Rabu, 23 Januari 2013

Kisah Sederhana Kala Senja

Matahari sudah mulai beranjak dari titik kulminasinya. Kini, sinarnya sudah mulai meredup, meninggalkan jejak-jejak kehangatan. Dan semilir angin, menambah daftar alasan untuk duduk-duduk, bersantai atau bahkan saling berbicara dengan secangkir kopi sebagai tegukan.

Sore ini, akhir pekan, seperti biasa, taman akan selalu ramai dengan orang-orang; para ibu yang menemani anaknya bermain prosotan, bapak-bapak menjelang paruh baya yang duduk beralas koran sedang sibuk memikirkan langkah permainan catur selanjutnya, bocah yang lari dengan senyum merekah sebab balon yang diinginkan berhasil didapatkan dengan cara setengah merengek, dan muda-mudi yang duduk berdua menghabiskan kebersamaan.

Aku selalu tersenyum jika sedang mengunjungi taman ini. Aura bahagia tersebar di penjuru taman, menjadi satu tempat dimana orang-orang menanggalkan kepenatan menjalani keseharian; seperti yang sering kulakulan.

Di tanganku, sudah siap kanvas kosong, pensil gambar, kuas berserta macam-macam warna cat air yang kubiarkan bertumpuk di dalam ember yang kugenggam. Kususuri jalan di taman, mencari posisi dan objek yang tepat untuk kujadikan model dadakan tanpa bayaran.

Di pojok taman, di bawah lampu penerang yang belum menyala lampunya, aku melihat seorang wanita yang sedang bersandar pada tiang. Wajahnya terlihat cemas-menunggu seseorang, terbukti dari intensitasnya melirik ke jam tangan yang dikenakannya di pergelangan tangan kiri. Aku tersenyum melihat tingkah polahnya.

Aku memundurkan langkah, menjaga jarakku agar tak disadari oleh wanita itu bahwa sedang ada aku yang memperhatikannya; mengagumi dirinya.

Kuambil pensil yang tak lancip ujungnya dari dalam ember. Kugoreskan, dan kubuat sebuah sketsa siluet wanita tadi. Jemariku dengan lincah menggoreskan pensil dan menghasilkan garis-garis yang kemudian menjadi siluet tubuh wanita itu. Angle dan pencahayaannya begitu pas.

Jika aku bukan seorang pelukis, melainkan seorang fotografer, aku takkan melewatkan moment itu. Cahaya matahari yang sudah menjingga jatuh menimpa kepal wanita itu, dan menghasilkan sebuah bayangan panjang yang bercampur dengan bayangan tiang. Dalam benakku, image yang terbayang begitu indah dan sempurna. Tapi, bukankah yang indah dan sempurna hanya memang ada di dalam benak saja.

"Kamu kemana aja? Sudah disini dari kapan? Kenapa nggak bilang-bilang?" Wanita tadi berbicara. Nada suaranya terdengar cemas dan kesal pada saat yang sama. Wanita itu berjalan menuju tempat orang yang menjadi lawan bicaranya tadi.

Aku tersenyum mendengarnya. Jemariku masih asik menggoreskan mata pensil di kanvas, dan sesekali kusapu, untuk menimbulkan efek bayangan dan gradasi tertentu.

"Aku sudah bosan menunggu, aku kira kamu ga bakal jadi datang." Wanita itu mulai mengeluarkan isi kekesalannya.

Aku tersenyum lagi mendengar perkataan wanita tersebut. Saat sketsa gambar siluet sudah selesai kubuat, kugeser papan penyangga kanvas, agar wanita yang duduk di sampingku dapat melihatnya dengan jelas.

Bola mata wanita itu membulat, binar mata terlihat lebih hidup.

"Selamat ulang tahun, Sayang. Ini hadiah untukmu," ucapku kepada wanita yang sejak tadi menunggu kedatanganku di bawah tiang lampu penerangan taman.

Di tangan wanita tersebut, di kanvas yang dipegangnya, ada sebuah silet tubuhnya sendiri yang kubuat secara kilat.

Langit makin menggelap, di ujung cakrawala, matahari mulai menenggelamkan dirinya. Sore ini terasa begitu indah dan membahagiakan. Sesekali, tiupan angin sepoi menerbangkan rambut-rambut kecil di belakang telinga; menguarkan suasana yang begitu nyaman.

Wanita itu mengamit telapak tanganku, digenggamnya erat. Kekasihku itu menatap ke arahku, menantang kedua bola mataku. Lalu dia tersenyum. Hal yang membuatku ikut tersenyum sendiri. Hal yang selalu membuatku bahagia saat melihatnya tersenyum. Senyuman adalah cara paling mudah untuk menambah kebahagiaan.

Dan sebuah kecupan hangat yang singkat di bibir menjadi penutup sore yang indah. Sore yang terasa begitu hangat; di dada dan hati. Sore di kala senja yang selalu kusempatkan di tengah rutinitas sehari-hari.

Seperti itulah perayaan ulang tahun kekasihku. Sederhana. Hanya aku dan dia. Dia mengapit erat lenganku. Kami duduk di bangku taman, menghabiskan waktu, menatap senja, hingga benar-benar habis dan digantikan malam.

Rabu, 16 Januari 2013

Cuti Patah Hati

"Brengsek!"

Kejadian itu kembali berkelebat di kepalaku. Runutan kata-kata dan makian yang kulontarkan kepada Wira kembali mengiang. Jelas sekali.

"Siapa wanita itu? Kamu selingkuh?" ucapku seraya mengambil segelas Orang Juice di meja dan menumpahkan isinya ke tubuh Wira.

"Sayang, dia siapa?" tanya wanita yang duduk di samping Wira. Lelaki itu menunduk. "Eh!! Lo siapa? Kurang ajar banget. Gue pacarnya Wira!!" maki wanita itu. Tatapan liar mengarah kepadaku.

Aku lepas kendali. Baru saja ingin kuayunkan tanganku untuk menampar wanita itu, Irfan mencegahnya. Ditahannya tanganku dan dia menggiringku keluar dari restoran. Cacian dari wanita itu terdengar jelas di kepalaku.

Mataku memanas, pun juga dadaku. Terasa begitu sesak. Tanpa komando, bulir-bulir airmata menetes tak terkendali.

Irfan berjalan di sampingku, menggenggam tanganku, menenangkanku dengan kata-kata yang tak terdengar jelas olehku. Hanya satu kalimat yang terdengar jelas olehku, "tahan, tenangkan dirimu. Jangan permalukan dirimu di depan orang banyak."

Airmata kembali menetes di pipiku kala mengingat kembali kejadian kemarin. Kepalaku terasa berat, dadaku terasa sesak, untuk bernafas pun terasa berat.

Semalam, Irfan mengantarku pulang. Aku tak ingat apapun yang dibicarakan olehnya selama di mobil saat perjalanan pulang, yang aku ingat, tahu-tahu aku sudah sampai dirumah dan langsung tidur. Semalam, pikiranku kosong, aku terguncang oleh kejadian di restoran tersebut.

Wira, lelaki yang kupercaya ternyata sama saja dengan kekasihku sebelumnya; peselingkuh. Tangisku tak juga reda jika mengingat-ingatnya lagi. Aku terlanjut mencintainya begitu dalam.

Mencintai seseorang akan diri melayang dan terbang dalam balutan asmara, semakin kuat cinta, akan semakin tinggi terbangnya. Dan ketika jatuh, akan terasa semakin sakit.

Aku mengalaminya saat ini.

Pagi ini, langit terasa begitu gelap. Bukan karena memang sedang mendung dan akan turun hujan. Hanya saja, senyap terasa begitu dekat dengan kulitku. Hawa kesendirian begitu menyelimutiku.

Biasanya, Wira akan menenangkabku saat aku bersedih. Menjadi api yang hangatkan hatiku yang mendingin. Dan sekarang, aku kehilangan api untuk menghangatkan kesedihanku. Bahkan, api itu telah membakarku.

Ponselku bergetar, sebuah pesan dari Irfan. Selamat pagi. Sudah bangun?

Aku membalas pesannya dengan cepat. Mengabarkan diriku sudah bangun sejak pagi buta.

Ponselku bergetar kembali. Kali ini telepon masuk. Aku menimang ponselku, berusaha menetralkan suaraku yang serak karena banyak menangis.

"Halo," ucapku pelan-nyaris berbisik-agar Irfan tak menyadari suaraku yang terdengar tak biasa, "ada apa Pang?"

"Nanti siang mau ikut aku?"

"Kemana? Aku sedang malas pergi hari ini," ucapku berbohong. Bukan itu alasan sebenarnya. Aku hanya tak ingin Irfan melihatku dalan keadaan seperti ini; begitu berantakan.

"Ke bookfair. Sekarang sudah jam 9. Aku sudah menunggu di depan rumahmu. Bersiaplah. Dandan secukupnya saja. Kamu lebih cantik dengan riasan sederhana."

Aku melonjak dari kasur. Dari jendela kamar kulongokkan kepala dan kudapati Irfan sudah berdiri di depan pintu pagar, bersiap masuk.

Lelaki itu melambaikan tangannya ke arahku. Ponselnya masih ditempelkan ke telinganya.

"Pa- Pang... aku nggak bisa pergi seka..." Ucapanku tak selesai. Dia tersenyun ke arahku seraya mematikan dan memasukkan ponselnya ke saku. Dia melangkah pasti masuk ke dalam rumah

***

"Aku hanya ingin menghiburmu," ucap Irfan yang berjalan di sampingku. Aku yang sedari tadi diam sejak perjalanan dari rumah hingga sampai di Istora menengok ke arah Irfan. Dia tersenyum ke arahku.

Tidak ada kata-kata, suasana hatiku sedang enggan untuk berbicara. Kesedihan masih memeluk erat diriku. Membuatku tidak antusias untuk berkeliling pesta buku-hal yang tidak biasa bagiku.

Biasanya, ketika pesta buku diselenggarakan, aku akan jadi orang yang paling semangat untuk kesini. Semangat mencari novel-novel yang harganya didiskon gila-gilaan sehingga membuatku kalap dan meludeskan isi dompet. Tapi tidak saat ini. Rasanya, aku hanya ingin seharian di kamar, merayakan kesedihan dengan airmata.

"Kita pulang yah, Pang," ucapku pertama kalinya kepada Irfan yang sedang melihat-lihat novel di sebuah stand.

"Menurutmu, novel ini bagus nggak? Lumayan lho, diskon 20%." Dia menyodorkan novel itu kepadaku. Matanya membulat, dia terlihat begitu antusias.

Aku menggeleng lemah.

"Kenapa? Nggak bagus yah? Aku belum cek goodreads sih. Jadi nggak tahu juga novel ini bagus apa nggak."

"Bukan itu."

"Lalu?" tanya Irfan dengan mimik wajah bingung. Dibingung-bingungkan tepatnya.

"Aku mau pulang." Kuulangi sekali lagi permintaanku.

"Tidak," ucap Irfan tegas.

Aku bingung mendapatkan jawaban seperti itu. Dia yang mengajakku kesini, tapi dia tidak mau mengantarkanku pulang. Suasana hati yang tidak stabil membuat emosi meninggi dengan cepat. "Kalau kamu nggak mau antar aku pulang, aku bakal pulang sendiri!"

"Rani, tunggu!" Irfan menahanku. "Aku tahu kamu sedang sedih saat ini. Aku tahu kamu dalam keadaan patah hati."

Aku hanya diam mendengarkan penjelasan Irfan.

"Kata teman-teman yang lain, kamu itu paling senang diajak ke pesta buku. Maka itu, aku ajak kamu kesini. Biar kamu lupain sejenak kesedihan itu. Anggap saja kamu sedang cuti untuk patah hati. Setidaknya untuk hari ini."

Tanpa sadar aku tersenyum mendengar penjelasan Irfan. Bodoh, mana ada yang namanya cuti patah hati, ucapku di dalam hati

"Alhamdulillah, akhirnya tersenyum juga. Gitu dong. Kamu lebih menarik kalau tersenyum. Nggak seperti tadi." Irfan berucap dengan setengah tertawa kepadaku.

Aku mengambil kantong belanjaan novelnya, lalu kupukulkan kepadanya. Aku tertawa. Sejenak, kesedihanku menghilang. Tingkah Irfan ampuh mengusirnya.

"Ampun, Ran, ampun. Sakit."

"Biarin!" Aku tertawa lagi. Kupandangi diri Irfan. Lalu, senyum kembali muncul di bibirku. Tanpa bisa kucegah.

Senin, 14 Januari 2013

Orang Ketiga Pertama

Suara Duta memenuhi telingaku. Melalui headset yang kujejalkan di telinga, aku menikmati lagu-lagu Sheila On 7 yang menjadi playlistku sore ini, menemaniku melewati waktu, untuk menunggu. Kubuka Samsung S III, kulihat daftar lagu-lagu SO7 yang kupunya. Aku tersenyum saat melihat sebuah judul lagu disana. Segera jemariku menekan tombol 'play'. Seketika lagu Jadikan Aku Pacarmu berkumandang. Senyumku terus mengembang saat mendengar lirik-lirik lagu itu dinyanyikan, begitu sesuai dengan yang aku rasakan saat ini.

Kulirik jam digital di smartphone yang kugenggam. Tidak terasa aku sudah menunggu hampir setengah jam. Perlahan, jenuh mulai menderaku. Menunggu adalah aktifitas santai yang cepat membosankan. Terlalu lama menunggu malah membuat diri tak tenang. Aku mulai bertanya-tanya di dalam hati, kenapa Rani datangnya setelat ini.

Hari ini adalah pertemuan-entah-yang-keberapa dengan Rani. Seharusnya, lima menit lagi kita sudah harus masuk ke dalam studio, film yang ingin di tonton sebentar lagi akan dimulai. Aku gelisah menimang tiket masuk di tanganku.

Terdengar lagi suara petugas bioskop memberitahukan bahwa studio 3-tempat dimana filmku diputar-sudah dibuka, dan orang-orang yang memiliki tiket berbondong-bondong masuk ke dalam studio untuk menonton film yang sedang 'in' saat ini.

Kulirik lagi jam digital, seharusnya, film baru dimulai, tapi Rani belum kunjung tiba. Aku melepas headset dan mematikan playlist. Sepertinya rencana menonton film akan batal. Isi pesan dari Rani yang mengabarkan dirinya akan sampai dalam beberapa menit lagi tak kunjung terealisasi. Beberapa menit bagi perempuan bermakna beberapa belas menit dalam keadaan sebenarnya.

Dari kejauhan terlihat Rani yang berjalan cepat setengah berlari. "Pang... Ipang, sorry yah telat banget. Kena macet. Film udah dimulai yah? Tiket udah dibeli? Yaudah yuk kita masuk," ucap Rani tanpa jeda ketika baru sampai, nafasnya memburu cepat, tersengal-sengal.

"Oke." Aku tersenyum kecil. Menatap matanya, membuat rasa kesalku kepadanya tadi langsung hilang. Aku dan Rani segera berjalan menuju pintu studio 3.

***

Film baru saja selesai. Saat lampu dinyalakan, terlihat olehku wajah Rani yang memerah, matanya sembab dan airmata membasahi pipinya. Cerita di film tadi memang mengharukan. Film biopic yang menceritakan sisi humanis dan romantis dari seorang yang hebat yang pernah dimiliki bangsa ini. Aku pun, tak kuasa menahan haru saat film tadi sampai di titik klimaksnya.

Kusodorkan tissue ke arah Rani. Dia mengambil beberapa helai dan menyeka wajahnya. Setelah beberapa saat, kami keluar dari studio, dia segera menuju toilet. Merapikan riasan wajahnya, sepertinya.

"Film tadi bagus yah," ucapku kepada Rani yang baru saja keluar dari toilet. Matanya masih terlihat sembab, menjelang akhir film tadi dia memang menangis hebat, sangat merasakan emosional film tersebut.

"Iya. Keren banget. Rasanya pengin punya suami yang setia dan punya cibta yang sangat besar ke istrinya seperti itu."

Aku dan Rani berjalan menyusuri mall, menuju sebuah restoran untuk mengisi perut yang keroncongan. Suasana mall hari ini cukup ramai karena weekend, hal yang membuatku harus menunggu untuk bisa makan di restoran seafood dengan harga kaki lima itu.

"Wira tahu kamu pergi sama aku?" tanyaku kepada Rani. Wira adalah kekasih Rani, menanyakannya hanyalah basa-basiku saja kepada Rani. Kami duduk di sofa yang disediakan restoran untuk menunggu.

"Hemm... Tidak. Soalnya sejak kemarin dia nggak ada kabar. Aku pengin ngasih tau dia, tapi dianya ga bjsa dihubungi, yaudah."

"Lagi ada masalah?"

"Kalau dari aku sih nggak ada. Nggak tahu juga deh kalau dia ngerasa ada masalah. Memang kebiasaannya dia kayak begitu. Menghindar kalau ada masalah."

Aku mendengarkan penjelasan Rani. Sepertinya hubungan mereka sedang dalam masalah. Mungkin aku jahat, tapi entah mengapa aku merasa senang.

"Tuan Irfan, meja untuk dua orang" terdengar suara pelayan yang memanggil namaku. Aku dan Rani segera masuk, menuju bangku yang baru saja dikosongkan.

Saat sedang berjalan, tiba-tiba Rani berhenti. "Kenapa?" tanyaku kepada Rani yang tiba-tiba mematung.

Aku melihat ke arah mata Rani memandang. Di pojok ruangan terlihat seorang lelaki yang sedang menyuapkan makanan ke mulut seorang wanit. Mereka terlihat mesra. Aku baru sadar mengapa Rani terdiam, lelaki itu Wira.

Tiba-tiba Rani berjalan ke arah Wira. Perasaanku tidak enak, sepertinya kejadian di dalam cerita drama akan terjadi. Hal yang terjadi selanjutnya tidak beda dengan cerita drama. Sebuah guyuran air dan makian, lalu perpisahan dengan tangisan.

Aku berjalan di samping Rani, menuntunnya keluar dari restoran. Tak peduli puluhan mata menatap ke arah kami. Kutenangkan dirinya. Saat ini, aku seperti orang ketiga yang menjadi saksi pertama runtuhnya hubungan mereka.

Minggu, 13 Januari 2013

Pukul Dua Dini Hari

Pertemuan pertama dengan kesan yang baik, biasanya akan berlanjut dengan pertemuan berikutnya. Dan jika pertemuan berikutnya kembali berjalan baik, umumnya akan lanjut ke tahap komunikasi yang lebih akrab. Setidaknya, seperti itulah yang aku alami saat ini.

Sudah dua bulan berlalu sejak pertemuan pertamaku dengan Rani di sebuah acara launching buku. Diperkenalkan oleh Sony dengan cara yang agak konyol. Ya, saat itu aku terlalu sok untuk menolak diperkenalkan kepada teman-temannya Sony, termasuk kepada Rani.

Tapi, aku harus menelan segala gengsiku. Rani terlalu sulit untuk diabaikan. Pesonanya sanggup membuatku gugup saat itu. Dari mata turun ke hati, dan Rani sudah mencuri perhatianku pada saat itu.

Berawal dari perkenalan pertama yang agak canggung, berlanjut obrolan dan basa basi cerita yang cukup lancar membuatku dapat mengenal lebih banyak tentang Rani. Anak kedua dari tiga bersaudara dan anak perempuan satu-satunya dirumah. Menyukai novel, suka membaca, dan pnggemar berat novel series Harry Potter.

Berkatnya, akhir-akhir ini aku mulai membaca novel, tentu saja novel Harry Potter yang dipinjamkannya. Sebelumnya, membaca novel membuatku sedikit pusing, sebab hanya ada kata-kata dan harus membaca berlembar-lembar halaman. Aku lebih suka membaca komik.

Perlahan aku mulai menyukai novel, sejak membaca novel Harry Potter yang dipinjamkan Rani. Berimajinasi, membayangkan isi cerita di dalam kepala sendiri dan obrolan-obrolan seputar novel yang dibaca menjadi hal yang menyenangkan bagiku saat ini, terutama saat membicarakan isi novel Harry Potter dengan Rani, terasa sangat menyenangkan.

Hari ini, tepat dua bulan sudah aku berkenalan dengan Rani. Sudah beberapa kali bertemu sejak pertemuan pertama, hanya untuk sekedae ngobrol dan makan siang berdua atau berkumpul dengan teman komunitas pembaca yang lain. Ya, kini aku resmi menjadi anggota mereka.

Aku sangat mengingat hari ini. Sejak perkenalan dengan Rani dua bulan lalu, saat ini adalah rentetan obrolan terpanjang yang kulakukan dengannya. Di BBM, kami membicarakan banyak hal, dari obrolan tentang novel apa yang sedang kubaca, novel bagus apa yang wajib dibeli, review sebuah novel di Goodreads, jadwal acara launching novel penulis senior, dan hal lainnya.

Obrolan BBM yang dilakukan sejak jam sebelas malam, tiga jam yang lalu, tidak terasa membosankan. Selalu ada bahan obrolan lain yang muncul ketika satu topik obrolan sudah selesai dibicarakan. Mengalir begitu saja.

Rani adalah lawan bicara yang menyenangkan, dan pintar. Dia mengetahui banyak hal. Nilai tambah yang membuatnya semakin terlihat menarik, disamping parasnya yang memang sudah membuatku tertarik dengannya sejak awal.

Kulihat jam dinding menunjukkan pukul dua pagi, saat Rani berujar dirinya sudah mengantuk dan ingin tidur. Obrolan pun harus diakhiri segera.

Irfan Lesmana: "Selamat beristirahat yah. Selamat pagi."

Kukirim sebuah pesan terakhir kepadanya melalui BBM.

Maharani Kinanti: "Yap, selamat tidur juga. Kapan-kapan lagi yah. Kamu teman ngobrol yang menyenangkan."

Senyumanku mengembang saat membaca pesan penutup itu. Aku ingat, saat ini pukul dua dini hari, dan aku tidak lagi tertarik kepadanya. Perasaanku sudah naik pangkat menjadi suka terhadapnya.

Aku merebahkan tubuhku di kasur. Mataku lurus menatap langit-langit kamar. Pagi ini aku secara resmi aku menyukai Rani. Lalu bagaimana dengannya? Dia hanya menganggapku sebagai teman ngobrol yang menyenangkan. Mungkin tidak bisa lebih, saat ini dia sudah memiliki kekasih. Apakah Rani akan menyadari bahwa aku menyukainya? tanyaku di dalam hati. Kuhembuskan nafas-cukup panjang. "Entahlah, biarkan saja. Semoga waktu memperlihatkan kenyataan ini kepada Rani," ucapku bermonolog.

Sabtu, 12 Januari 2013

Kenalan Yuk!

"Udah ikut gue aja. Daripada lo di rumah aja. Kalau jomblo tuh mesti sering-sering keluar, biar ga lumutan sendirian di rumah," ucap Sony kepadaku. Kudengar suaranya yang terdengar sangat antusias dari speaker Samsung Galaxy Mini milikku. Sudah beberapa menit berlalu, dan dia tak juga bosan berbicara. Sahabatku itu mengajakku untuk ikut menemaninya ke sebuah acara yang-tidak-kuingat nama acaranya apa.

"Aduh, gimana yah. Beneran, gua lagi males pergi-pergian. Lagian lo jalan sendiri aja. Manja banget minta ditemenin," ucapku menolak untuk kesekian kalinya. "Lagijuga lo tau kan, gue ga interest sama acara begituan. Apa? Acara launching novel? Gue baca novel juga kagak. Ini lagi diajak ngehadirin launchingnya. Mau ngapain gue disana?"

"Liatin aja cewek-cewek yang dateng kesana. Siapa tau ada yang lo suka! Buruan siap-siap. Sebentar lagi gue sampai di rumah lo."

"Lha? Emang acaranya kapan?"

"Hari ini, jam empat sore. Sekitar dua jam lagi."

"Damn!"

***

Acara launching buku ini dikunjungi banyak orang. Bertempat di sebuah mall terkenal di pusat kota, acara launching buku berlangsung meriah. Kata Sony, penulis buku ini adalah penulis senior dan cukup terkenal,  karyanya sudah banyak dan best seller.

Aku hanya menganggukkan kepalaku saja. Mencoba memahami dan meng-iya-kan ucapan sahabatku yang begitu mengagumi penulis tersebut. Bagiku, se-terkenal apapun, aku tetap tidak mengenalnya. Label terkenal hanyalah label popularitas yang disematkan dan diketahui oleh orang-orang yang ada di dunia yang sama. Sebab itulah aku tak mengenal siapa penulis terkenal itu.

"Eh, Pang, sini!" Terdengar suara Sony memanggilku agar mendekat ke arahnya.

"Ada apa?"

"Sini, gue kenalin ke teman-teman komunitas pecinta buku gua." ucapnya berbisik. "Siapa tau ada yang cocok."

Sebuah sikutan mendarat tepat di pinggangnya. "Sialan lo! Udahlah, males gue kalo kayak begini-beginian," ucapku-sok-menolak. Kulihat dihadapanku ada beberapa teman wanita Sony yang terlihat sedang berbisik-bisik. Cantik-cantik dan manis, sayangnya tidak ada yang dapat menarik perhatianku.

"Beneran nih?" tanya Sony kembali. Dia menaikkan sebelah alisnya. Seolah menantangku.

"Nggak," jawabku-sok-tegas.

"Oh yaudah kalau begitu."

"Eh, hai, Sony." Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seseorang memanggil Sony. "Sorry telat. Maklum macet. Lo daritadi? Sendirian?"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Kulihat sosok wanita yang menjadi sumber suara itu. Seketika waktu terasa berjalan lambat.

"Hai, Rani. Iya nggak apa-apa. Nggak kok gue dateng sama..."

"Gue Irfan, biasa dipanggil Ipang." Aku menjulurkan tangan cepat ke arah wanita itu. Sekejap, dadaku berdebar.

Dia tersenyum. Memikat sekali.

Yah malah diem. Come on, whats your name, gerutuku dalam hati. Waktu benar-benar terasa berjalan lambat. Detik yang berlalu terasa begitu panjang. Aku tidak sabar ingin mendengar nama, dan berkenalan dengannya.

Wanita itu menjulurkan tangannya. Menjabat tanganku. Kulitnya terasa begitu halus di genggamanku. "Halo, gua Rani, salam kenal." Dia tersenyum lagi.

Sebuah sikutan sekarang mendarat di pinggangku. Sony tersenyum licik kepadaku.

Sabtu, 05 Januari 2013

Tangisan Sunyi

Pagi ini hujan turun membasuh bumi
Derai-derai cemara menari di bawah guyuran airmata
Kabut diam-diam memeluk sepi
Menitipkan embun di kaca jendala

Hujan tak turun lebat
Hanya rintikan kecil yang meneduhkan
Kesedihan yang membabat bibit-bibit luka, duka dan airmata kesepian

Dari sebuah jendela kecil di rumah sederhana
Ada seorang perempuan merenungi hujan diluar sana
Menangisi kesendirian dari balik jeruji besi
Airmatanya tak keluar, sudah menyatu dengan hujan yang turun pagi ini

Hujan adalah tangisan yang paling sunyi
Kesedihan yang menguapkan rindu pada semesta
Pada ranting-ranting yang patah sebab hujan
Perempuan itu belajar tentang cinta dan kerelaan.
Dalam diam yang menguarkan aroma kesedihan yang mematikan.


Rabu, 02 Januari 2013

Stranger


Sebab kita tak tahu,apa yang akan ditawarkan saat kita memulai pagi. Bisa keceriaan, tak jarang kekecewaan.
Segelas teh hangat dan setangkup roti dilapisi selai kacang selalu menjadi pengawal pagi yang menyenangkan. Terpaan mentari yang hangat ditambah kicauan burung pipit di halaman kosan menambah semangat untuk memulai aktifitas pagi ini. Pagi ini suasana terasa sangat ceria dan menyenangkan bagiku. Apakah merupakan pertanda akan terjadi hal yang menyenangkan di hari ini? Semoga saja memang seperti itu.
Dering panggilan telepon berbunyi. "Hallo, Di? Oh iya jadi kok, sore nanti kita jadi ke bookfair. Ketemu di kampus, gedung A yah. Depan perpustakaan aja seperti biasa. Oke," ucapku terakhir seraya menutup telepon masuk dari Diara
Hampir saja aku lupa telah berjanji menemani Diara pergi ke Jakarta Bookfair nanti sore. Untung saja dia mengingatkanku yang pelupa ini. Segera kutandaskan sarapanku dan berangkat menuju kampus. "Semoga hari ini berjalan menyenangkan, Tuhan," ucapku berdoa sebelum keluar dari dalam kamar kosan.
"Rama, paper gimana?" tanya Rudi saat aku baru akan memasuki gedung fakultas. Teman sekelompokku di mata kuliah perpajakan itu langsung memberondongku dengan pertanyaan mengenai perkembangan paper yang sedang dikerjakan bersama.
"Wah iya yah. Waduh maaf, Rud. Beberapa hari terakhir ini gua banyak kerjaan lain, dan gua juga lupa kalau bagian paper gua belum selesai," ucapku seraya menepuk dahi. Penyakit lupa yang kuderita seperti semakin menjadi-jadi.
Kulihat ekspresi wajah Rudi yang terlihat kecewa. "Yah gimana dah lo, kan udah gue sms kalo kita mau selesain semuanya hari ini, biar besok tinggal print."
"Waduh maaf banget. Gua beneran lupa," ucapku pada Rudi yang memasang ekspresi kecewa, "gini deh Rud. Hari ini gua kerjain materinya, nanti malem gua kirim lewat gmail. Gimana?" ujarku menawarkan solusi.
"Jam berapa lo mau kirim? Oke gue tungguin. Jangan sampai nggak dikirim ya," ujar Rudi dengan nada mengingatkan.
Aku mengangguk seraya mengacungkan jempol pada Rudi. "Yaudah gua duluan ya, ada jam kuliah nih."
"Oke. Gue baru ada kuliah jam kedua nanti," ucap Rudi sebelum kita berpisah di persimpangan gedung A dan kantin. Aku masuk ke dalam gedung A dan Rudi belok ke kantin.
***
Sebuah pertemuan selalu diawali dengan ketidaksengajaan.
Langit terlihat berawan gelap. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun, sementara aku dan Diara baru saja akan berangkat ke Bookfair di Senayan.
"Yah, mau hujan nih Di. Gimana?"
"Lanjut aja, Ram. Hari terakhir nih. Banyak novel-novel yang mau gue beli. Mumpung lagi diskon banyak," ucap Diana yang membujukku agar tetap mau menemani dan mengantarnya ke Bookfair.
"Yaudah, kita jalan sekarang. Jangan protes kalau gua ngebut yah, biar nggak kehujanan." Terlihat Diana mengangguk, walau wajahnta sedikit ditekuk saat aku bilang akan membawa motor dengan kecepatan tinggi. Sahabat dekatku itu termasuk golongan orang yang takut naik kendaraan dengab kecepatan tinggi.
Setengah jam kemudian kami sampai di bookfair. Untung, hujan turun saat kami sudah berada di dalam gedung Istora. "Untung aku ngebut. Kalau nggak, udah keujanan kita," ucapku kepada Diana.
"Tapi kamu bawa motornya jangan kenceng-kenceng kayak gitu. Serem tau," kata Diana seraya menyubit perutku.
Istora sore ini ramai pengunjung. Dari penglihatanku, hampir setiap booth dipenuhi oleh para pengunjung bookfair. Aku dan Diana berjalan mengelilingi dan mengunjungi semua booth penerbit dan distributor buku yang ambil bagian dalam bookfair kali ini.
"Rama, kita kesana dulu yuk. Lagi banyak novel yang baru rilis." Aku ditarik menuju stand salah satu penerbit novel romance. Diana melihat-lihat novel-novel yang baru diterbitkan dan menanyakannya padaku mengenai bagus atau tidaknya isi novel tersebut. Beberapa novel yang ditunjuk oleh Diana, ada yang sudah pernah aku baca.
Selesai memborong beberapa novel, Diana kembali menarikku untuk mengikuti langkahnya. Saat Diana sibuk melihat-lihat koleksi novel di sebuah booth distributor buku, aku memilih masuk ke dalam booth toko buku bekas. “Kamu liat-liat aja dulu, aku mau kesana,” ucapku kepada Diana hanya menjawab dengan anggukan.
Di dalam booth toko buku bekas aku melihat-lihat beberapa koleksi novel dan puisi sastra yang sudah sulit dicari. “Mas, ada koleksi novel-novelnya Seno Gumira Ajidarma? Atau novel-novelnya Remy Sylado?” tanyaku pada penjaga booth.
“Oh, ada di sana, Mas,” jawab penjaga ke arah rak buku di pojok ruangan.
“Oh, oke. Makasi,” ucapku seraya menuju rak buku yang ditunjukkan. Di sana berdiri seorang perempuan yang juga sedang melihat-lihat koleksi yang ada di rak novel dan puisi sastra. Kulihat, perempuan berambut hitam kecoklatan itu sudah menggenggam buku Dunia Sukab, Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma dan buku Parijs van Java karya Remy Sylado yang sedang kucari.
“Suka sama koleksi SGA dan Remy juga, Mbak?” ucapku mengajak bicara. Kini aku sudah berdiri bersisian dengan perempuan berambut hitam kecoklatan tersebut.
Perempuan itu menoleh ke arahku. “Iya, buat ngelengkapin koleksiku di rumah,” ucapnya. Kemudian dia kembali menekuri rak buku, mencari buku lainnya.
