Aku
berdiri dalam hening, namun isi kepalaku meracau dan sibuk berlarian. Air terjun
yang ada dihadapanku memaku tubuhku. Kamera yang kugenggam diam saja tanpa ada
niatan untuk bekerja. Tanganku diam, tubuhku diam, waktu seolah diam pula.
Terdengar jelas di telingaku suara
air yang memecah batu karang. Gemuruh air yang tumpah dari tempat tinggi itu
menciptakan buih yang tidak terhitung. Disela suara air terjun di hadapanku,
terdengar suara gemerisik angin yang bercampur dengan decitan suara burung.
Aku memandangi suasana sekitar. Mulai
menggerakan kembali tiap otot tubuhku, mengusir jauh hening yang menyergapku.
Air terjun di Tawangmangu ini selalu berhasil menghipnotisku setiap aku datang ke
tempat ini. Kunjunganku ke spot wisata air terjun terbaik di kota ini bukanlah
untuk yang pertama kali. Sudah sering aku ke sini, sampai jariku tak mampu lagi
menghitungnya. Namun, terakhir aku datang ke tempat ini sekitar 3 tahun yang
lalu, sebelum akhirnya aku pindah ke Ibukota, bekerja dan menetap di sana.
Kedatanganku kali ini ke air terjun
di kota ini, selain karena aku ada urusan pribadi di rumahku yang ada di
kabupaten Karanganyar, editor tempat aku bekerja memintaku untuk mengambil
foto-foto di air terjun ini untuk koleksi foto. Pekerjaanku sebagai fotografer
membuat pekerjaanku tidak terikat oleh sebuah kubikel dan jam kerja.
Aku mengarahkan kameraku ke air
terjun, sedikit merendahkan tubuhku, aku mengambil angle air terjun dari sudut rendah. Aku mengecek hasil jepretanku. “Lumayan,”
ucapku seraya tersenyum kecil. Kemudian aku kembali berjalan sembari mengambil
gambar air terjun dan pemandangan sekitarnya yang dipenuhi oleh pepohonan. Kembali
kuangkat kameraku ke arah muka. Membidik dari balik lensa, dan mengukur fokus gambar.
Angle yang sangat bagus, pikirku seraya masih mengatur fokus. Dalam
posisi berdiri di atas batu, aku membidik ke arah air terjun dari posisi agak
menyamping di kanan. Posisi yang cukup sempurna, menurutku.
Aku menurunkan kameraku, gambar tadi
tidak jadi kuambil. Perhatianku teralihkan oleh sepasang muda mudi yang ada di
dekat objek fotoku. Aku tertegun saat melihat mereka saling tertawa dan bercanda
berdua. Sepasang kekasih itu kemudian duduk berdampingan di salah satu batu,
jemari mereka saling bertaut. Percakapan yang diselingi oleh tawa sepasang
kekasih itu membuatku termenung. “Tari…” Aku mendesah menyebutkan nama
seseorang.
Sepasang kekasih itu mengingatkanku
pada masa laluku. Pada perempuan yang dulu begitu kucintai, hingga saat ini pun
juga. Kuarahkan kameraku ke arah sepasang muda mudi itu. Kuambil beberapa
gambar kemesraan mereka. Dulu, aku pernah berada di posisi mereka. Duduk di
atas batu sambil bergenggam tangan, berbagi cerita, berbagi impian dan berbagi
tawa dengan Tari. Namun itu dulu. Aku menghela nafas berat dan dalam.
Masa lalu hanya menjadi masa lalu. Kenangan
selalu menjadi bagian menyenangkan untuk diingat. Aku tersenyum kecil, dan
kemudian kembali berjalan dan mencari posisi mengambil foto yang bagus.
Kubiarkan kamera menggantung di leherku, lalu kuambil dompet di saku belakang. Kubuka
dan kulihat sebuah foto diriku yang saling menggenggam tangan dengan seorang perempuan. Terlihat jelas manisnya senyum di foto wajah perempuan tersebut. “Tari…, aku kangen kamu.”
Aku membelai foto yang sudah agak menguning itu. Dalam hati aku berjanji. Setelah dari
air terjun Grojogan Sewu ini aku akan mengunjungi makam Tari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar