Aku
memainkan pena di jariku. Memutarkannya tanpa tahu akan kugunakan untuk apa.
Jemari kalut mencari pelampias gelisah di dalam dada. Pena sudah siap untuk
melahirkan aksara, namun tak ada yang tertera di sana; di atas lembaran kertas
yang sejak tadi terbuka.
Tidak
ada kesunyian yang melebihi sebuah kehampaan, dan tak ada luka yang lebih pedih
dari sebuah pengkhianatan. Luka dan bahagia menjadi satu paket dalam sebuah
proses mencintai. Terkadang, apa yang begitu dicintai menjadi sumber luka
terhebat. Melukai tanpa kita sadari bahwa hal itu telah menjadi duri di dalam
dada.
Kilatan-kilatan
kejadian kemarin malam masih terngiang di dalam kepala. Menghantui diri pada
pahitnya kenyataan. Pada kerasnya kehancuran sebuah kepercayaan. Malam ini,
kesunyian menawan suara-suara yang di dominasi oleh rintihan. Hanya tinta yang
berani merepresentasikan sebuah ironinya sebuah cinta yang dipertahankan.
Melalui aksara, kucoba keluarkan sesak di dada.
Aku mencintaimu
dengan sederhana
Sesederhana kata cinta
Saling menyayangi, saling melengkapi
Sesederhana kata cinta
Saling menyayangi, saling melengkapi
Aku sadar bahwa
sebuah cinta dapat berujung duka
Melahirkan luka, menciptakan derita
Melahirkan luka, menciptakan derita
Bukan, bukan karena
aku kuat menanggungnya
Hanya saja aku percaya, luka adalah cara Tuhan memberikan ketabahan
Cara cinta menunjukkan jalan bahagia sesungguhnya
Hanya saja aku percaya, luka adalah cara Tuhan memberikan ketabahan
Cara cinta menunjukkan jalan bahagia sesungguhnya
Kecupanmu pada dia
menjadi penerang mataku
Menyadarkanku pada satu hal
Bahwa cinta adalah sesuatu yang sangat berharga
Yang akan kujaga sepenuh jiwa
Dan itu bukan untukmu
Menyadarkanku pada satu hal
Bahwa cinta adalah sesuatu yang sangat berharga
Yang akan kujaga sepenuh jiwa
Dan itu bukan untukmu
Sebuah tangisan menjadi penutup
malam. Sebuah requim penutup lembaran kisah dengan Brahma, lelaki yang kucintai
dan juga yang menorehkan luka terdalam di hatiku. Kututup buku coretanku. Buku
yang penuh akan setiap curahan hati yang tak terdengar, buku yang penuh akan
sajak-sajak yang menggambarkan isi perasaanku ke Brahma. Dan sajak tadi menjadi
sajak penutup yang kutulis untuknya
***
Buang
semua puisi, antara kita berdua
"Bi,
tolong bawain tong ke sini yah," ucapku kepada Bi Yuni. Sore ini cuaca
sangat teduh. Awan tebal bergerak pelan mengikuti arah angin, warna biru cerah
memenuhi langit. Aku duduk di beranda, menikmati hembusan angin sepoi yang
kadang bertiup ke arahku.
"Ini
tongnya, Non," kata Bi Yuni kepadaku seraya menyerahkan tong bekas cat
yang sedikit berdebu, "memang buat apa yah, Non? Kok tumben-tumbenan minta
diambilin tong," tanya Bi Yuni seperti penasaran.
"Oh
ini," ucapku seraya mengarahkan pandangan ke tong tersebut. "Buat
bakar ini, Bi." Aku memperlihatkan benda yang sejak tadi ada di tanganku.
Bi
Yuni terlihat sedikit kaget saat melihat benda yang ingin kubakar sesaat lagi.
"Non, Non Pia serius mau bakar buku itu, Non?" tanya Bi Yuni.
"Bukannya itu buku hadiah ulang tahun dari Den Brahma? Dan juga buku yang
sering Non Pia tulisin sesuatu di sana?"
Aku
hanya tersenyum mendengar perkataan-perkataan Bi Yuni.
"Maaf
Non, bukan bibi lancang. Tapi bibi pernah liat isi buku itu. Di buku itu juga
banyak foto-foto Non Pia sama Den Brahma juga kan? Kenapa buku itu mau dibakar,
Non?"
Senyumku
mengecut saat mengingat-ingat kembali isi di dalam buku yang kugenggam ini.
Dalam hati kecilku, kesedihan seperti ingin bermekaran kembali. "Nggak
apa-apa, Bi. Sekarang buku ini udah nggak spesial dan penting lagi kok,"
ucapku pada Bi Yuni. Hal yang juga menjadi penguat hatiku, agar airmata tak
lagi menetes untuk Brahma.
"Oh
gitu yah, Non. Padahal sayang banget kalau dibakar."
"Bi,
tolong ambil minyak tanah sama korek api."
Bi
Yuni langsung menuju dapur setelah mendengar pintaku, tak lama dia keluar
dengan korek api batang dan dirigen kecil berisi minyak tanah. "Ini,
Non."
"Makasi
ya Bi, bibi udah boleh ke dalam sekarang," ucapku mengusir Bi Yuni secara
tak langsung. Aku tak mau ketetapan hatiku untuk membakar buku ini menjadi
goyah kembali.
Kulempar
buku yang kugenggam ke dala tong, lalu kusiramkan minyak tanah ke dalamnya.
Kuhidupkan korek api batang dan kuleparkan ke dalam tong berlumuran minyak
tanah. Seketika api menyambar dan menjilat-jilat buku yang ada di dalamnya.
Selamat tinggal. Semoga kenanganmu pun menjadi abu dalam pikiranku, ucapku
membatin saat melihat lidah api mulai melumat buku tersebut dan mengubahnya
menjadi lembaran abu.
***
"Pia,
tolong dengar penjelasanku," ucap Brahma saat bertemu dengannya di kantin
fakultas. Dia mencengkeram tanganku saat aku berusaha menghindarinya. Bukan
karena takut, tapi diriku sudah muak bertemu dengannya. "Apa yang kamu
lihat waku itu hanya salah paham."
"Kamu
bilang salah paham? Aku nggak buta. Aku liat kamu cium Silvia. Sahabatku
sendiri!!" Emosiku tak terbendung. Suaraku mengencang dan membentak
Brahma. "Silvia sudah cerita ke aku. Bagaimana kamu mengejar dia.
Bagaimana kamu membuainya dengan rayuanmu. Dan kamu bilang itu semua cuma salah
paham?"
"Okey, aku tahu aku salah.
Aku minta maaf, Pia. Aku khilaf, aku sadar aku salah." Kulihat mimik wajah
Brahma yang seperti mengiba maaf, terlihat menyedihkan. "Aku sadar banget
sudah ngecewain kamu. Tapi aku masih cinta sama kamu, Pia. Aku nggak bisa gitu
aja lupain kam-"
Plak!!
Sebuah tamparan keras dari telapak tanganku mendarat mulus di pipinya.
"Makan itu cinta. Berdoa sama Tuhan agar kamu lupa siapa aku. Lupa siapa
saja yang sudah kamu sakiti, dan aku pun akan berdoa agar kamu tak lagi dalam
ingatanku."
Aku berjalan meninggalkan kantin
fakultas, meninggalkan Brahma yang diam menanggung malu. Tatapan
mahasiswa-mahasiswi lain tersorot padanya. Tamparanku di pipinya menjadi
tontonan gratis di kantis fakultas pada siang ini.
Sadarkan
aku Tuhan, dia bukan milikku
Biarkan waktu, waktu, hapus aku
Biarkan waktu, waktu, hapus aku
Aku
berdoa pada Tuhan, agar menghapus ingatanku tentang Brahma. Dalam dada, sesak
kurasa, tapi setidaknya tamparan tadi cukup melampiaskan sedikit kekecewaanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar