semesta mendengar gundah yang dia rasakan. Setelah sekian banyak pesan yang dikirimkan, Stella membalas pesannya malam ini. Balasan yang cukup singkat dan tidak bertele-tele. "Aku memaafkanmu, asal besok kita bisa bertemu. Di taman dekat tempatku bekerja, sore hari."

Radiv tertegun, seolah tak percaya atas apa yang dia lihat dan baca. Besok? Ketemuan? ucapnya dalam benak. "Pasti. Dengan cepat jemari Radiv membalas pesan tersebut.

*

Hari yang dinanti tiba. Radiv dengan sumringah datang ke tempat yang ditentukan ; taman di dekat tempat Stella bekerja. Radi segera menuju ke tempat yang sudah sangat diketahuinya. Sebab ditenpat itu juga, pertama kali Stella marah terhadapnya. Hal yang kemudian membuat hubungan baik mereka berantakan. Ta benar, gara-gara fakta setitik rusak semua hubungan baik. Mungkin seperti itu pepatah yang tepat untuknya.

Sesampai di taman, Radiv melihat arloji yang melingkar di lengannya, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Sebentar lagi Stella akan datang. Dia menunggu dengan senyum dan setangkai mawar yang dibelinya di jalan. "Ini akan berakhir," ucap Radiv mantap. Dalam kepalanya terbayang Stella akan memaafkannya dan hubungan mereka akan sedekat dulu.

"Sudah nunggu lama?" Tiba-tiba terdengar suara yang sangat familiar dari belakang. Radiv sangat hafal suara ini milik Stella. Seketika itu dia membalikkan badannya dan bersiap untuk memeluk gadis itu segera. Tapi urung. Radiv meremas tangkai bungan mawar yang disembunyikan dibalik punggungnya. Gerahamnya bergetar menahan amarah.

"Nggak, baru aja," ucap Radiv tak peduli.

Stella berdiri dihadapan Radiv, lengannya merangkul erat lengan pria yang tak lain kekasihnya. "Radiv, aku maafin kamu. Aku sadar kalau aku salah udah ngebenci kamu selama ini. Aku sadar ini semua hanya salah paham. Rico sudah menjelaskan semuanya kok. Yang kamu lihat waktu itu adalah saat Rico nemenin sepupu perempuannya jalan-jalan. Jadi, Rico itu nggak selingkuh." Stella menjelaskan kronologi kebenaran peristiwa versi kekasihnya.

Radiv melihat sebuah sunggingan senyum memuakkan di wajah Rico. Brengsek, umpat Radiv di dalam hati. "Stel, aku nggak bohong. Perempuan itu bukan sepupunya. Masa iya, sepupu tapi ciuman?" ucap Radi memberikan kebenaran versi dirinya.

Plak. Sebuah tamparan melayang ringan. "Cukup, Di. Cukup. Kamu masih juga memfitnah Rico?"

Radiv terdiam, orang-orang yang sedang berjalan-jalan di taman berhenti berjalan dan melihat ke arah dirinya. Radiv mematung, sesaat pikirannya kosong. "Stell, hari ini kamu begitu bodoh. Kamu bukan yang aku kenal. Stella yang aku kenal nggak senaif ini. Aku benci kamu Stel. Hari ini, aku membenci kamu yang seperti ini." Kata-kata itu spontan keluar dari mulut Radiv. Kalimat yang tak pernah mungkin dia ucapkan dalam keadaan sadar. Aku benci kamu, Stel.

Selasa, 17 Januari 2012

Sepucuk Surat (Bukan) Dariku

Jemariku bergerak lincah di atas kertas yang kusobek dari bagian belakang buku tulisku. Kugoreskan kata-kata indah yang mampu kubuat. Kuhidupkan naluri pujanggaku dan kutuangkan dalam lembaran kertas lusuh yang kupegang.

Besok adalah hari kasih sayang, dimana kata orang-orang, pada tanggal 14 Februari setiap orang di dunia akan menyatakan isi hati mereka dan berbagi kasih sayang. Entah diungkapkan melalui bunga, coklat atau bahkan puisi. Dan aku sepertinya akan memilih untuk mengungkapkan kasih sayangku di pilihan ketiga.

Disekolahku, selalu ada tradisi unik untuk merayakan hari kasih sayang. Panitia OSIS mengadakan lomba 'Surat (Untuk) Cinta' dimana mereka mengumpulkan surat cinta/puisi dari murid-murid yang ditujukan kepada murid yang disukai. Dan aku ambil bagian dalam acara -yang sepertinya tidak berguna- itu.

Diam Dalam Kebisingan

Dengarkah dirimu akan dentang jantungku?
Yang berdetak menggemakan namamu di seluruh sel tubuhku.
Memanipulasi perasaan
Dan meracuni setiap logika.

Aku tak tahu apa yang kau pikirkaan
Tapi aku tahu bahwa aku memikirkanmu
Dalam diam, hati selalu berkata.
Aku mengagumi, aku menyukaimu, aku menyenangimu dan aku mencintaimu

Dihadapmu aku diam
berpura acuh dan abai terhadapmu
Aku berdusta
Dalam diam, hatiku berdetak penuh kebisingan
.

Aku tersenyum. Setelah beberapa kali, akhirnya aku puas akan hasil tulisanku ini. Segera kutuliskan namaku dan namamu. Dari Ryan kepada Marcella.

*

Hari yang ditunggu tiba. Hari sudah melangkah, waktu sudah berputar selama 24 jam. Siang ini, akan dibacakan semua surat yang dikirimkan. Aku berdiri dengan kaki sedikit bergetar. Aula sekolah penuh dengan murid-murid yang sama tak sabarnya denganku. Menanti dengan gugup surat mereka akan dibacakan.

Sudah beberapa surat dibacakan oleh panitia OSIS, itu artinya beberapa kebenaran perasaan sudah terungkap. Kulihat Rara mengambil surat berikutnya dari dalam kotak berisi kebenaran perasaan murid lainnya. Kuperhatikan Rara, sesaat aku terkenang atas kejadian beberapa waktu yang lalu, dimana wanita itu terang-terangan mengaku dirinya menyukaiku. Sebuah pernyataan yang cukup mengagetkanku, namun aku sadar tak ada celah untuknya di hatiku. Namun, sejak hari itu, Rara dengan gencar mengejar dan menempeliku, seolah aku miliknya.

"Diam Dalam Kebisingan." Rara mulai membacakan surat yang kutulis. Kudengar dirinya melantunkan puisi yang sudah kubuat dengan sepenuh hati. Kudengarkan dengan seksama hingga Rara selesai membacanya.

"Surat dari Ryan kepada...," ucapku menirukan apa yang dibaca oleh Rara. Marcella, kataku dalam hati. "Rara. Waw, ini surat buat gue sendiri? Makasi ya, Ryan. Aku suka banget sama puisi ini."

Aku tercengang. Perempuan itu memanipulasi suratku. Cih, surat itu bukan dariku. Lebih tepatnya, surat itu bukan untukmu, perempuan manipulator.

Senin, 16 Januari 2012

Ada Dia Di Matamu

Katamu, cinta itu akan datang karena terbiasa. Cinta akan tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu. Katamu juga, cinta itu seperti tunas yang tumbuh di lapangan. Tidak akan pernah menjadi pohon yang rindang dan berbuah kasih sayang dengan cepat. Selalu ada proses di dalamnya, akan selalu menuntut kesabaran untuk menumbuhkannya.

Aku selalu percaya akan hal itu, bahkan sampai saat ini, hatiku selalu meyakini akan ada cinta yang tumbuh di hatimu. Segenap perasaanku dengan sabar kutunggu cinta yang kuberikan padamu akan berkembang menjadi pohon yang rindang dan berbuah penuh kasih sayang. Aku bersahabat dengan waktu, dengan luka yang selalu menggoresku secara sadar dan kuterima.

Hari ini sudah sepuluh tahun berlalu. Sejak kita dijodohkan oleh kedua orangtua kita. Hari ini adalah hari dimana sepuluh tahun yang lalu kau harus meninggalkan kekasih tercintamu karena perjodohan denganku. Aku sudah bersahabat dengan waktu selama sepuluh tahun, memberikan hati dan cinta kepadamu. Sepuluh tahun aku berusaha membesarkan tunas cinta di antara kita, berharap menjadi besar dan berbuah cinta yang manis.

Namun waktu dengan kejam menghianatiku. Dia tetap seperti sebelumnya, terus menggoreskan luka di dasar hatiku. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kita yang kesepuluh. Tapi aku masih tak melihat diriku di dalam kedua bola matamu. Hanya ada wajah dia -kekasih tercintamu- yang terefleksikan di kedua matamu yang bening. Dan aku hanya dapat tersenyum getir akan penghianatan yang waktu berikan padaku. Sepuluh tahun belumlah cukup bagimu membuat diriku ada di pandanganmu. Masih dia yang betengger di pelupuk matamu. Bukan aku.

Minggu, 15 Januari 2012

Jadilah milikku, mau?

Kata orang, penilaian cantik itu relatif dan jelek itu mutlak. Sebuah persepsi yang cukup kasar untuk menggolongkan seseorang dari wajahnya. Sebuah persepsi yang akan menjatuhkan harga diri orang lain. Seolah-olah orang yang cantik adalah orang yang mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada orang yang jelek.

Persepsi fisik tidak pernah dapat dijadikan patokan nilai yang objektif, menurutku. Nilai seseorang di mata tiap orang berbeda-beda. Selalu ada standarisasi tersendiri yang sangat subjektif tentunya.

Kecantikan seorang wanita selalu diidentikkan dengan mudahnya mendapatan kekasih. Orang-orang pada umumnya selalu berasumsi perempuan yang cantik selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sebab label 'perempuan cantik' yang disematkan oleh orang-orang kepada perempuan-perempuan seperti ini selalu memercikkan sifat sombong dalam hati mereka.

Bagiku semua tidak berarti penting. Tak ada standart pasti untuk menentukkan seberapa cantiknya seorang perempuan. Bagiku, perempuan yang cantik itu bukanlah ditentukan dari segi fisik, seputih apa kulitnya, seindah apa rambutnya, selentik apa bulu matanya atau bahkan semanis apa senyumannya. Cantik itu selalu berkaitan dengan sifat yang terkandung dalam raga. Bagiku, perempuan yang cantik adalah perempuan yang mampu menahan dirinya. Perempuan yang tetap membumi dan tidak sombong. Dan yang lebih pasti, perempuan cantik itu bukanlah dirimu yang berdiri dihadapanku.

Parasmu yang menarik, dengan rambut bergelombang menjuntai dari kepala ke bahumu dan senyum manis yang merekah. Lelaki pada umumnya pasti mengkriteriakanmu dalam golongan perempuan cantik -begitu juga denganku. Setidaknya beberapa menit yang lalu sebelum dengan angkuhnya kau ucapkan ; "Jadilah milikku, mau?"

Seketika itu juga sudut pandangku berubah seratus delapan puluh derajat. Kau tidak lagi cantik. Kamu pikir dirimu siapa? ucapku membatin sebelum meninggalkan wanita cantik dihadapanku dengan ucapan terakhir. "Selamat tinggal"

Sabtu, 14 Januari 2012

"AKU CUMA MAUNYA KAMU, TITIK."

Senja meragu untuk tiba. Seolah menunggu kita untuk berbicara. Dalam diam, langit memperhatikan kita. Matahari pun tampak enggan turun dari singasananya.

Sudah pukul setengah lima sore. Berarti sudah hampir setengah jam kita saling berdiam diri. Kata-kata terkunci di kerongkongan. Hanya saling tatap yang sesekali dapat aku dan kamu lakukan.

Di taman ini, tempat biasa kita tertawa, duduk dan menunggu datangnya senja. Aku tidur terlentang dan menatap awan-awan yang berarak pelan. Tersirat tanda senja akan datang telat hari ini. Sedangkan dirimu masih tetap duduk, memangku dagumu di lutut seraya memain-mainkan rerumputan.

"Al, aku suka kamu," ucapku memecah keheningan yang melanda.

Tak ada perubahan emosi di wajah gadis manis itu. Sejak dulu Aliya memang orang dengan bakat poker face yang sempurna. Selalu berhasil menutupi ekspresi wajahnya.

"Al... Aliya, kamu denger kan. Aku suka kamu." Aku mengulangi kata-kataku.

Aliya mendongak. Tatapannya seperti biasa -datar, nyaris tanpa ekspresi. "Kenapa kamu suka sama aku? Aku kan aneh, temen-temen juga bilang kayak gitu. Orang juga bilang aku poker face dan ga peka," ujar Aliya merendahkan dirinya sendiri. "Dan juga, aku ga cantik, ga populer kayak kamu, Damar. Temenan sama kamu aja temen-temen yang lain kaget apalagi ka-"

Kukatupkan bibir mungil Aliya. "Ssstt, jangan biacara apa-apa lagi. Ini hidupku, dan aku yang jalanin. Aku ga peduli apa kata orang tentang kamu." Kutatap mata Aliya, dan kugenggam jemarinya.

Waktu seperti terhenti. Lebih tepatnya kita tak menyadari waktu terus berjalan.

"Ketika kamu tanya kenapa harus kamu, aku cuma bisa jawab. Karena hatiku. Karena hatiku berkata ; Aku cuma mau kamu, titik." Terasa lega di dalam dada, saat kukeluarkan semua isi hatiku dan kulihat senyum mengembang di wajahmu. Akhirnya senja pun tiba, sebagai pertanda dimulainya kisah selanjutnya.

Jumat, 13 Januari 2012

"Kamu manis, kataku"

Sendu terburai dari kolam hati. Titik-titik airmata sudah terkristalkan. Kualihkan pandanganku sesaat, kulihat semburat senyum mengembang dari kedua belah pipi gadis itu. Sebab dirimu, aku bahagia, gumamku dalam hati. Tak ada lagi kesedihan. Tak tersisa sejengkal tempat untuk penyesalan. Nikmati saja apa yang sudah kita punya, itulah yang selalu kau ucapkan padaku.

"Raka, tadi kamu mengucapkan sesuatu?" Rani berujar pelan.

Lamunanku terputus. Kutatap lekat kedua bola mata Rani. Bening matanya mampu bangkitkan diriku dari kegelapan. Cerianya mampu usir kelabu yang selama ini menglingkupi diriku. Dia... adalah cahaya yang menerangi sudut-sudut tergelap yang pernah kupelihara. aku hanya tersenyum. Tak ada sepatah kata yang mampu kuucapkan.

"Oh begitu, ya sudah. Aku pikir kau mengucapkan sesuatu barusan."

Kudekati Rani yang membelakangiku. Kurengkuh dirinya dari belakang. Kubalikkan kursi rodanya, lalu kuberlutut. Kugenggam lembut jemarinya lalu kukecup pelan. Hening. Aku diam, begitu pun dengan Rani. Sesaat kita nikmati angin yang bertiup mesra, gemerisik pepohonan sesekali mengusik suasana yang aku dan Rani nikmati dalam diam.

Rani tersenyum kecil, menjalankan kembali waktu yang sempat terhenti beberapa saat. Senyuman yang tulus, senyuman yang meluluhlantahkan hatiku yang dulu kaku.

"Senyumanmu adalah hal termanis yang pernah kurasakan," ucapku pelan hampir berbisik saat kupeluk bibirnya dengan bibirku. Sebuah kecupan kilat. Kulihat sebelah alis matanya naik. Pertanda penjelasan. "Tidak apa. Kamu manis, kataku barusan. Bagaimana pun kondisimu, kau tetap yang termanis yang pernah kumiliki" Kugenggam erat jemari Rani. Kulewati waktu sore ini bersama dirinya, sebelum proses kemoterapinya dilaksanakan nanti malam.

Satu... Dua... Tiga...

Kutatap bola matamu yang bening. Terkilatkan keceriaan disana. Tawamu selalu terpampang di lucunya wajahmu. Ingin kucubit dan kusimpan sebagai kenangan.

Sejak tadi kuperhatikan kau berlari-larian kecil. Semangatmu menyematkan senyum di wajahku. Kamu, terus berbicara sambil berlari. Seperti tak ada habisnya tenangamu berceloteh kepadaku -meski aku tak paham apa yang kubicarakan.

Kutatap lekat beningnya bola matamu, aku senang. Namun ketika kupendarkan ke arah lain, seperti ada luka yang digoreskan oleh pandangan. Membuat hati terenyuh dan lunglai tak dapat menahan air mata.

"Aku mau nyanyi," ucapmu dengan suara melengking khas dirimu.

Aku mengangguk pelan seraya memaksakan senyum. "Mau nyanyi apa? Kakak mau dengar dong."

"Satu-satu, aku sayang ibu. Dua-dua, aku sayang ayah. Tiga-tiga, sayang adik kakak. Satu, dua, tiga, sayang semuanya."

Aku tertegun. Nyanyianmu menyadarkanku akan arti bersyukur. Membuatku mengerti arti dari semua yg masih kumiliki.

"Tapi, Kak. Dimana ya, Ayah, Ibu, dan Kakakku?" tanya gadis kecil berusia 7 tahun tersebut dengan polosnya.

Airmataku melesak keluar, tak mampu lagi tertahan haru yang dirasa. Hati lelah menahan isak yang tertahan. "Nanti Ayah, Ibu dan Kakakmu akan ditemukan," ucapku mengusap kepala gadis kecil tersebut. Gadis kecil itu adalah satu-satunya korban yang ditemukan dari bencana banjir bandang yang melanda desanya.

Kamis, 12 Januari 2012

Dag Dig Dug

Kamu adalah ketenangan yang tertampiaskan dari mangkuk jiwa. Aku membuang candu-candu kesunyian dari tiap gerak tubuhmu. Berada di dekatmu, hati tak mampu mengalahkan riuh yang mendera. Berdetak cepat, hingga sepi terusir jauh dari benakku.

Sejak pertama mengenalmu, aku tak pernah berhasil tenang. Mimik tubuhku mendustai pikiranku. Dia berontak akan perintah sistem logikaku yang menginginkan sikap yang normal. Tak pernah berhasil dan selalu gagal. Gesture tubuhku menjadi pecundang yang selalu kalah, tunduk dan tak memenangkan ketenangan dari dirimu. Sejak awal aku mengenalmu, debar selalu tersebar di sendi-sendi asmara. Bahkan hingga kini aku pun masih kalah oleh ketenanganmu.

"Ha... hai, Rin," ucapku kelu. Lidahku tak dapat bergetar sempurna. Tatapmu yang tenang-bahkan dapat dikategorikan dingin-menusuk ketenanganku.

"Hai Arya. Lagi jalan-jalan nih?" ucap Rina ringan. Namun aku tahu ada kemarahan yang bersembunyi di balik sapaan ringan tersebut. Sekilas mataku beradu pandang dengannya. Ada kilat yang membara disana. Sesekali dia mendelik ke sampingku, menatap wanita yang mendekap erat lenganku. Ah, memang, dihadapmu tak ada ketenangan di dalam debar jantungku.

Rabu, 11 Januari 2012

"Halo, siapa namamu?"

Rio terduduk di atas kasurnya. Penyakit misterius yang mendera tubuhnya sejak kecil membuat pria ini lebih banyak menghabiskan waktu di atas tempat tidur di dalam kamarnya, terkadang membaca novel, menulis puisi atau bahkan menggambar sketsa wajah.

Di dalam kamarnya yang dipenuhi oleh tempelan kertas berisi puisi dan cerita-cerita pendek, serta beberapa lembar kanvas bersketsa wajah kedua orangtua, kakak dan adik-adiknya itu Rio terbaring. Matanya kosong menatap langit-langit kamar. "Aku bosan," ucapnya lirih.
*
Hari ini adalah hari ulang tahun Rio yang ke 24. Tak ada perayaan yang istimewa, hanya kedua orangtuanya dan saudara kandungnya saja yang mengucapkan selamat ulang tahunnya. Tidak ada yang lain, sebab memang Rio tidak memiliki teman sejak kecil. "Ma, aku ingin berjalan-jalan keluar, boleh?" Rio mengutarakan keinginannya yang sudah lama dipendam.

Mama tersenyum sedih. Teringat olehnya ucapan Dokter beberapa hari lalu, yang memvonis Rio tidak akan berumur panjang. "Iya, boleh , Sayang," ucap Mama menahan sedih.

Esoknya Rio pergi keluar kamar untuk pertama kalinya sejak setahun terakhir. Rio ditemani Roy -adik lelakinya- mengunjungi toko bingkai dan alat-alat lukis.

"Cari apa, Mas?" tanya Nina kepada Rio. Nina adalah pelayan di toko tersebut.

Ada debar yang muncul, senyum manis yang didapatkannya, membuat Rio sedikit salah tingkah. "Eh, ini, aku mau nyari kuas dan kanvas yang baru. Dan beberapa pensilnya juga," ucapnya cepat-cepat untuk menutupi kegugupannya.

"Yang ini aja, Mas. Kualitasnya bagus, dan harganya ga beda jauh." obrolan di antara dua muda mudi itu berlangsung cukup hangat. Tidak terasa, waktu sudah sore dan Rio harus segera pulang, agar kondisi tubuhnya tidak memburuk.

Esok harinya Rio kembali ke toko tersebut dengan alasan mencari cat air. Hari berikutnya pun lelaki itu kembali untuk mencari alat-alat lukis lainnya. Hal itu berlangsung selama seminggu.

Setelah lewat dari satu minggu Rio tidak pernah datang lagi ke toko tersebut. Nina itu merasa sesuatu yang beda. Ada rasa penasaran yang menyelinap di diri gadis itu. Tepat di hari ke 3 setelah tidak datangnya Rio, Nina melihat adik lelaki Rio melintas di depan toko.

"Hai, kamu. Tunggu sebentar."

"Aku?" tanya Roy.

"Iya, kamu. Kamu adiknya lelaki yg sering ke toko itu seminggu yang lalu, kan? Lalu kemana abangmu itu? Dia tidak pernah terlihat lagi."

Roy memandang Nina tersebut. "Nanti, sepulang kamu kerja. Kamu ikut aku."
*
Nina memandangi berpuluh-puluh kertas puisi dan sketsa wajah di dinding kamar. Dari sekian banyak sketsa wajah itu, beberapa diantaranya adalah sketsa wajahnya. "Ini kamar siapa?" tanya Nina kepada Roy dan Mama.

"Ini kamar Rio, lelaki yang kamu tanyakan kepada Roy," ucap Mama.

"Lalu?" Rona kebingungan menyelimuti diri Nina.

"Rio sudah meninggal. Dia menderita sakit misterius sejak kecil. Dia menitipkan ini untukmu."

Nina menerima kanvas yang ditutupi selimut dari tangan Mama. Ketika membukanya, airmata Nina tak dapat dibendung. Melesak secara otomatis dari sela irisnya. Ditangannya adalah lukisan wajahnya bersama sebuah kalimat ; "Halo, siapa namamu?"

Selasa, 10 Januari 2012

Dan Hujan Pun Datang

Musim penghujan tiba. Tiada hari tanpa mendung yg menyelimuti langit kota ini. Wajah-wajah khawatir terkena tetesan air hujan menyelimuti sebagian besar orang-orang.

Di salah satu sudut kamar, seorang gadis terduduk memandangi langit yang sudah mulai menggelap. Perlahan hawa dingin hadir melalui sela-sela kusen jendela. Ditangannya tergenggam telepon selulernya.

Bermenit-menit gadis itu memandang ke arah luar jendela, sesekali menatap alat telekomunikasinya yg sepi. Wajahnya yang murung seolah menyiratkan dirinya menunggu sesuatu, entah menunggu hujan atau menunggu ponselnya bergetar.

"Kamu kemana, Sayang?" ucap Keisha bermonolog kepada ponselnya. "Kenapa nggak ada kabar sama sekali seharian ini?" Keisha bertanya-tanya sendiri. Sudah seharian ini kekasihnya yang baru pulang dari tugas di luar kota, tidak memberi kabar kepadanya.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Semesta seperti menjawab harapan gadis itu. Ponselnya bergetar, ada nama kekasihnya di layar panggilan masuk. Kekhawatiran yang ditanggungnya sedikit terurai.

"Hallo, Sayang?" ucap Keisha saat menjawab panggilan masuk di ponsel miliknya. Mimik suaranya terdengar ceria lebih ceria. Mendung di wajahnya sedikit berkurang saat mendapat panggilan masuk dari kekasihnya.

"Selamat siang, Bu" ucap seseorang menjawab sapaan Keisha.

"Ha.. Halo, selamat siang? Ini siapa ya?" Keceriaan suara Keisha mendadak luntur saat menyadari itu bukan suara kekasihnya.

"Selamat siang, Ibu. Saya ingin mengabarkan pemilik nomor ini mengalami kecelakaan, dan sudah meninggal. Saat ini jasadnya sedang di bawa ke rumah sakit terdekat di daerah Jakarta Selatan."

Informasi yang diucapkan oleh orang asing itu tidak terdengar jelas. Bercampur suara hujan yang menderu. Namun telinga Keisha masih cukup jelas menangkap inti pesan yg disampaikan ; Raka, kekasihnya, meninggal karena kecelakaan. Seketika itu juga hujan jatuh dengan deras dari pelupuk mata Keisha. Meninggalkan sesak yang menhujam hati dan perasaan.

Jumat, 06 Januari 2012

Aku dan Kamu Tidaklah Sama Dengan Kita

Aku dan kamu, adalah sepasang rindu yang tak sinkron. Aku merindukanmu dan kamu merindukannya. Dunia yang aku dan kamu tatap tidaklah sama, sebab kita melihatnya dengan pandangan yang berbeda.

Aku dan kamu, adalah cinta yang terabaikan. Tak dipandang sebab besarnya egoisme dan pengharapan. Terlalu jauh memandang dan lupa akan bumi yang dipijak.

Aku dan kamu, seperti tidak akan pernah menjadi kita. Mata masih tertutup dengan gelapnya cinta yang tak terbalaskan. Sebut saja aku bodoh, yang mencintamu dengan tepukan yang tak terbalas. Begitu juga denganmu. Mungkin saja, aku dan kamu pernah menyebut kita. Dalam keputus-asaan, kita adalah hati-hati yang tergadaikan oleh luka dan derita yang menyenangkan.

Senin, 02 Januari 2012

Bayangan

Pandanganku semaput, kukerjapkan mataku yang masih berkunang-kunang. Sisa alkohol semalam masih menggelayuti kesadaranku. Kusibakkan selimut yang menutupi tubuhku yang nyaris tak berbusana, berjalan pelan menuju meja kecil yang ada di sudut ruangan dan meraih sebuah gelas berisi air yang tersedia disana.

“Kamu sudah bangun, Sayang?” ucapmu pelan saat aku duduk di pinggir ranjang. Perempuan itu menggelayutkan lengannya dipundakku dan menyenderkan dadanya ke punggungku. “Kamu hebat sekali, Sayang.” Suara lembut berbisik manja kau ucapkan dibelakang telingaku. “Bagaimana kalau kita lanjutkan lagi sebelum kita pergi?” Matamu mengerling nakal ke arahku, kau mainkan telunjukmu ke arahku dan memberi tanda kepadaku, untuk kembali memulai permainan yang panas semalam.

Aku hanya menghembus nafas pelan, seraya menengguk kembali air mineral hingga tandas. Kulirik dirimu tanpa gairah. Bukan karena dirimu yang tidak menarik, lelaki normal mana yang tidak bergairah saat melihatmu saat ini, dengan tinggi badan semampai dan tubuh ideal serta kulit berwarna kuning langsat yang menyelimuti tubuhmu. Memiliki wajah oriental dengan bibir merah merekah yang menghiasi, kamu bisa membuat setiap lelaki termasuk aku–seharusnya–berdecak nafsu saat melihatmu yang saat ini nyaris topless.

“Ada apa?” tanyamu kepadaku yang hanya bisa kujawab dengan gelengan lemah. Tiba-tiba dengan cepat kau mengangkat wajahku. “Bukankah semalam kau menikmatinya, Sayang? Lalu kenapa sekarang kau seolah tidak bergairah?”

Kupandangi matamu, kutemui sepasang bola mata yang dihiasi oleh bulu mata lentik. Bening matamu masih sama seperti dulu, bertahun yang lalu. Romansa masa lalu yang masih tertinggal dihatiku. Ya, aku menikmatinya dibawah pengaruh minuman, ucapku lirih di dalam hati. Kamu kecup dengan cepat bibirku, mencoba membangkitkan naluri kelaki-lakianku. Seketika itu juga aku berdiri, sedikit gontai, sepertinya aku terlalu mabuk semalam. Saat itu juga kamu ikut berdiri. Tanganmu dengan lancang mengusap bagian belakang kepalaku dan kembali mencari bibirku. Dan sekali lagi kita berpagutan, nafsumu yang sangat tinggi kepadaku membuatmu melakukan hal-hal yang seharusnya kaumku–lelaki–lakukan. Dengan sendirinya lidahmu menari-nari, dan kamu kalungkan lenganmu di bagian belakang kepalaku. French kiss adalah teknik berciuman yang paling seksi, ucapmu kepadaku saat pertama kali kita melakukannya.

Dengan terpaksa aku mengikuti maumu, tanpa nafsu, tanpa cinta dan tanpa gairah yang membara–seperti dulu. Bunga-bunga cinta yang pernah tumbuh dan mekar dulu, kini telah layu dan mati terlindas oleh waktu. Telah kering saripatinya seiring tak ada lagi komunikasi yang mengairinya dan tak lagi kudapatkan sorot teduh matamu yang menghangatkan jiwaku.

Sebuah pesan masuk di ponselku menghentikan kegilaanmu. Kujauhkan sesaat dirimu sebatas lenganku. Dengan cepat kugapai ponselku yang tergeletak di atas meja kecil.

Nanti siang kita ke butik yah, orang butiknya tadi telepon aku. Mereka bilang gaun pengantinku sudah selesai.

Aku tertegun sesaat, kesadaranku ditampar oleh kerasnya kenyataan. Menyadarkan kebodohanku yang sempat tenggelam dalam bayangan masa lalu. Sebuah pesan pendek dari calon istriku meyakinkanku bahwa romansa masa lalu hanyalah mawar yang penuh dengan duri tajam. Hanya luka yang terjejak saat berusaha kembali menggenggamnya.
“Aku harus pergi,” ucapku tegas. Entah kepada perempuan yang ada dihadapanku ini atau kepada hatiku sendiri. Kulihat matanya kembali sayu. Ada kekecewaaan yang hadir dan tumbuh disana.

“Siapa yang mengirimu pesan tadi? Pacarmu? Aku pikir kamu masih tetap sendiri menungguku,” ucapnya lirik.

Aku menghela nafas panjang, seperti ada sesak yang harus kubuang agar diriku mampu bernafas normal. “Bukan, bukan pacarku.”

Sesaat matanya kembali berbinar, ada senyum yang kembali merekah disana. “Jadi? Kamu masih tetap sendi–”

“Tapi tunanganku, calon istriku. Namanya Rani, dan minggu depan kami akan menikah,” ucapku memotong ucapannya. Sekali lagi senyum diwajahnya memudar. Perempuan itu mematung, kini aku yakin, rasa kecewa sudah menjalari setiap sel di dalam bagian tubuhnya. Aku tahu hal itu dan aku–pernah–merasakannya.

“I... Istri, Ram? Calon istrimu?” Terasa kesedihan dalam beberapa kata yang terucap. Selaksa badai sesaat yang menghancurkan sedikit harap yang masih tersisa. Semua hilang. Semua berakhir dan tak akan pernah ada cerita lain yang memungkinkannya untuk tumbuh lagi.

“Ya, calon istriku. Dan sebenarnya apa yang kita lakukan semalam bukan keinginanku. Just for fun, you know? Always as before. Yeah, before you left me for other man.” Kutatap dingin matanya yang membelalak ke arahku.

“Rama...”

Aku hanya diam seraya mengambil pakaianku yang tercecar di sekitar kamar. Dalam hening kudengarkan tangisnya. Pedih. Aku tahu akan hal itu. Aku lebih dulu merasakan bagaimana rasanya mengetahui orang yang diinginkan namun ternyata akan pergi menikah dengan orang lain. “Aku pergi,” ucapku seraya melangkah ke arah pintu kamar.

“Ram. Rama..., kenapa kamu tidak memberitahuku? Aku pikir... aku pikir kita bisa bersama seperti dulu.” Suaranya serak menahan kesedihan yang menghinggapi dirinya saat ini.

Langkahku terhenti dibelakang pintu. Tanganku terpaku tidak memutar kenop. “Tidak akan ada yang tersisa dari masa lalu. Begitu pun dengan dirimu. Aku pun menyadarinya sejak pertama bertemu denganmu kembali, sore itu. Sebelum cinta yang kita buat semalam, cinta yang hanya dilandasi oleh nafsu, bukan lagi cinta.” Aku membalikkan badanku, kutatapkan mataku ke arahnya. “Masa lalu hanya menjadi bayangan dari kenyataan yang berjalan saat ini, dan kamu adalah salah satunya. Hanya indah saat kunikmati saat aku melepaskan diri dari kenyataan, dan berkelana dalam kenangan. Namun kenangan hanya tetap jadi kenangan, harapan akan tetap menjadi harapan, ketika aku sadar tidak akan pernah dapat menyeret bayangan menjadi sesuatu yang nyata dan dapat kurengkuh dengan tanganku ini.”

Are you happy?” Sepatah kalimatnya kembali membuatku menghentikan gerakanku untuk keluar dari kamar hotel ini.

“Iya, aku bahagia dengan apa yang sudah kumiliki saat ini, Mona. Tidak akan kubiarkan kebahagian ini hilang lagi dari dekapanku.” Kuucapkan kembali namanya. Untuk terakhir kalinya. Ya, untuk terakhir kalinya akan kuucapkan nama itu sebelum benar-benar menguburnya dalam kotak pandora yang takkan pernah kubuka lagi.