Kamis, 28 Juni 2012

Senja di Sore Itu

Senja di sore itu
Kenangan bermain-main dengan harap
Menggelayutkan ironi di kelopak
Rindu mengerang hebat dalam teduhnya jingga

Senja di sore itu
Kita bermain dengan tawa yang bermekaran
Dengan canda yang memotretkan abadinya suasana

Kala memejam mata
Selalu ada kata yang tak terbaca
Sebuah senyum dengan berjuta aksara
Kata tertelan, sorotmu menenggelamkan duka

Kita bermain saat senja menjemput
Menanti takdir kita untuk membenci malam
Menanti matahari kembali terbit dan tenggelam
Aku dan kamu berbicara dalam diam

Pada senja di sore itu
Kata hanya sebuah kata
Mata kita sudah berbicara
Aku, kamu dan senja di sore itu
Bersama tautan tangan di bawah teduhnya senja
Aku menggores cinta dan duka pada sebuah perpisahan.

Kamis, 21 Juni 2012

Genggaman Tangan


Aku berdiri dalam hening, namun isi kepalaku meracau dan sibuk berlarian. Air terjun yang ada dihadapanku memaku tubuhku. Kamera yang kugenggam diam saja tanpa ada niatan untuk bekerja. Tanganku diam, tubuhku diam, waktu seolah diam pula.
            Terdengar jelas di telingaku suara air yang memecah batu karang. Gemuruh air yang tumpah dari tempat tinggi itu menciptakan buih yang tidak terhitung. Disela suara air terjun di hadapanku, terdengar suara gemerisik angin yang bercampur dengan decitan suara burung.
            Aku memandangi suasana sekitar. Mulai menggerakan kembali tiap otot tubuhku, mengusir jauh hening yang menyergapku. Air terjun di Tawangmangu ini selalu berhasil menghipnotisku setiap aku datang ke tempat ini. Kunjunganku ke spot wisata air terjun terbaik di kota ini bukanlah untuk yang pertama kali. Sudah sering aku ke sini, sampai jariku tak mampu lagi menghitungnya. Namun, terakhir aku datang ke tempat ini sekitar 3 tahun yang lalu, sebelum akhirnya aku pindah ke Ibukota, bekerja dan menetap di sana.
            Kedatanganku kali ini ke air terjun di kota ini, selain karena aku ada urusan pribadi di rumahku yang ada di kabupaten Karanganyar, editor tempat aku bekerja memintaku untuk mengambil foto-foto di air terjun ini untuk koleksi foto. Pekerjaanku sebagai fotografer membuat pekerjaanku tidak terikat oleh sebuah kubikel dan jam kerja.
            Aku mengarahkan kameraku ke air terjun, sedikit merendahkan tubuhku, aku mengambil angle air terjun dari sudut rendah. Aku mengecek hasil jepretanku. “Lumayan,” ucapku seraya tersenyum kecil. Kemudian aku kembali berjalan sembari mengambil gambar air terjun dan pemandangan sekitarnya yang dipenuhi oleh pepohonan. Kembali kuangkat kameraku ke arah muka. Membidik dari balik lensa, dan mengukur fokus gambar. Angle yang sangat bagus, pikirku seraya masih mengatur fokus. Dalam posisi berdiri di atas batu, aku membidik ke arah air terjun dari posisi agak menyamping di kanan. Posisi yang cukup sempurna, menurutku.
            Aku menurunkan kameraku, gambar tadi tidak jadi kuambil. Perhatianku teralihkan oleh sepasang muda mudi yang ada di dekat objek fotoku. Aku tertegun saat melihat mereka saling tertawa dan bercanda berdua. Sepasang kekasih itu kemudian duduk berdampingan di salah satu batu, jemari mereka saling bertaut. Percakapan yang diselingi oleh tawa sepasang kekasih itu membuatku termenung. “Tari…” Aku mendesah menyebutkan nama seseorang.
            Sepasang kekasih itu mengingatkanku pada masa laluku. Pada perempuan yang dulu begitu kucintai, hingga saat ini pun juga. Kuarahkan kameraku ke arah sepasang muda mudi itu. Kuambil beberapa gambar kemesraan mereka. Dulu, aku pernah berada di posisi mereka. Duduk di atas batu sambil bergenggam tangan, berbagi cerita, berbagi impian dan berbagi tawa dengan Tari. Namun itu dulu. Aku menghela nafas berat dan dalam.
            Masa lalu hanya menjadi masa lalu. Kenangan selalu menjadi bagian menyenangkan untuk diingat. Aku tersenyum kecil, dan kemudian kembali berjalan dan mencari posisi mengambil foto yang bagus. Kubiarkan kamera menggantung di leherku, lalu kuambil dompet di saku belakang. Kubuka dan kulihat sebuah foto diriku yang saling menggenggam tangan dengan seorang perempuan. Terlihat jelas manisnya senyum di foto wajah perempuan tersebut. “Tari…, aku kangen kamu.” Aku membelai foto yang sudah agak menguning itu. Dalam hati aku berjanji. Setelah dari air terjun Grojogan Sewu ini aku akan mengunjungi makam Tari.

Selasa, 19 Juni 2012

Ramai


Suasana sore ini terlihat ramai. Terlihat beberapa pedagang sudah mulai kedatangan para pembeli. Sore ini di Jalan Malioboro, pusat perbelanjaan yang dicari oleh para pelancong sebagai tempat membeli souvenir khas kota Jogja, terlihat ramai lalu lalang para wisatawan–umumnya wisatawan domestik.

Aku duduk di tepi jalan, bersandar pada pohon yang berdiri tegak persis di tengah trotoar pejalan kaki. Beberapa titik peluh menetes dari sela cambang rambutku. Sore ini, matahari di Malioboro terasa panas. Aku menyeka peluhklu dengan handuk kecil yang selalu kubawa di dalam tas.

Malioboro selalu menjadi tempat menarik untuk menghabiskan waktu. Melihat berbagai macam wisatawan yang berkunjung ke sini, menjadi ajang cuci mata yang lumayan menyenangkanku. Bola mataku memandang dari ujung kiri Jalan Malioboro hingga ujung paling kanan yang terlihat. Berbagai macam souvenir dari mulai baju kaus, kemeja batik, tas batik, hingga gantungan berbentuk candi dijajakan oleh pedagang di sini. Dengan harga yang jauh lebih murah dan kekhasan benda-benda tersebut, banyak sekali wisatawan yang tidak pernah ingin melewatkan momen berbelanja di tempat ini.

Kukeluarkan sebungkus rookk dari saku celana, mengambil sepuntung dan membakarnya. Kuhirup dan kuhembuskan pelan-pelan tiap nikotin yang menjalar di rongga paru-paruku. “Ahh, surga dunia,” ucapku pelan. Bersantai di tempat yang menyenangkan dengan pemandangan yang tidak membosankan selalu menjadi surga mini bagiku yang sehari-hari berkutat dengan pekerjaan yang seolah tak ada habisnya.

Saat rokokku hampir habis terbakar, aku beranjak dari tempatku duduk. Berkeliling sepertinya menyenangkan, pikirku. Rokokku kubuang sebelum benar-benar habis tembakaunya. Kususuri jalanan di Malioboro, sesekali melihat-lihat barang yang mungkin bagus untuk dikoleksi.

Aku berjalan lambat. Toh, tidak ada yang memburu waktuku. Namun tidak dengan orang-orang lain, ada beberapa orang yang terlihat tergesa-gesa berjalan di sini. Kasihan sekali dia, tidak bisa menikmati suasana Malioboro sama sekali.

“Maaf,” ucap seorang wanita di belakangku saat di menabrakku. Aku berbalik untuk melihat wanita yang menabrakku itu. Tadinya aku ingin sedikit protes akibat ketidakhati-hatiannya itu. Namun urung kulakukan.
“Oh iya, nggak apa-apa,” ucapku kepada wanita tersebut. Wajahnya terlihat ayu dan manis, namun sayang, terlihat sedang murung dan bersedih. Kulihat dirinya membawa sebuah kotak, kemudian melanjutkan jalannya dengan cepat setelah meminta maaf kepadaku.

Kakiku tergerak untuk mengikutinya. Entah kenapa, seolah ada magnet kuat yang menempel di kakiku dan kaki wanita tersebut. Diam-diam aku ikuti arah ke mana wanita itu menuju. Dia terlihat berbelok ke kanan, lalu masuk ke dalam kedai kopi dengan nama Priya’s Coffee.

Dari luar kedai kopi aku memandang ke dalam. Terlihat wanita itu duduk di salah satu pojok ruangan. Kemudian dia membuka kotak yang dibawanya tadi. Ternyata sebuah kue coklat. Hey, dia menyalakan lilin? tanyaku pada diriku sendiri. Kemudian aku mengedarkan pandanganku, mencari seseorang lainnya yang mungkin akan datang menghampiri wanita tersebut, namun tak ada.

Terlihat dariku di luar kafe, melalui kaca tembus pandang, aku melihat dengan jelas apa yang dilakukan wanita itu. Dia menyalakan lilin, lalu seperti menggumamkan doa dan kemudian memotong kue itu sendiri, lalu akhirnya membagikan tiap potongan kue itu ke setiap pengunjung yang ada di dalam kedai. Terlihat dia memberikan kepada seorang wanita yang masih memakai pakaian pengantin yang sedang berbicara dengan seorang lelaki.

Pikiranku berputar sendiri, mengapungkan tiap pertanyaan atas tindakan yang tidak biasa dari wanita bermimik sendu itu. Kenapa dia terlihat sedih? Kenapa dia menyalakan lilin dan mengucapkan doa sendiri? Apakah wanita itu begitu kesepian? Padahal suasana di dalam kedai itu cukup ramai.

Tak ada jawaban. Hanya ada pertanyaan-pertanyaan baru yang semakin membuatku penasaran dengan wanita itu. Aku menghela nafas sesaat sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam kedai kopi dan menyambangi tempat wanita itu duduk dan mencoba berkenalan dengannya.

