Rabu, 12 September 2012

Hapus Dia Dari Ingatanku


Tuliskan kesedihan, semua tak bisa kau ungkapkan

Aku memainkan pena di jariku. Memutarkannya tanpa tahu akan kugunakan untuk apa. Jemari kalut mencari pelampias gelisah di dalam dada. Pena sudah siap untuk melahirkan aksara, namun tak ada yang tertera di sana; di atas lembaran kertas yang sejak tadi terbuka.

Tidak ada kesunyian yang melebihi sebuah kehampaan, dan tak ada luka yang lebih pedih dari sebuah pengkhianatan. Luka dan bahagia menjadi satu paket dalam sebuah proses mencintai. Terkadang, apa yang begitu dicintai menjadi sumber luka terhebat. Melukai tanpa kita sadari bahwa hal itu telah menjadi duri di dalam dada.

Kilatan-kilatan kejadian kemarin malam masih terngiang di dalam kepala. Menghantui diri pada pahitnya kenyataan. Pada kerasnya kehancuran sebuah kepercayaan. Malam ini, kesunyian menawan suara-suara yang di dominasi oleh rintihan. Hanya tinta yang berani merepresentasikan sebuah ironinya sebuah cinta yang dipertahankan. Melalui aksara, kucoba keluarkan sesak di dada.

Aku mencintaimu dengan sederhana
Sesederhana kata cinta
Saling menyayangi, saling melengkapi

Aku sadar bahwa sebuah cinta dapat berujung duka
Melahirkan luka, menciptakan derita

Bukan, bukan karena aku kuat menanggungnya
Hanya saja aku percaya, luka adalah cara Tuhan memberikan ketabahan
Cara cinta menunjukkan jalan bahagia sesungguhnya

Kecupanmu pada dia menjadi penerang mataku
Menyadarkanku pada satu hal
Bahwa cinta adalah sesuatu yang sangat berharga
Yang akan kujaga sepenuh jiwa
Dan itu bukan untukmu

Sebuah tangisan menjadi penutup malam. Sebuah requim penutup lembaran kisah dengan Brahma, lelaki yang kucintai dan juga yang menorehkan luka terdalam di hatiku. Kututup buku coretanku. Buku yang penuh akan setiap curahan hati yang tak terdengar, buku yang penuh akan sajak-sajak yang menggambarkan isi perasaanku ke Brahma. Dan sajak tadi menjadi sajak penutup yang kutulis untuknya

***

Buang semua puisi, antara kita berdua

"Bi, tolong bawain tong ke sini yah," ucapku kepada Bi Yuni. Sore ini cuaca sangat teduh. Awan tebal bergerak pelan mengikuti arah angin, warna biru cerah memenuhi langit. Aku duduk di beranda, menikmati hembusan angin sepoi yang kadang bertiup ke arahku.

"Ini tongnya, Non," kata Bi Yuni kepadaku seraya menyerahkan tong bekas cat yang sedikit berdebu, "memang buat apa yah, Non? Kok tumben-tumbenan minta diambilin tong," tanya Bi Yuni seperti penasaran.

"Oh ini," ucapku seraya mengarahkan pandangan ke tong tersebut. "Buat bakar ini, Bi." Aku memperlihatkan benda yang sejak tadi ada di tanganku.

Bi Yuni terlihat sedikit kaget saat melihat benda yang ingin kubakar sesaat lagi. "Non, Non Pia serius mau bakar buku itu, Non?" tanya Bi Yuni. "Bukannya itu buku hadiah ulang tahun dari Den Brahma? Dan juga buku yang sering Non Pia tulisin sesuatu di sana?"

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan-perkataan Bi Yuni.

"Maaf Non, bukan bibi lancang. Tapi bibi pernah liat isi buku itu. Di buku itu juga banyak foto-foto Non Pia sama Den Brahma juga kan? Kenapa buku itu mau dibakar, Non?"

Senyumku mengecut saat mengingat-ingat kembali isi di dalam buku yang kugenggam ini. Dalam hati kecilku, kesedihan seperti ingin bermekaran kembali. "Nggak apa-apa, Bi. Sekarang buku ini udah nggak spesial dan penting lagi kok," ucapku pada Bi Yuni. Hal yang juga menjadi penguat hatiku, agar airmata tak lagi menetes untuk Brahma.

"Oh gitu yah, Non. Padahal sayang banget kalau dibakar."

"Bi, tolong ambil minyak tanah sama korek api."

Bi Yuni langsung menuju dapur setelah mendengar pintaku, tak lama dia keluar dengan korek api batang dan dirigen kecil berisi minyak tanah. "Ini, Non."

"Makasi ya Bi, bibi udah boleh ke dalam sekarang," ucapku mengusir Bi Yuni secara tak langsung. Aku tak mau ketetapan hatiku untuk membakar buku ini menjadi goyah kembali.

Kulempar buku yang kugenggam ke dala tong, lalu kusiramkan minyak tanah ke dalamnya. Kuhidupkan korek api batang dan kuleparkan ke dalam tong berlumuran minyak tanah. Seketika api menyambar dan menjilat-jilat buku yang ada di dalamnya. Selamat tinggal. Semoga kenanganmu pun menjadi abu dalam pikiranku, ucapku membatin saat melihat lidah api mulai melumat buku tersebut dan mengubahnya menjadi lembaran abu.

***

"Pia, tolong dengar penjelasanku," ucap Brahma saat bertemu dengannya di kantin fakultas. Dia mencengkeram tanganku saat aku berusaha menghindarinya. Bukan karena takut, tapi diriku sudah muak bertemu dengannya. "Apa yang kamu lihat waku itu hanya salah paham."

"Kamu bilang salah paham? Aku nggak buta. Aku liat kamu cium Silvia. Sahabatku sendiri!!" Emosiku tak terbendung. Suaraku mengencang dan membentak Brahma. "Silvia sudah cerita ke aku. Bagaimana kamu mengejar dia. Bagaimana kamu membuainya dengan rayuanmu. Dan kamu bilang itu semua cuma salah paham?"

"Okey, aku tahu aku salah. Aku minta maaf, Pia. Aku khilaf, aku sadar aku salah." Kulihat mimik wajah Brahma yang seperti mengiba maaf, terlihat menyedihkan. "Aku sadar banget sudah ngecewain kamu. Tapi aku masih cinta sama kamu, Pia. Aku nggak bisa gitu aja lupain kam-"

Plak!! Sebuah tamparan keras dari telapak tanganku mendarat mulus di pipinya. "Makan itu cinta. Berdoa sama Tuhan agar kamu lupa siapa aku. Lupa siapa saja yang sudah kamu sakiti, dan aku pun akan berdoa agar kamu tak lagi dalam ingatanku."

Aku berjalan meninggalkan kantin fakultas, meninggalkan Brahma yang diam menanggung malu. Tatapan mahasiswa-mahasiswi lain tersorot padanya. Tamparanku di pipinya menjadi tontonan gratis di kantis fakultas pada siang ini.

Sadarkan aku Tuhan, dia bukan milikku
Biarkan waktu, waktu, hapus aku

Aku berdoa pada Tuhan, agar menghapus ingatanku tentang Brahma. Dalam dada, sesak kurasa, tapi setidaknya tamparan tadi cukup melampiaskan sedikit kekecewaanku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar