Kamis, 25 Desember 2014

Bagaimana Jika Aku Tak Lagi Dapat Menjumpaimu Esok Hari

Kekasih, aku bahkan tak paham, esok, masihkah ada yang dapat kupijak.
Hari ini aku selalu risau;
mampukah aku tetap berdiri tegak.

Esok bagiku, ialah bagimana hari ini.
Begitulah kehidupan.
Selalu ada kejutan.
Celakanya, aku selalu berkawan dengan kesialan.

Kaki-kaki yang getar.
Bibir terkatup
Lidah yang tak lagi fasih menyemangati hati.
Dan rasa percaya diri yang mulai kehabisan nafas.

Kekasih, yakinkan kepada dirimu.
Jika esok itu tak kunjung juga datang kepadaku, teruslah kau berjalan.
Temui esokmu sendiri;
yang bukan denganku.

Rabu, 10 Desember 2014

Di Suatu Hari Saat Aku Mengingatmu

Aku mencari dirimu di antara jalan yang dulu kita lewati
Kenangan, ialah jejak sepatu
Di antara debu yang menyimpan jejak-jejakmu

Waktu ialah yang paling tabah menghadapi keheningan
Aku lebih pintar berkata-kata
Alih-alih bersuara
Dan kamu ialah pemenang dari sunyi yang kita lombakan

Suatu hari, di suatu kota turun hujan
Di sana aku membayangkanmu
Mengadah ke langit, berusaha menampung segala airmata;
termasuk airmaamu sendiri

Cinta tidaklah kekal, kekasih
Yang abadi ialah kenangan
Sebab itu aku selalu mengingatmu
Bahkan setelah cinta itu sudah membunuh dirinya sendiri

Kadang aku membayangkan
Sepasang tangan kita akan dapat menghentikan waktu
Menyisakan sedikit jeda untuk kita sia-siakan bersama
Hanya beradu pandang
Tanpa kata-kata
Tanpa suara
Dan hening menggenapi segala keganjilan diri
Mengisi segala kekosongan dan keomongkosongan
Menjadi suara di antara senyap;
yang ada di hati kita masing-masing

Kamis, 27 November 2014

Wake Me Up When September Ends

Aku memegang tangan kekasihku. Kami duduk di sebuah ruangan yang penuh dengan kaca. Begitu ada banyak kami di dalam ruangan ini, sehingga kami tak merasa kesepian.

“Tahukah kamu hal yang paling menyedihkan?” Aku mendongakkan kepala menatap sepasang mata kekasihku yang basah. “Sebuah perpisahan,” ucapnya lagi.

Tangannya memegang erat lenganku. Aku menepuknya pelan, lalu tersenyum. “Setidaknya tidak semenyedihkan perpisahan yang diam-diam. Perpisahan tanpa ada perayaan, tanpa ada perkataan.”

“Terkadang, aku ingin menggugat keadaan.” Kekasihku kembali berkata. Kulihat dia menggigit bagian bawah bibirnya yang sering kukecup. “Kenapa harus kamu, kenapa bukan orang lain?”

“Karena hanya aku yang bisa, Sayang.” Kubelai lembut helai rambutnya yang kekuningan, kusampirkan di daun telinganya yang selalu kubisiki kata cinta. Aku mendekatkan wajahku dan membisikkan kembali kalimat itu. “…sampai kapan pun. Bahkan jika nanti, ketika aku kembali, kau sudah menjalani kehidupanmu selama kebersamaan kita, dan kamu tak secantik saat ini.”

“Sudah waktunya,” sela seorang berpakaian perawat yang masuk diam-diam dari pintu yang berada di belakangku.

Aku bangkit dan bersiap, namun genggaman kekasihku begitu kuat. Isakan tangisnya perlahan terdengar lebih keras. Siapa pun dia, termasuk kekasihku, tidak ada yang pernah siap menghadapi perpisahan dengan orang dicintainya.

Aku tak tahu kapan lagi akan bertemu Arsailina. “Tunggu sebentar,” ucapku kepada perawat yang sudah berdiri beberapa langkah di depanku.

“Kami tunggu di depan,” ucapnya singkat tak berbasa-basi.

“Arsa,” bisikku kepadanya. Kupegang bahunya yang gemetar dan kupeluk tubuhnya yang sudah khatam kujamahi. “Jika nanti aku kembali, aku akan meminta kepada mereka untuk membangunkanku di bulan September. Agar nanti aku bisa merayakan ulang tahunmu yang entah ke berapa.” Sekali lagi kudaratkan sebuah kecupan untuknya di ubun-ubun kepalanya.

“Berjanjilah,” ucapnya lirih.

“Ya.” Kulepaskan pelukanku dan beranjak menuju pintu. Di sana perawat tadi sudah menungguku.

***

Arsailina berdiri memandangi Zei yang berjalan memunggunginya. Zei adalah seorang sebagai agen rahasia. Arsailina sudah terbiasa melihat punggung suaminya ketika berangkat menjalani misinya, namun kali ini punggung itu terlihat begitu jauh. Arsailina mengangkat lengannya, mencoba menggapai punggung semakin menjauh, ke tempat yang tak akan pernah bisa dia gapai.


Di tangannya digenggam sebuah surat dari sebuah organisasi rahasia milik pemerintah yang menyatakan suaminya menjadi salah satu dari beberapa orang yang akan ‘ditidurkan’

.
*Dikembangkan dari fiksimini Ahmad Abdul Mu'izzWAKE ME UP WHEN SEPTEMBER ENDS. Aku hanya tak ingin bertambah tua.

Silsilah Luka

Sumber: http://arzuhan.deviantart.com/art/Darkness-100010629
Rumi berdiri menatap cermin yang memantulkan separuh bayang tubuhnya. Dari sebelah kanan, cahaya lampu jalanan masuk sebagian melalui celah jendela yang tak tertutup rapat. Tak banyak cahaya yang dapat masuk ke dalam kamar yang lampunya entah telah mati sejak kapan.

Dia tersenyum menatap wajahnya sendiri, lalu kadang tertawa kecil. Dia mengambil lipstik berwarna semerah darah lalu dioleskan ke bibirnya secara serampangan. Kini, seputar bibir, mulut dan pipinya berwarna merah, dengan sedikit noda merah lainnya yang sudah ada di sana sejak tadi.

“Huahahaha.” Rumi tertawa terbahak saat melihat hasil riasannya sendiri.

Diletakannya lipstik tersebut dan kemudian dia mengambil bedak yang berada tak jauh dari tempat dia meletakkan lipstik. Dipoleskannya pelan-pelan ke pipinya. Tangannya gemetar saat melakukan hal tersebut. Jemarinya yang kemerahan sudah mulai terasa lengket dan sulit untuk digerak-gerakkan. Dengan telaten Rumi merias wajahnya sendiri dengan penerangan seadanya.

Peralatan di meja rias tersebut cukup lengkap, dan Rumi terus mencoba satu per satu dengan cara yang salah. Dirinya yang selama ini tak pernah belajar dan diajarkan cara merias wajah. Jemarinya tak fasih mengenal pelbagai peralatan kecantikan yang ada di hadapannya.

Tidak ada yang abadi di dunia ini, termasuk kebohongan. Karena di balik hitam kau akan menemukan terang.

“Aku cantik kan, Sayang?” ucap Rumi kepada lelaki yang tertidur di ranjang di belakangnya. Dia terlihat pulas berbaring tanpa busana.

Rumi bangkit dan berjalan ke arah ranjang, dan duduk di tepinya. Tangannya membelai lembut rambut kekasihnya yang kaku dan berbau amis.

“Cantikan mana, Sayang? Aku pakai make up atau aku yang tidak pakai make up?”

Jemari Rumi menyusuri lekuk wajah kekasihnya. Dia mendekatkan wajah dan mencium keningnya.

“Katamu, tanpa make up pun aku sudah cantik. Katamu, ‘tak perlu kamu berias, kamu sudah cantik. Aku cinta kamu.’”

Rumi bangkit dari tepi ranjang, lalu berjalan ke tepi ranjang yang lainnya. Saat melewati meja rias dia mengambil sebuah benda yang ada di atasnya.


“Tapi, kenapa kamu memilih dia!!” pekik Rumi. “Kalau aku lebih cantik, kamu mencintaiku, kenapa kamu berkencan dengannya!!” Dihantamkannya berkali-kali palu yang digenggamnya ke batok kepala perempuan yang tubuhnya telanjang. Dia tergolek di bawah ranjang. Paras wajahnya yang cantik sudah penuh dengan darah yang mengalir dari celah rongga kepalanya.

Rabu, 26 November 2014

Doa Untuk Kekasihku

Aku ingin menjadi cahaya, agar kamu tak tersesat, dan langkahmu aman tanpa takut tersandung, terjatuh atau bahkan terjerembab. Dulu katamu, hal yang paling mengerikan ialah terjebak dalam kegelapan, lalu kita tak tahu ke mana kaki melangkah, apa saja yang sudah kaki kita tapaki, dan tempat apa saja yang sudah kita singgahi.

Kekasih, aku ingin menjadi penerang bagimu, agar langkahmu lebih waspada dan kakimu tak terluka saat menapaki jalan kehidupan yang penuh dengan duri.

Suatu hari aku berdoa kepada Tuhan, Jadikan aku cahaya, agar kekasihku tak lagi berada di dalam kegelapan. Matanya telah menjadi cahaya bagiku, dan kini izinkan aku menjadi cahaya bagi matanya.

“Maaf selalu merepotkanmu,” ucap Gia suatu hari kepadaku.

Aku tersenyum dan mengetukkan jariku sebanyak dua kali ke telapak tangannya. Sesudah itu kami kembali berjalan tanpa peduli tatapan orang lain yang melihat kami. Sepanjang jalan aku menautkan jemariku di sela-sela jemarinya. Mengusir hawa dingin yang diam-diam memeluk sekujur tubuh kita masing-masing.

“Aku memang takut gelap, tapi setidaknya jika bersamamu, aku tidak sendirian saat menghadapinya.” Aku mendengar jelas kata-kata yang kamu ucapkan kepadaku di sore terakhir itu. Lagi-lagi aku tersenyum saat mendengarnya, lalu kuraba pipimu dan kusap pelan.

Sore itu adalah sore terakhirku bersamamu. Setelah sore itu, Tuhan memanggilku dan tidak memperpanjang kontrak roh yang menghuni tubuhku.

Entah selama beberapa hari atau beberapa minggu atau beberapa tahun aku hanyut dalam kegelapaan. Aku tidak bisa menghitung dengan pasti waktu yang sudah terlewati, sebab waktu adalah perihal yang paling tidak pernah dapat dipastikan dengan baik. Selama itu aku tak melihat apa-apa. Gelap. Akhirnya aku paham bagaimana rasanya menjadi kamu.

Kini, setelah sekian lama, aku rindu kekasihku. Tuhan, aku rindu kekasihku, izinkan aku untuk dapat melihatnya kembali. Untuk kedua kalinya aku berdoa.

Kesokan harinya, Tuhan menjawab kedua doaku secara bersamaan. Malam itu aku melihat kekasihku, Gia, baru pulang entah dari mana. Dia terlihat jauh lebih cantik dan juga dewasa. Aku melihat sekelilingku, dan mendapati diriku berada di ruang keluarga rumah kekasihku tersebut.

Tuhan mengabulkan doaku.  Aku kembali melihat kekasihku dengan cukup jelas, dan juga menjadi cahaya.


“Pa, itu chandelier kapan dibelinya? Kok aku baru lihat?” tanya Gia saat melihatku. Aku memekik girang, tubuhku bergoyang. Akhirnya kekasihku dapat melihat cahaya.

Selasa, 25 November 2014

Menunggu

Seorang lelaki muda duduk di sebuah bangku taman. Sejak tadi dia sibuk melihat pergelangan tangannya yang dilingkari oleh jam. Sudah hampir 1 jam dia menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang.

Malam ini adalah malam minggu, dan seperti layaknya pasangan kekasih pada umumnya, lelaki muda itu dan kekasihnya sudah mengatur janji untuk bertemu di taman ini.

Lelaki muda itu berdiri, dan berjalan mondar mandir mengitari bangku taman, kekasihnya tak kunjung datang. Bayang-bayang batal berkencan sudah mampir dibenaknya dan membuatnya semakin gelisah.

“Belum juga datang, Roy?” tanya seorang perempuan dengan make up tebal dengan sanggul tebal di belakang kepalanya.

Roy mendongak ke arah seberang. “Belum, Madame Marrie,” ucapnya lemah.

“Mungkin di ruang depan masih banyak tamu, dan tuan besar belum atau tidak pergi berkencan dengan nyonya besar malam ini.”

“Iya mungkin.”

“Kamu tidak ingin melihatnya?” tanya Madame Marrie.

“Ingin, tapi....” Roy mengerling ke arah samping.

Madame Marrie mengangguk paham saat melihat Tuan Leo sedang tertidur. Roy tidak bisa lewat, jika itu dilakukan, maka Tuan Roy yang pemarah akan terbangun. Ketika hal itu terjadi, hal yang tidak mengenakkan akan terjadi.

“Baiklah, biar aku saja yang melihatnya,” ucap Madame Marrie meninggalkan bingkai lukisannya dan berpindah dari satu bingkai ke bingkai lainnya hingga akhirnya dia sampai di beberapa bingkai foto yang dapat melihat ke ruang tengah.

“Lukisan yang bagus. Cantik,” gumam seorang lelaki saat memperhatikan dengan detail tubuh kekasih Roy tersebut. “Siapa dia?”


“Kekasih almarhum anakku,” ucap tuan besar kepada lelaki yang merupakan temannya sesama kolektor lukisan.

Senin, 24 November 2014

Tetanggaku Perempuan yang Paling Cantik


Tetanggaku adalah perempuan yang paling cantik. Meski dia jarang berbicara, dan tak pernah tersenyum, aku akan selalu senang memandanginya yang terlihat begitu menarik. Jika sedang tak ada pekerjaan, aku akan betah duduk berlama-lama di beranda rumahku, hanya untuk sekedar memandangi wajahnya.

Matanya. Sepasang bola matanya ialah yang membuatku rela menghamburkan waktu yang katanya begitu berharga. Aku selalu merasa senang dan tenang tiap memperhatikan sepasang mata tetanggaku itu, walau aku tahu ada begitu banyak duka yang merumah di sana.

Tetanggaku adalah perempuan yang memiliki mata paling cantik di seantero komplek perumahanku. Matanya adalah laut, tempat di mana segala kesedihan bermuara. Setiap ada orang yang memandangi matanya, maka segala kesedihannya akan terhisap ke sana. Sebab itu, aku selalu senang saat memandangi mata tetanggaku yang keruh, di sana, banyak pasang airmata yang merumah dan bermuara.

Konon katanya, tetanggaku adalah putri seorang nelayan. Setiap hari dia selalu memandangi perairan yang luas sehingga matanya yang awalnya berwarna hitam, berubah warna menjadi kebiru-biruan. Dulu, tetanggaku itu orang periang, selalu tersenyum dan boros dalam mengumbar tawa. Sepasang bibirnya tak pernah terkatup dan tertutup. Aku mendengar hal ini dari mamang penjual rokok di warung pinggir jalan yang ada di depan komplek.

“Lalu mengapa saat ini dia menjadi pemurung dan pendiam? Dan sepertinya warna bola matanya cokelat keruh.”

***

Tetanggaku adalah perempuan paling cantik. Tak ada yang menyangkal pengakuan tersebut. Dari pria muda sepertiku, hingga mamang penjual rokok yang rambutnya tak lagi ada yang berwarna hitam pun sepakat, bahwa tak ada yang menandingi kecantikan tetanggaku tersebut.
Malam ini, aku duduk asik di beranda dengan secangkir kopi dan buku kumpulan cerita karya Agus Noor yang baru saja kubeli sore tadi. Aku menunggu tetanggaku pulang.

Benar saja, ketika jarum pendek di jam tanganku menunjukkan pukul 11, tetanggaku pulang. Dia keluar dari mobil mewah yang mungkin baru bisa kubeli jika aku menabung selama 20 puluh tahun dengan gaji sesuai UMP di kota ini, atau jika aku jadi anggota dewan seperti pemilik mobil mewah tersebut.

Tetanggaku yang cantik keluar dari mobil tersebut. Malam ini dia memakai pakaian dengan punggung terbuka, belahan dada begitu rendah dan panjangnya hanya mampu menutup setengah bagian pahanya yang mulus. Aku tak tahu nama jeni pakaiannya apa, tapi yang aku tahu tetanggaku terlihat tambah cantik karenanya.

Tak lama, mobil mewah tersebut pergi meninggalkan tetanggaku yang terlihat mengumbar tersenyum palsu.  Dia duduk di beranda rumahnya, lalu menangis seperti biasa.


“Konon katanya dia terpaksa menjadi simpanan pejabat karena ayahnya mati di tengah laut karena tersapu badai saat sedang mencari ikan, dan keluarga terlilit hutang banyak. Sejak saat itu, perlahan, kedua matanya berubah warna, dari kebiruan menjadi kecokelatan.  Keruh, seperti air laut di tepi pantai atau seember airmata yang bercampur dengan make up yang luntur di wajah.”

Jodoh

sumber: http://hanyabloghanna.blogspot.com
Di sebuah persimpangan, seorang tua menemukan jodohnya. Langkahnya tertatih menyambangi perempuan yang begitu tabah menunggunya.

Cinta, ialah perkara paling bodoh yang digilai oleh banyak orang, termasuk perempuan yang sedang menunggu ini. Dia duduk di tepi jalan tempat orang-orang mati berlalu lalang, seorang diri.

Perempuan itu di sana, menunggu, terus menunggu jodohnya tiba. Seorang diri dengan puluhan pasang airmata.

"Maaf sudah menunggu lama. Terima kasih sudah menungguku," lelaki itu berkata dengan bibir yang gemetar, tak beda dengan lututnya.

Perempuan itu tersenyum, "Tak apa. Kamu terlihat lelah. Sejauh apa perjalananmu?" tanyanya sembari mengelus lengan jodohnya tersebut.

"Tak begitu jauh, hanya 7 kali putaran reinkarnasi."

Kamis, 13 November 2014

Air Manusia

Irwan tersenyum lega saat melihat bidan keluar dari dalam ruang bersalin. Bidan tersebut menggendong seorang bayi yang kulitnya masih putih kemerahan. Bayi itu tampak cantik dan kulitnya bersih.

Bayi terlahir dalam kondisi suci, dan bersih; seperti air. Air yang mengalir dari mata air selalu dalam kondisi murni dan bersih, pun begitu dengan manusia yang lahir dari mata air di rahim ibunya. Namun waktu dan proses kehidupan akan selalu dapat mencemari kemurnian tersebut.

Air mengalir dari bukit, lalu turun melalui anak-anak sungai, kemudian berjumpa dengan manusia, hewan dan tumbuhan. Lalu air tersebut bergaul dengan mereka dan tak lagi murni. Akan ada sampah yang mencemari air tersebut.

Pun juga dengan manusia. Kala bayi itu beranjak dewasa atau didewasakan waktu, ia akan bertemu dengan manusia lainnya. Kemudian kesedihan, duka, kesalahan, dosa dan dusta menjadi sampah yang senantiasa mengotori hati manusia; mencemari air yang tadinya bersih dan murni.

Seperti air, tiap manusia akan memiliki tempat perhentian terakhir. Setiap orang akan kembali kepada-Nya dalam keadaan yang tidak lagi suci, seperti air yang kembali ke laut; pulang ke tempat peristrahatan terakhirnya.

Irwan terdiam memandangi putri pertamanya, dan menggendong dengan tulus, dan berjanji agar kehidupan tak terlalu mencemari putrinya yang bersih seperti air ini.

Sabtu, 08 November 2014

Jangan Pergi

Jangan pergi
Tetaplah di sini

Bawa aku jika kau tetap ingin pergi
Walau katamu, kau berniat untuk kembali

Isi kepalamu ialah yang terkeras yang pernah kutemui
Namun pelukmu yang lembut selalu dapat meredam nyeri

Segala duka, dan pasang airmata menjadi tak berarti
Saat lingkar lenganmu memenuhi lengang tubuhku
Dan kita akan berbagi cerita dan tawa
Hingga pagi dan kita terbangun dalam keadaan saling memeluk

Jangan pergi
Duka ini tak mampu kutanggung sendiri

Aku tak butuh fotomu
Sebab, garis rahangmu ialah yang paling mudah kuingat
Dan dadamu, ialah tempat peristirahatan terbaik
Di sana, lelahku kehilangan upaya tuk lemahkanku

Jangan pergi
Aku tau, kau tak berniat kembali

Selasa, 28 Oktober 2014

Secangkir Kopi Pahit

Pagi ini aku terbangun mengingatmu
Di meja makan, terdapat sebuah cangkir kopi pahit yang semalam kuseduh untukmu
Katamu, kopi pahit tak sepahit kehidupanmu


Cangkir itu penuh dengan semut
Mungkin, hidupmu pahit
Namun kenangan tentangmu selalu manis
Tanyakan saja kepada semut-semut yang berkumpul di bekas bibir cangkir yang kau seruput.

Pagi ini, aku terbangun mengingatmu
Kau seolah ada pagi ini
Di dapur, sedang membuat sarapan pagi kesukaanku
menyeduh segelas teh yang selalu tak pernah manis
Tapi tak apa, aku tetap suka

Malam ini, aku kembali pulang tetap dengan mengingatmu
Berharap, semua yang kuingat tak pernah menjadi pahit sebab waktu
Aku mengingatnya seraya belajar untuk mencintai segelas kopi pahit yang terasa manis.

Kamis, 02 Oktober 2014

Untitled

Aku mengenangmu sebagai doa
Yang tak pernah bosan diucapkan oleh para pendosa
hal-hal yang kadang dilupakan mereka suci di sana

Di penghujung kemarau, bibirku menggumam penuh
Hujan selalu turun di sela keringnya harapan, dan suburnya rindu
Basah oleh gelisah, gersang bersama angin musim kemarau yang melambatkan lajunya

Cintaku terbakar, oleh risau-risau yang tak urung usai
Perempuanku, kuyupkah kau di sana?
dengan segala cemas yang meremas-remas dadamu; juga dadaku.

Senin, 29 September 2014

Suatu Pagi di Sebuah Taman

Matamu ialah lapangan, tempat ingatanku melangkahkan kaki-kakinya yang pendek namun kuat
Di sana, dulu sekali pernah ada aku yang berkuasa
Namun tak kuasa bertahan lama di sana

Hatimu ialah ladang, tempat hatiku memanen buah kebahagian
Di sana, kutaburkan banyak bibit cinta
Namun lupa, ketika waktunya hanya duka yang tersisa

Pikiranmu ialah laut, tempat aku menenggelamkan diri
Di sana, ada kehidupan yang menghidupkan
Namun terlalu lama aku di sana, dan tenggelam

Malam ini, ketika aku memejamkan mata, mengenangmu
Dalam pikiran aku merindukan suatu pagi di sebuah taman
Bukan merindukanmu

Aku merindukan sebuah kisah;
Sebuah lapangan yang ingin kakiku jejaki
Sebuah ladang yang ingin kutanami
Sebuah laut yang ingin kuselami

Tentu saja, semua yang baru
Mengingatmu, aku merindukan suatu pagi yang baru di sebuah taman yang baru.

Senin, 14 Juli 2014

Lelaki Yang Jatuh Cinta

Maksud dari sajak ini sederhana saja

Seorang lelaki telah jatuh cinta

Dia belajar untuk menerima lelaki lain yang dicintai oleh perempuan yang dia cintai

Lelaki itu belajar untuk tertawa, dan mengerti lelucon antara wanita yang dia cintai dan lelaki yang dicintai wanita tersebut

Demi sebuah harapan sederhana; wanita tersebut menyadari kalau dirinya ada.

Jakarta, 14 Juli 2014

Sabtu, 28 Juni 2014

Cerita Workshop Cerpen Kompas 2014 (Bagian 1)

Dari sini cerita bermula...

Awal Mei, Pimpinan Kompas Minggu, Pak Putu Fajar Arcana atau yang biasa dipanggil Bli Can mengumumkan di twitter perihal adanya Workshop Cerpen yang akan diadakan oleh media Kompas. Sebuat kabar baik bagi para penulis-penulis muda dan baru yang ingin menambah pengalaman, wawasan dan kualitasnya dalam hal tulis menulis. Workshop Cerpen Kompas ini adalah yang kedua kalinya diadakan, setelaah sebelumnya diadakan di tahun 2012. Workshop cerpen yang pesertanya dibatasi ini menghadirkan cerpenis besar yang sudah kenyang malang melintang di dunia penulisan cerpen di Indonesia sebagai pematerinya, yaitu Seno Gumira Ajidarma dan Agus Noor. SGA!! Ah, nama beliau sebagai salah satu pemateri workshop sepertinya sudah cukup membuat banyak orang ingin bisa ikut menjadi bagian dari 30 peserta yang akan dipilih menjadi peserta workshop. Ditambah Agus Noor sebagai pemateri satunya lagi semakin menebalkan semangat banyak penulis untuk bisa hadir di acara tersebut. Bagi yang tidak tahu siapa beliau, silahkan kalian cek sendiri di google.

Tanggal 13 Juni, hari yang ditunggu tiba. Bli Can mengumumkan siapa-siapa saja yang beruntung  bisa menjadi peserta Workshop Cerpen Kompas 2014. Dari 29 nama penulis yang lolos, hanya ada 1 nama yang benar-benar aku kenal yaitu Putriwidi Saraswati, karena kami sama-sama anggota komunitas Bookaholic Fund, sebuah komunitas yang mengumpulkan dana melalui lelang buku yang hasilnya untuk disumbangkan. Sedangkan ada 2 nama lain yang aku kenal tapi mereka tidak kenal saya, yaitu Mas Oddie yang merupakan anggota aktif akun @fiksimini dan Mbak Vira yang pernah satu buku denganku di buku antologi The Coffee Shop Chronicles atau Lovediction 1, entah aku lupa.
foto: pengumuman nama peserta yang lolos Workshop Cerpen Kompas 2014

25 Juni 2014. Hari yang ditunggu tiba. Setelah nyasar ke gedung Kompas Gramedia di Palmerah Barat, akhirnya aku dan Putriwidi sampai di gedung Kompas Gramedia di Palmerah Selatan yang menjadi lokasi berlangsungnya acara Workshop Kompas 2014. Teman peserta pertama yang kita jumpai adalah Mbak Feby. Mbak cantik nan mungil dengan pembawaan yang ceria dan supel membuka awal perkenalan dengan peserta workshop lainnya berjalan dengan sangat baik.

Acara Workshop Cerpen Kompas 2014

Acara wokshop dibuka oleh Bli Can dengan cara yang tidak biasa. Beliau meminta untuk seseorang berkenalan dengan teman disebelahnya dan mengenalkan diri teman tersebut seolah adalah dirinya sendiri. Kikuk, pasti. Bingung, tentu. Hampir seluruh peserta workshop mengalami hal itu. Setelah perkenalan unik itu dilakukan dengan bingung, Blli Can memberitahukan maksud mengapa dia memilih cara pengenalan hal seperti itu. Kurang lebih Bli Can berkata seperti ini: “Seorang penulis harus bisa menggali informasi dari orang lain dan menjadi orang lain agar bisa lebih luwes dan bisa mengeksplore cerita.” (jika kata-katanya tidak tepat mohon dimaklumi).

Sesi Pertama: Seno Gumira Ajidarma

Setelah acara perkenalan singkat, Bli Can mempersilahkan Pak Seno Gumira Ajidarma untuk masuk ke dalam ruangan. Beliaulah yang menjadi pemateri sesi pertama. Sesi awal langsung dibuka oleh cerpenis senior yang karya-karyanya tidak pernah absen untuk terbit di Kompas setiap tahunnya, sebagai pengagum karya-karya SGA, tentu mendapatkan materi pembelajaran dari beliau adalah hal yang sangat dinantikan. Dalam pikiran, aku mengira SGA akan memberikan materi layaknya dosen di kelas, dengan slide dan penjelasan mengenai teori-teori. Salah. Aku salah banget. Tidak ada slide, tidak ada coret-coretan di board dan lainnya. SGA sejak awal kelas workshop dimulai konsisten hanya berbicara dan melakukan tanya-jawab-penjelasan dengan anggota workshop.

Selama hampir 1 jam SGA bermonolog, memberi contoh bagaimana membuat cerita dari sudut pandang yang berbeda. Beliau beberapa kali bercakap panjang lebar tentang kemungkinan-kemungkinan cerita yang dapat ditulis dari sebuah premis-premis kecil. Lalu, 1 jam berikutnya dihabiskan dengan sesi tanya jawab dari peserta workshop.

SGA membuka workshop dengan sebuah pertanyaan: “Pada bisa Bahasa Indonesia, kan? Kalau nggak bisa, selesai sudah. Tamat!”

Bagi SGA, teori itu tidak penting, yang terpenting adalah aksi. “Tulis apa yang kamu mau. Kalau mau tulis A, ya tulis A. Kalau mau tulis B, ya tulis B. Jangan kamu mau tulis A, tapi malah tulis B.”
Selama hampir 2 jam bercakap-cakap dengan SGA, ada beberapa poin penting yang disampaikan olehnya agar bisa menjadi penulis yang lebih baik.

1. Angle

                Ide boleh sama, cerita boleh serupa, namun sudut pandang penulis dalam menceritakan sesuatu adalah pembeda dasarnya. Setiap penulis punya ciri khasnya sendiri, dan harus. Menurut beliau, jika kamu ingin bercerita tentang suatu hal, pastikan ceritakan dengan sudut pandang yang berbeda, dengan sudut pandang yang lain dari yang sudah ada agar tulisanmu tidak dianggap serupa atau disama-samakan dengan karya penulis lainnya.
Setiap cerita memiliki tujuan. “Apa yang ingin kamu ceritakan dalam tulisanmu?” ucap SGA. Dan pemilihan angle dalam bercerita menjadi begitu penting bagi penulis untuk menyampaikan apa yang ingin dituliskan dalam sebuah cerita.
“Cerita yang sama akan dituliskan secara berbeda jika dilihat dari ‘mata’ yang berbeda.”

2. Imajinasi

                “Ide ada di mana-mana,” ucap SGA saat membuka workshop. Di awal workshop dia bercerita tentang banyak hal dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di jalanan, apa yang dilihat, dan apa yang didengar dapat dijadikan bahan cerita. Jadi, menurut SGA, kehabisan ide adalah sebuah omong kosong. Imajinasi tidak akan pernah habis menghasilkan ide. Maka itu, menurut SGA, sebagai penulis merangsang dan mengembangkan imajinasi adalah hal yang penting untuk dapat mengeksplore apa yang ingin dituliskan.
“Kembangkan apa saja yang mungkin dan pantas untuk diceritakan,” ucap SGA selanjutnya. Menurut beliau cerpen selalu dapat dimulai dari sepotong bagian cerita atau biasa disebut premis. Dari sebuah premis dapat dibangun sebuah konstruksi cerita pendek yang utuh. Cerita pendek, bukan novel yang diringkas atau dicomot bagiannya. Sebab menurut SGA kedua hal itu adalah hal yang sangat berbeda.
“Menulis novel itu banyak senjatanya, kalau jelek di bagian ini, bisa ditutupi dengan bagus di bagian lainnya. Sementara menulis cerpen itu senjatanya sedikit, maka itu jangan sampai ada yang sia-sia dalam tulisan.”

3. Cara Bercerita

                Hampir serupa dengan angle, cara bercerita setiap penulis bermacam-macam, namun dalam penulisan cerpen cara bercerita semua cerpenis hampir sama, yaitu harus efisien.  Dalam menulis harus show/menunjukkan cerita jangan sampai sering tell/menjelaskan isi cerita. “Seorang cerpenis harus bisa menceritakan sesuatu tanpa mengatakan sesuatu tersebut. Biarkan pembaca menerka apa yang sedang diceritakan oleh penulis. Berikan ruang bagi pembaca untuk membayangkan sendiri seperti apa wujud cerita tersebut.”

4. Ending

                Ending adalah bagian paling penting dalam sebuah cerita. Bagi SGA, ending sebuah cerpen adalah ketika cerita tersebut tidak selesai. “Sisakan sebuah misteri dalam sebuah cerita, agar pembaca sendiri yang menentukan mau dibawa ke mana cerita tersebut.”

Menurut SGA, tulisan sastra bukanlah sebuah pengumuman yang memiliki kejelasan dan satu makna saja. Penulis ketika menuliskan sebuah cerita pasti akan menitipkan gagasan dan pikirannya ke dalam tulisan. “Tulisan berharga karena ada pikirannya,” ucap SGA yang membuat aku memahami maksud beliau yang mengatakan ending/penyelesaian cerita adalah ketika cerita tidak selesai. “Misteri hanya menarik ketika cerita tersebut tetap menjadi sebuah misteri.”

5. Aksi

                “Ide yang paling bagus adalah ide yang menjadi ‘barang’, menjadi sebuah tulisan.” Kata-kata tersebut seperti menjadi sebuah tamparan bagi orang-orang yang suka menulis, sering punya ide-ide tapi malas untuk dituliskan.

Kebanyakan orang yang ingin menulis dan menjadi penulis hanya sekedar ingin. Hal ini dikarenakan tidak adanya aksi dalam melaksanakan keinginan tersebut. Kadang bagi pemula, ‘nyali’ untuk menulis menjadi redup. Ada sebuah ketakukan dan kecemasan dalam menulis. Takut jelek, takut dikritik, takut dicaci dan hal lainnya yang menjadi ‘momok’ bagi penulis-penulis baru dan muda.

“Bagus atau tidak itu hanya kesepakatan sosial, yang terpenting tulis saja dulu. Jadikan barang. Jadikan sesuatu. Jika memang tidak bagus tinggal direvisi itulah gunanya pengeditoran. Sebab sebuah karya tulisan bukanlah hal suci yang tidak bisa diotak-atik setelah selesai dituliskan.”
Foto: Selfie bareng Seno Gumira Ajidarma

Selasa, 17 Juni 2014

Riana dan Buku Tua

Apa hal yang paling kamu takutkan? Riana membaca kalimat pertama dari halaman paling awal pada buku yang dipegangnya saat ini. Kalimat tersebut dituliskan dengan warna hitam dengan corak tulisan yang miring dan ditulis dengan huruf sambung. Sesekali dia meniup debu yang menempel pada sekujur buku yang baru saja ditemukan olehnya beberapa menit yang lalu.

Riana menutup buku tersebut, lalu mengelus sampul buku yang warna hitamnya sudah agar pudar. Waktu sudah melunturkan kepekatan warna sampul buku tersebut. Riana tak tahu buku itu milik siapa, dan juga tak menanyakan kepada kedua orangtuanya siapa pemilik buku tersebut. Buku tersebut adalah hasil pencarian dari membongkar gudang barang-barang lama untuk mencari buku lama miliknya, namun yang ditemukan adalah buku tua dengan sampul berwarna hitam pudar dan kertas kecoklatan. Waktu menunjukkan dengan jelas umur buku tersebut lebih tua dari umur remaja tanggung yang menemukannya.

Riana memperhatikan dengan seksama buku tersebut, lalu kembali membuka buku itu. Apakah kamu takut akan darah? Riana kembali membaca sebuah kalimat yang ada di halaman ketiga buku tersebut. Hanya ada satu kalimat yang tadi dibaca, tidak ada yang lain. Kalimat tersebut berada di tengah halaman, terlihat sangat mencolok dengan warna merah yang begitu pekat.

Tidak, ucap Riana sedikit ragu. Seketika bulu roman di tengkuknya meremang. Dengan enggan dia menyentuh tulisan tersebut. Tubuhnya menegang kala menyadari bahwa tulisan di halaman kedua masih basah, seolah baru saja dituliskan. Didekatkan jemarinya yang digunakan untuk menyentuh kalimat ke hidungnya, dan mendapati bau anyir di sana.

Riana menelan ludahnya sendiri dan menutup kembali buku tua itu secara refleks, lalu menoleh ke arah kiri dan kanan bergantian. Tanpa dia sadari pundak dan punggungnya sudah basah, juga nafasnya yang agak memburu. Dia menoleh ke arah dinding di dekat ruang tengah dan melihat jam yang dipasang oleh Ayahnya, waktu sudah menunjukkan pukul empat namun kedua orangtuanya belum juga pulang. Padahal, sebelum pergi mereka mengatakan akan pulang sebelum pukul empat sore.

Riana menunggu di ruang tengah, menatap ke arah pintu namun sesekali mengarahkan pandangannya kembali ke arah buku tua tersebut, berulang-ulang. Darah mudanya yang penuh dengan gejolak rasa penasaran berkali-kali mendorongnya untuk membuka kembali buku tersebut dan melihat halamannya selanjutnya.

Dari sofa di ruang tengah remaja tersebut perlahan bangkit dan berjalan ke arah buku tua yang tadi ditinggalkannya di atas rak televisi. Degup jantungnya makin kencang seiring makin dekat tangannya untuk menyentuh buku tua tersebut.

"Adeeekkk..." Suara Ibu terdengar dari halaman depan. Kedua orangtuanya baru saja tiba. Riana berbalik ke arah pintu, buku tua tersebut disembunyikannya di bagian belakang bajunya, diselipkan di pinggang celananya. "Adek, tolong bantu Ibu, Dek," ucap Ibu yang terlihat kepayahan membawa beberapa kantong belanjaan bulanan seperti sabun, shampo, deterjen dan benda-benda keperluan yang diperlukan selama satu bulan ke depan.

Riana berjalan pelan ke arah pintu agar tidak terlihat mencurigakan, diambilnya salah satu kantong belanjaan berisi peralatan mandi ke arah dapur dan meletakkannya sembarang di dekat wetafel. Kemudian kembali ke arah pintu dan melakukan hal yang sama sementara ayah dan ibunya menurunkan beberapa kantong belanjaan persediaan makanan dari dalam mobil.

"Adek mau es krim? Ini Ibu beliin es krim cokelat kesukaanmu nih." Ibu mengeluarkan sekotak es krim yang tidak pernah mampu ditolak oleh Riana. Kedua bola mata remaja tanggung tersebut membulat.

Mau, Bu. Remaja itu mengangguk kepada Ibu dan Ayahnya yang sudah duduk di dekat meja makan. Diambilnya sekotak es krim itu dan dibawanya pergi.

"Adek mau makan es krim di mana? Nggak di sini aja? Bareng Ayah sama Ibu?" tanya Ayah kepada putrinya yang baru saja masuk usia belasan.

Riana menggeleng lemah. Aku mau makan di dalam kamar saja, sekalian mau baca sesuatu.

Ayah menggangguk, paham akan kode tangan yang diberikan putri semata wayangnya itu. "Yaudah, nanti sampahnya diberesin yah."

***

Satu suapan es krim kembali masuk ke dalam mulut Riana saat dia duduk di atas kasurnya. Di hadapannya buku tua yang ditemukannya di gudang masih tergolek manis. Sejak tadi Riana berkali-kali menyendokkan es krim tanpa sekalipun membuka buku tersebut dan melihat halaman selanjutnya. Sejujurnya dia merasa takut, namun rasa penasarannya begitu kuat sehingga membuatnya tak sabar untuk membaca kalimat yang ada di halamannya selanjutnya.

Dipegangnya buku itu untuk kesekian kali. Lalu diletakkannya kembali di atas kasur. Berulang kali Riana lakukan itu. Hingga akhirnya tak ada lagi es krim yang bisa disuap ke dalam mulutnya, baru dibulatkan tekadnya untuk membuka halaman selanjutnya buku tersebut.

Apakah kamu takut gelap. Kalimat itu tertulis di halaman kelima. Tidak seperti dua kalimat sebelumnya, di halaman kelima ini posisi kalimatnya ada di pojok kanan buku, dan berwarna perak.

Riana mengerenyitkan dahinya. Dia menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan tadi. Seketika kamarnya menjadi gelap gulita. Nafasnya tercekat, jantungnya berdetak kencang, dan perasaan panik dengan cepat merambati dirinya. Diraih ponselnya yang berada tak jauh dari genggamannya. Cahaya dari layar ponselnya menjadi satu-satunya pelita yang dimilikinya. Dengan segera Riana berjalan ke arah pintu kamarnya, dan keluar.

Ibu berjalan dari ruang tengah ke arah Riana yang baru keluar dari dalam kamarnya. Ibu memegang sebuah lampu baterai di tangannya sebagai sumber cahaya. "Sepertinya lagi ada pemadaman listrik, Dek. Tadi Ayah cek keluar, dan tetangga yang lain juga pada mati lampu. Ayo adek duduk di ruang tengah aja sama Ayah dan Ibu," ucap Ibu yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Riana yang masih sibuk mengatur nafasnya.

Dalam diamnya Riana memikirkan buku tua tersebut, seketika bulu kuduknya kembali berdiri dan meremang. Riana yang memeluk lengan Ibu saat dituntun ke ruang tengah mempererat pelukannya.

"Adek kenapa? Nggak biasanya takut gelap," ujar Ibu yang tak mendapat tanggapan dari Riana.

Listrik baru hidup kembali satu jam kemudian. Riana kembali masuk ke dalam kamar dan matanya langsung tertuju pada buku yang masih terbuka di halaman kelima. Riana dengan segera ditutupnya buku tersebut dan memasukkannya ke dalam plastik lalu dimasukkan ke dalam tempat sampah.

Riana kemudian membawa tempat sampahnya ke luar rumah dan mengeluarkan isinya ke tempat sampah utama, agar besok pagi akan diambil oleh tukang sampah.

***

Riana terbangun dari tidurnya, saat Ibu membuka jendela kamarnya. Pagi sudah tiba, sinar matahari menyilaukan matanya dan memaksanya untuk bangkit dari tempat tidurnya. "Adek... bangun, mandi sekarang yah, biar nggak telat ke sekolahnya.

Dengan enggan Riana mengambil handuk yang tergantung di salah satu dinding kamarnya dan berjalan menuju kamar mandi. Langkahnya terhenti saat melewati meja belajar.

Tubuh remaja tanggung itu bergetar saat melihat buku tua itu ada di atas meja belajarnya dengan kondisi terbuka di halaman kelima.

Selasa, 29 April 2014

Perempuan Yang Menunggu Waktu

"Nanti kalau kita sudah sama-sama dewasa, janji yah kalau kita akan bertemu lagi di sini."

Aku masih mengingat kata-kata itu. Kata-kata yang diucapkan saat umurku masih jauh dari usia orang dewasa. Masih dengan jelas ingatanku mengingat kapan dan di mana aku mengatakan hal itu dahulu, ketika seragamku masih berwarna putih merah dan rambutku masing sering dikepang oleh ibuku.

"Dewasa? Kapan? Harus ada patokan umurnya dong. Kita nggak tahu kapan kita merasa dewasa." Kata-kata lelaki seumuranku itu masih basah dalam ingatanku. Lelaki itu umurnya hanya berbeda dua bulan dariku, tapi pola pikirnya seperti dua tahun lebih tua dariku.

"Bagaimana kalau kita sudah sama-sama berumur 20 tahun?"

"Kapan tanggalnya? Yang pasti dong, kan kita berumur 20 tahunnya nggak barengan."

"Setiap hari ini. Tanggal sekarang. 20 Juni. Gimana, Rey?"

"Baik."

"Janji yah, Rey?"

"Iya janji. Tapi kalau kita nggak ketemu lagi gimana?"

"Ya kita janjian lagi pas umur kita 30 tahun. Kalau nggak ketemu lagi, ya pas umur kita 40 tahun."

Waktu terus berjalan, umur menua, tapi kenangan seringkali tetap awet muda. Itulah yang aku rasakan. Janji itu terasa seperti baru kemarin aku ucapkan. Aku selalu merasa baru beberapa hari yang lalu aku dan Reyhan saling menautkan jari kelingking.

Hari ini adalah hari yang dijanjikan. Aku berjalan pelan menuju tempat yang dijanjikan; sebuah taman yang tak jauh dari sekolah dasarku dahulu, taman yang tak jauh dari komplek perumahanku.

Taman itu masih terlihat sama bagiku walau sebenarnya sudah terjadi banyak perubahan sejak aku mengucapkan janji remeh dengan Reyhan bertahun-tahun yang lalu. Kadang, ada hal-hal yang akan selalu terlihat sama secara subjektif, walau secara objektif hal tersebut sudah tak lagi sama.

Tak lama, sebuah mobil berhenti tak jauh dari taman, seorang lelaki keluar dari dalamnya. Reyhan. Dia tersenyum ke arahku. Senyumannya masih terlihat sama, baik hari ini maupun bertahun-tahun yang lalu. Tak lama, di belakangnya berjalan seorang anak laki-laki yang wajahnya tak jauh berbeda dengan lelaki yang berjalan di depannya. Lalu digandengnya tangan bocah itu oleh Reyhan.

"Hai, Resita. Sudah daritadi? Maaf terlambat."

"Baru sampai juga. Bagaimana kabarmu?" tanyaku kepada Reyhan. "Dan bagaimana kabar jagoan kecilmu?" aku melirik ke arah bocah yang berjalan di samping Reyhan.

Waktu berlaku, orang-orang dan keadaan berubah namun perasaan adalah hal yang menjadi pengecualian. Ini adalah pertemuan yang kedua. Ini adalah pertemuan pertamaku dengannya dan jagoannya. Di pertemuan pertama aku dikabari langsung olehnya bahwa dia akan berkeluarga. Dan sejak itu kami masih sering berkomunikasi. Reyhan menganggapku sebagai salah satu teman baiknya, namun aku tak menganggapnya seperti itu.

"Re, pernah kepikiran nggak. Kok lucu yah. Kita berteman, sering berkomunikasi, tapi tetap harus bertemu setiap 10 tahun sekali."

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Reyhan. Andai dia tahu aku selalu menunggu waktu 10 tahun itu.

*cerita ini terinspirasi dari salah satu gambar dalam komik detective conan ini:

Rabu, 23 April 2014

Pertemuan yang Tak Pernah Kuinginkan Untuk Berakhir

Pertemuan dan perpisahan adalah jodoh abadi yang tak akan mungkin muncul tanpa disertai satu sama lain. Tak akan pernah ada sebuah awal pertemuan yang tidak diakhiri dengan perpisahan. Siapapun dia, dalam keadaan apapun, sebuah awal perkenalan pasti akan diakhiri dengan perpisahan. Yang membedakannya hanya waktu yang ada di antara keduanya; kenangan yang tercipta di antara jeda tersebut.

Tak selalu, sebuah awal pertemuan akan menimbulkan kesan baik dan menyenangkan. Umumnya sebuah pertemuan–yang biasanya–tidak sengaja akan menimbulkan kesan seperti itu. Seperti yang terjadi pada Zuan, di tengah terik matahari yang menyapanya, sebuah pertemuan yang–cukup–tidak menyenangkan dihadapinya.

“Jangan dorong,” terdengar suara seseorang dari belakang Zuan saat dirinya bersama mahasiswa baru lainnya sedang mengantri masuk ke dalam gedung kesehatan. Tes kesehatan yang harus dilakukan seluruh mahasiswa baru dalam waktu bersamaan ini menimbulkan antrian yang tidak sedikit. Satu angkatan mahasiswa baru berbaris rapi sejak pagi di depan gedung kesehatan. Prosedur tes kesehatan yang–cukup–tidak efektif membuat banyak mahasiswa baru belum menjalani tes, padahal hari sudah siang.

Antrian di belakang Zuan makin tidak karuan, dorongan dari beberapa orang yang tidak sabar membuat antrian menjadi tidak kondusif. “Pak, sudah siang nih,” teriak salah seorang mahasiswa berbadan besar yang berdiri tak jauh dari belakang Zuan. Seorang panitia–yang sepertinya dosen–tidak mampu menenangkan ketidak-sabaran para mahasiswa baru.

Sebuah dorongan keras dari arah belakang dirasakan lagi oleh Zuan, dirinya yang tidak siap, langsung oleng dan jatuh menubruk seseorang di depannya; mahasiswi. "Ah, maaf, ga sengaja," ucap Zuan seraya menangkupkan kedua tanganya di depan dada.

Perempuan berwajah khas bumi parahiyangan dihadapan Zuan hanya tersenyum masam pertanda maklum. Dia memegang sikunya, sedikit terluka sepertinya.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Zuan saat melihat ekpresi kesakitan di wajah perempuan itu.

"Nggak apa-apa," ucap perempuan tersebut, kemudian dia beranjak saat gilirannya tes kesehatan tiba. Dia segera masuk ke dalam gedung dan diperiksa oleh petugas medis.

Zuan memandangi perempuan tersebut, sampai gilirannya tiba. Pertemuan yang sangat tidak sengaja, dengan cara yangcukup–tidak menyenangkan. "Cukup manis," gumam Zuan seraya tersenyum mengomentari paras mahasiswi tersebut.

***

Pernahkan kamu berpikir dan menyadari, bahwa tidak pernah ada yang bernama kebetulan. Tuhan melalui pertanda alam sering bermain-main dengan rekaan yang tak pernah bisa diduga. Sebuah pertemuan yang tidak sengaja bisa menjadi sebuah awal yang bahagia, walau terkadang menimbulkan luka di dada.
“Kamu masih ingat semua hal itu?” tanya Zuan pada kekasihnya, Zahra.

Suasana kafe cangkir cukup lengang, hanya ada beberapa mahasiswa–termasuk Zuan dan Zahra. Zahra menganggup pelan seraya menyesap ice mocchacino kesukaannya. “Bagaimana aku bisa melupakan pertemuan pertama denganmu. Pertama kalinya aku ke kampus ini, langsung sebuah luka yang kamu berikan,” ucap Zahra seraya tertawa kecil.“

Zuan ikut tertawa mendengar ucapan Zahra, perempuan berwajah khas bumi parahiyangan itu mengingatkannya kembali pada awal pertemuannya dengan dia. Insiden dorong mendorong yang membuat kesan pertama mereka bertemu tidak menyenangkan. “Haha, aku percaya tidak ada yang namanya kebetulan. Setiap kejadian selalu berkaitan, sebelum atau sesudahnya. Seperti saat ini, mungkin saja, kejadian tersebutlah yang membuatmu tetap mengingat pertemuan pertama denganku.”

Zahra menatap lekat kedua bola mata Zuan, di sana dia menemukan kelembutan dan kehangatan lelaki yang menjadi kekasihnya sejak empat tahun yang lalu itu. Dia tersenyum, dadanya menghangat. “Ya, aku pun demikian. Begitu banyak pertemuan dengan lelaki, dan pertemuan denganmu menjadi sesuatu yang memiliki ingatan tersendiri, di sini,” ucapnya menunjuk ke arah dadanya.

“Lalu, apa lagi yang kamu ingat tentang pertemuan kita?” tanya Zuan.

Zahra memejamkan matanya, seolah mencari cerita yang tersesak di dalam kepalanya untuk dibacakan kembali kepada Zuan. “Apa perlu kuceritakan semuanya padamu?” Zahra balik bertanya.

“Ceritakanlah, aku ingin mendengarnya, walau aku pun tak pernah melupakan setiap pertemuan kita.” Zuan menggenggam jemari Zahra, dan tatapannya membalas tatapan perempuan yang dicintainya itu. Seolah berbicara, kedua mata mereka berkomunikasi, dan senyuman hangat bermekaran di bibir mereka masing-masing.

Terkadang ada hal-hal yang tak perlu diucapkan agar kita mengerti. Cukup dengan sebuah anggukan, mimik wajah, kedipan mata atau bahkan sebuah ekspresi diam, mampu membuat kita mengerti dan memahami apa yang ingin disampaikan.

Zuan dan Zahra masih beradu pandang dalam diam. Serupa itulah cara mereka membicarakan kenangan. Tak perlu suara, sebab mata mereka dapat membaca cerita tentang kenangan mereka melalui tatapan. Seolah barisan aksara menjelma di kedua bola mata, dan mereka saling membacanya masing-masing.

Suasana di cafe cangkir mulai ramai, saat semakin banyak mahasiswa yang berpakaian sama dengan Zuan dan Zahra memasuki ruangan. Beberapa di antaranya memberikan lambaian tangan dan sapaan kepada Zuan dan Zahra, yang juga dibalas dengan lambaian tangan dan senyum oleh keduanya.

“Ah, ternyata mereka di sini.” Tetiba suara khas yang sangat familiar terdengar dari arah pintu masuk. “Hey, pasangan romantis, kalian tuh hobi banget yah menghilang dan ninggalin kita,” ucap Prita dengan suara melengkingnya yang khas. Dia datang bersama Rudi, Fathya dan Wira yang muncul di belakang Prita.

Zuan melepaskan tautan jemarinya di jemari lembut milik Zahra.  Bertautan tangan dihadapan orang lain merupakan hal yang tidak biasa di universitas islam ini. “Biarkan kami menikmati privasi ini,” ucap Zuan yang kemudian dilanjutkan dengan tawa kecil.

“Nggak terasa yah,” ucap Fathya yang sudah duduk di samping Zahra. Rudi dan Wira memilih duduk di samping Zuan.

“Ya, kadang waktu terasa begitu cepat terlewat.” Wira menjawab ucapan Fathya.

“Ah, aku bakal kengen kalian nih. Kangen kumpul di sini setiap jam makan siang,” ujar Prita dengan mimik wajah yang menyiratkan kesedihan. Prita yang selalu terlihat senang dan ceria merupakan perempuan yang sangat ekspresif, dia selalu mengekspresikan apa yang dirasakannya, baik saat senang dan sedih.

“Sudahlah, jangan merusak suasana bahagia saat ini. Kamu nggak kasihan dengan Rudi apa? Dia tuh sekarang lagi senang sebab bisa lulus tepat waktu, masa kamu bahas sesuatu yang mellow sih,” ucap Zahra sembari meledek Rudi.

Gelak tawa pecah di antara mereka semua. Pertemuan, pembicaraan dan gelak tawa seperti ini akan menjadi hal yang akan dirindukan oleh mereka berenam.

“Semoga kedekatan kita nggak menghilang setelah ini. Toga ini bukan sebuah tanda akhir kebersamaan kita lho.” Rudi menunjuk Toga yang dikenakannya. Hari ini menjadi hari yang membahagiakan bagi mereka dan teman-teman satu angkatan lainnya.

“Ya benar, setiap pertemuan dengan kalian selalu menyisakan cerita yang dengan senang hati akan kukenang. Terutama setiap pertemuan dengan kamu,” ucap Zuan khusus pada Zahra. “Tiap pertemuan denganmu adalah hal tak pernah kuinginkan untuk berakhir.”

“Hey, sudahlah, jangan juga merayu di saat seperti ini,” ucap Wira kepada Zuan dan Zahra, dan gelak tawa kembali pecah.

Setiap pertemuan memiliki kisahnya masing-masing. Selalu ada cerita yang tercipta, dan menjelma menjadi kenangan, entah bahagia ataupun duka. Dan bagi Zuan, setiap pertemuan dengan kawan-kawan dekatnya ini merupakan pertemuan yang tak pernah diinginkannya untuk berakhir selepas masa kuliah ini, dan khusus dengan Zahra, dia tak pernah terpikirkan untuk berhenti bertemu dengannya.

Sabtu, 19 April 2014

Sajak-Sajak Dini Hari

sumber gambar: google.com
 
Di sepertiga malam aku bertanya, apakah ada sebuah rindu yang mati sebelum sempat hidup, merekah, dan tumbuh menjadi segumpal duri dalam diri
Jika ada, seperti apakah rasanya?
Aku bertanya saat sepercik gelisah merambati perasaanku
Mencekik logikaku sehingga aku limbung dan pikiranku melambung; pada sebuah sajak sederhana

Satu: ketika cinta merekah ada sebuah duka yang diam-diam menunggu takdirnya
Dua: berkawanlah dengan airmata, jika memang jatuh cinta sedemikian indahnya
Tiga: tersenyumlah, jika airmata terlalu mahal untuk dibuang percuma
Empat: pada akhirnya cinta akan melahirkan rindu dan gelisah
Lima: ingatlah, sepahit apapun, cinta tetaplah hal yang begitu manis ketika masih merekah
Enam: jatuh cintalah lalu terluka, sebab itulah takdir yang paling pasti selain hidup dan mati yang harus dijalani manusia

Di sepertiga dini hari, pikiranku banyak bertanya tentang hal-hal yang begitu sederhana
Misalnya, sajak-sajak tentang cinta
Tentang rindu yang mati sebelum sempat hidup, merekah dan tumbuh menjadi sebuah duri dalam diri.

Versi SC:  di sini