Senin, 18 Juni 2012

Biru, Jatuh Hati


“Kamu mau bawa aku ke mana, Di?” ucap Amel saat diperjalanan. Tadi siang aku ‘menculiknya’ dari kampus. Meminjam mobil seorang teman, kini aku membawa Amel ke suatu tempat yang istimewa.
“Nanti kamu pasti bakal suka tempatnya kok, percaya sama aku.”
Lalu lintas perjalanan tampak lengang, seperti aku tidak terlambat sampai di tempat tujuan. Kulirk arloji yang melingkar di lengan kananku. Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Hemm, cukup, ucapku menggumam dalam hati.
Selama perjalanan Amel selalu bertanya akan hal yang kulakukan, menanyakan tujuan aku membawa kabur dirinya yang sedang ada kegiatan di kampus dan menutup matanya saat ini. “Di, aku lepas yah penutup matanya,” ucap Amel meminta.
“Jangan dong,” jawabku seraya menyingkirkan tangan Amel yang ingin membuka ikatan kain hitam yang menutupi matanya. “Kalau kamu buka, nanti ga jadi kejutan lagi. Bersabar yah, sebentar lagi sampai.”
Akhirnya Amel diam, tidak lagi ribut mempertanyakan tujuan kami. Aku menghela nafas lega, lalu kufokuskan lagi pandanganku ke jalan. Ponselku berdering. “Halo, gimana? Sudah siap semua? Baik, makasi ya,” ucapku kepada seseorang yang meneleponku.
Tempat tujuanku sudah terlihat, di depan aku tinggal membelokkan mobil ke arah parkiran. “Kita sampai,” ucapku pada Amel. “Tunggu yah, jangan dibuka penutup matanya.”
Aku keluar dari kursi kemudi, lalu memutar dan membukakan pintu untuk Amel, kemudian kutuntun kekasihku itu menuju tempat yang sudah kurencanakan.
Terdengar bunyi ombak yang berdesir, suara riak air raksasa yang berjumpa dengan daratan. Semilir angin yang sepoi-sepoi menampar wajahku dan Amel, mengacak-acak beberapa helai cuat rambut kami.
“Ini di mana, Di? Di pantai yah? Pantai mana?” Amel kembali banyak tanya. Rasa penasaran perempuanku ini memang sangat besar, dia selalu menyakan hal yang membuatnya penasaran, terlebih dalam keadaan seperti ini.
“Nanti kamu juga tahu kok, sebentar yah,” ucapku menuntun Amel ke suatu tempat. Dari tempat kami berdiri matahari menantang tegak mata kami. Tidak terlalu menyilaukan, sebab sinarnya sudah melemah, matahari sudah lelah bersinar terik sepanjang hari ini. Kini saatnya dia untuk beristirahat dan pulang ke kaki langit. “Aku buka yah, udah siap? Buka matanya pelan-pelan,” ucapku memberi instruksi pada Amel.
Saat penutup mata kulepaskan, Amel membuka matanya perlahan, sangat perlahan. Cahaya jingga dari matahari sore ini langsung menyergap pupil matanya saat kelopaknya dibuka. Amel menggerakkan tangannya untuk menutupi cahaya yang menyorotnya. Awalnya mimik wajahnya terlihat bingung, lalu kemudian menjadi senyum dan akhirnya pekiknya menggelegar. “Aaaakkhhh!!!! Pangandaran!!” Teriaknya sekuat tenaga.
Beberapa kawanku sudah datang dan ikut bergabung denganku, kami berdiri di belakang Amel. Saat Amel berbalik arah kepadaku, kami segera bernyanyi dengan kompak. “Happy birthday, to you… happy birthday to you..”
Mimik wajah Amel kembali menyiratkan tanda tanya, kemudian aku maju ke hadapannya. “Selamat ulang tahun yah, Sayang,” ucapku pelan seraya menggenggam lembut jemarinya. Kemudian kukecup keningnya. Kulihat wajahnya bersemu merah. Di depan kawan-kawannya yang ikut menyiapkan kejutan ini, di pantai Pangandaran yang sangat disukainya dan di hadapan senja yang dikaguminya, Amel melewatkan hari spesialnya dengan cara yang spesial. Aku tersneyum, rencanaku tak meleset. Wajah bahagia terpatri jelas di wajah perempuan yang sangat kucintai itu.
Kuarahkan wajahku pada panorama senja yang sedang pada momen puncaknya; saat kemilau jingga benar-benar matang. Aku tersenyum dan mengangkat kedua lenganku. “Yeah!!” ucapku berteriak menuangkan segala kebahagiaanku juga.
Amel yang tadi sibuk meladeni kawan-kawannya yang mengucapkan selamat ulang tahunnya, kini berdiri di sampingku. “Terima kasih, Sayang. Aku bahagia banget.”
Dadaku semakin menghangat mendengar ucapan itu. Senyumku mengembang lebar.
“Pantainya indah yah,” ucap Amel.
“Yap,” jawabku menatap kemilau jingga yang mencermin di sana. “Jingganya keren.”
“Bukan, tapi kemilau warna birunya air lautnya. Aku suka sekali warna itu, selalu terasa teduh saat memandangnya,” ucap Amel yang menimbulkan tanya padaku.
Sejak kapan Amel suka dengan warna biru?

Sabtu, 16 Juni 2012

Sehangat Serabi Solo


Deru mesin jahit terus menggema sejak pertama aku datang ke tempat ini. Ya memang, mesin jahit akan selalu hidup, dan menimbulkan suara bising yang khas, kecuali hari minggu . Hari ini aku ikut menemani Bapak untuk mengecek salah satu konveksi miliknya di daerah dekat toko kami di pasar Klewer..
            Walau umurnya sudah tidak lagi muda, energi Bapak untuk mengelola usaha konveksi kemeja batik masih terlihat besar. Hal ini terlihat jelas dari kesigapan Bapak memberikan instruksi, menyortir hasil jahitan dan melihat-lihat model baru yang akan dibuat.
            “Untuk yang model ini,” ucap Bapak menunjukkan sebuah model kemeja batik cap kepada seorang pegawai. “Kalau semua sudah selesai dijahit, segera packing. Sebab minggu depan, pelanggan kita dari Jakarta minta dikirimkan,” instruksi Bapak yang hanya dijawab anggukan oleh karyawannya tersebut.
            Aku duduk di beranda lantai 2 sambil memainkan gadget. Dari tempatku duduk, aku dapat melihat semua aktifitas yang terjadi di konveksi ini. Ada dua orang yang sedang memotong bahan batik cap, puluhan orang tukang jahit yang menekuri mesin jahit, lalu ada juga beberapa orang yang sedang menyortir baju yang sudah jadi dan seorang yang sedang menggosok baju yang sudah siap jual dan mengemasnya dengan plastik bening.
            Tak lama, Bapak menghampiriku. Sorot matanya sangat teduh, walau terlihat lelah membayang di sana. “Kamu kapan masuk sekolah, Nak?”
            “Senin besok, Pak.”
            Bapak mengambil kursi dan duduk di sampingku. “Ndak terasa ya kamu udah SMA,” ucap Bapak membuka obrolan.
            Aku mematikan game yang sedang kumainkan, kuarahkan wajahku pada Bapak. “Iya dong, Pak. Masa iya aku jadi anak kecil melulu,” jawabku tersenyum kecil.
            Bapak tertawa kecil dan mengacak-acak rambutku. Hatiku hangat, senyum yang ada di wajah Bapak selalu menghangatkan hatiku. Ada rasa nyaman dan kasih sayang yang memenuhi dadaku. “Ayo kita ke toko. Tadi Rudi minta Bapak ke sana.”
            “Mas Rudi? Lho bukannya sekarang di toko juga sudah ada Mas Soni? Kenapa Bapak diminta ke sana juga?” tanyaku heran kepada Bapak. Mas Rudi dan Mas Soni adalah kakak lelakiku. Aku adalah  anak terakhir dan perempuan satu-satunya.
            “Katanya ada pesanan batik dari langganan kita di Surabaya. Mereka pesannya ke Pak Gada, sementara Pak Gada lagi nggak masuk hari ini, istrinya sakit. Makanya itu Bapak diminta kesana sama Mas-mu itu, soalnya mereka agak bingung dengan model batik mana yang dipesan.”
            Aku hanya mengangguk kecil pertanda setuju. Kemudian aku dan Bapak berjalan keluar dari konveksi ke toko yang hanya berjarak beberapa puluh meter. Pasar Klewer merupakan surga bagi para pecinta batik. Berbagai macam batik dengan motif dan model yang sangat bervariasi tersedia di sini. Banyak sekali toko batik di pasar ini, termasuk toko milik Bapak.
           “Tia, kita mampir ke warung serabi dulu yah,” ucap Bapak saat kita baru memasuki pasar Klewer. Aku hanya menurut dan mengikuti langkah Bapak.
            “Kamu suka serabi?”
            “Nggak terlalu, Pak.”
            “Wah sayang sekali. Serabi itu enak loh. Ibumu itu jagonya bikin serabi.”
           Bapak memang sangat suka serabi. Katanya, serabi itu sangat nikmat disantap saat masih hangat. Tapi bagiku sama saja, hangat maupun dingin, serabi tetaplah serabi. Dan dulu, memang ibu sering sekali membuatkan Bapak serabi, tapi itu terakhir sekitar 3 tahun yang lalu.
            Saat kami sampai di warung serabi, Bapak langsung memesan beberapa serabi untuknya dan aku. “Dibungkus saja,” ucap Bapak.
            “Pak, kenapa Bapak suka banget sama serabi yah?” tanyaku iseng.
            Bapak menatap kearahku, matanya seolah berbicara padaku. “Kenapa yah, karena enak.” Tawa Bapak berderai. “Dan mungkin, karena ibumu.”
            “Maksudnya?” tanyaku heran.
           “Kamu tahu kan Ibumu jago bikin serabi? Nah mungkin karena itu, Bapak makin suka sama serabi. Oh iya satu lagi, karena serabi Solo yang masih hangat itu tiada tandingannya.”
Aku tersenyum mendengar jawaban Bapak. Khas Bapak sekali, yang penuh guyon. Tawanya yang khas sangat meneduhkan dan memberikan kehangatan yang sangat berarti. Mungkin senyuman Bapak sehangat serabi Solo, tapi tidak pernah habis untuk dikonsumsi.
           

Jumat, 15 Juni 2012

Sepanjang Jalan Braga


“Kamu sekarang di mana?” tanya Talita. Aku mengapit ujung telepon helm, sementara pandanganku tetap terpaku menatap jalan.
            “Masih di jalan ke kosan teman, abis dari kampus. Ada tugas yang mau dikerjain di sana, memang kenapa?”
            Talita mendesah pelan, terdengar suaranya di telingaku. “Yah…pulang jam berapa? Mama nyuruh aku ke jalan Braga, minta tolong beli sesuatu di sana.”
            “Lha, motor kamu mana?” tanyaku heran. Padahal Talita sudah memiliki kendaraan sendiri, namun kenapa masih mau pinjam motorku? tanyaku dalam hati.
            “Lagi di bengkel, Bang. Kemarin ada masalah sama mesinnya.”
            “Perasaan motor kamu rusak terus deh.”
            “Pulangnya masih lama nggak, Bang? Kalau nggak, abang aja yah yang ngambil pesanan Mama.”
            “Yaudah deh, nanti aku yang jemput. Kirim alamat dan barang apa yang mau dipesannya lewat sms yah.” Aku menghela nafas pelan, dengan sangat terpaksa aku meng-iya-kan permintaan Talita.
            Segera kuubah tujuanku, kuarahkan laju kendaraanku ke jalan Braga. Siang ini, matahari bersinar cerah sekali. Teriknya membuat peluhku merembas dari pori-pori dan merembas di baju.
            Tak lama aku sampai di Braga, kutepikan motorku di tempat yang seharusnya. Segera aku bergegas ke toko yang diinfokan oleh Talita, kemudian membeli barang yang dipesan oleh Mama.
            Setelah selesai membeli barang yang dipesan, aku tidak langsung bergegas pergi. Kususuri jalan Braga, dan kunikmati pemandangan bangunan yang ada di sini. Sudah lama aku tidak berjalan-jalan di sini, sejak terakhir kali ke sini bersama Amel.
Braga selalu sama, tidak ada yang berubah; tetap terlihat mengagumkan. Sejak pertama aku ke tempat ini ketika masih di bangku SMP, hingga sekarang, bangunan-bangunan khas zaman kolonial di sini selalu membuatku berdecak kagum.
Aku melewati toko alat musik, di toko ini ada berbagai alat musik yang dijual; dari alat musik modern hingga alat musik tradisional pun ada di tempat ini. Aku masuk ke toko ini, namun tidak berniat untuk membeli; hanya sekedar melihat-lihat.
Aku menuju sudut alat musik tradisional, ada berbagai macam alat musik tradisional seperti anglung, karinding, kacapi, rebab dan ada beberapa jenis lain yang tidak aku ketahui namanya. Aku menatap ironi alat-alat musik tersebut, mereka sudah hampi kehilangan maknanya. Tidak banyak orang yang mengenal mereka, termasuk au salah satunya. Alat-alat musik yang dulu begitu populer di masanya ini perlahan mulai hilang dari masyarakat.
Kemudian aku melihat-lihat alat musik lainnya. Kemudian aku keluar dari toko alat musik tersebut saat kurasa tidak ada hal menarik lain yang bisa kulihat. Kembali aku menyusuri koridor jalan Braga, walau sinar matahari cukup terik namun tak mengurangi keinginanku untuk berjalan menyusuri jalan ini. Tujuanku untuk  ke kostan temanku pun luruh.
Langkahku terhenti di depan sebuah lapak lukisan. Di sana dipajang beberapa lukisan yang bagus-bagus. Ada lukisan pemandangan, objek dan…seketika perhatianku teralihkan pada sebuah lukisan perempuan. Cantik, rambut panjang sebahu dengan latar sebuah bangunan tua. ”Di salah satu sudut bangunan di jalan Braga,” gumamku pelan.
Tetiba aku teringat pada Amel. Dulu, aku pernah meminta seorang pelukis melukiskan foto Amel untuk kujadikan kado ulang tahunnya. Saat itu kulihat hasil lukisan yang begitu bagus. Lekuk senyumnya seolah hidup saat aku melihat hasil lukisannya. Sorot matanya terlihat berbinar. Entah pelukisnya yang memang pintar, atau memang pesona Amel yang sangat kuat. Aku tak peduli.
“Sial,” umpatku kesal. Kemudian berjalan menuju tempat aku memarkirkan motorku. Mengingat Amel membuat dadaku sesak. Ada luka dan cinta yang beradu di sana. Kadang cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan suatu hubungan. Seperti kisahku dengan Amel, walau saling mencintai, perpisahan menjadi hal yang harus aku terima.
“Aku mau ngasih ini ke kamu. Kamu boleh datang atau tidak, tapi aku harap kamu bisa mengerti dan tidak membenciku.”
Teringat olehku ucapan Amel seminggu yang lalu. Setelah perpisahan kami hampir setengah tahun lalu, dia muncul lagi dihadapanku bersama sebuah undangan pernikahan. Sebuah perjodohan orangtua, ucapnya memberikan alasan mengapa dia meninggalkanku dulu.
Aku memandang lagi sepanjang jalan Braga di hadapanku sebelum pergi. Sial sekali dia, harus menjadi tempat di mana aku mengingat lukaku.

Kamis, 14 Juni 2012

Kerudung Merah


 Danau Toba masih tetap sama, terlihat indah dan mengagumkan. Tidak ada yang berubah sejak aku melihatnya beberapa tahun yang lalu. Tempat yang selalu menjadi pelarianku saat pikiranku penat, atau tempatku melarikan diri dari rutinitas saat masih berseragam putih abu-abu.
Duduk di pinggir danau Toba lalu memandang jauh ke arah hamparan air yang luas menjadi kegiatan favoritku. Hanya memandang tanpa memikirkan apa pun. Membunuh waktu dengan membiarkan pikiran kosong menatap birunya air di danau Toba.
Mungkin bagi orang lain, hal ini adalah aktifitas yang membosankan, tidak berguna dan sangat membuang-buang waktu. Tidak bagiku, menatap danau Toba seperti terapi ketenangan bagiku. Menyesapi lembutnya semilir angin yang berbisik di telinga, menikmati teduh yang ditawarkan suasana. Waktu terasa berhenti saat aku tenggelam dalam tenangnya danau Toba.
Aku berjalan menyusuri tepi danau Toba. Masih ada, ucapku pada hatiku sendiri saat kulihat masih tegak berdiri pohon yang dulu menjadi tempatku berteduh saat matahari menyalak galak. Aku tersenyum kecil, kusentuh lembut batang pohon itu. Di sini aku sering menghabiskan waktu saat memandang ke arah danau. Tidak banyak yang berubah, hanya ada beberapa ranting pohon yang baru tumbuh dan juga beberapa ranting yang terlihat patah.
Seketika kenangan menyeruak masuk dalam pikiranku. Seragam putih abu-abu, masa-masa yang terlewati di tempat ini dengan seragam itu dan kamu yang mengenalkan tempat ini kepadaku.
“Senja dari tempat ini telihat indah. Sangat indah.”
Aku duduk di bawah pohon dan memejamkan mata. Membiarkan kenangan mengalir deras dalam benakku. “Kamu benar, senja dari tempat ini indah sekali,” ucapku bermonolog. Dalam benakku tetiba muncul senyum wajah khas Zahra. Berkat dia aku menyukai tempat ini.
“Dulu tuh, Ayah sering ngajak aku ke sini pas SMP, makanya aku tahu tempat ini seindah apa ketika matahari terbenam.”
Kenangan memang selalu indah ketika dikenang, walau tanpa disadari terkadang kenangan selalu muncul bersama luka yang kembali memanas. Segera aku membuka mataku sebelum kenangan lain yang lebih pahit muncul. Pohon ini menjadi saksi tak bergerak tentang kisahku dengan Zahra. Kisah sepasang muda-mudi yang dimabuk cinta, dibutakan oleh asmara. Kisah pelajar dengan seragam putih abu-abu yang penuh tawa di awal cerita dan berakhir dengan duka saat menyelesaikannya.
“Shit!” Aku memaki diriku sendiri saat menghadapi kenyataan kenangan selekat darah. Menyatu dalam diri walau selalu ingin menjauhkannya, namun tak bisa. Kenanganku dengan perempuan berkerudung penggila warna merah itu terlalu lekat, seperti darah.
Ini adalah hari keduaku di kota ini. Setelah kemarin seharian bersilahturahmi dengan guru-guru SMA, kini aku ingin menghabiskan waktuku di tempat ini sebelum berangkat ke Inggris keesokan harinya. Aku rindu tempat ini. Empat tahun bukanlah waktu yang lama, namun aku begitu merindukan tempat ini sangat. Beasiswa kuliah di Bandung membuatku hidup menjadi perantauan, meninggalkan teman-teman, tempat favorit dan orang yang kusayangi di kota ini; termasuk Zahra.
Perpisahan karena keadaan selalu lebih memilukan dari alasan apa pun. Sekuat apa pun lengan berusaha untuk tetap menggenggam, jika semesta tak berkehendak, perpisahan adalah sebuah kepastian. Dan jika semesta berkehendak pun, bisa saja sore ini aku akan bertemu dengan Zahra lagi.
Pasca kepindahanku kuliah ke Bandung, komunikasiku dengan Zahra semakin memudar hingga puncaknya di tahun kedua kami benar-benar hilang kontak. Aku menyandarkan punggungku ke pohon, beristirahat sejenak seraya menikmati semilir angin serta pemandangan danau Toba yang mulai menjingga. Ternyata sebentar lagi senja akan tiba.
Detik berlalu menjadi menit. Sorot jingga cahaya matahari semakin memekat. Dari tempatku duduk, terlihat matahari sudah menggantung enggan. ”Senja dari tempat ini begitu indah,” gumamku. Pandanganku terpaku pada pesona jingga sore ini. Kemilaunya terefleksikan sempurna di danau Toba. Serupa cermin raksasa yang memantulkan cahaya jingga secara merata.
Pandanganku teralihkan oleh sosok perempuan dengan kerudung merah yang berada tak jauh dari tempatku duduk. Dia sibuk mengarahkan lensa kamera ke arah matahari yang–sebentar–lagi tenggelam.
”Zahra.” Dengan bodoh aku memanggil perempuan tersebut dengan nama Zahra. Jika orang itu bukan Zahra, aku akan menjadi orang terbodoh di pinggir danau ini.
Perempuan itu menoleh ke arahku. Diturunkannya lensa kamera yang menutupi wajahnya, terlihat perempuan itu memicingkan matanya saat melihat ke arahku. Seperti ingin memastikan apakah aku orang yang dikenalnya. “Rudi!”
Semesta memang tak pernah bisa ditebak. Sebuah pertemuan yang–sangat–tidak disengaja. Bertemu dengan Zahra bukanlah agendaku. Ada kerinduan yang membuncah keluar dari dalam dadaku. Seolah ingin ditumpahkan seluruhnya kepada Zahra. Dia terlihat semakin cantik, senyumnya masih semanis dulu, dengan kerudung berwarna favoritnya, dia semakin terlihat bersinar.
“Kamu, kapan sampai di sini? Ada keperluan apa?” ucap Zahra memulai obrolan basa basi setelah sekian lama tidak bertemu.
Aku mengatupkan bibirnya dengan jemariku. “Nanti saja aku ceritakan. Kini aku ingin sekali lagi menghabiskan senja di sini bersamamu.” Kemudian aku dan Zahra berbagi tempat duduk di bawah pohon ini. Sama seperti bertahun-tahun lalu, ketika aku dan dia masih berseragam putih abu-abu, memandangi senja dari tempat ini selalu indah.

Rabu, 13 Juni 2012

Jingga di Ujung Senja


“Aku menunggu pelangi,” ucap Ryan pelan. Pandangannya menatap jauh ke langit.
Bodoh, ucapku membatin. Langit sore ini terlihat cerah, tak ada setitik pun awan mendung yang singgah di sana. Aku mendongak menatap langit yang mulai menjingga. Tanganku berhenti menari di atas keyboards, senja selalu mampu memesonaku.
“Kamu lebih suka mana, melihat pelangi atau senja?”
Pertanyaan bodoh. Bukannya kamu sudah tahu? Tak kugubris pertanyaan Ryan. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku. Ide di dalam kepalaku sudah menunggu untuk diterjemahkan dalam aksara. Editorku sudah menunggu bab selanjutnya draft novelku.
Ryan yang tadi berdiri kini duduk di sampingku. Persis di sampingku. “Ya, aku tahu, kamu sangat menggilai senja. Benar?” Aku hanya tersenyum simpul kepada sahabatku itu. Dia yang mengenalku sejak beberapa tahun terakhir, sudah hampir mengetahui apa saja hal yang kusuka dan tidak.
Kami duduk di pinggir taman kecil di dekat sungai Musi. Dari tempat kami duduk, terlihat jelas sungai terpanjang di Pulau Sumatera itu. Tak jauh dari sini, kami juga dapat melihat jelas jembatan Ampera yang menjadi ciri khas kota ini. Sepanjang hari ini matahari bersinar cerah, hal yang membuat sorotnya begitu terang di langit; termasuk sore ini.
Tetiba sebuah ide untuk membuat puisi hinggap di kepalaku, mengusir sejenak tumpukan ide cerita yang sudah kususun. Rona jingga, dan pantulan cahayanya di sungai Musi membuat sisi puitisku keluar. Segera kujentikkan jemariku di keyboard laptop.

Aku, kamu, dan senja
Berbagi waktu di antara jingga yang menaungi kita
Memohon kepada waktu untuk melambatkan jalannya
Aku ingin kamu dan senja lebih lama
Kamu dan senja adalah satu
Tak terbagi dan tak terganti
Aku ingin menatap senja tidak tanpamu

“Kamu nulis sajak yah?” ucap Ryan. Aku kaget, kepalanya sudah ada dibelakang pundakku. Mencoba mencuri pandang atas apa yang sedang kuketik.
Segera kuhalangi dirinya agar tak melihat sajakku, namun dia tetap memaksaku untuk memperlihatkannya.
“Ayo dong, aku dikasih liat. Penasaran nih,” ucapnya setengah memohon dan menggodaku. Senyum manis dia tampilkan di wajahnya. Senyum yang meluluhkanku.
Aku tak dapat menahannya. Senyumannya terlalu manis, pesonanya terlalu kuat bagiku, aku pun membiarkannya melihat apa yang kuketik tadi.
“Wah, ini bagus.” Ryan mencubit pelan pipiku. “Kamu memang berbakat jadi penulis, Rani.” Kulihat senyumnya begitu lebar. Terasa hatiku menghangat karenanya. “Tapi, ‘kamu’ di sajak ini siapa? Pasti aku, kan?” tanyanya dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi.
Aku mengangguk pelan. Siapa lagi kalau bukan kamu, bodoh, ucapku dalam hati. Kamu sahabatku yang juga kekasihku. Memilikimu adalah kebagiaan besar bagiku. Mungkin aku adalah perempuan yang begitu beruntung. Memiliki kekasih sepertimu, yang begitu mencintaiku dan menerimaku apa adanya; walau aku bisu.
Kamu mengacak-acak rambutku. Kucubit pelan perutmu yang disambut ringisan kecil olehmu. Lalu kamu memelukku. Ah, senja bersamamu selalu indah. Temaram jingga yang diberikan oleh mentari menjadi penambah kebahagiaanku. Kamu dan senja, adalah hal yang selalu kusukai, ucapku melalui kontak mata denganmu saat mata kami saling memandang dalam keheningan yang ditawarkan senja.


Selasa, 12 Juni 2012

Pagi Kuning Keemasan


Mungkin aku adalah lelaki yang paling bahagia saat ini. Segelas kopi panas dengan aroma menggoda ditambah sebuah kecupan mesra menjadi pembuka pagiku, terasa manis saat bibir Raisa mencumbu bibirku. Dari tempat aku berdiri, di beranda penginapan yang aku sewa, aku memandang indah mentari yang baru akan memulai pekerjaannya; menyinari bumi.
“Indah,” ucap Raisa. Tatapannya menerawang jauh ke cakrawala. Sorot matanya berbinar cerah. Aku tahu bahwa saat ini dia sedang menikmati pemandangan indah ini. Jika aku mengagumi senja dan sunset, ketika mentari akan berpulang. Sebaliknya, Raisa sangat mengilai sunrise.
Aku memeluknya dari belakang. Kusandarkan daguku di pundaknya. Kuhirup aroma tubuhnya sesaat sebelum berbisik. “Ya, indah sekali. Sangat indah, apalagi saat memandangnya bersamamu. Keindahannya menjadi berlipat-lipat.”
Raisa mencubit pelan pinggangku. “Gombal.”
Aku tersenyum kecil seraya memeluknya lebih erat. Seolah tak ingin jauh-jauh darinya. Bagiku, pesona Raisa lebih indah dari apa pun, termasuk pemandangan pagi ini.
Kuarahkan pandanganku ke arah yang sama Raisa memandang. Mencoba ikut menikmati pemandangan langit yang mulai menguning. Tak seperti sunset yang meronakan jingga, terlihat seperti ironi dan kesedihan yang mendalam. Sunrise memiliki pesona yang lebih ceria, rona kuning keemasannya menggambarkan semangat dan kebahagiaan.
Raisa membalikkan badannya ke arahku. Ini tubuh kami saling berhadapan. Mata kami beradu pandang. Beberapa detik terlewat, hanya hening yang mengisi jeda tersebut. Kemudian kami saling tersenyum. Mulut tak berkata, namun mata dan hati berbicara dalam diam. Dalam sebuah keheningan selalu ada percakapan tak terlihat yang tercipta.
“Dari mana kamu tahu tempat seindah ini, Ram?” ucap Raisa seraya menyungingkan senyuman. Senyuman yang selalu menggodaku. Lengkung bibir yang selalu ingin aku peluk dengan bibirku.
“Sebuah rekomendasi dari salah satu rekan kerja. Dia bilang Pulang Lengkuas adalah tempat yang indah dan sulit untuk dilupakan setelah mengunjungi tempat ini.”
“Kamu harus berterima kasih dengan orang itu.”
Aku tersenyum simpul. Kulihat sorot mata Raisa begitu berbinar. Ya, aku harus berterima kasih dengan rekan bisnisku itu. Tempat ini memang indah. Memang bukan tempat yang paling indah, namun menjadi tempat indah yang tepat untuk dikunjungi.
“Karena berkat rekan bisnismu, aku bisa sebahagia pagi ini. Mentari yang terbit pagi ini adalah sunrise terindah yang pernah kulihat.” Raisa melingkarkan lengannya ke pinggangku. Jarak badan kami nyaris tak tersisa. Wajah kami saling berhadapan. Hidung kamu hanya berjarak nyaris beradu hingga dapat kurasakan deru nafasnya. Kutatap lekat matanya.
Di bawah cahaya keemasan mentari pagi ini, aku melewatkan momen yang sangat indah dalam hidupku. “Aku cinta kamu,” ucapku setelah bibirku lepas dari jeratan bibir Raisa. Kakiku mundur satu langkah. Kugenggam jemari Raisa. Kucium pelan ujung jari manisnya yang sudah terlingkarkan oleh cincin yang sama dengan cincin yang kupakai.
Raisa hanya tersenyum tersipu, dibelainya wajahku olehnya. “Love you too, my husband.” Aku mengembangkan senyum terlebar pagi ini. Pulau Lengkuas ini menjadi tempat terindah aku menghabiskan momen bulan maduku dengan Raisa. Selama beberapa hari aku akan menghabiskan waktu penuh dengan cinta bersama Raisa di pulau ini.

Senin, 11 Juni 2012

Menunggu Lampu Hijau


Kenangan menyeruak ke dalam ingatanku. Hari ini setelah sekian lamanya tak pernah menginjakkan kakiku di tempat ini, aku berkesempatan mengunjunginya lagi. Tempat yang menjadi simbol kota kelahiranku; Jam Gadang. Tempat yang menjadi kenangan terakhirku bersama Bapak.
Aku ingat sekali kapan terakhir kali aku ke tempat ini. Mengagumi kehebatan ‘Jam Raksasa’ dihadapanku. Aku yang saat itu ditemani oleh Bapak tak habis mendecak kagum. “Jam Raksasa seperti ini cuma ada 2 lho, Jang,” ucap Bapak kepadaku.
“Lalu, yang satu lagi, ada dimana, Pak?”
“Kembarannya ada di Inggris. Bujang tahu?”
Aku yang saat itu baru berusia 8 tahun belum mengetahuinya. Hanya gelengan lemah yang dapat kuberikan pada Bapak. “Memang di mana, Pak? Jauh yah?”
“Kembaran Jam Gadang ini ada di Inggris. Namanya Big Ben, paham kau Bujang?” Teringat jelas intonasi suara Bapak saat itu. Suaranya yg berat namun terdengar lembut ditelingaku masih terngiang di telingaku.
Pelupuk mataku mengembang. Kenangan yang tidak pernah kadaluarsa itu sukses menyentil hatiku. Saat aku memejamkan mata, tercetak jelas bayangan senyum Bapak. Lelaki yang begitu kukagumi. Lebih dari sekedar orangtua. Bapak juga adalah Ibu bagiku yang tidak pernah merasakan hangatnya pelukan dari perempuan yang melahirkanku. Ibu meninggal saat melahirkanku, itu yang Bapak ucapkan padaku saat aku menanyakan keberadaannya.
“Kamu suka melihat Jam Gadang ini, Bujang?”
“Suka sekali, Pak.”
“Kalau begitu, jika besar nanti, pergilah ke Inggris. Merantaulah kau kesana. Saksikan sendiri bagaimana megahnya bangunan itu.”
“Bapak sudah pernah melihat Big Ben?”
“Belum, maka dari itu, kamu wakili Bapak untuk kesana.”
Terputar ulang percakapanku dengan Bapak. Percakapan terakhirku dengannya. Sore itu. Kala matahari akan pulang keperaduannya. Ketika langit menyilaukan cahaya merah yang terlihat nanar dan penuh kesedihan olehku. Kesedihan benar-benar tertumpahkan dari mataku.
“Ayo kita pulang, Bujang.”
Bapak menuntunku sepanjang jalan. Saat dipersimpangan, terlihat olehku lampu masih menyilaukan warna merah. Saat itu dengan segera aku berlari menyebrangi jalan. Bapak tak siap dengan gerakanku, terlepas tanganku dari genggamannya. Saat itu aku lupa akan apa yang terjadi. Yang kuingat hanya lengkingan suara Bapak yang memanggilku. “Bujaaangg…”
Air mata menetes perlahan dari kedua bola mataku. Kebodohanku itu mengakibatkan Bapak celaka. Ternyata saat aku berlari menyebrangi jalan, lampu berubah menjadi hijau. Kendaraan yang melaju tak melihat keberadaanku. Bapak yang melihatku hampir tertabrak menyelamatkanku, konsekuensinya Bapak yang tertabrak.
“Bapak, maafkan Bujang, Pak,” ucapku menghadap Jam Gadang. Di sini, kenangan terakhirku dengan Bapak. Di sini pula aku menetapkan impianku, saat Bapak memberitahuku tentang Big Ben. Dan di sini pula, saat ini aku ingin Bapak tahu tentang keberangkatanku minggu depan.
“Pak, Bujang bakal wakili Bapak untuk melihat Big Ben dari dekat, Pak. Minggu depan Bujang akan berangkat ke Inggris. Bujang dapat beasiswa untuk kuliah di sana, Pak.”
Senja kembali menghampiriku. Setelah sekian lamanya tak bermandikan cahaya jingga di tempat ini, aku menikmatinya. Kususuri jalan di sekitar Jam Gadang. Melihat hiruk pikuk orang-orang awak yang sedang liburan di sini. Aku tersenyum simpul. Kuedarkan lagi pandanganku, kali ini ke arah persimpangan jalan. Kutatap lekat lampu lalu lintas. Lampu hijau sedang menyala, kendaraan segera melaju dalam diam. Seperti diriku yang sebentar lagi akan melaju jauh setelah sekian lama terhenti dalam kesedihan tentang Bapak.