Selasa, 17 Juni 2014

Riana dan Buku Tua

Apa hal yang paling kamu takutkan? Riana membaca kalimat pertama dari halaman paling awal pada buku yang dipegangnya saat ini. Kalimat tersebut dituliskan dengan warna hitam dengan corak tulisan yang miring dan ditulis dengan huruf sambung. Sesekali dia meniup debu yang menempel pada sekujur buku yang baru saja ditemukan olehnya beberapa menit yang lalu.

Riana menutup buku tersebut, lalu mengelus sampul buku yang warna hitamnya sudah agar pudar. Waktu sudah melunturkan kepekatan warna sampul buku tersebut. Riana tak tahu buku itu milik siapa, dan juga tak menanyakan kepada kedua orangtuanya siapa pemilik buku tersebut. Buku tersebut adalah hasil pencarian dari membongkar gudang barang-barang lama untuk mencari buku lama miliknya, namun yang ditemukan adalah buku tua dengan sampul berwarna hitam pudar dan kertas kecoklatan. Waktu menunjukkan dengan jelas umur buku tersebut lebih tua dari umur remaja tanggung yang menemukannya.

Riana memperhatikan dengan seksama buku tersebut, lalu kembali membuka buku itu. Apakah kamu takut akan darah? Riana kembali membaca sebuah kalimat yang ada di halaman ketiga buku tersebut. Hanya ada satu kalimat yang tadi dibaca, tidak ada yang lain. Kalimat tersebut berada di tengah halaman, terlihat sangat mencolok dengan warna merah yang begitu pekat.

Tidak, ucap Riana sedikit ragu. Seketika bulu roman di tengkuknya meremang. Dengan enggan dia menyentuh tulisan tersebut. Tubuhnya menegang kala menyadari bahwa tulisan di halaman kedua masih basah, seolah baru saja dituliskan. Didekatkan jemarinya yang digunakan untuk menyentuh kalimat ke hidungnya, dan mendapati bau anyir di sana.

Riana menelan ludahnya sendiri dan menutup kembali buku tua itu secara refleks, lalu menoleh ke arah kiri dan kanan bergantian. Tanpa dia sadari pundak dan punggungnya sudah basah, juga nafasnya yang agak memburu. Dia menoleh ke arah dinding di dekat ruang tengah dan melihat jam yang dipasang oleh Ayahnya, waktu sudah menunjukkan pukul empat namun kedua orangtuanya belum juga pulang. Padahal, sebelum pergi mereka mengatakan akan pulang sebelum pukul empat sore.

Riana menunggu di ruang tengah, menatap ke arah pintu namun sesekali mengarahkan pandangannya kembali ke arah buku tua tersebut, berulang-ulang. Darah mudanya yang penuh dengan gejolak rasa penasaran berkali-kali mendorongnya untuk membuka kembali buku tersebut dan melihat halamannya selanjutnya.

Dari sofa di ruang tengah remaja tersebut perlahan bangkit dan berjalan ke arah buku tua yang tadi ditinggalkannya di atas rak televisi. Degup jantungnya makin kencang seiring makin dekat tangannya untuk menyentuh buku tua tersebut.

"Adeeekkk..." Suara Ibu terdengar dari halaman depan. Kedua orangtuanya baru saja tiba. Riana berbalik ke arah pintu, buku tua tersebut disembunyikannya di bagian belakang bajunya, diselipkan di pinggang celananya. "Adek, tolong bantu Ibu, Dek," ucap Ibu yang terlihat kepayahan membawa beberapa kantong belanjaan bulanan seperti sabun, shampo, deterjen dan benda-benda keperluan yang diperlukan selama satu bulan ke depan.

Riana berjalan pelan ke arah pintu agar tidak terlihat mencurigakan, diambilnya salah satu kantong belanjaan berisi peralatan mandi ke arah dapur dan meletakkannya sembarang di dekat wetafel. Kemudian kembali ke arah pintu dan melakukan hal yang sama sementara ayah dan ibunya menurunkan beberapa kantong belanjaan persediaan makanan dari dalam mobil.

"Adek mau es krim? Ini Ibu beliin es krim cokelat kesukaanmu nih." Ibu mengeluarkan sekotak es krim yang tidak pernah mampu ditolak oleh Riana. Kedua bola mata remaja tanggung tersebut membulat.

Mau, Bu. Remaja itu mengangguk kepada Ibu dan Ayahnya yang sudah duduk di dekat meja makan. Diambilnya sekotak es krim itu dan dibawanya pergi.

"Adek mau makan es krim di mana? Nggak di sini aja? Bareng Ayah sama Ibu?" tanya Ayah kepada putrinya yang baru saja masuk usia belasan.

Riana menggeleng lemah. Aku mau makan di dalam kamar saja, sekalian mau baca sesuatu.

Ayah menggangguk, paham akan kode tangan yang diberikan putri semata wayangnya itu. "Yaudah, nanti sampahnya diberesin yah."

***

Satu suapan es krim kembali masuk ke dalam mulut Riana saat dia duduk di atas kasurnya. Di hadapannya buku tua yang ditemukannya di gudang masih tergolek manis. Sejak tadi Riana berkali-kali menyendokkan es krim tanpa sekalipun membuka buku tersebut dan melihat halaman selanjutnya. Sejujurnya dia merasa takut, namun rasa penasarannya begitu kuat sehingga membuatnya tak sabar untuk membaca kalimat yang ada di halamannya selanjutnya.

Dipegangnya buku itu untuk kesekian kali. Lalu diletakkannya kembali di atas kasur. Berulang kali Riana lakukan itu. Hingga akhirnya tak ada lagi es krim yang bisa disuap ke dalam mulutnya, baru dibulatkan tekadnya untuk membuka halaman selanjutnya buku tersebut.

Apakah kamu takut gelap. Kalimat itu tertulis di halaman kelima. Tidak seperti dua kalimat sebelumnya, di halaman kelima ini posisi kalimatnya ada di pojok kanan buku, dan berwarna perak.

Riana mengerenyitkan dahinya. Dia menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan tadi. Seketika kamarnya menjadi gelap gulita. Nafasnya tercekat, jantungnya berdetak kencang, dan perasaan panik dengan cepat merambati dirinya. Diraih ponselnya yang berada tak jauh dari genggamannya. Cahaya dari layar ponselnya menjadi satu-satunya pelita yang dimilikinya. Dengan segera Riana berjalan ke arah pintu kamarnya, dan keluar.

Ibu berjalan dari ruang tengah ke arah Riana yang baru keluar dari dalam kamarnya. Ibu memegang sebuah lampu baterai di tangannya sebagai sumber cahaya. "Sepertinya lagi ada pemadaman listrik, Dek. Tadi Ayah cek keluar, dan tetangga yang lain juga pada mati lampu. Ayo adek duduk di ruang tengah aja sama Ayah dan Ibu," ucap Ibu yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Riana yang masih sibuk mengatur nafasnya.

Dalam diamnya Riana memikirkan buku tua tersebut, seketika bulu kuduknya kembali berdiri dan meremang. Riana yang memeluk lengan Ibu saat dituntun ke ruang tengah mempererat pelukannya.

"Adek kenapa? Nggak biasanya takut gelap," ujar Ibu yang tak mendapat tanggapan dari Riana.

Listrik baru hidup kembali satu jam kemudian. Riana kembali masuk ke dalam kamar dan matanya langsung tertuju pada buku yang masih terbuka di halaman kelima. Riana dengan segera ditutupnya buku tersebut dan memasukkannya ke dalam plastik lalu dimasukkan ke dalam tempat sampah.

Riana kemudian membawa tempat sampahnya ke luar rumah dan mengeluarkan isinya ke tempat sampah utama, agar besok pagi akan diambil oleh tukang sampah.

***

Riana terbangun dari tidurnya, saat Ibu membuka jendela kamarnya. Pagi sudah tiba, sinar matahari menyilaukan matanya dan memaksanya untuk bangkit dari tempat tidurnya. "Adek... bangun, mandi sekarang yah, biar nggak telat ke sekolahnya.

Dengan enggan Riana mengambil handuk yang tergantung di salah satu dinding kamarnya dan berjalan menuju kamar mandi. Langkahnya terhenti saat melewati meja belajar.

Tubuh remaja tanggung itu bergetar saat melihat buku tua itu ada di atas meja belajarnya dengan kondisi terbuka di halaman kelima.

1 komentar: