Jumat, 28 Desember 2012

Terlalu Fiksi


Malam ini sunyi memeluk hati jiwa-jiwa yang sedang cemas dan gelisah. Di sebuah beranda rumah, duduk sepasang anak Tuhan yang saling diam dalam keterasingan.

Secangkir kopi dan segelas teh yang sudah mendingin menjadi sepasang hiasan di atas meja bundar, yang membatasi jarak di antara dua insan tersebut. Dalam diam, sepasang kekasih itu diam-diam meriuhkan kecemasan yang ingin segera dicurahkan.

"Ketika kita memutuskan untuk memulai, bukankah kita sudah siap dengan keadaan yang seperti ini?" ucap kekasih perempuan kepada kekasih lelakinya. "Tama, aku yakin kita bisa."

Tama masih larut dalam keheningan. Lelaki itu tetal diam, sementara dalam benaknya sebuah debat sedang terjadi; antara dirinya dengan bagian dirinya yang lain.

"Bukankah kita saling mencintai?" tanya kekasih perempuan itu kepada Tama.

Tama membuka kelopak matanya, dia menghembuskan nafas sebelum mulai berkata. "Ya, benar. Aku dan kamu saling mencintai. Aku tidak pernah memungkiri hal itu. Bahkan hingga malam ini, rasa cinta kepadamu tak berubah. Masih sama seperti hari sebelumnya."

"Lalu kenapa?"

"Kirana, terkadang ada hal-hal yang tidak akan mampu kita sebrangi hanya dengan sebuah keyakinan saja," ucap Tama kepada kekasihnya. Dia mengamit jemari kekasihnya itu. "Aku sudah meyakini hatiku berkali-kali, berharap, sebuah perpisahan bukanlah jawaban dari permasalahan yang kita hadapi."

"Lalu kenapa?" tanya Kirana kembali. Suara terdengar lirih dan bergetar. Terlihat perempuan itu menggigit bibir bawahnya. Mencoba menahan getir di hatinya agar tak pecah menjadi air mata.

Malam semakin terasa sunyi. Padahal jarum jam masih menunjukkan pukul 8 malam. Waktu seolah melambatkan lajunya untuk memberi waktu yang lebih lama pada keheningan dalam pembicaraan Tama dan Kirana.

"Karena terkadang, kenyataan menjadi tembok tinggi yang tak akan pernah mampu kita panjat. Atau menjadi jurang pemisah yang tak akan bisa kita sebrangi. Terlalu sulit."

"Aku selalu percaya, selama kita yakin dan percaya, kita dapat melakukan hal apa saja, yang sulit sekalipun."

"Kirana, sadarkah kamu, kalau kisah kita terlalu dipaksakan. Dan sayangnya, kita hidup dalam kenyataan, yang tidak semua hal yang kita inginkan akan kita dapatkan," ucap Tama kepada Kirana yang mulai meneteskan airmata.

Kenyataan adalah musuh terberat dari semua impian, harapan dan keinginan. Kenyataan pun adalah pembunuh terhebat dari setiap cita-cita yang akhirnya mati dan tak terwujudkan, menjadi makam dari seluruh hal yang sering diidam-idamkan.

Dalam diam, benak Tama mengulang-ulang kejadian beberapa hari terakhir yang dialaminya. Penolakan-penolakan terus terjadi dan tak sanggup dia redakan. Di ujung perdebatan yang terjadi dalam beberapa hari itu, sebuah pilihan harus dia lakukan. Dan memilih tak selamanya mudah.

"Ayah nggak setuju. Kalau kamu tetap dengan keinginanmu. Pergilah, dan jangan ingat ini adalah rumahmu."

Masih terngiang jelas dalam kepala Tama, suara nyaring ayahnya yang membentak dirinya tersebut dua hari yang lalu. Perdebatan sengit dengan semua argumen yang dibawa oleh Tama tak berhasil, dan tak menjadi apa-apa.

"Tapi, aku cinta dengan Kirana."

"Tak ada cinta dalam hal seperti ini. Kalian berbeda. Tak sama. Ada batas-batas yang tak akan pernah bisa dilanggar, yaitu agama."

Tama memejamkan matanya. Ingatan-ingatan itu selaksa pisau yang mengiris jiwanya secara perlahan. Melumat keyakinan hubungannya dengan Kirana dengan pasti.

"Tama," ucap Kirana sesunggukkan. "Aku cinta sama kamu. Kamu tahu hal itu lebih baik dari siapa pun." Kirana mengusap airmata yang mengalir dari kedua bola matanya. Pipinya sudah dibanjiri oleh airmatanya sendiri. Airmata yang menandakan kesedihan dan ketidakberdayaan. Airmata yang menjadi penanda matinya sebuah harapan.

Tama memijat keningnya, kemudian ditangkupkan wajahnya dalam telapak tanagannya. Dia diam membisu. Sementara Kirana masih menangis dalam diam. Tangisan yang sungguh memilukan, tanpa suara tapi menciptakan kepiluan.

"Tam, bukannya lo udah sadar konsekuensinya?"

Teringat oleh Tama perkataan sahabatnya, Rudi. Tama teringat oleh celotehan-celotehan Rudi beberapa hari yang lalu saat dirinya menceritakan tentang masalah yang mendera hubungannya dengan Kirana.

Tama tertunduk saat malam itu, Rudi dengan gamblang menuturkan kata-kata yang membuatku tak berkutik. Saat itu Tama hanya dapat menelan liur yang mengering di tenggorokkanku. Sahabatnya itu memang selalu blak-blakkan dalam memberikan komentar.

"Lebih baik jujur walaupun pahit, daripada lo dapet komentar manis tapi menipu kenyataan."

Kata-kata itu selalu Rudi ucapkan kepada Tama setelah selesai menghujaninya dengan ucapan-ucapan pahit sepahit obat, tapi menyadarkan Tama pada kenyataan.

"Kirana," ucap Tama seraya memegang jemari kekasihnya itu. Sebelah tangannya yang lain mengusap pipi Kirana yang basah. Isaknya sudah mulai mereda, sepertinya Kirana sudah mulai dapat mengendalikan emosinya. "Inilah kenyataannya. Dan aku tidak dapat menolaknya. Semoga kita bahagia di masa depan kita masing-masing. Kamu akan selalu di hatiku."

Tama berdiri dari kursi, berjalan ke arah motor yang diparkir di halaman depan beranda. Tama melihat Kirana yang masih mengusap airmatanya agar tak mengalir lagi. Tama memantapkan langkahnya untuk segera pulang. Segera dihidupkan motor dan keluar dari rumah Kirana, agar kesedihannya tak semakin menjadi karena melihat Kirana yang seperti ini.

Hidup itu pilihan bukan? Tapi sayangnya tidak semua orang dapat memilih. Seperti Tama malam ini. Berpisah dengan Kirana bukanlah sebuah pilihan, tapi sesuatu yang harus terjadi. Jika ada pilihan lain, memutuskan hubungan dengan Kirana adalah pilihan terakhir yang akan dipilih Tama.

***

Tama duduk termenung di meja yang ada di dalam kamarnya. Kertas-kertas, buku dan pena berebut tempat menyesaki meja. Sebuah kertas penuh coretan aksara ada dalam genggamannya. Baru saja sebuah sajak dituliskannya, sajak yang akan digunakannya untuk acara pembacaan puisi yang diadakan seminggu lagi.

Tama membaca kembali coretan-coretan tangannya, menyalinnya kembali dengan tulisan yang lebih rapi di kertas yang lain. Lamat-lamat sesak mengisi rongga pernafasannya. Aksara yang dipilihnya hingga menjadi susunan kalimat dalam sajak ini begitu terasa ironi. Sajak yang ditulisnya seperti menceritakan kembali getir dan pedihnya sebuah cinta yang dipunyai oleh sepasang hati, tapi tak pernah dapat saling memiliki; seperti kisahnya dengan Kirana.

Malam terasa sunyi. Deru angin yang mengepakkan sayap dedaunan terasa nyaring di telinga Tama. Hening terasa mengental, Tama duduk di antara kertas, pena dan buku yang kini berserak di atas kasurnya. Dalam genggamannya terdapat sebuah buku puisi karya Agus Noor. Dilafalkannya pelan-pelan tiap baris kata dalam buku tersebut. Tama menyesapi tiap bulir kata yang Agus Noor tuliskan. Dada Tama bergemuruh setiap membaca isi buku yang seperti-dia-sekali, seolah Agus Noor menciptakan buku puisi tersebut untuknya; untuk merayakan kesedihannya.

Malam memberikan jeda pada lamunan panjang. Jiwa melolongkan kesedihan pada malam yang hening. Tama melewatkan malam dengan kenangan tentang Kirana yang tak pernah bosan dia kenang.

***

Kirana menjejerkan kertas-kertas yang sudah kumal di atas kasurnya. Di atas selimut tidurnya dia kumpulkan kembali semua kertas puisi yang sudah kumal karena sering dia baca.

Perlahan airmata menetes tanpa aba-aba. Kirana tak dapat membendung kesedihan yang ditanggungnya. Pertahanannya tak cukup kuat untuk menahan rasa kehilangan. Hatinya belum cukup belajar pada ketabahan. Hatinya belum dapat menerima sebuah perpisahan, yang sejak awal sudah dia ketahui.

Setabah apa pun hati, sebuah kehilangan tetaplah kehilangan, yang pasti meninggalkan celah pada sesuatu yang ditinggalkan. Kirana terisak saat menyadari dia tak sepenuhnya bisa merelakan Tama. Padahal sudah hampir seminggu waktu berjalan sejak malam itu. Malam yang tak pernah diinginkan oleh Tama dan Kirana, namun menjadi malam yang pasti akan datang; bahkan sejal mereka pertama kali memutuskan menjadi sepasang kekasih.

"Aku sayang kamu," ucap Tama kepada Kirana. Dia mengamit jemari perempuan dihadapannya dan mengusap lembut rambut-rambut kecil yang mencuat di samping telinga Kirana.

"Aku pun seperti itu. Tapi mungkinkah kita bisa bersama?" ujar Kirana ragu. "Ki-"

Ucapan Kirana terhenti saat sebuah telunjuk menempel di bibirnya. "Aku tahu, tapi hal itu tak menghentikan perasaanku padamu. Kita jalani saja, sampai dimana kita dapat menjalaninya." Tama tersenyum kepada Kirana. Kini wajah mereka saling berhadapan. Bola mata Kirana mencari lesungguhan di dalam bola mata lelaki yang menyatakan cintanya itu kepada dirinya.

"Sampai kapan?" tanya Kirana.

"Sampai tak ada restu yang kita dapat dari orang yang melahirkan kita," ucap Tama tegas.

Airmata semakin deras mengalir di pipi Kirana saat sekelebat ingatan saat mereka memutuskan untuk berpacaran hadir di benaknya. Kertas-kertas puisi buatan Tama kembali basah menampung airmata kesedihan Kirana.

***

"Buat ibu, nggak masalah kamu menikah dengan perempuan manapun, karena ibu percaya kamu dapat memilih perempuan yang baik untuk menjadi pasanganmu kelak. Ibu merestui," ucap Ibu kepada Tama. "Tapi, kalau perempuan itu tidak seagama dengan kamu, tidak ada restu untukmu," lanjutnya.

Tama diam terduduk di kursi. Dihadapannya ada ayah dan ibunya. Tama seperti seorang terdakwa yang dihujani fakta-fakta yang membuatnya terlihat salah; salah dalam memilih Kirana sebagai perempuan yang ingin dipinangnya.

"Kirana perempuan baik-baik dan aku mencintainya," ujar Tama kepada ayah dan ibunya.

"Jika dia tidak berbeda agama denganmu, restu dari ibu akan kamu dapatkan, 'Nak," ucap Ibu kepada Tama yang menutup wajahnya dengan telapak tangan. Kekecewan tergambar jelas di wajahnya. Tama sudah kalah. Tidak ada yang dapat dilakukannya untuk mempertahankan hubungannya dengan Kirana. Saat restu tak dapat dia dapatkan, saat itu akhir hubungannya dengan Kirana terputuskan.

Tama terbangun dari tidurnya. Bulir-bulit keringat sebesar biji jagung keluar dari pori-pori membasahi tubuhnya. Mimpi yang baru saja dialaminya sungguh menguras emosinya. Mimpi tentang kejadian beberapa minggu yang lalu itu membayangi Tama. Seolah tak lelah menghujamkan kesedihan pada dirinya.

Dilihatnya jam dinding baru menunjukkan pukul 2 pagi. Tama memutuskan untuk melanjutkan tidurnya. Sebab dia harus cukup istirahat agar penampilannya di acara bacaan puisi jam 3 sore nanti bisa maksimal. Seraya berdoa agar mimpi buruk itu tak berulang, Tama merebahkan kembali tubuhnya.

***

Kirana berjalan cepat menuju tempat acara pembacaan puisi. Diliriknya jam yang melingkari tangannya. Dia sudah telah hampit 30 menit. Semoga Tama belum tampil, batin Kirana.

Tempat berlangsungnya acara pembacaan puisi di sebuah cafe di salah satu mall terbesar di kota ini. Cafe yang letaknya ada di lantai teratas membuat Kirana melajukan langkahnya dengan cepat; berkompetisi dengan waktu.

Saat baru memasuki cafe, Kirana mencari posisi untuk melihat stage yang disiapkan untuk para pembaca puisi. Dan ketika Kirana sudah mendapatkan posisi yang nyaman, ternyata penampilan Tama baru saja akan dimulai. "Syukurlah," ucap Kirana seraya menuliskan makanan yang akan dipesannya di notes yang diberikan oleh pelayan cafe.

"Berikutnya adalah pembacaan puisi dari Pratama Putra Perdana," ucap pembawa acara mempersilahkan Tama maju ke depan stage.

Karena Kita Terlalu Fiksi

Aksara ini adalah rangkuman kisah kehidupan kita
Cerita tentang cinta, yang selalu kita jaga, agar tetap bernyawa

Kamu akan abadi bersama sajak ini
Tak mati, juga tak akan hilang dalam terbatasnya ingatan diri
Sebut saja kita sepasang tokoh cerita di dalam dunia fiksi
Dimana, tiap kisah akan berakhir bahagia adanya
Tanpa airmata, hanya tawa selaksa bahagia yang abadi dalam senyum kita

Aku abadikan memori kita dalam aksara-aksara yang bernyawa
Nyawa yang lebih kekal dari waktu, nyawa yang lebih panjang dari kematian

Aku mencintaimu. Ya, mencintaimu.
Sayangnya, hutang kita di kehidupan tak cukup lunas terbayarkan dengan rasa cinta kepadamu

Selaksa tembok karang tak sanggup tanganku daki
Serupa itu dalamnya palung kenyataan yang tak mampu kuselami

Kekasihku, ketika kamu mendengar puisi ini
Yakini satu hal dalam sanubari
Kisah ini hanyalah bagian dari fiksi yang kita.jalani
Secuil fantasi yang susah payah kita jalin rapi, dan mati oleh sebab tak dapat kita pungkiri

Kekasihku, matamu adalah taman terindah yang permah kupandangi
Disana kumanjakan diri dalam ketenangan dan keindahan yang hanya sanubari mengerti
Maka kekasihku, kenanglah kisah fiksi kita ini dalam diri
Dan bila kau rindui lagi, bacalah puisi ini
Karena kisah kita memang terlalu fiksi.

Saat Tama selesaikan membacakan pembacaan puisinya, suasana yang tadi hening mendadak jadi ramai dan riuh oleh tepuk tangan. Hampir seluruh pengunjunf cafe bertepuk tangan. Kirana pun ikut bertepuk tangan setelah pembacaan puisi selesai. Pembacaan puisi tadi menggetarkan tubuhnya. Entah sebab puisinya yang teramat indah, atau sebab dirinya menggigil karena kesedihan.

Kirana meninggalkan kursinya, berjalan ke arah Tama. Saat berhadapan dengan lelaki itu, Kirana menghunuskan pandangannya ke jantung mata Tama. Mereka berdua terdiam seraya saling bertatapan.

"Puisi yang bagus," ucap Kirana memutus keheningan.

Tam tersenyum seraya menyodorkan kertas puisi yang dibacakan tadi. "Simpanlah ini. Anggap saja puisi terakhir dariku untukmu."

"Apa yang selanjutnya kamu cari Tama?" tanya Kirana saat Tama mulai berjalan meninggalkan Kirana.

"Tidak tahu, mungkin aku akan belajar dari kesedihan, bagaimana cara jatuh cinta lagi." Tama tersenyum simpul ke arah Kirana. Meyembunyikan kesedihan yang teramat dalam ditanggungnya. Tama ingin, Kirana tak tahu seberapa tak berdayanya dia.

"Andai kita bisa mengulangnya lagi. Aku ingin hidup di dunia dimana tak ada perbedaan penafsiran agama. Sehingga tak ada pembedaan dan pelabelan agama tertentu."

Tama membalikkan badannya. "Ya, andai saja bisa seperti itu. Sayangnya itu tak pernah terjadi. Lebih baik nikmati saja jalan di depan yang penuh dengan luka itu. Semoga kita akan bahagia." Tama meninggalkan Kirana di dalam cafe. Lelaki itu pergi ke pojok ruangan dan berkumpul dengan teman-temannya yang lain.

Kirana terdiam menatap Tama. Digenggemnya erat kalung simbol kepercayaannya yang melingkar di lehernya.

Jumat, 21 Desember 2012

Pelukan yang Selalu Menemani Kesedihan

1)
Malam ini sorak sorai dunia terdengar sangat meriah
Meriuhkan sepi yang diam-diam menyusupi hati
Kesedihan, menyala terang dalam keramaian

2)
Malam ini, aku merasa begitu sedih
Seolah kesepian sedang memeluk batinku
Menularkan aura gelap yang tak mampu kulihat
Dan, airmata serta merta keluar tanpa aba-aba

3)
Sebuah sesal begitu terasa saat waktu sudah jauh berjalan
Saat masa lalu menjadi angan yang saat ingin diulang
Kemudian, kesedihan tercecap di bibir, terasa pekat pahit di lidah
Liur pun terasa serat untuk ditelan
Kesedihan, menjadi virus yang begitu melumpuhkan

4)
Ibu, apa kabarmu disana?
Aku rindu pada pelukanmu
Malam ini, kesedihan begitu terasa menyesakkan
Bolehkah aku inginkan pelukanmu lagi
Sejenak saja, agar aku dapat merebahkan kesedihanku

5)
Pelukmu adalah telaga penguras airmata
Kesedihan lesap dalam dekapmu
Aku rindu denganmu, Ibu
Aku rindu peluk hangat tubuhmu, yang sanggup cairkan kesedihan yang membekukan

6)
Malam ini, riuh lalu lalang orang di lintas maya membuatku ingin menangis
Airmata menjadi hal yang ingin kutumpahkan
Aku rindu kepadamu, Ibu
Aku rindu pelukanmu yang selalu menemani kesedihanku

7)
Segala aksara tak mampu menggambarkan kelembutan hatimu
Bahkan puisi kehilangan dayanya
Kamu adalah semestaku, yang selalu memelukku saat aku bersedih
Yang selalu mendongengkanku saat airmata masih mengalir ketika aku siap dengan baju tidurku
Dongengmu adalah mantera penenang tidurku
Dan pelukanmu, Ibu, hal yang selalu menemaniku saat larut dalam kesedihan

8)
Aku rindu kamu, Ibu
Semoga nanti, aku dapat memelukmu lagi, untuk rebahkan segala dukaku.

Kamis, 06 Desember 2012

Drama Tiga Babak: Babak Pertama

Rima duduk di beranda, teh yang diseduh Byan untuknya sudah mulai mendingin tanpa tersentuh. Sejak tadi, perempuan itu duduk, sibuk memandangi lagi yang kelabu, seperti warna di langit hatinya saat ini.

Byan pun sama, matanya tak melepaskan diri pada sosok Rima yang duduk tanpa bergerak sedikitpun. Sesekali Byan menghela nafas panjang dan mendesah keras, hal yang harus dilakukan agar sesak di dalam dadanya tak terlalu pekat. Tatapan matanya bias, antara iba, sedih dan kecewa.

Dalam sebuah hubungan, kesedihan akan selalu dirasakan oleh dua pihak yang sama-sama menjalaninya, hanya saja kadarnya tidak pernah sama. Seperti hal yang Byan dan Rima alami, kesedihan, tak pernah bernilai ganjil, sebab ada dua yang merasakannya. Hanya saja, rasa penyesalan seringkali membuat diri menyalahkan diri sendiri dan ingin menanggung segala kesedihan itu seorang diri.

"Rima," panggil Byan pelan kepada istrinya. Rima menolehkan kepalanya ke arah Byan. Seketika, sesak kembali dirasakan Byan. Dia mendapati tatapan asing dari kedua bola mata Rima. Hal yang selalu dirinya takutkan, saat Rima kehilangan pancaran mata yang selalu dikaguminya. Seolah, kesedihan sudah menelan habis semua binar yang selalu terpancar dari bola mata istrinya itu.

Rima diam saja. Dia kembali memandangi langit yang semakin menggelap, seolah siap memuntahkan isi perutnya ke bumi. Byan menelan ludah, ditelannya kembali semua kata-kata yang ingin dia ucapkan. Tatapan mata Rima yang kosong telah memberangus semua aksara yang akan dilontarkan bibirnya, ikut lenyap dalam kesedihan.

Suara guntur di langit mulai terdengar, menggaduhkan kolong langit. Dan, petir ikut muncul, menggelontorkan kilatnya yang menyilaukan. Keduanya seolah ingin ambil bagian dalam drama, seolah meramaikan suasana, mencairkan kesedihan yang terlanjur membekukan hubungan Rima dan Byan. Padahal, suara guntur dan kilat petir hanya menambah muram suasana, menjadi simfoni pemantik duka, pengekal kesedihan.

"Masuklah, sebentar lagi hujan akan turun dengan deras," ucap Byan kepada Rima. Dia berusaha membujuk istrinya itu untuk masuk ke dalam rumah, sebab perlahan, gerimis sudah mulai turun dengan intensitas yang semakin meningkat. "Kondisi tubuhmu masih sangat lemah. Masuklah, agar kondisimu tak semakin memburuk," bujuk Byan kembali.

Rima bangkit dari kursinya, melangkah masuk ke dalam ruangan, dalam diam, tanpa ada kata-kata, tanpa ada ekspresi; seperti mayat hidup. Lalu dia duduk di bagian paling dekat dengan jendela. Disibakkannya tirai penutup jendela, agar dia dapat melihat langit yang sudah gelap. Rintik-rintik hujan mengetuk jendela, seolah memanggil Rima agar ikut bermain bersama mereka.

"Kata orang, hujan adalah cara Tuhan menyampaikan kesedihan orang-orang yang menahan kesedihan mereka dalam diam." Rima tiba-tiba berbicara. Bukan kepada siapa-siapa, seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri.

Byan yang berdiri di belakang Rima tak berkata apapun. Dia hanya mendengarkan monolog yang dilakukan Rima. Seolah sudah memaklumi hal tersebut. Dia hanya memandangi Rima, dalam diamnya, Byan meng-iya-kan ucapan Rima. Mungkin Tuhan sedang menyampaikan kesedihanku.



*Ini salah satu scene dalam cerita Immortal Mother yang sedang ditulis*

Minggu, 25 November 2012

Surat Untuk Guru : Hallo Pak Jidat, Apa Kabarmu?

Hallo Pak Jidat, apa kabarmu sekarang? Semoga Bapak sehat selalu, tetap semangat dan tegas menjurus galak seperti dulu mengajar saya.

Saya ingat pertama kali bertemu Bapak di kelas X. Di mata pelajaran ekonomi yang sebelumnya sangat tidak saya sukai. Pengalaman selama di SMP membuat saya merasa bahwa pelajaran ekonomi sangat membosankan dan membuat saya mengantuk. Saat itu, saya yang sudah setengah tidur, Bapak datangi dan omeli sebab kelakuan saya. Hal yang kemudian saya menjuluki Bapak dengan sebutan Bapak Jidat, sebab jidat anda yang cukup lebar.

Saya pun ingat dengan nilai ulangan pertama ekonomi saya yang bernilai 50, dan Bapak yang dengan gilanya memasukkan saya dalam daftar orang-orang yang akan mewakili sekolah untuk ikut dalam Olimpiade Sains Nasional mata pelajaran Ekonomi. Hal yang menjadi pertanyaan bagi saya; kenapa saya?

Lalu, saya akan selalu ingat bagaimana Bapak memotivasi saya, bahwa saya bisa. Dalam kepala saya, saya selalu teringat kata-kata Bapak. "Kamu nggak perlu menjadi yang paling baik atau nomor satu, selama kamu menjadi bagian yang terbaik, itu sudah cukup. Jalani sebaik-baiknya, dan nikmati, sesulit apapun itu."

Kata-kata itu mampu memenuhi dada saya dengan keoptimisan. Hal yang membuat saya yang masih kelas X menjadi satu-satunya wakil sekolah dalam lomba OSN tahap eliminasi perwakilan DKI Jakarta. Dan ketika terjadi insiden internal yang menyebabkan saya di diskualifikasi dari kompetisi, sebab surat pemberitahuan lanjutan kompetisi untuk saya tak pernah datang kepada saya, Bapak jadi orang pertama yang membesarkan hati saya yang saat itu mentalnya sangat jatuh. Shocked dan sangat kecewa.

Hallo Bapak Jidat, saya turut berduka cita atas apa yang terjadi pada anak pertama Bapak. Maaf saya tak datang untuk ikut ke pemakaman. Semoga Bapak diberi ketabahan dan tetap kuat.

Hallo, Bapak Jidat, melalui surat ini, saya ingin mengucapkan rasa terima kasih saya kepada Bapak. Hal yang sangat saya syukuri mengenal dan dekat dengan Bapak, sehingga banyak yang bilang bahwa saya 'anak kesayangan' Bapak di sekolah.

Saya tak akan lupa bagaimana rasanya tekanan saat menghadapi perlombaan Ekonomi yang kita ikuti, rasa bahagia saat saya memenangi perlombaan, lalu rasa kekecewaan saat kalah tipis dalam skor nilai dalam, saya ingat semua.

Saya juga ingat semua obrolan kita. Dari obrolan yang santai dengan sapaan 'Lo-Gue', obrolan ceria sampai kita tertawa-tawa, hingga obrolan serius-diskusi-debat yang kita lakukan, saya tak akan lupa.

Hallo Bapak Jidat, saya rindu hal itu. Semoga nanti, yang entah tahu kapan, saya ingin menemui kembali Bapak, dan kita akan berbicara banyak tentang banyak hal.

Terima kasih untuk obrolan menyenangkan, pengalaman berkesan, dan pelajaran tentang banyak hal, bukan pelajaran ekonomi saja, selama 3 tahun di SMA. Terima kasih.

-Ps: Muridmu yang sering mengeluh dan protes, Muhamad Hamdani Syamra.

*surat digital untuk Bapak Dede Suherman, guru mata pelajaran Ekonomi dan Akuntansi di SMA Negeri 23 Jakarta. Surat untuk memperingati hari guru.*

Rabu, 24 Oktober 2012

Lelaki Yang Jatuh Cinta Pada Luka

Senja akhirnya datang juga
Membukakan lembar jendela, yang menghamparkanku pada pemandangan masa lalu

Hari ini adalah hari aku jatuh cinta padamu
Dan dalam ingatanku, waktu tak pernah menjauhkanmu dari pikiranku
Di dalam kepalaku, terdapat secuil ruang yang menjadi kerajaan dimana kau yang menjadi ratu
Menjadi ibu dari setiap puisiku

Sore ini, langit bersinar seperti biasanya
Seperti kemarin atau setahun yang lalu ketika aku jatuh cinta
Tetap sama
Tak ada beda

Aku menjadikanmu sebagai senja kedua di dalam hidupku
Yang tak pernah berubah meski waktu berlalu
Bukan kau yang tak berubah, sebab waktu akan mengubahmu
Tapi tidak dengan kenangan tentang cinta dan luka yang lalu

Tahukah kau, bahwa jatuh cinta adalah pelajaran awal tentang terluka
Dan ketika kau jatuh cinta, kau pun akan jatuh pada luka
Dan pada akhirnya kau akan mencintai luka yang dibuat oleh cinta

Sore ini aku termenung
Dalam benakku, kini kau sedang tertawa riang
Setelah itu airmata menjadi perias, dan tangismu menjadi senangdung pilu yang aku nikmati bersama dengan tangisku

Sore ini berlalu dengan cepat
Dalam sekejap kenangan dirimu semakin merapat
Seiring gelap yang mulai mendekap langit
Gelap makin pekat

Dan ketika cahaya jingga hilang seiring waktu berlalu
Aku tersadar bahwa aku masih jatuh cinta padamu
Meski waktu telah membawa dirimu jauh dariku
Aku tetap jatuh cinta padamu, jatuh cinta pada luka yang kita torehkan bersama di waktu lalu

Senin, 08 Oktober 2012

Berpesta Untuk Diriku

Aku menganggkat gelas tinggi kepada seseorang yang ada di hadapanku. "Selamat, mari kita rayakan semua hal ini," ucapku kepada seseorang dihadapanku yang juga mengangkat gelas sejenis kepadaku. Dia ikut tertawa saat aku juga tertawa.

Seseorang dihadapanku ini hadir menemaniku sejak aku pulang tadi. Dengan setia dia menemaniku dan melakukan gerakan yang sama. Bahkan saat aku mengambil gelas dan mengisinya dengan sampagne seseorang tersebut ikut bersulang untukku.

Aku tertawa, dia tertawa. Seseorang di hadapanku ini melakukan semua hal yang kulakukan. Perlahan aku menangis saat mengingat kembali kejadian sore tadi, dan seseorang tersebut ikut menangis seolah merasakan kesedihan yang sama denganku.

"Mari kita rayakan, sebab patah hati bukan alasan untuk merasa sendirian. Iya kan?" ucapku kepada diriku sendiri yang ada di dalam cermin. Aku berpesta malam ini. Berpesta sampai tak memikirkan akan tidur jam berapa dan tidur dimana. Malam ini akan kulewati dengan pesta, pesta sebuah perpisahan, pesta perayaan untuk sebuah kesendirian, pesta dengan diriku sendiri yang dipantulkan bayangan.

Semoga Kita Bahagia

"Selamat ulang tahun kamu," ucapku pada selembar foto usang. foto diriku dengan seorang lelaki yang menenteng kue ulang tahun, dan  tersenyum sangat bahagia dalam kertas polaroid. Saat itu, aku pun terlihat bergitu bahagia, menikmati sebuah perayaan kecil yang lelaki itu rayakan.

Aku meletakkan foto usang itu di meja. Foto itu adalah foto kekasihku 30 tahun yang lalu, kekasih yang kini menjadi pasangan hidupku, suami yang begitu kucintai dan lelaki terhebat yang selalu menaungiku sejak 28 tahun yang lalu.

"Selamat ulang tahun, Sayang. Semoga kita tetap berbahagia," ucapku kepada lelaki yang ada di dalam foto usang yang tadi kulihat. Kini, senyumnya memang tak selebar dulu, namun hangat yang dipercikan dari senyumannya masih terasa kuat di hatiku.

Kamis, 27 September 2012

(Bukan) Harapan Yang Terwujud


“Karen, kamu sedang apa disini? Belum pulang?” tanya Liam kepada perempuan yang sedang berdiri di hadapannya, perempuan berpita kuning dengan kacamata yang membingkai di wajah ovalnya.
Karen menoleh ke arah Liam. “Mau pulang, ini lagi nungguin mikrolet,” ucapnya datar kepada Liam. Muka gerbang sekolah Karen dan Liam memang langsung menghadap ke jalan, sehingga siswa-siswi yang pulang sekolah bisa langsung menaiki angkutan-angkutan umum yang melintas di depan sekolah.
“Kamu bawa apa?” tanya Liam saat dirinya melihat sebuah goodie bag didekap oleh teman sekelasnya itu. “Dan, kenapa baru pulang jam segini? Tumben-tumbenan.” Liam mendekatkan motornya ke arah Karen agar lebih mudah berbicara dengannya.
“Oh ini, ini novel-novel punyaku yang dipinjam sama Andien. Baru pulang jam segini karena nungguin Andien selesai latihan paduan suara, buat ngambil novel-novel ini,” ujar Karen kepada Liam yang  sudah mematikan mesin motornya, “kamu sendiri kenapa baru pulang jam segini?”
“Abis main futsal.” Liam menyunggingkan cengiran saat menjawab pertanyaan Karen. “Daripada kamu naik mikrolet, mending pulang sama aku aja. Rumah kamu satu arah sama rumahku,” ucapku memberikan penawaran.
“Nggak usah deh, nggak enak ngerepotin kamu.”
Liam menyalakan kembali mesin motornya. “Udah nggak apa-apa. Ayo naik, ini kamu pake,” ucap Liam menyodorkan helm berwarna biru kepada Karen. “Ayo, nanti keburu Magrib.”
Matahari sudah mulai meredupkan sinarnya. Semburat jingga hampir padam dan matahari akan seutuhnya tenggelam di batas cakrawala. Di tengah deru bisingnya suara kendaraan yang saling bersahutan, Liam memacu kendaraannya melewati celah-celah yang diciptakan oleh mobil, motor dan angkutan umum yang sedang berebutan tempat di jalanan.
“Kalau kamu tetap naik mikrolet, bisa-bisa kamu baru sampai rumah abis Magrib, Ka,” ujar Liam kepada Karen yang diboncengnya. Karen merapatkan tubuhnya pada Liam, dan melingkarkan tangannya di pinggang teman sekolahnya itu–takut jatuh.
“Iya, makasi yah udah nganterin,” ucap Karen, “aku nggak biasa pulang sesore ini sih.”
“Rumah kamu dari pertigaan di depan lewat mana?” tanya Liam pada Karen. “Soalnya aku cuma pernah liat kamu turun dari mikrolet di pertigaan di depan sana.”
“Lurus, Li. Nanti putar balik dan belok ke kiri. Rumahku masuk ke dalam jalan kecil.”
“Oh oke,” ucap Liam pertanda mengerti.
***
“Liam makasi ya,” ucap Karen kembali mengucapkan terima kasih kepada Liam saat mereka sudah sampai di depan rumah Karen.
“Nggak apa-apa, santai aja. Yaudah, aku pulang sekarang yah.”
Liam menghidupkan kembali motornya dan segera melesat dengan kecepatan standar. Dari kaca spionnya dia melihat Karen yang melambaikan tangan kepadanya. Liam tersenyum saat melihat pantulan Karen yang diselimuti cahaya senja. Terlihat lebih menarik untuk dipandang.
***
“Karen,” panggil Liam kepada perempuan yang melintas di depannya. Wajahnya menunduk dan tak menghiraukan hal lain di sekitarnya, seperti sedang larut dalam pikirannya sendiri. “Bengong aja kalau jalan. Lagi mikirin apa sih?”
“Hey Liam.” Karen seperti terkejut saat dipanggil oleh Liam. “Oiya, kamu besok ikut kumpul sama teman-teman yang lain?” tanya Karen kepada Liam yang sedang duduk-duduk santai di bawah pohon yang ada di taman sekolah.
“Ikut,” ucap Liam tersenyum, “kamu juga ikut kan?”
Mimik di wajah Karen berubah menjadi muram. “Kayaknya nggak deh, Li”
“Lho, kenapa?” tanya Liam sembari membenarkan posisi duduknya. “Ikut aja, acaranya bakal seru kayaknya. Sayang lho kalau nggak ikut.”
“Acaranya sore sih, dan tempat acaranya agak jauh. Ditambah aku nggak tau tempat acaranya dimana, dan nggak ada barengan.” Karen terus menjabakan alasan-alasan  yang membuatnya memutuskan tidak ikut dalam acara kumpul bersama teman-teman sekolahnya.
“Yaelah, ikut aja.”
“Nggak berani, Li. Kalau acaranya sampai malam, gimana?”
“Aku yang anterin kamu. Nanti aku jemput kamu juga deh, biar kamu nggak ribet buat ke tempat acaranya. Gimana?”
“Beneran?” tanya Karen kepada Liam.
“Iya,” ucap Liam tegas seraya tersenyum. Senyum yang membuat Karen ikut tersenyum karenanya.
***
Seperti yang diucapkan oleh Liam, acara berjalan dengan seru. Tawa dan canda bertaburan selama acara. Keheningan hanya menjadi jeda selewat saat Liam dan teman-temannya lelah tertawa, sebelum dilanjutkan lagi oleh temannya yang lain.
“Kenapa kamu nggak ikut ngumpul di dekat teman yang lainnya?” tanya Liam yang menghampiri Karen.
Karen menyelesaikan tegukannya sebelum menjawab pertanyaan dengan gelengan kepala.
“Sayang lho kalau cuma diam doang,” ucap Liam tersenyum, “Ke sana yuk,” ajak Liam seraya mengamit jemari Karen yang membuat perempuan itu sedikit salah tingkah dalm tersipu malu.
Karen berjalan di samping Liam menuju kerumunan. Karen yang pemalu memang jarang ikut kumpul bersama teman-teman sekolah dan cenderung menjaga jarak. Berkat Liam, dia mengakrabi dirinya dan dalam waktu singkat bisa mencairkan kekakuan yang selalu dialaminya saat berkumpul dengan teman-teman lainnya.
***
“Liam, sekali lagi makasi yah,” ucap Karen saat dirinya sudah berada di depan pintu rumahnya.
“Iya, ngga apa-apa kok, biasa aja. Aku pulang yah, udah malam,” ucap Liam kepada Karen.
“Makasi ya, Nak Liam, sudah jemput dan nganter pulang Karen.”
“Iya tante. Saya pamit ya tante,” ucap Liam kepada ibunya Karen, seraya berpamitan.
“Liam anak yang baik dan sopan yah.”
“Iya, Ma,” ucap Karen kepada ibunya saat kedua ibu dan anak itu melihat Liam yang sudah melajukan motornya dalam gelap malam.
***
“Kamu mau pergi ke acara Sosial Media Festival juga? Wah sama dong, aku nanti sore juga mau ke sana,” ucap Liam kepada Karen saat mereka tak sengaja berpapasan di lorong menuju kantin dan mengobrol. “Kamu kesana sama siapa? Sendiri?”
“Sama Andien,” ujar Karen. “Kamu kesana sama siapa?”
Terdengar bunyi bel pertanda masuk, jam istirahat telah berahir. “Sampai ketemu sore nanti yah,” ucap Liam seraya bergegas masuk ke dalam kelas. Beberapa murid yang masih di kantin pun terlihat buru-buru masuk ke kelasnya masing-masing, termasuk Karen.
***
Aku terpukul jatuh
Saat kau mengajakku
Saat kau kenalkanku
Pada pacar barumu

“Hai Karen, Andien,” panggil Liam saat melihat kedua temannya di salah satu stand akun jejaring social yang berpartisipasi dalam acara.
“Hai, Li–” ucap Karen terputus saat melihat perempuan yang berdiri di samping Liam. Perempuan berambut lurus sepanjang sebahu yang mengamit lengan Liam.
“Ah iya, kenalin, ini Gita,” ucap Liam seraya mengenalan perempuan di sampingnya.
“Hai, aku Gita.” Andien dan Karen menjabat tangan Gita dan ikut memperkenalkan diri.
“Kamu?” tanya Andien menggantung seraya melirik kepada Liam.
“Aku pacarnya Liam,” ucap Gita seraya tersenyum simpul.
“Andien, ayo kita pulang sekarang,” ujar Karen seraya menarik lengan Andien.
“Lho, mau kemana? Buru-buru banget.” Liam berucap dengan suara agak kencang, sebab Andien dan Karen sudah menjauh.
“Dasar lelaki,” gerutu Andien kepada Karen yang sudah mengusap airmata yang menetes di pipinya.     
Aku sekuat hatiku
Tak boleh bersedih
Tak boleh menangis
Dan harus kau tahu
Jika boleh jujur
Ingin kupukul pacarmu

Tipe-X – Saat-Saat Menyebalkan

Selasa, 25 September 2012

Kamu Selalu Ada

Hujan turun dengan deras, bersama kilatan-kilatan petir, sore ini aku terkurung dalam kamar. Tak banyak yang dapat kulakukan ketika hujan kecuali berdiam diri, walau terkadang jemari iseng mencoret-coretkan aksara dalam lembaran kertas kosong.

Hai, kamu apa kabar
Melupakanmu sangatlah tidak mudah
Walau kini aku tak tahu dimana kamu berada, hatiku selalu mengatakan bahwa kamu baik-baik saja

Hari ini sedang hujan, dan seperti biasa, aku selalu mengingatmu
Tetangmu selalu mengalir deras dalam ingatanku kala hujan turun dengan buasnya
Hujan dan kenangan tentangmu selalu melekat dalam ingatan dan tak terpisahkan

Aku tak pernah menolak keberadaanmu dalam pikiranku
Tentangmu selalu menyenangkan untuk dikenang
Walau terkadang, aku tak mengerti mengapa aku tak bisa melupakanmu

Sudahlah, sekarang mari nikmati saja hujan yang turun sore ini
Dengarkan saja, alunan nada yang dihasilkan oleh deru yang kamu gemari
Dan rasakan ketenangan dan keheningan yang ditawarkan oleh keriuhan saat hujan turun

Aku tersenyum saat kembali saat membaca kembali tulisanku. Tulisan yang isinya hampir selalu sama kala aku menulisnya ketika keadaan di luar sedang hujan. Tulisan tentang lelaki yang dulu kucintai. Lelaki yang dulu sangat menyukai hujan.

Aku meletakkan pena dan menutup buku tersebut. Lalu jemariku dengan lihai memegang sebuah bingkai foto yang ada di atas meja. Bingkai yang berisi foto lelaki itu, lelaki pecinta hujan yang selalu menjadi subjek yang kutuliskan.

"Semoga kamu baik-baik saja di Surga. Semoga disana juga turun hujan, sehingga kamu dapat tersenyum paling indah," ucapku pada mantan kekasih yang sudah tenang di alam sana.

I can see you, if you're not with me
I can say to myself, if you're okay
I can feel you, if you're not with me
I can reach you myself, you show me the way

Bondan - Not With Me

Rabu, 19 September 2012

Kenangan Tentang Kamu, Hujan


Seperti sebuah kotak musik yang tidak akan berhenti memainkan musik ketika dibuka, begitupun kita yang akan terus menganga saat melihat tetesan-tetesan air perlahan-lahan turun ke bumi. Membasahi tanah dan menimbulkan aroma khas yang selalu kita nanti.


Aku masih teringat saat melihatmu duduk di pinggir jendela sambil memainkan bulir-bulir air yang menempel disana. Raut wajahmu begitu sedih, padahal hujan tengah turun saat ini. Membasahi bumi yang tengah kering, dan mendinginkan suasana yang tengah panas. Melihatmu seperti itu membuatku khawatir, dan dengan segenggam keberanianku aku menghampirimu untuk bertanya.

“Kenapa kamu terlihat begitu sedih, Putri?”
Kamu hanya menggeleng lemah dan menghela napas panjang perlahan. “Aku tidak sedih, Pang. Aku justru senang karena hujan akhirnya turun. Setidaknya aku masih bisa mencicipi bau tanah yang bercampur air seperti ini yang sudah lama kunanti. Petrichor. Namun sayangnya, aku tidak bisa bermain hujan. Pelajaran di kelas ini membuatku terkekang. Aku ingin bermain-main dengan hujan.”
Aku menarik tangannya. “Ayo kita bermain-main dengan hujan. Aku akan menemanimu, Putri.”
Kamu hanya terheran-heran tapi tidak melepaskan tanganku yang masih tergenggam di pergelanganmu. Lalu aku mengajakmu untuk keluar kelas, dan kita berlari menembus hujan di tengah lapangan sekolah. Aku berjingkrak-jingkrak, berputar-putar menikmati setiap air yang membasahi tubuhku. Awalnya kamu hanya diam mengamati, setelah melihatku melakukannya, kamu pun mengikuti. Kita menari-nari di tengah hujan tanpa peduli bayang pasang mata yang memandang aneh ke arah kita. Sebelum akhirnya, kita berdua diteriaki oleh guru BP untuk berhenti kemudian beliau meminjamkan kita sebuah seragam untuk menggantikan seragam kita yang sudah basah hingga menempel ke lekuk tubuh kita.
Kita, atau mungkin kamu yang lebih banyak kadarnya adalah sosok pecinta hujan. Hujan dan kamu seperti layaknya sebuah sahabat, katamu dulu waktu aku sempat bertanya kenapa kamu begitu menggilai hujan. Ketika kamu sedang merasa sedih, hujan selalu menghamburkan derasnya, dan menghapus kesedihanmu hingga membuatmu merasa begitu teduh. Kamu senang berbaur dengan hujan, apalagi saat mendengar bel pulang sekolah dan hujan masih menggenangi kota kita. Tanpa ragu kamu akan berlari dan menembus hujan itu. Sendiri atau bersamaku yang menemani.
Aku masih teringat saat kita memiliki nama panggilan yang begitu melekat akan sosokmu. Putri Hujan. Kemudian, kamu memanggilku dengan Pangeran Petir, karena aku memang menyukai alunan suara petir yang menggelegar. Seperti sebuah irama musik yang berdentum tak terduga dan begitu bebas apa adanya.
Putri Hujan dan Pangeran Petir. Itulah kita. Yang berbahagia. Di atas alam semesta cinta.
*
Kebahagiaan itu ternyata tidak berlangsung begitu lama. Putri Hujan dan Pangeran Petir tidak bisa berlama-lama menjalani suka cita. Terlalu banyak hal dalam hidup yang begitu menjadi misteri, termasuk mati.  Begitu banyak yang sebenarnya masih ingin aku bagi denganmu, Putri. Bukan hanya kebahagiaan melihat rinai-rinai hujan yang jatuh perlahan, atau kesedihan saat tangisanmu pecah ketika aku melakukan kesalahan. Membuat hujan di dalam hatimu.
Aku sempat berkata kepadamu, tentang Hujan dan Petir yang tidak pernah bisa berpisah jauh. Tanpa petir, hujan hanya seperti seseorang sedang menyiramkan air kepada tanah-tanah yang kering. Tanpa petir, hujan hanyalah pencipta dari segala suasana yang begitu hening dan dingin.
Maafkan aku Putri, yang tidak bisa menepati janji. Tuhan sudah menggariskan tanganku untuk tidak bisa lama-lama bersamamu. Umurku hanya sebentar, dan sayangnya hujan sendiri yang mengantarkan kepergianku. Aku harap jangan hanya hal itu lantas kamu akan membenci hujan dan petir. Jangan sayang, karena hujan dan petir adalah simbol keberadaan kita.
*
Sore ini langit menggelap. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun, dari tadi suara gemuruh petir berkumandang. “Suasana yang tepat sekali,” gumammu.
 “Halo, Pangeran Petir. Apa kabarmu? Tidak terasa sudah lima tahun terlewati setelah perpisahan kita. Perpisahan yang tidak kita inginkan,” ucapmu seraya melangkah mendekati nisanku.
Diam-diam aku senang memerhatikanmu dari tempatku saat ini. Tentang kesetianmu selama lima tahun ini untuk mengunjungi rumah baruku.
“Aku ingin mengabarkan berita baik padamu. Bulan depan aku akan menikah dengan kekasihku saat ini. Dan sepertinya aku tidak akan dapat menemuimu setiap bulan seperti sebelumnya.” lanjutmu.
Putri, aku senang mendengarkan kabar baik itu. Aku tidak ingin merenggut kebahagiaanmu atas ketiadaanku ini. Kenangan tentang kamu, Putri Hujan jauh melebihi apapun yang aku miliki ketika aku masih hidup selama ini.
Putri, aku senang mendengar kabar baik itu. Tidak usahlah kamu bersedih, karena aku aku akan merengkuhmu dalam bayangmu atau dengan petir yang menemani hujan yang turun ke bumi.
_
Bandung, 18 September 2012

 ) yang merupakan lanjutan cerita Aku, Kamu, Hujan dan Petir*

Selasa, 18 September 2012

Aku Dan Kamu Bukan Kita

1)

Andaikan tidak pernah ada kata andaikan dalam kehidupan ini
Kita takkan pernah susah payah menahan sakit di dada, pada sesuatu pada kenangan di masa silam
Untuk mengingatmu saja, ribuan luka tertoreh di dalam dada

2)

Disini, malam dengan seribu kenangan
Aku merenungi sebuah rekaman ingatan di masa silam
Nanti-nantikan sebuah penantian yang tak akan datang

3)

Kita hanyalah sepasang hati yang terlalu penuh harap dan angan. Tapi,
Angan hanyalah menjadi sebuah harapan. Sebuah layar yang tak pernah terkembang
Mimpi pun cuma menjadi pemanis saja. Bunga tidur yang sukse membuaikan lelap
Untuk menyenangkan hati, dengan rela kita terluka untuk menjaga agar harap tetap ada

4)

Benarkah? Harap, keinginan, angan dan kata-kata busuk semacamnya hanya pengawal duka?
Uraikan setiap memori indah menjadi pisau-pisau kecil yang tajam dan merobek perasaan
Kalau memang iya, sebutlah aku pengagum luka. Sebab kenangan itu selalu kujaga
Atau sebut saja aku penggila duka
Nestapa pun rela kurasai agar anganku memilikimu tetap terjaga

5)

Kemarin aku melihatmu dengan kekasihmu
Indera penglihatanku membangunkanku dari segala ilusi dan pengharapan
Terbangun aku aku dari mimpi manis memilikimu sebagai kekasihku
Andaikan kata andaikan tidak pernah ada, mungkin aku takkan pernah sesakit ini mencintaimu, masa laluku.

Bukan Keledai


Aku berdiri memandangi poster calon pemimpin masa depan di kotaku ini. Senyumnya yang ceria seolah menyiratkan dirinya sangat percaya diri dapat mengelola semrawutnya tata kelola kota ini. Aku menyunggingkan senyum, senyum pahit yang merepresentasikan hatiku.
“Wis, kamu bakal milih Ndak?” tanya Kusno yang berdiri disampingku.
“Pasti milih, Kus. Masa depan kota ini ada di tangan para pemimpinnya. Dan jangan sampai semakin salah urus. Permasalahan udah banyak, kalau sampai dipimpin sama yang nggak becus, bisa makin salah urus. Makin susah kita nanti.”
“Kamu bakal pilih calon yang ini? Calon incumbent kita ini.” tanya Kusno menunjuk poster salah satu calon pemimpin yang aan dipilih seminggu yang akan mendatang.
“Gaya kamu, Kus, sok-sokan pake istilah incumbent. Kayak ngerti aja kamu. Tapi, sepertinya aku nggak milih dia, Kus.”
“Lha, kenapa? Dia kan putra daerah, satu daerah sama kamu. Seiman pula, udah gitu dia pengalaman pula di pemerintahan.”
“Pemimpin itu bukan masalah putra daerah atau satu iman, Kus. Percuma putra daerah kalau nggak tahu permasalahan yang dihadapi oleh daerahnya. Percuma satu iman kalau justru dzalim. Percuma juga berpengalaman kalau tetap nggak becus ngurusin pemerintahannya.”
“Kok kamu kayaknya nggak suka banget sama calon pemimpin kita yang satu ini, Wis.”
“Aku nggak suka sama calon yang satu ini bukan karena alasan subjektif dan yang dibuat-buat, Kus. Kamu liat aja sekarang. Ruang terbuka makin sedikit. Mall sama apartemen? Makin banyak, kayak jamur. Terus jalanan. Kemacetan nggak berkurang, justru makin macet. Pengelolaan angkutan umum aja berantakan,” ucapku sedikit menggebu-gebu.
“Ya, tapi kan ada positifnya juga Wis. Buktinya dampak bencana banjir berkurang. Itu proyek penanggulangan banjirnya kan pas masa kepemimpinan beliau?” ujar Kusno.
“Iya, tapi itu bukan proyek pemerintahannya dia. Itu proyek negara, biayanya juga ditanggung sama negara, bukan pemerintah daerah.”
“Jadi kamu bakal pilih calon pasangan yang satunya lagi, Wis?”
“Sepertinya begitu, Kus.”
“Kan belom ketauan dia bisa memimpin kota kita ini atau nggak.”
“Ya mending lebih baik aku pilih yang belum tentu bisa memimpin daripada pilih orang yang sudah jelas tidak bisa memimpin, Kus. Seenggaknya masih ada harapan untuk perubahan yang lebih baik.”
Kusno terdiam. Dia seperti memikirkan kata-kataku. “Wisnu… Wisnu, ya terserah kamu. Setiap orang punya penilaian sendiri-sendiri,” ucap Kusno, “Yasudahlah, lebih baik kita kembali kerja. Nanti keburu sore.”
“Kamu sendiri bakal pilih siapa, Kus?” tanyaku pada Kusno yang mulai berjalan.
“Aku nggak milih, Wis.”
Aku memasang raut wajah bingung. “Nggak milih? Kamu golput, Kus?” tanyaku seraya berjalan menyusul Kusno.
“Nggak.”
“Lalu?”
“Aku nggak masuk daftar pemilih Kus, perkampunganku nggak masuk dalam daftar pemilih. Hampir semua yang tinggal disana nggak punya hak pilih. Yah, pemulung kayak kita, nggak dianggap punya hak suara sepertinya, Wis.” Terdengar suara Kusno melirih. “Sudahlah, Wis. Kita ini cuma pemulung, nggak usah ketinggian bicarakan politik. Kita bukan siapa-siapa. Daripada kelamaan ngobrol, mending kita lanjut mulung. Isi punyaku masih belum penuh nih. Harus penuh sampai pulang nanti, kalau nggak duit yang didapat bakalan kurang.”
Aku terdiam mendengar ucapan Kusno. Segera kugendong kembali  keranjang sampah di punggungku. Mungkin benar kata-kata Kusno, sepertinya aku terlalu tinggi membicarakan politik. Sementara aku ada di lapisan terbawah. Tapi, demi masa depan yang lebih baik, aku akan mempergunakan hak milikku dengan baik saat pemilihan minggu depan. Sebab aku bukan keledai yang akan melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya, mempercayakan masa depan kotaku ke orang yang sudah jelas tak bisa mengurusnya.

Ini masalah kuasa, alibimu berharga
Kalau kami tak percaya, lantas kau mau apa?

Ini mosi tidak percaya, jangan anggap kami tak berdaya
Ini mosi tidak percaya, kami tak mau lagi diperdaya           

Efek Rumah Kaca – Mosi Tidak Percaya

Minggu, 16 September 2012

Tentang Lelaki yang Mencintai Lautan



1)

Kau adalah lautan terdalam

Sesering apapun kuselami tubumu, tetap tak kutemukan dimana dasar hatimu

Sedalam apapun, hingga mungkin kau bosan

Tak juga dapat kujejaki palung dirimu

Apakah sedalam itu keenggananmu?


2)

Kau menyebutnya luka, sementara aku?

Bagiku tak ada beda antara luka dan cinta

Sebab aku hanya mengenal dirimu

Sebagai tujuan akhirku, tubuhmu


3)

Kita terkadang hidup terlau lama

Tapi tak pernah mendapati apa-apa

Dan juga, kadang kita terlalu takut untuk mencinta

Sebab termakan oleh bayang-bayang oleh duka, luka dan nestapa


4)

Bagaimana mungkin seorang pelaut dapat menaklukan dunia

Jika ombak saja sudah mengaramkan nyalinya

Dan bagaimana mungkin kau dapat mengerti sebuah cinta tanpa mengerti apa arti sebuah ketabahan


5)

Aku adalah ombak yang senang mencumbu tepian pantai

Bercinta dengan hamparan pasir yang menggeliatkan tubuh

Terkadang, karang merayuku pula

Agar dapat kupeluk dan kucumbu tubuhnya

Apa yg menyenangkan selalu sesaat

Tak pernah kekal ataupun lekang dimakan waktu


6)

Aku adalah ombak

Sejauh apapun pantai yang kujamah

Semesra apapun cumbuan yang ditawarkan karang

Aku tetaplah ombak yang akan kembali ke lautan

Kembali mencumbu tubuhmu

Sebab itu, belajarlah ketabahan dari diriku.

Aku, Kamu, Hujan dan Petir



Sepiku tak pernah berujung
Saat kau tak biasa
Sendiri menjalani waktu
Sulitnya ada suka yg pernah ada perih

Aku mematikan playlist lagu yang berkumandang di iPod. Baru saja hujan turun. Suara gerimis lebih menarik perhatianku, alunan nada alam yang tak terkalahkan oleh lagu mana pun. Kubuka sedikit jendela kamarku. Menikmati percikan-percikan airmata langit yang masuk melalui sela jendela yang terbuka.

Suasana hening saat hujan turun adalah jeda terbaik untuk berpikir. Memikirkan apapun; rencana masa depan, impian, harapan atau bahkan sesuatu yang tertinggal di masa lalu. Dan kini aku mengalami hal yang disebutkan terakhir.

“Apa kabarmu? Apakah kamu masih menggilai hujan seperti dulu. Berusaha untuk berlari ke tengah lapangan saat langit sedang bergemuruh, seolah memanggil namamu untuk menyambut rintik yang akan membasahi bumi? Apakah di sana ada hujan?”  monologku pada kaca jendela. Kumainkan jemariku diatas kaca yang sudah berembun.Menuliskan namaku dan namamu; Putri Hujan dan Pangeran Petir.

Kita adalah sepasang manusia yang menggilai hujan. Seolah, turunnya hujan adalah saatnya kita melakukan ibadah. Dengan segera kita berlari menyambutnya. Menghambur ke dalam ribuan tetes air yang dicurahkan oleh langit. Ya, jika hujan terjadi saat bel pertanda pulang sekolah sudah berkumandang. Jika tidak, kita hanya dapat menahan hasrat untuk tidak berlari saat deru suara hujan memanggil. Memandang iri keluar jendela dari dalam kelas, memperhatikan rintik air yang seperti menari sebab diterpa oleh angin.

Aku masih mengingat dengan jelas pertemuan itu. Saat pertama kali kamu memanggilku Putri Hujan. Bahkan saat aku memejamkan mata, kejadian itu seperti baru terjadi kemarin; sangat segar di dalam kepalaku. Aku tersenyum simpul saat mengenangnya kembali. Terlihat hujan mereda.Kini rintik-rintik hujan terlihat tak bertenaga. Sedikit rasa kecewa menghampiriku. Dengan adanya hujan, aku tak pernah sendirian, kamu selalu ada disampingku; dalam ingatanku.

***

“Menurutmu apa yang dipikirkan orang-orang yang sedang berteduh saat hujan turun?” Tetiba Pangeran berdiri di sampingku saat diriku sedang berdiri di ambang pintu kelas. Bel pertanda pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Tapi masih banyak murid di dalam kelas, sebab hujan yang turun dengan deras.

Dari tempat kita berdiri, aku dan Pangeran dapat melihat halte bus di depan sekolah yang saat ini disesaki orang. Bukan oleh orang-orang yang mau naik kendaraan umum, namun orang-orang takut basah oleh air hujan. Aku menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Pangeran tadi.

“Aku pun tak tahu apa saja yang dipikirkan mereka. Tapi jika di antara orang-orang di sana ada orang yang tidak bersyukur, pasti isi pikiran mereka adalah kapan hujan ini akan berhenti.”

Aku mengagguk setuju dengan perkataannya. “Padahal hujan begitu menyenangkan.”

“Benar, Put. Sangat menyenangkan. Kita pulang sekarang?”

“Oke. Tapi sebentar, aku lapisi dulu buku-buku ini dengan plastik,” ucapku kepada Pangeran.

“Sudah?” tanya Pangeran kepadaku. Aku menjawabnya dengan anggukan.

“Kalian mau pulang sekarang? Hujannya masih deras lho,” ucap Riri kepadaku dan Pangeran. Teman sekelasku memandang sedikit heran, sebab hampir semua murid bertahan di dalam kelas menunggu hujan reda. Kalaupun ada yang pulang, pasti mereka membawa payung dan jas hujan, tidak seperti diriku dan Pangeran yang tidak membawa payung ataupun jas hujan.

“Iya, mau ikutan Ri? Hujan-hujanan itu seru lho,” ajak Pangeran.

“Aduh, nggak deh Put, Pang. Aku kalau hujan-hujanan besoknya bisa meriang. Kalian aja deh yah.” Riri kemudian meninggalkan aku dan Pangeran di depan kelas. Dia kembali menunggu hujan reda di dalam kelas.

“Yuk pulang sekarang. Nanti hujannya keburu berhenti,” kata Pangeran seraya mendorongku maju.

Bau tanah yang basah dan air hujam merupakan kombinasi bau yang sangat khas dan alami. Aku merentangkan tangan lebar saat tetesan air hujan memeluk tubuhku. Tubuhku dan Pangeran sudah kuyup diguyur hujan.

Sepanjang perjalanan pulang kami berceloteh banyak hal. Sesekali terdiam untuk menikmati rintikan hujan yang menerpa wajah dan tubuh kita masing-masing. Seragam putih abu-abu kami sudah tak menyisakan bagian yang kering. Kami adalah penggila hujan yang rela menenggelamkan diri dalam rinai hujan.

“Apa yang kamu suka dari hujan, Put?” tanya Pangeran kepadaku. Dia sedikit mengeraskan suaranya agar tak kalah oleh deru suara hujan.

Aku sedikit bingung dengan pertanyaan dari Pangeran. “Ya hujannya lah. Memang apa lagi?”

“Kalau aku, ketika hujan turun. Aku pun menyukai rintikan hujan, menenangkan. Namun aku akan lebih menyukai hujan yang ada petirnya. Petir menambah suasana hujan menjadi lebih menyenangkan,” ucap Pangeran bersemangat. Kedua bola matanya membulat pertanda antusias.

“Kalau begitu, nama kamu jadi Pangeran Petir,” ucapku asal-asalan kemudian aku tertawa kecil.

“Dan kamu, Putri Hujan.”

Aku mengerutkan dahiku. Lalu kulihat bola mata Pangeran yabg mengarah langsung ke mataku. Pangeran menyunggingkan senyuman. Refleks aku pun menyunggingkan senyum dan kami kemudian tertawa bersama. “Putri Hujan dan Pangeran Petir. Bukan nama yang buruk,” ucapku kepada Pangeran kemudian kita kembali tertawa.

***


Ku tak mampu mencari lagi
Apa yang kurasakan
Dan aku sangat menyadari
Aku kehilanganmu

Aku mengerti, bahwa tak akan pernah ada kejadian dimana setiap keinginan berubah menjadi nyata sesuai dengan yang diinginkan. Ada beberapa keinginan yang dikabulkan oleh Tuhan, tapi tak jarang, keinginan tersebut diganti oleh hal lain, bahkan keinginan itu tak pernah terwujud dalam bentuk apapun; hanya tetap menjadi keingininan yang kekal.

Seperti mencintaimu, itu adalah yang terjadi padaku saat masa putih abu-abu dulu, dan ingin menjadi kekasihmu adalah keinginanku saat itu. Keinginan yang tak pernah diwujudkan oleh Tuhan. Begitu banyak waktu yang kuhabiskan bersamamu, melakukan pembicaraan tentang hujan yang sama-sama kita gilai, atau bahkan menghabiskan waktu di bawah rinai hujan, berbagi tawa, canda, kesedihan dan air mata dalam rinai hujan. Dan di bawah rinainya pun aku harus kehilanganmu. Bagiku, hujan selalu mengingatkanku padaku dan dirimu.

Katamu dulu, hujan tak pernah lengkap tanpa gemuruh petir yang menyertainya. Tanpa petir, hujan akan kesepian. Jika aku adalah hujan, dan kamu adalah petir itu, maka aku akan selalu mengamini ucapanmu itu. Tanpamu, aku merasa sepi. Terasa ada jeda panjang di hariku tanpamu. Tak ada lagi gemuruh yang menyertaimu, aku hanyalah hujan yang kesepian.

Sore ini langit menggelap. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun, dari tadi sudah kudengar suara gemuruh petir berkumandang. “Suasana yang tepat sekali,” gumamku.

“Halo, Pangeran Petir. Apa kabarmu? Tidak terasa sudah lima tahun terlewati setelah perpisahan kita. Perpisahan yang tidak kita inginkan,” ucapku seraya melangkah. Tangan kiriku membuka kacamata hitam yang kukenakan, sementara tangan kanan memegangi payung agar tak terbang tertiup angin yang sudah bertiup kencang. “Aku ingin mengabarkan berita baik padamu. Bulan depan aku akan menikah dengan kekasihku saat ini. Dan sepertinya aku tidak akan dapat menemuimu setiap bulan seperti sebelumnya.”

Aku menarik nafas pelan, mengurangi sesak yang mulai memenuhi rongga dada. “Bukan, bukan aku akan melupakanmu. Tentangmu akan tetap ada dalam hatiku. Kamu adalah orang yang kucintai pertama kali, dan sudah ada ruang khusus dalam bilik hatiku ini agar tetap mengenangmu,” ucapku menunjuk dadaku. “Kenangan tentangmu akan selalu ada dan tak akan terlupa. Setiap hujan yang turun disertai gemuruh petir, disanalah aku menempatkan ingatan tentang kita.”

Mataku mulai memanas. Ternyata tak mudah untuk menahan kesedihan, walau kejadian ya ng menyebabkan sedih itu sudah terjadi sejak lama. “Bagaimana aku melupakanmu. Darimu aku belajar mencintai hujan, petir dan berbagai arti filosofisnya. Hujan bukan lagi hal yang kusukai, tapi menjadi hal yang kugilai, dan itu karenamu.”
“Kamu adalah cinta pertamaku. Lelaki yang pertama kali membuatku tertawa bahagia dan terisak sedih karenamu. Jadi tenang saja, kamu tak akan pernah kulupakan,” suaraku bergetar. Kugigit bibir bawahku agar tak pecah airmataku. “Dan bagaimana aku melupakanmu, sementara setiap hujan turun aku selalu teringat kejadian itu. Kejadian yang tak pernah kita inginkan. Kejadian yang membuat dirimu meninggalkanku selamanya.”

Tangisku tak tertahan lagi. Pertahanan airmataku roboh sebab tak kuat menahan besarnya kesedihan. Malam itu, tepat lima tahun yang lalu, di tengah hujan deras kecelakaan itu terjadi. Saat itu merupakan perjalanan pulang dari perayaan kelulusan kami. Saat berbelok di pertigaan jalan, tetiba sebuah mobil box melaju dengan kecepatan penuh dari arah samping. Mobil box yang menerobos merah menabrak motor kami. Aku yang duduk di bonceng oleh Pangeran hanya mengalami luka di beberapa bagian tubuhku. Sementara Pangeran tidak tertolong karena kepalanya terbentur keras akibat tabrakan itu.

Perlahan hujan turun membasahi tubuhku. Menyamarkan airmata yang meleleh di pipiku. Bau tanah tercium sangat pekat. “Kamu pasti senang. Hujan turun, dan dengarlah suara petir yang bergemuruh itu.” Kemudian aku menaburkan bunga di atas makan Pangeran. Kucium nisannya sebelum aku pulang. Aku pernah mendengar pepatah yang menyebutkan melupakan cinta pertama tak akan pernah mudah, dan aku mengamini hal itu.

Melupakanmu adalah hal tersulit bagiku
Karena kau terukir dalam di hatiku

Rabu, 12 September 2012

Hapus Dia Dari Ingatanku


Tuliskan kesedihan, semua tak bisa kau ungkapkan

Aku memainkan pena di jariku. Memutarkannya tanpa tahu akan kugunakan untuk apa. Jemari kalut mencari pelampias gelisah di dalam dada. Pena sudah siap untuk melahirkan aksara, namun tak ada yang tertera di sana; di atas lembaran kertas yang sejak tadi terbuka.

Tidak ada kesunyian yang melebihi sebuah kehampaan, dan tak ada luka yang lebih pedih dari sebuah pengkhianatan. Luka dan bahagia menjadi satu paket dalam sebuah proses mencintai. Terkadang, apa yang begitu dicintai menjadi sumber luka terhebat. Melukai tanpa kita sadari bahwa hal itu telah menjadi duri di dalam dada.

Kilatan-kilatan kejadian kemarin malam masih terngiang di dalam kepala. Menghantui diri pada pahitnya kenyataan. Pada kerasnya kehancuran sebuah kepercayaan. Malam ini, kesunyian menawan suara-suara yang di dominasi oleh rintihan. Hanya tinta yang berani merepresentasikan sebuah ironinya sebuah cinta yang dipertahankan. Melalui aksara, kucoba keluarkan sesak di dada.

Aku mencintaimu dengan sederhana
Sesederhana kata cinta
Saling menyayangi, saling melengkapi

Aku sadar bahwa sebuah cinta dapat berujung duka
Melahirkan luka, menciptakan derita

Bukan, bukan karena aku kuat menanggungnya
Hanya saja aku percaya, luka adalah cara Tuhan memberikan ketabahan
Cara cinta menunjukkan jalan bahagia sesungguhnya

Kecupanmu pada dia menjadi penerang mataku
Menyadarkanku pada satu hal
Bahwa cinta adalah sesuatu yang sangat berharga
Yang akan kujaga sepenuh jiwa
Dan itu bukan untukmu

Sebuah tangisan menjadi penutup malam. Sebuah requim penutup lembaran kisah dengan Brahma, lelaki yang kucintai dan juga yang menorehkan luka terdalam di hatiku. Kututup buku coretanku. Buku yang penuh akan setiap curahan hati yang tak terdengar, buku yang penuh akan sajak-sajak yang menggambarkan isi perasaanku ke Brahma. Dan sajak tadi menjadi sajak penutup yang kutulis untuknya

***

Buang semua puisi, antara kita berdua

"Bi, tolong bawain tong ke sini yah," ucapku kepada Bi Yuni. Sore ini cuaca sangat teduh. Awan tebal bergerak pelan mengikuti arah angin, warna biru cerah memenuhi langit. Aku duduk di beranda, menikmati hembusan angin sepoi yang kadang bertiup ke arahku.

"Ini tongnya, Non," kata Bi Yuni kepadaku seraya menyerahkan tong bekas cat yang sedikit berdebu, "memang buat apa yah, Non? Kok tumben-tumbenan minta diambilin tong," tanya Bi Yuni seperti penasaran.

"Oh ini," ucapku seraya mengarahkan pandangan ke tong tersebut. "Buat bakar ini, Bi." Aku memperlihatkan benda yang sejak tadi ada di tanganku.

Bi Yuni terlihat sedikit kaget saat melihat benda yang ingin kubakar sesaat lagi. "Non, Non Pia serius mau bakar buku itu, Non?" tanya Bi Yuni. "Bukannya itu buku hadiah ulang tahun dari Den Brahma? Dan juga buku yang sering Non Pia tulisin sesuatu di sana?"

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan-perkataan Bi Yuni.

"Maaf Non, bukan bibi lancang. Tapi bibi pernah liat isi buku itu. Di buku itu juga banyak foto-foto Non Pia sama Den Brahma juga kan? Kenapa buku itu mau dibakar, Non?"

Senyumku mengecut saat mengingat-ingat kembali isi di dalam buku yang kugenggam ini. Dalam hati kecilku, kesedihan seperti ingin bermekaran kembali. "Nggak apa-apa, Bi. Sekarang buku ini udah nggak spesial dan penting lagi kok," ucapku pada Bi Yuni. Hal yang juga menjadi penguat hatiku, agar airmata tak lagi menetes untuk Brahma.

"Oh gitu yah, Non. Padahal sayang banget kalau dibakar."

"Bi, tolong ambil minyak tanah sama korek api."

Bi Yuni langsung menuju dapur setelah mendengar pintaku, tak lama dia keluar dengan korek api batang dan dirigen kecil berisi minyak tanah. "Ini, Non."

"Makasi ya Bi, bibi udah boleh ke dalam sekarang," ucapku mengusir Bi Yuni secara tak langsung. Aku tak mau ketetapan hatiku untuk membakar buku ini menjadi goyah kembali.

Kulempar buku yang kugenggam ke dala tong, lalu kusiramkan minyak tanah ke dalamnya. Kuhidupkan korek api batang dan kuleparkan ke dalam tong berlumuran minyak tanah. Seketika api menyambar dan menjilat-jilat buku yang ada di dalamnya. Selamat tinggal. Semoga kenanganmu pun menjadi abu dalam pikiranku, ucapku membatin saat melihat lidah api mulai melumat buku tersebut dan mengubahnya menjadi lembaran abu.

***

"Pia, tolong dengar penjelasanku," ucap Brahma saat bertemu dengannya di kantin fakultas. Dia mencengkeram tanganku saat aku berusaha menghindarinya. Bukan karena takut, tapi diriku sudah muak bertemu dengannya. "Apa yang kamu lihat waku itu hanya salah paham."

"Kamu bilang salah paham? Aku nggak buta. Aku liat kamu cium Silvia. Sahabatku sendiri!!" Emosiku tak terbendung. Suaraku mengencang dan membentak Brahma. "Silvia sudah cerita ke aku. Bagaimana kamu mengejar dia. Bagaimana kamu membuainya dengan rayuanmu. Dan kamu bilang itu semua cuma salah paham?"

"Okey, aku tahu aku salah. Aku minta maaf, Pia. Aku khilaf, aku sadar aku salah." Kulihat mimik wajah Brahma yang seperti mengiba maaf, terlihat menyedihkan. "Aku sadar banget sudah ngecewain kamu. Tapi aku masih cinta sama kamu, Pia. Aku nggak bisa gitu aja lupain kam-"

Plak!! Sebuah tamparan keras dari telapak tanganku mendarat mulus di pipinya. "Makan itu cinta. Berdoa sama Tuhan agar kamu lupa siapa aku. Lupa siapa saja yang sudah kamu sakiti, dan aku pun akan berdoa agar kamu tak lagi dalam ingatanku."

Aku berjalan meninggalkan kantin fakultas, meninggalkan Brahma yang diam menanggung malu. Tatapan mahasiswa-mahasiswi lain tersorot padanya. Tamparanku di pipinya menjadi tontonan gratis di kantis fakultas pada siang ini.

Sadarkan aku Tuhan, dia bukan milikku
Biarkan waktu, waktu, hapus aku

Aku berdoa pada Tuhan, agar menghapus ingatanku tentang Brahma. Dalam dada, sesak kurasa, tapi setidaknya tamparan tadi cukup melampiaskan sedikit kekecewaanku.