Aku pun mencari-cari buku lain yang belum kumiliki namun masih ada stoknya di dalam rak. Ternyata, dari beberapa koleksi novel dan puisi yang ada di rak ini hanya sebuah novel yang menarik perhatianku, yaitu buku puisi Mati Mati Mati karya Seno Gumira Ajidarma. Buku itu terselip dan tertutup oleh beberapa buku lainnya. Segera aku menuju kasir untuk melakukan pembayaran.
Saat di kasir, aku berdiri di belakang perempuan berambut coklat yang memborong  5 buku, dan 3 di antaranya adalah buku-buku yang kuinginkan. Andai saja aku datang ke tempat ini lebih cepat, pasti aku yang akan mendapatkannya, ucapku menyesal dalam hati.
“Satu ini aja, Mas?” tanya kasir kepadaku.
“Iya, Mbak, satu ini aja,” ucapku.
“Wah, ini buku puisi Mati Mati Mati karyanya SGA yah?” Tetiba dari belakangku terdengar pekik suara perempuan. Ternyata itu adalah suara perempuan berambut coklat tadi.
“I–Iya, Mbak,” ucapku dengan mimik wajah sedikit bingung, “memangnya kenapa yah?” tanyaku.
“Aku mau buku itu.”
“Eh?”
“Iya, aku mau buku itu. Buku itu sudah lama aku cari-cari, dan ternyata terlewat saat aku liat koleksi di rak tadi.”
“Maaf, Mas, antriannya penuh,” ucap petugas kasir kepadaku.
“Oh, oke, aku bayar ini dulu yah,” ucapku kepada perempuan berambut coklat itu dan menyerahkan uang pembayara kepada petugas kasir.
Setelah selesai melakukan pembayaran, aku segera berjalan ke pinggir untuk berbicara dengan perempuan berambut coklat tersebut. “Well, ada apa?” tanyaku.
“Buku puisi itu, aku udah nyari sejak lama. Boleh nggak kalau aku bayarin?” ucap perempuan itu kepadaku.
“Buku ini?” ucapku seraya menunjukkan buku puisi Mati Mati Mati. “Aku juga nyari-nyari buku ini dari lama. Beruntung banget bias nemuin buku ini disini.”
Please, dong. Aku bayarin yah. Mau yah?” bujuk perempuan itu kepadaku. Kupandangi paras wajah perempuan itu. Biasa saja, tidak cantik, dan tidak juga manis, tapi wajahnya yang oval perempuan itu terlihat sangat natural. Mimik wajahnya yang sedang membujukku terlihat seperti wajah anak-anak yang sangat menginginkan mainan kesukaannya.
Aku menimang-nimang buku puisi yang ada di tanganku. “Yaudah deh, ini bukunya,” ucapku seraya menyerahkan buku tersebut. “Ga usah dibayar, barter dengan salah satu dari buku yang sudah kamu beli aja. Gimana?” ujarku memberikan penawaran.
Perempuan itu merubah raut wajahnya, dalam kepalanya seperti sedang terjadi transaksi antara dirinya sendiri. “Oke, kamu mau yang mana?” tanya perempuan itu.
Aku tersenyum simpul. “Aku mau buku Negeri Senja.” Aku menyodorkan buku Mati Mati Mati kepada perempuan itu.
“Terima kasih–” ucapku menggantung seraya menyodorkan jabatan tangan kepada perempuan itu setelah kuterima buku Negeri Senja dari tangannya.
“Raisa,” ucap perempuan tersebut menerima jabatan tanganku. “Kamu?”
“Ah, oke, makasi Raisa. Aku Rama,” ucapku mengenalkan namaku. Kulihat, perempuan bernama Raisa itu tersenyum kecil. Sungguh menarik.
“Aku yang harusnya bilang terima kasih ke kamu. Makasi ya Rama.” Cara Raisa memanggil namaku membuat senyumku kembali mengembang, begitu khas di telingaku.
“Ram, udah selesai belanjanya?” ucap Diara yang tetiba berdiri di sampingku.
“Oh, udah kok udah. Lo sendiri udah selesai?”
“Nggak jadi, nggak ada yang bagus. Jadi gue nggak beli apa-apa di tempat tadi. Lanjut keliling nggak?”
“Oh oke,” ucapku, “oh iya, Di. Kenalin, ini Raisa. Berkat dia gua dapet buku ini,” ucapku memperkenalkan Raisa dan memperlihatkan buku Dunia Senja kepada Diara.
Kulihat Diara memperhatikan Raisa dari atas ke bawah. Seperti sedang menyelidikinya. “Raisa? Raisa yang penulis novel itu bukan?” tanya Diara kepada Raisa.
“Iya, salam kenal. Aku Raisa,” ucap Raisa ramah kepada Diara.
 “Kamu penulis novel?” ucapku kaget tak percaya saat mengetahui hal tersebut. “Ah maaf, aku nggak ngenalin kamu.”
“Nggak apa-apa. Kamu bukan pembaca novel romance kekinian, ‘kan? Wajar aja kalau kamu nggak tau,” ucap Raisa yang membuatku tidak enak kepada diriku sendiri. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Raisa seraya menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.
“Ngg, Raisa, kita duluan yah. Sukses buat novel kamu yang baru diterbitin minggu kemarin.”
Raisa mengembangkan senyumannya kembali seraya melambaikan tangan saat aku dan Diara mulai berkeliling lagi. Dari kejauhan kulihat Raisa berjalan ke arah seorang lelaki dan menggandeng tangannya. “Raisa itu udah punya pacar?” tanyaku pada Diara. Diara hanya mengganggukkan kepalanya tanpa bersuara. Dia asik mengupdate tweet di ponselnya.
***
Ketika waktu berjalan, kita tak pernah sadar, kemana arah langkah kita. Salah dan benar hanya akan diketahui saat kaki merasakan, bahagia atau luka yang akan kita temui.
Sesampai dirumah, segera aku membuka laptop dan mengerjakan paper mata kuliah perpajakan yang sudah kujanjikan kepada Rudi. Segelas kopi, dan beberapa buku rujukan menjadi temanku mengetik berlembar-lembar halaman paper. Koneksi modem yang sedang lancar sesekali menginterupsi pengerjaan paperku. Tanganku sering kali gatal untuk memantau timeline twitter dan mengupdate tweet sajak dari akun anonimku.
@penarihujan: Segelas kopi, dan buku tebal dalam gelap malam menemani riuhnya tugasku malam ini. Dan sekelebat ingatan tentangmu hadir di jeda penatku.
Sesekali juga aku mencari-cari akun milik Raisa. Berkat kemampuanku yang seperti detektif, berhasil kutemukan akun twitter milik Raisa. Kubaca isi timeline, ternyata Raisa pun sering mengupdate tweet berisi sajak dan puisi. Segera aku follow akun tersebut dengan akun asli milikku.
Saat tugas paper sudah selesai kukerjakan, segera kukirim kepada Rudi melalui gmail. Aku melirik ke jam dinding yang menggantung, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Berarti hampir selama 3 jam aku menghabiskan waktu mengerjakan tugas.
Rud, udah gua kirim di gmail yah tugasnya. Maaf kemaleman, ketikku di ponsel dan segera mengirimkan pesan pendek itu ke nomor Rudi yang kemudian hanya dibalas dengan jawaban ‘oke.’
Berkeliling di dalam Istora, ditambah mengerjakan tugas dengan keadaan dikejar waktu membuatku merasa sangat lelah. Padahal jarum jam baru menunjukkan pukul 11 malam lewat beberapa menit. Biasanya di jam-jam seperti ini aku akan menceburkan diriku di jejaring sosial, khususnya twitter.
Saat aku akan menutup laman akun twitter, perhatianku tersita dengan pemberitahuan di tab mention. Raissa followed you. Seketika rasa lelah dan keinginanku untuk merebahkan badan di kasur langsung mendadak hilang. Kemudian, sepanjang malam aku sibuk saling bermention ria dengan Raisa hingga aku terlelap tidur di depan laptop.
Sejak saat itu, tanpa disadari, aku dan Raisa semakin akrab dan dekat. Hampir setiap malam, walau tida setiap hari, aku bermention ria dengannya. Tak jarang kami berbalas sajak dan syair saat malam hampir berganti hari.
***
Ketika kedekatan membuat sebuah kenyamanan. Rasa suka yang menjadi ibu dari perasaan cinta biasanya akan menjadi hal yang biasa.
“Raisa,” ucapku pada Raisa yang sudah duduk di hadapanku. Kami duduk saling berhadapan dengan meja yang membatasi jarak di antara kita. “Jujur, setelah sekian lama kenal dan dekat denganmu. Tidak menyukai dirimu adalah dusta bagiku.”
Raisa terdiam tak menanggapi ucapanku.
“Dengan jujur aku mengakui, sepertinya aku jatuh hati kepadamu.”
“Jangan, Ram. Jangan jatuh hati kepadaku. Kamu sudah salah menjatuhkan hatimu, jika aku yang menjadi tempatmu meletakkan perasaanmu.”
“Kenapa?”
“Karena kamu jatuh cinta di saat yang salah, dan memiliki cinta yang salah,” ucap Raisa dengan suara pelan kepadaku.
“Tidak ada cinta yang salah,” sergahku dengan nada yang mencekat.
Raisa menundukkan kepalanya sejenak. Di tengah keriuhan kafe, kami berdua menjadi sosok manusia yang menenggelamkan diri dalam keheningan. Raisa menghempaskan nafas, mengeluarkan sesak yang sepertinya menggumpal di dadanya.
“Apa alasan utama kamu bisa jatuh cinta kepadaku?” tanyanya dengan nada yang masih pelan.
“Apakah ada alasan untuk jatuh cinta? Jika memang ya, aku tak tahu apa alasannya itu. Aku hanyalah orang asing, yang tiba-tiba muncul di kehidupanmu, lalu jatuh cinta kepadamu. Itu saja.”
“Kalau begitu, kamu mencintaiku di waktu yang salah.”
“Kenapa? Karena kamu sudah memiliki kekasih? Aku tidak peduli. Aku akan menunggu saat perpisahan kalian.”
“Pertama, aku hanya menganggapmu teman sejak awal kita dekat. Kedua, baru minggu lalu, kekasihku melamar diriku. Dan aku akan menikah bulan depan.”
Seketika kakiku lemas saat mendengar pernyataan Raisa. Seolah tak ada daya lagi di dalam diriku. Kata-kata yang diucapkannya sukses membunuh harapanku. Mematikan pengharapanku.
“Seperti ucapanmu. Awalnya kita hanyalah sepasang orang asing yang tak pernah tahu akan dipertemukan dengan cara yang sangat tidak sengaja dan diluar kuasa kita. Menjadi dekat karena kesukaan yang sama terhadap suatu hal. Mungkin kita cocok dan saling melengkapi dalam beberapa hal, tapi tidak dengan cinta,” ucap Raisa panjang lebar kepadaku yang masih terduduk lemas. “Ketika kamu jatuh hati kepadaku, kamu tetaplah orang asing yang tak bisa masuk ke dalam hatiku.”
“Tapi–”
“Jika kamu dapat membuat kita yang tadinya asing menjadi dekat. Kenapa tidak dengan mengubahnya menjadi asing kembali? Senang dapat mengenalmu. Jika memang kamu tetap berkenan menjadi temanku, datanglah ke pesta pernikahanku,” ucap Raisa kepadaku seraya menyerah sepucuk undangan pernikahannya. Tercetak jelas namanya dan nama kekasihnya dengan huruf berwarna emas. “Aku harus pergi sekarang, Rama.” Raisa bangkit dari kursi dan pergi meninggalkan diriku. Kulihat, separuh perasaanku tercecer di jalan, saat langkah perempuan berambut hitam kecokelatan itu semakin menjauh dariku.
Ketika saatnya tiba, kita akan sadar, bahwa luka adalah cara kita menyadari bahwa kita telah berhasil untuk jatuh cinta.

Selasa, 01 Januari 2013

Bara Sepi


1)
Ada yang bergejolak dalam diri
Serupa gelisah yang menggeliat dalam diam
Menyusup di sela hati dan menyemaikan sepi
           
2)
Di dadaku, ada cinta yang mulai kehilangan api
Lambat-lambat, hangatnya tak lagi terasa lagi
Seperti bara api, yang nyaris mati dan mendingin


3)
Cinta itu tidak mati
Hanya saja, seperti api yang kekurangan kayu
Nyalanya tak lagi benderang