Rabu, 29 Agustus 2012

Per(tidak)temuan



“Aku menginginkan pertemuan,” ucapmu menusuk dadaku. Katamu terdengar tegas tanpa bisa ditawar lagi.

You know all the things I've said
You know all the things tha we have done

Kelu menyapa bibirku, menguapkan kata-kata yang sudah kupersiapkan, dan hilang tak bersisa terbawa oleh angin keheningan. Aku menghadirkan diam sebagai jawaban.
“Aku lelah, menunggu adalah sesuatu yang jauh dari kata menyenangkan. Dan aku sudah lelah.” Terasa getar suaramu di telingaku. Dari speaker handphone, suaramu mengabarkan berita duka yang kutakutkan, namun kutahu hal ini akan tiba.
Sejenak jeda hadir di antara percakapanku dengan Rani, kekasihku. Ya saat ini dia masih kekasihku, saat ini. Dalam diam aku menyusun kata-kata, bukan sebuah pembelaan dari sebuah kesalahan, hanya sebuah pernyataan.
“Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Sebuah pertemuan? Minggu depan akan kuusahakan, tapi aku tak berani menjanjikannya. Aku akan berusaha. Sebab sudah banyak janji pertemuan kita yang gugur,” ucapku memecahkan hening yang menyergap percakapan ini.

I will fly into your arms
And be with you
Till theend  of time
Why are you so ar away
You know it's very hard to me
To get myself close to you

“Menunggu lagi? Maaf, sepertinya aku tak sanggup menunggu lebih lama. Aku lelah, kau tahu itu?”
“Ketahuilah Rani, ketika kamu lelah dengan penantian untuk bertemu, aku pun demikian. Ketika kamu kecewa dengan batalnya rencana kita, aku merasakan hal yang sama. Kamu tidak sendirian, sebab pun tahu bagaimana rasanya.
Sekarang, apa yang sebenarnya kamu inginkan? Sebuah perpisahan kah?” ucapku menggantungkan pertanyaan. Menunggu jawaban yang akan dikeluarkan Rani, hatiku sedang mereka-reka apa yang ada dalam pikirannya.
Yang kutunggu tak jua tiba. Rani memilih diam. Hanya deru nafas yang samar terdengar, sepertinya dia sedang sibuk menenangkan gejolak emosinya, layaknya aku sekarang.
“Jika memang sebuah perpisahan akan membuatmu lebih tenang, akan kuberikan walau aku tak inginkan itu. Aku sudah berusaha untuk pertemuan kita. Hanya saja waktu sepertinya tak berpihak pada hubungan kita. Dan dayaku tak kuasa merayu waktu agar dia mau mendukung pertemuan kita.”
Rani tetap bergeming, dia masih diam mendengarkan monologku. Aku tersenyum pahit saat memikirkan hal ini, memikirkan sebuah pertemuan yang begitu diinginkan, namun sangat susah untuk dilakukan.

You're the reason why I stay
You're the one who cannot believe

Inilah kisah yang paling memilukan, kisah tentang sepasang kekasih yang tak pernah bertemu. Tentang sepasang hati yang begitu menginginkan pertemuan, namun tak pernah terjadi. Kisah tentang kepercayaan yang tergerus oleh penantian, yang kalah oleh waktu. Kesabaran pun tak bisa menahan gejolak rindu yang tertahan.
“Bukan aku, tapi waktu yang sering mendustakan harapan kita,” ucapku seraya mendesah pelan. Telah habis kata-kataku. Kini keputusan ada di tangan Rani. Apa yang diinginkannya adalah keputusan yang kutempuh. Aku tahu, kini aku telah di batas akhir hubungan bersama Rani.
“Kak,” ucap Rani kepadaku. “Terima kasih, dan mohon maaf. Aku ingin kita tetap berhubungan baik”
Palu telah diketuk, keputusan sudah dijatuhkan. Aku tersenyum getir, tidak ada perpisahan yang menyenanangkan. “Baiklah, semoga kamu bahagia. Aku selalu mendoakan.”
“Jika nanti kamu benar-benar datang. Akan kusambut dirimu di kota ini.”
“Ya, pasti. Aku akan menghubungimu jika suatu hari berkunjung ke kotamu, nanti.”

I wanna get
I wanna get
I wanna get close to you

Percakapan selesai, dan Rani menutup panggilan. Sesaat kudengar isak sebelum dia menutup pembicaraan telepon. Terdengar samar, namun meyiratkan kesedihan yang cukup dalam. Aku pun seperti itu, namun tanpa kata-kata dan air mata.
Aku pernah terjatuh lebih hebat dari ini, pernah menghadapi perpisahan yang lebih getir dari ini. Mungkin, dia sudah kebal dan perpisahan ini tak akan menuai luka dihatiku. Semoga waktu dapat mendamaikan gemuruh di dada ini. Semoga, harapku.


sumber foto: andysphotoartwork.blogspot.com