Kamis, 30 Mei 2013

Irina, Permata dan Kotak Perhiasan

Pesawat yang mendarat dengan tidak mulus menyebabkan terjadinya sedikit guncangan berhasil membangunkan tidurku. Aku bukanlah lelaki yang mudah tertidur di sembarang tempat. Hanya saja, sejak memulai perjalanan tadi mataku sangat lelah dan tak dapat menahan kantuk.

Satu persatu penumpang bangkit dari kursi mereka dan keluar dengan teratur. Sementara aku yang masih terkantuk masih terduduk. Menunggu semua penumpang turun agar tidak berdesakan dan juga menunggu kesadaranku pulih. Sekali tembak, dua burung tertangkap. Seperti itu mungkin bunyi pepatahnya. Dari tempatku duduk aku melihat seorang wanita cantik sedang marah-marah kepada pramugari yang tak kalah cantik dengannya. Aku tersenyum-menahan tawa. Sepertinya perempuan cantik itu sedang mengalami masa datang bulan yang tidak lancar.

Setelah hampir semua penumpang sudah turun, aku baru bangun, dengan enggan, seolah berat untuk beranjak. Harus diakui, ini adalah perjalanan pesawat yang paling nyaman-diluar pendaratan tadi. Baru kali ini aku bisa tertidur disepanjang perjalanan. Biasa, mataku tak pernah dapat terpejam lebih dari 10 menit apabila sedang berada di dalam pesawat. Entahlah. Aku tidak paham mengapa selalu seperti itu. Dan hanya kali ini saja aku dapat tertidur dengan nyenyak.

Aku berjalan keluar dengan santai. Kusunggingkan senyuman kepada pramugari yang tersenyum kepadaku. Senyum pramugari yang tadi kena omel perempuan aneh itu terlihat begitu manis.

"Excuse me," ucap perempuan muda dibelakangku. Perempuan itu terlihat sangat terburu-buru, dia menggenggam erat tas miliknya dan berusaha untuk bisa turun dengan segera. Sedangkan sebelah tangannya mengamit tangan seorang lelaki 'bule'-mungkin kekasihnya-yang berjalan dengan santai. "Come on, James. Cepat!" seru perempuan itu kepada lelaki dibelakangnya.

Tanpa sadar aku menaikkan alisku saat mendengar kalimat terakhir perempuan muda itu. Awalnya kupikir dia bukanlah seorang Indonesian. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kalau ternyata sepertinya dia adalah keturunan campuran. Aku yakin sekali hal itu, terlihat dari logatnya saat melafalkan kata sudah yang begitu lancar dan tidak patah. Pasti ayah atau ibunya yang masih keturunan negeri ini.

Aku meminggirkan tubuhku, membiarkan perempuan muda itu melewatiku. "Permisi," ucap lelaki bule itu dengan logat patah yang kubalas hanya dengan anggukan kecil dan senyum.

Dari arah belakang aku melihat sepasang kekasih itu berjalan terburu-buru seperti sedang mengejar atau dikejar sesuatu. Perhatianku lebih tertuju pada tas yang dikekap erat oleh si perempuan. Sepertinya di dalam tas itu berisi benda yang begitu berharga sebab sejak tadi dia sangat menjaga tas tersebut.

Suasana bising bandara selalu menjadi hal yang menarik bagiku. Banyak orang yang lalu lalang dalam berbagai ekspresi, santai, tegas, jutek, lelah dan semacamnya. Aku berjalan mengambil kereta dorong dan menuju lokasi pengambilan kopor milikku.

Saat di conveyor belt aku berpapasan dengan perempuan-cantik-yang-sepertinya-bermasalah-dengan-menstruasinya. Dia keluar saat aku baru saja masuk. Kuanggukkan kepala sedikit sebagai pengganti salam. Perempuan itu tidak menggubrisnya. Ekspresi wajahnya datar seolah tak peduli, dan langkahnya cepat saat mendorong trolley berisi barang-barangnya.

Kemudian aku melihat lagi perempuan muda tadi dengan kekasihnya. Dia tampak gelisah menunggu barang-barangnya keluar. Lalu kulihat, dia mengangkat telepon dan kemudian menjadi semakin panik. Seolah waktunya hampir habis.

Aku mengeluarkan novel kesukaanku dari tas. Membaca saat sambil menunggu adalah hal yang biasa bagiku. The Lost Symbol karya Dan Brown menjadi temanku menunggu saat ini. Karya-karya penulis ini sangat sesuai dengan seleraku yang memang memiliki basic keilmuan Antropologi dan minat di bidang Sejarah, Misteri dan Teka-Teki.

"Sabar... Sabar!" ucap lelaki bule bernama James itu kepada kekasihnya yanh terlihat sangat resah.

Aku menutup novel The Lost Symbol yang baru l kubaca satu halaman. Minatku untuk membaca surut. Kini, aku sibuk memperhatikan perempuan muda itu. Ekspresi wajahnya yang cemas dan resah terlihat begitu menarik.

Sesaat kulihat perempuan muda itu membuka tasnya dan mengambil sebuah kotak yang terlihat seperti kotak perhiasan, namun agak berbeda dengan kotak perhiasan yang biasa. Kotak beludru itu bermotif unik, seperti sebuah symbol gambar dan angka. Hanya sekilas aku melihatnya, sebab perempuan itu kembali memasukkan kotak tersebut ke dalam tasnya.

Aku meninggalkan trolleyku dan berjalan ke arah mereka untuk meminta agar diperlihatkan kembali kotak tersebut. Walau sekilas, kotak itu mampu mencuri perhatianku. Dan aku yakin, ada yang tidak biasa di kotak tersebut.

"Permisi," ucapku menyapa perempuan muda itu. Perempuan muda itu terlihat kaget dan mengekap erat tasnya yang berisi kotak perhiasan tersebut, dia langsung bersikap defensif dan berlindung dibelakang kekasihnya.

"Itu kopor kita!" ucap perempuan itu yang kemudian diambilnya dan dimasukkan ke dalam trolley. "Ayo kita pergi sekarang." Perempuan muda itu menarik kekasihnya dan segera berlalu keluar dengan terburu-buru, meninggalkanku yang tak digubrisnya.

Aku diam memperhatikan perempuan muda itu berlalu dengan pikiran-pikiran tentang perempuan muda itu dan motif kotak perhiasan yang tidak biasa tersebut. "Hey!" teriakku kepada perempuan muda itu yang sudah menjauh saat kusadari ada yang terjatuh dari tasnya yang tidak ditutup rapat akibat terburu-buru tadi. Sayangnya, perempuan muda itu sudah sangat jauh dan tidak mendengar aku memanggilnya.

Aku mengambil secarik kertas yang terlihat seperti corat coret-bagi orang biasa-yang aku sadari bahwa ini bukanlah corat coret biasa. Kertas ini berisi coretan sebuah 'plan' yang ditulis secara acak. Daru coretan di kertas itu aku mendapat beberapa nama dan informasi. Irina, James, Andrei, Brazil, Permata dan Kotak Kode.

Pikiranku langsung tertuju pada kotak perhiasan bermotif aneh tadi. Dan naluriku pada hal berbau misteri dan teka-teki membangkitkan gairahku.

Aku segera melipat, memasukkan kertas tadi dan menyimpannya ke dalam saku celana saat seseorang menepuk pundakku, menunjuk ke arah sebuah tas berwarna biru tua, menanyai apakah itu tas milikku. Aku mengangguk kecil dan memasukkannya ke dalam trolley dan berlalu keluar sambil berharap akan bertemu perempuan muda tadi diluar.

"Excuse me, Sir." Seorang lelaki berkulit hitam menghentikan lajuku. Kemudian lelaki itu mengeluarkan sebuah foto dan menanyakan apakah aku melihatnya.

Sejenak aku terkejut saat melihat foto yang dikeluarkan lelaki iti adalah foto perempuan tadi. Di foto itu ditulis nama Irina dengan pulpen berwarna merah. Aku menggeleng lemah kepada lelaki itu-berbohong.

Kemudian lelaki berkulit hitam itu berlalu dariku, lalu dia beranjak ke orang yang lain dan menanyakan hal yang sama. Asumsi-asumsi langsung beranak pinak dalam pikiranku mengenai perempuan muda bernama Irina itu, permata dan kotaknya yang aneh itu.

Jumat, 24 Mei 2013

Gelato Untukmu

"Kamu pernah dengar dan cicipin ice cream yang namanya gelato?" Aku menaikkan alis mata saat mendengar nama jenis ice cream yang disebut oleh Sofi.

"Tidak," jawabku singkat.

Sofi menoyor kepalaku, sahabat kecilku itu mengacak rambutku yang selalu kutata dengan rapi. "Kamu payah. Katanya pecinta ice cream, masa nggak tau apa itu gelato," ucapnya seraya mencibir. "Gelato itu ice cream khas Italy. Ice cream rendah lemak dengan tekstur yang lembut. Pengin deh nyicipin itu."

"Nanti aku akan belajar untuk membuatnya. Dan kamu harus mencicipi gelato buatanku." Aku mengumbar janji kepada Sofi yang juga maniak ice cream sepertiku.

Sekelebat ingatan percakapan dengan Sofi beberapa tahun yang lalu. Percakapan yang bisa dibilang merupakan percakapan terakhirku dengannya, obrolan tak penting yang hampir setiap malam kita lakukan. Obrolan malam itu adalah yang terakhir kami lakukan sebelum beberapa hari kemudian aku harus pergi meninggalkan Sofi untuk pindah ke kota lain untuk melanjutkan kuliah disana.

"Sof, aku udah bisa bikin gelato buat kamu. Gelato rasa cokelat mint dengan taburan almond. Ini favorit kamu kan?" Suaraku bergetar dan airmataku tak kuasa menahan diri untuk menetes.

Seminggu yang lalu aku menyelesaikan studiku, dan kembali ke kota ini. Selama aku kuliah diluar kota, hampir tak pernah aku berkomunikasi dengan Sofi. Sesekali, dan biasanya percakapan yang kami lakukan hanya basa-basi dan tak lama. Enam bulan yang lalu adalah yang terakhir aku mengobrol dengan sahabat kecilku itu, setelahnya tak ada lagi. Yang membuatku bingung adalah ucapan selamat tinggal yang dia ucapkan kepadaku diakhir percakapan itu. Seperti sebuah salam perpisahan.

Seminggu yang lalu aku kembali pulang ke rumah, dan mendapati kenyataan kalau aku tidak dapat lagi berbicara dengan Sofi, seperti masa sebelum empat tahun yang lalu, obrolan yang selalu kami lakukan hampir setiap malam.

"Sofi udah nggak ada, Nak Rangga. Selama ini Sofi mengidap kanker darah, dan menyembunyikan sakitnya ke semua orang selain keluarga, termasuk kamu. Enam bulan lalu dia meninggal, tak lama kalian ngobrol untuk terakhir kalinya.

Airmataku menderas. Sore ini, dihadapan makamnya, tanganku menggenggam dua buah gelas gelato yang susah payah kubuat. Hari ini adalah hari ulang tahun Sofi.

"Sof, selamat ulang tahun. Maaf baru bisa buatin gelato ini ke kamu hari ini." Aku meletakkan sebuah gelas di atas nisan bernama Sofiah Namira bin Abdul Ghaiswarna.

Rabu, 15 Mei 2013

Gara-Gara Kacamata

Aku melihatnya sore itu di sebuah stasiun kereta. Hanya sekelebat saja, namun dia mampu mencuri perhatianku. Di tengah keramaian orang-orang yang lalu lalang, dia terlihat begitu menarik walau pandanganku tidak terlalu jelas melihatnya.

Sore ini, di stasiun kereta, aku menunggu kereta yang akan membawaku pulang, aku melihatnya untuk pertama kalinya. Siapa dia? tanyaku sendiri dengan senyuman yang hanya aku sendiri yang dapat mengartikannya.

"Don, belom dateng juga?" Tiba-tiba, Rio berdiri disampingku. "Gue pikir lo udah pulang duluan."

"Belom, tumben nih telat keretanya," ucapku kepada teman sekelasku di kampus ini. "Lo sendiri tumben naik kereta. Motor mana?"

"Di bengkel," jawab Rio singkat. "Eh, kacamata lo mana?"

"Pecah. Kemarin jatoh. Gua belom sempet ke optik," ucapku kepada Rio yang berdiri disampingku sambil memakan siomay yang dibeli sebelum masuk ke dalam stasiun. Aku kembali mengarahkan pandanganku ke sosok yang sejak tadi menarik perhatianku.

":Lo ngeliatin apaan sik? Senyum-senyum aja daritadi?"

Aku mengarahkan telunjukku ke arah seseorang yang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri. "Cantik yah," ucapku berkomentar.

Rio mengerenyitkan dahinya. "Nggak salah lo, Don?" tanyanya seolah tak percaya.

Aku mengangguk. "Lo kenal? Kenalin ke gue dong."

"Lo serius?" Kembali, Rio menanyakan hal itu kepadaku yang aku jawab dengan anggukan juga. "Lo udah kenal tauk!"

Aku membelalakkan mata. "Emang iya yah? Siapa? Kenal dimana? Kapan?" ucapku memberondongkan pertanyaan kepadanya yang merupakan salah satu teman satu kelas yang sering nongkrong bersamaku. Sehingga Rio hampir pasti tau dengan siapa-siapa saja aku berkenalan.

"Yaudah yuk kita samperin," ucap Rio disertai senyuman lebar, dia menyeringai seolah ingin meledekku.

"Boleh." Aku meng-iya-kan ajakan Rio dan berjalan di belakang Rio menuju sosok yang sejak tadi membuatku penasaran. Aku menyipitkan mataku agar pandanganku menjadi sedikit lebih jelas.

Rio yang berjalan lebih dulu sudah sampai ditempat seseorang itu dan terlihat bercakap-cakap dengannya. "Nih, temen gue mau kenalan sama lo." Sekilas aku mendengar perkataan itu dari mulut temanku itu.

Aku tersenyum kecil mendengarnya. Kakiku mendekatkan diriku ke arah Rio dan orang tersebut.

"Lho, bukannya kita udah kenal yah? Lo Rio anak jurusan Sastra Belanda kan?" ucap orang itu dengan nada suara yang aneh. "Gue Ray, masa lo lupa?" ucap orang itu dengan nada suara yang dibuat-buat seperti suara wanita.

Bangsat. Ternyata orang itu adalah Ray Lazuardi, lelaki setengah jadi-jadian yang merupakan anak jurusan Sastra Prancis. Tanpa basa-basi aku segera menjauh dari Rio dan Ray. Dari arah belakangku terdengar suara Rio yang tertawa terbahak-bahak. Aku terus mengumpat sepanjang jalan menjauhi tempat Ray menunggu kereta.