Minggu, 25 Desember 2011

Dua Sisi

Aku selalu menatap senja yang memerah. Sinarnya teduh dan menyejukkan jiwa. Aku tahu kamu juga menyukai senja, namun dalam sudut pandang yang berbeda. Katamu, senja adalah kesedihan yang paling indah. Sinarnya merefleksikan setiap ironi dibalik sebuah pesona.

Aku menyenangi pelangi, lengkungnya menawarkan kebahagian saat sepasang mataku menatapnya yang berdiri kokoh di ujung cakrawala. Begitu pun denganmu, kau menggilai pelangi-sama sepertiku. Bagimu, pelangi adalah penawar duka paling indah, obat paling mujarab bagi yang terporak-porandakan oleh badai.

Aku dan kamu, bagai sisi koin yang selalu bersama namun bersisian. Kita menyukai hal yang sama namun melihat dari sisi yang berbeda. Seperti saat mendefinisikan bahagia. Bagiku, bahagia adalah saat bersamamu, namun bagimu berbeda. Kamu mendefinisikan bahagia dengan tangisan dan air mata. Bagimu, bahagia adalah saat melihat sahabatmu yang lain tertawa saat bisa mendapatkan diriku.

Aku dan kamu seperti air dan minyak yang bersatu dalam sebuah bejana. Kita bersatu, namun tak pernah menjadi satu. Selalu ada sisi yang membatasi. Kita hanya dua zat yang terkukung dalam sebuah bejana bernama persahabatan.

Sabtu, 03 Desember 2011

Resensi Novel : Iqra


Judul : Iqra’!
Penulis : Reza Nufa
Penerbit: Diva Press
ISBN : 978-602-978-907-2
Tebal : 370 halaman

Alam adalah tempat belajar yang paling luas. Dari alam dan lingkungan sekitar kita dapat mempelajari hal-hal lain yang tidak diajarkan di bangku sekolah manapun. Novel Iqra’! adalah novel debut seorang penulis muda yang bernama Reza Nufa. Novel yang bercerita tentang tokoh Asep dan kehidupan serta cara pandangnya melihat alam dan lingkungan.

Asep adalah seorang pemuda yang lahir disebuah desa kecil dan hidup dengan Nenek Aminah, neneknya yang sangat bijak dan dia sayangi. Berkat bimbingan Nenek Aminah ini Asep tumbuh menjadi seorang pemuda yang kritis dan peduli akan lingkungan. Nenek Aminah sering memberi nasehat kepada Asep, yang nantinya nasehat-nasehat itu akan dapat membuat Asep menjadi lebih bijak dan cerdas dalam menjalani hidupnya.

“Dalam tubuhmu itu, ada jiwa. Perasaan itu bersumber dari jiwa. Jiwa itulah yang membuat hatimu bisa menyadari baik dan buruk. Jadi, tetap ada hubungannya dengan hati yang kamu sebut tadi. Hati itu adalah rumahnya perasaan.” (Hal 16)

“Nak, alam itu sudah terikat dengan aturannya sendiri. Mereka tidak punya akal namun mereka tidak akan salah dan tidak boleh disalahkan.” (Hal 99)

Asep yang tumbuh dewasa melanjutkan sekolahnya di kota. Dia hidup bersama Kang Jalal yang merupakan kenalan dekat Nenek Aminah. Asep disekolahkan oleh Kang Jalal, dia satu sekolah dengan anak perempuan Kang Jalal, yaitu Nisa. Selama sekolah dan tinggal dikota, Asep semakin banyak melihat problematika kehidupan. Wawasan dirinya terus bertambah dan semakin kritis terhadap fenomena yang terjadi. Maka dari itu dia menuliskan semua unek-unek pikirannya di sebuah buku, yang nanti diberi judul IKRO. Melalui buku itu, Asep bercerita banyak tentang apa saja yang ada di dalam benaknya ; tentang kehidupan masyarakat, fenomena perbedaan agama, tentang lingkungan, tentang dirinya menyikapi perasaan cinta dan hal lainnya.

Di novel ini, terdapat banyak sekali pesan moral yang dapat dipetik. Banyak sekali makna yang dapat diambil dengan membaca novel ini. Hampir disetiap bab yang ditulis oleh Reza Nufa, selalu ada quotes-quotes yang mengajak pembaca memikirkan kembali apa yang telah kita lakukan selama ini. Novel ini juga seolah menjadi cermin dari sudut pandang kita memandang lingkungan sekitar.

“Ada banyak sekali. mereka mengkotak-kotakkan diri. Mereka saling membiarkan, mereka tidak saling bersatu.” (hal 212)


”Ada banyak gerombolan manusia primitif di bangsa ini, bahkan mereka yang mengaku elit.”

Novel Iqra’! adalah sebuah novel yang menginstrepretasikan pemikiran Reza Nufa yang dituangkan dalam tokoh Asep, sebagai kritik sosial secara tidak langsung. Novel ini merupakan curahan hati secara tidak langsung dari Reza Nufa yang miris akan apa yang terjadi kepada bangsanya. Melalui novel ini, pembaca akan secara tidak langsung akan menyelami pemikiran-pemikira yang dipikirkan oleh penulis dan orang-orang secara umumnya.

Pesan yang cukup kuat dalam novel Iqra’! ini menjadi kekuatan utama dalam novel ini. Penggunaan kalimat-kalimat metafora yang penulis gunakan dalam novel ini, semakin menambah warna tersendiri saat membaca novel ini. Penulis juga sering menggunakan analogi-analogi dalam percakapan binatang, tumbuhan dan makhluk lainnya sebagai contoh kasus.

“Itulah binatang, Nak. Mereka tidak punya akal. Gara-gara semut yang satu tidak ada antenanya jadi dianggap berbeda oleh semut yang lain.” (Hal 15)

Walaupun secara materi, novel ini memiliki nilai yang sangat bagus. Namun novel ini memiliki kekurangan, yaitu dalam hal narasi. Narasi yang dituliskan dalam novel Iqra’! ini sedikit bertele-tele yang bisa membuat pembaca sedikit bosan. Dan tempo yang digunakan oleh Reza Nufa dalam novel ini juga tidak stabil. Terkadang dalam satu bab tempo yang digunakan lambat, bahkan sangat lambat. Namun, di bab lainnya tempo yang hadir di bab tersebut sangat cepat.

Diluar kekurangan yang ada di novel Iqra’! ini, novel ini tetap merupakan novel yang sangat bagus dan ‘berbobot’. Banyak sekali nilai dan pesan moral yang dapat dipetik setelah membaca novel ini. Membaca novel ini, pembaca dapat merenung, tertawa, tersenyum dan bahkan menangis.

Jumat, 02 Desember 2011

Resensi Novel : Dunsa



Judul : Dunsa
Penulis : Vinca Callista
Penerbit: Atria
ISBN : 978-979-024-492-4
Tebal : 453 halaman

Bagaimana rasanya jika setelah hidup selama 17 tahun, dan tepat di hari ulang tahun ke-17 itu, kita dihadapkan kenyataan yang tidak pernah dibayangkan? Itulah yang dialami oleh Merphilia Dunsa, dia yang selama ini tinggal di sebuah tempat terpencil bersama bibinya, baru mengetahui asal usul dirinya yang sebenarnya di hari ulang tahunnya yang ke-17.

Dunsa adalah sebuah karya fiksi fantasi dari Vinca Callista. Novel yang bercerita seorang perempuan bernama Merphilia Dunsa yang tinggal bersama bibinya, Bruzila Bertin, di sebuah pedalaman hutan di daerah Tirai Banir yang berada dalam sebuah dunia yang bernama Prutopian. Di Prutopian terdapat empat Negeri Besar, yaitu Delmorania, Ciracindaga, Fatacetta dan Niraniscala, serta beberapa tempat lainnya yang tidak menjadi bagian dari empat negeri besar tersebut. Di Prutopian hidup berbagai jenis makhluk. Negeri Fatacetta merupakan negeri para peri yang disebut Fatta. Di bagian utara Prutopian, yaitu Kepulauan Borelis merupakan tempat terlarang, karena banyak monster yang tinggal disana, seperti Canisadin, Oro-Roku dan lainnya. Di Prutopian juga ada golongan Zauberei yang merupakan kelompok penyihir, mereka tinggal di Pegunungan Isaura. Dunsa sendiri tinggal di hutan Tirai Banir yang berada di dalam kekuasaan negeri Niraniscala.

Di hari ulang tahunnya yang ke-17. Merphilia Dunsa baru mengetahui asal usul dirinya yang sebenarnya. Dia adalah keturunan dari seorang wanita yang menamai dirinya Ratu Veruna–lebih dikenal dengan sebutan Ratu Merah–yang pernah memporak-porandakan negeri Niraniscala di masa lalu–saat terjadi Perang Merah antara Ratu Veruna dan negeri Niraniscala– dan berhasil membunuh Claresta Ardelazam yang merupakan Raja Niraniscala pada saat itu, yang juga ayah dari Dunsa. Ya, Dunsa adalah anak dari hubungan gelap antara Raja Claresta dan Ratu Merah yang bernama asli Megorgo Dunsa.

Di hari ulang tahunnya yang ke-17 juga, Dunsa diberitahu oleh Zeuberei bahwa Ratu Merah yang harusnya sudah mati saat terjadi Perang Merah, telah dibangkitkan kembali oleh sebuah sihir kuno yang dituliskan dikitab sihir kuno yang tidak diketahui keberadaannya dan tidak ada yang tahu siapa yang membangkitkan Ratu Merah. Zeuberei memberitahu Dunsa bahwa di kitab kuno tersebut disebutkan bahwa prajurit terpilih yang mampu membunuh Ratu Merah hanya orang yang berasal dari Ratu Veruna itu sediri, dengan kata lain adalah anaknya, yaitu Dunsa. Hanya dialah yang mampu membunuh kembali Ratu Merah yang merupakan ibunya. Dan dia diminta untuk tinggal di istana Naraniscala, untuk bergabung dengan Sena Naraniscala–tentara negeri Naraniscala.
Sejak hari itu, hidup Dunsa berubah total. Dia yang selama ini hidup hanya berdua dengan Bruzila di hutan Tirai Banir, kini harus tinggal di Istana Naraniscala, dimana hampir seluruh penghuni istana membencinya karena dirinya adalah keturunan Ratu Merah. Hanya Ratu Alanisador Ardelazam–penguasa Naraniscala saat ini–dan Pangeran Skandar Ardelazam–putra Maharaja Claresta Ardelazam–yang percaya dan memberi dukungan kepada Dunsa di awal kehadirannya di istana Naraniscala. Sejak itu Dunsa menjalani pertualangannya bersama Pangeran Claresta dan Jendral Adelarda untuk mencari cara untuk membunuh Ratu Merah.

Di novel ini Vinca Callista mengajak pembaca untuk menikmati liarnya imajinasinya. Dunsa bukan hanya novel yang bercerita tentang peperangan antara Ibu dan Anak saja. Dengan kekuatan deskripsi yang kuat, Vinca Callista membuat kita saat membaca mampu menerjemahkan suasana dan latar tempat di dalam cerita dengan baik. Novel ini pu mengkisahkan tentang cinta yang melebihi batas ‘darah’ dan persahabatan yang sangat kuat yang diperlihatkan oleh Bruzila Bertin. Twist-twist yang dihadirkan oleh Vinca Callista di setiap chapter, membuat pembaca selalu berdebar-debar. Kisah cinta segitiga antara Pangeran Claresta, Dunsa dan Putra Mahkota Wavilerma menjadi semacam bumbu-bumbu yang menambah cita rasa novel ini saat dibaca. Secara umum novel ini nyaris tidak ada celah kekurangannya. Novel yang wajib dibaca bagi pembaca yang sangat menggilai cerita fantasi dan pertualangan.

Peresensi : Danis Syamra
Id Twitter : @danissyamra
Email : da.nis_syamra@yahoo.com

Minggu, 27 November 2011

Resensi Novel : Once Upon A Love



Judul : Once Upon A Love
Penulis : Aditia Yudis
Penerbit: GagasMedia
ISBN : 979-780-518-2
Tebal : 192 halaman

“Merindukanmu membuatku sempat lupa kenapa aku harus melupakanmu. Kau cinta yang bertepuk sebelah tangan. Kekasih yang tak pernah kumiliki. Kau memori yang seharusnya kusimpan dalam kotak dan kubuang jauh-jauh”
Kalimat di atas adalah kalimat yang mewakili jiwa dari novel Once Upon A Love. Novel kedua karya Aditia Yudis yang bercerita tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Novel ini mengisahkan keteguhan Lolita yang jatuh cinta kepada Ferio, seorang yang dikenal oleh Lolita di sebuah komunitas menulis dan menjadi mentor serta senior bagi Lolita di komunitas tersebut. Ferio yang bersikap baik dan ramah kepada Lolita dengan memberikan arahan-arahan dan masukan atas tulisan-tulisan Lolita, mampu membuat perempuan itu jatuh hati kepada seniornya. Walaupun mereka belum pernah bertemu sama sekali dalam dunia nyata.
Pertemuan pertama antara Lolita dan Ferio terjadi di sebuah gathering nasional komunitas menulis yang mereka ikuti. Lolita menyangka pertemuannya akan berlangsung dengan indah, namun kenyataan yang didapatkannya adalah bahwa Ferio datang bersama perempuan lain, yaitu Drupadi yang merupakan sahabat perempuannya yang sangat dengan Ferio. Dimanapun ada Drupadi, disana pasti ada Ferio.
Hubungan yang sangat dekat antara Ferio dan Drupadi tidak membuat cinta Lolita kepada Ferio surut. Dengan semua perasaan yang dimilikinya kepada Ferio, Lolita menjadikannya sebagai ide novel miliknya dan menuangkannya semuanya disana.
Dua tahun berjalan semenjak pertemuan pertama dengan Ferio dan Drupadi, Lolita menerbitkan novel terbarunya yang berjudul Inspirasi, novel yang merupakan curahan isi hati Lolita kepada Ferio. Novel tersebut merupakan ungkapan cinta secara tidak langsung dari Lolita kepada Ferio. Walau dua tahun sudah berlalu sejak pertemuan pertama mereka, Lolita masih mencintai Ferio. Dia masih menjaga dengan baik perasaannya kepada lelaki itu.
Cinta yang awalnya dipertahankan oleh Lolita sedemikian tahun, dengan harapan waktu dapat membuat hati sang Ferio berpaling kepadanya. Namun Lolita harus mendapat kenyataan bahwa dahsyatnya Sang Waktu tidak dapat menggeser posisi Drupadi–perempuan yang menjadi sahabat serta orang yang paling disayang oleh Ferio–dari dalam hati lelaki pujaannya itu.
Setelah dua tahun lamanya, Lolita kembali bertemu dengan Ferio dan Drupadi dalam keadaan yang sangat berbeda dari pertemuan sebelumnya. Tidak ada lagi Ferio yang selalu menempel kepada Drupadi. Lolita yang awalnya percaya bahwa dia sangat mengenal Ferio menyadari bahwa sebenarnya dia sama sekali tidak mengenal Ferio. Ada kisah kelam yang dialami oleh Ferio dan hanya Drupadi yang mengetahui hal itu. Lolita juga tidak tahu sebelumnya bahwa Drupadi dan Ferio putus komunikasi selama hampir dua tahun. Lolita menyadari banyak hal yang tidak dia ketahui mengenai lelaki pujaannya itu.
Penggambaran kuat deskripsi suasana dan latar tempat yang Aditia Yudis buat dalam novel ini membuat pembaca tidak kesulitan untuk membayangkan isi cerita.
“Hujan sudah berhenti, tinggal tersisa rintik-rintik. Namun, awan-awan hitam itu belum sepenuhnya terusir pergi.”
Pilihan kata dan rangkaian kalimat yang penulis buat, semakin menambah nyaman suasana saat membaca novel ini, sehingga membuat novel ini sangat mengalir saat dibaca dan tidak membosankan. Penggambaran karakter tokoh yang kuat dan konsisten juga menjadi nilai lebih yang disajikan oleh penulis, yang menjadikan setiap karakter yang ada di dalam novel ini terasa sangat hidup.
Walau memiliki kekuatan deskripsi dan penggambaran tokoh yang kuat, novel ini masih memiliki celah. Ending cerita yang dibuat oleh Aditia Yudis sudah bisa ditebak sejak awal. Bahwa Lolita tidak akan mendapatkan cinta dari Ferio. Begitu pun dengan Ferio yang tidak bisa menjadikan Drupadi sebagai kekasihnya. Mereka bertiga hanya memeluk cintanya masing-masing tanpa saling memiliki.
Terlepas dari mudah ditebaknya ending yang dibuat, novel Once Upon A Love ini memiliki kekuatan cerita yang bagus dan mengalir. Sebuah kisah dari kegigihan seorang perempuan terhadap apa yang dia cintai dan kisah tentang teguh serta konsistennya seorang lelaki yang jatuh cinta kepada seseorang yang tidak akan pernah bisa dimiliki.

Rabu, 16 November 2011

Celoteh Anak Negeri : Pemuda dan Sumpah Yang Terlupakan

Celoteh Anak Negeri : Pemuda dan Sumpah Yang Terlupakan

27 Oktober,
Di salah satu ruang kelas SMA negeri ternama–yang juga dicap sekolah biang masalah oleh masyarakat sekitar–, seorang guru sedang memberikan materi pelajaran yang bagi –hampir–semua murid dilabeli sebagai pelajaran yang membosankan. Suasana kelas masih saja tidak tenang, tidak mengendurkan sedikit pun kebisingannnya. Padahal di depan kelas berdiri Pak Karya yang sedang menceritakan sejarah terjadinya sumpah pemuda. Pak Karya dengan semangat menceritakan detik-detik saat terjadinya kongres pemuda, mengisahkan kembali runutan salah satu bagian sejarah penting dalam kemerdekaan Indonesia.
“Jadi anak-anak, kongres pemuda itu diikuti oleh perkumpulan pemuda dari berbagai daerah di tanah air. Kongres berlangsung selama dua hari dan menghasilkan 3 butir yang disebut sumpah pemuda, yaitu berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu,” celoteh Pak Karya yang merupakan guru sejarah di sekolah ini. Sayangnya, semangat Pak Karya mengisahkan kembali sejarah Sumpah Pemuda ditanggapi acuh tidak acuh oleh para siswa. Hampir seluruh murid tidak memperhatikan dan sibuk berceloteh dengan teman sebangku mereka.
“Ngantuk nih gue,” ucap Roni berceloteh kepada Agus, teman sebangkunya.
Agus hanya mengangguk malas, sudah sedari tadi dia memejamkan matanya dan menempelkan kepalanya di meja. Sementara itu Pak Karya masih sibuk bercerita.
“Besok adalah hari sumpah pemuda, dan kita semua akan memperingati hari sumpah pemuda besok. Semoga semangat sumpah pemuda masih terjaga hingga kini.” Para murid hanya menjawab ‘Iya’ secara serempak. Ucapan kosong yang hanya diucapkan agar guru segera keluar dari kelas, sebab bel istirahat sudah berbunyi.
Suasana kantin riuh. Hampir semua meja sudah terisi oleh murid-murid yang menyaantap makan siangnya. Di salah satu sudut kantin berkumpul beberapa murid lelaki yang terlibat pembicaraan serius di antara mereka. “Gimana? Udah disiapin semuanya?” Roni bertanya kepada salah seorang di antara mereka, sementara yang lainnya hening memperhatikan.
“Lo semua santai aja, semua udah gua siapin kok. Besok kita serang. Kalau mereka jual, kita beli. Stay aja ditempat biasa. Kemudian bel kembali berbunyi, berangsur-angsur para murid meninggalkan kantin dan kembali ke kelas masing-masing, termasuk murid-murid lelaki yang berkumpul di sudut kantin.
Dendam di antara dua sekolah yang berdekatan ini sudah menjadi dendam turun menurun. Mereka hanya melanjutkan tradisi dendam tersebut, walau mereka tidak tahu asal muasal terjadinya konflik menahun di antara kedua sekolah yang bertetanggaan itu
“Pas pulang nanti, kumpul kayak biasa,” ucap salah seorang murid lelaki sebelum mereka bubar dan berpencar ke penjuru kelas.
*
Seperti sebuah ritual rutin, setiap pulang sekolah murid-murid lelaki berkumpul di warung rokok yang ada di dekat sekolah. Ada yang berceloteh, bernyanyi dengan petikan gitar di tangan dan ada juga yang hanya menyesap rokok ditemanin segelas kopi hitam yang mengepul. Tidak ada aktifitas khusus saat ‘nongkrong’ seperti ini, hanya untuk sebuah rasa ‘kebersamaan’ dan ‘solidaritas’ semata. Bila ada yang sudah diajak untuk ikut berkumpul dan menolaknya, maka konsekuensinya orang tersebut akan dikucilkan dari pergaulan. Menurut murid-murid tersebut, ritual seperti ini merupakan wujud konsolidasi dan berguna untuk mempererat tali solidaritas di antara mereka.
Awan yang menggupal di langit membuat suasana ‘nongkrong’ kali ini menjadi lebih bersahabat. Ditambah angin semilir yang bertiup lembut, menambah intim suasana berkumpul sore ini. Namun suasana yang bersahabat ini rusak. Salah seorang teman sekolah mereka datang dengan membopong seorang lainnya. Terlihat darah merembas dari sela rambut dan membuat sebagian wajah murid lelaki tersebut dipenuhi darah berwarna merah pucat.
Seketika itu juga semua murid yang berkumpul bangkit dan merubungi kawan mereka yang bersimbah darah tersebut. “Si Roni kenapa, Wan?” tanya salah seorang murid.
“Diserang sama anak sebelah.” Ridwan melepaskan baju seragamnya yang sudah terkena noda darah. “Sekarang cepetan bawa Roni ke rumah sakit, dia ngeluarin banyak darah, dihantem stick bisbol soalnya.”
“Ga bisa dibiarin nih, kita mesti serang balik.” Salah seorang murid berceloteh menambah panas suasana.
“Tenang dulu. Sekarang kita bawa Roni dulu ke rumah sakit. Urusan serang balik, sesuai rencana aja. Gua udah siapin alat-alatnya,” ucap Agus yang–sepertinya–menjadi ketua.
Hembusan angin semakin kencang, gumpalan awan memekat, dan sesekali petir menggelegar membelah langit. Suasana yang tadi bersahabat, berubah menjadi kelam, seiring berkurangnya helaan nafas yang dikeluarkan oleh Roni. Saat hampir sampai di rumah sakit terdekat, tidak terdengar lagi suara helaan nafas dari lubang pernafasannya. Masa hidup murid lelaki malang itu sudah usai. Dokter juga sudah memastikan bahwa Roni sudah meninggal, saat dokter tidak menemukan adanya denyut nadi dan jantung dari tubuh pemuda itu. “Dia mengalami gegar otak yang hebat. Tempurung kepalanya pecah dan dia mengeluarkan darah yang sangat banyak,” ucap dokter memberikan penjelasan penyebab kematian Roni.
Hampir semua murid terdiam saat mengetahui kenyataan bahwa salah seorang teman mereka telah tiada. Kenyataan bahwa Roni meninggal ditangan musuh bebuyutan mereka, membuat emosi dalam diri setiap murid memuncak. Hampir semua mengepalkan tangan mereka, menahan emosi yang menguasai diri mereka. “Kita kabarin ke keluarganya, abis itu kita siapin semuanya buat besok. Gue gak bisa nahan diri lagi,” ucap Agus penuh dendam. Dia bersumpah dalam dirinya untuk membalaskan kematian sahabat terdekatnya. Emosi bergejolak dalam diri Agus, sedih dan amarah bercampur menjadi satu. “Lo tau siapa yang serang Roni?” tanya Agus kepada Ridwan yang membawa Roni dalam keadaan terluka parah. Suaranya terdengar bergetar, matanya sedikit memanas. Sekuat apapun dan seberingas apa pun seseorang, dia pasti akan tetap sedih saat kehilangan sahabat terdekatnya.
Ridwan hanya menggeleng lemah, “Gue nggak tau, Gus. Gue nggak liat yang mana yang nyerang Roni.” Kemudian hening menyergap sesaat, sebelum akhirnya salah seorang murid menelpon rumah Roni, dan memberi kabar mengenai kejadian yang dialami Roni.
*
28 Oktober,
Pemakaman selalu menawarkan duka bagi orang yang mendatanginya. Hari ini mendung yang menggelayut di langit Jakarta semakin menambah muram suasana. Agus berdiri menahan air mata yang sebentar lagi pecah dari kantung matanya. Pemuda berandal itu juga masih manusia, yang masih merasakan kesedihan saat menyaksikan sahabat terdekatnya kembali lagi ke tempat asalnya –dari tanah kembali ke tanah. Agus dan beberapa teman sekolah Roni sengaja tidak masuk sekolah untuk menghadiri pemakaman Roni.
Saat prosesi pemakaman selesai, berangsur-angsur para pelayat pergi. Agus dan beberapa teman sekolah Roni masih tetap berdiri mematung menatap nisan Roni. “Saya harap cukup Roni yang jadi korban,” ucap seorang lelaki paruh baya kepada Agus. Agus hanya terdiam mendengar celotehan ayah Roni tersebut.
Perlahan titik air jatuh perlahan dari langit yang semakin menggelap. Kesedihan yang melanda diri Agus dan teman-teman lainnya perlahan tergerus bersamaan dengan rintik hujan yang membasahi tubuh mereka, dan berganti menjadi amarah dan dendam untuk membalaskan kematian Roni. Emosi membutakan mata mereka, terutama Agus yang sudah mengepal tinjunya sejak tadi. “Kita pulang sekarang, terus kita siapin semuanya. Mereka harus dikasih pelajaran.” Kemudian Agus dan teman-temannya meninggalkan pemakaman Roni.
*
Suasana sore ini tidak sama seperti sore di hari sebelumnya. Kini awan mendung sudah setia bertengger di langit sejak pagi. Hembusan angin yang menyejukkan menghilangkan hawa gerah terus bertiup kencang. Serta sedikit gemuruh guntur dan kilat saling beradu, seolah menjadi musik pengiring pertikaian yang sebentar lagi akan terjadi.
Jalanan masih seperti biasa, sesak dipenuhi oleh mobil dan angkutan umum yang lalu lalang. Namun yang membuatnya jadi tidak biasa adalah kerumunan anak-anak SMA di pinggir jalan. Gerombolan itu terbagi menjadi dua kubu yang berada di sisi berlainan. Agus dan teman-temannya berkumpul dan duduk-duduk, seolah menunggu lawan mereka–SMA Tirta–memulai. Suasana sore itu yang seharusnya dapat dinikmati dengan duduk santai ditemani minuman hangat, namun yang terjadi sebaliknya, suasana tegang meliputi jalanan yang menjadi–calon–tempat pertempuran. Demi loyalitas dan persatuan, Agus dan teman-temannya menuntut balas atas apa yang menimpa sahabatnya itu.
Sebuah lemparan batu, menjadi lonceng penanda dimulainya tawuran antar SMA yang bertetanggaan ini. Setelah itu terjadi saling lempar batu ke kedua belah pihak. Agus dengan beringas maju dengan kopel–ikat pinggang dengan besi padat di kepala ikat pinggang–ditangannya. Dia mengayunkan benda tersebut ke arah gerombolan lawannya–berharap mengenai salah satu diantara mereka. Setelah Agus maju menekan lawan mereka yang notabene adalah SMA Tirta yang merupakan SMA tetangga mereka, Ridwan dengan stick golf-nya ikut maju menyerang. Diiringi leparan batu dari belakang, Ridwan menyeret stick tersebut ke arah beberapa musuh yang ada dihadapannya. Serangan langsung yang Agus dan Ridwan serta beberapa teman-temannya membuat gerombolan murid SMA Tirta tercerai berai dan melarikan diri ke sembarang arah. Salah seorang murid SMA Tirta terjatuh saat dia ingin melarikan diri. Kontan saja, Agus, Ridwan dan teman-teman lainnya langsung mengerubungi pemuda malang itu dan menjadikannya bulan-bulanan kemarahan dan dendam yang terpendam dalam diri Agus dan Ridwan. Agus mengayunkan kopelnya ke arah kepala dan Ridwan mengibaskan stick golfnya ke bagian yang sama, teman-temannya yang lain ikut menyumbang pukulan dan tendangan ke tubuh salah seorang murid SMA Tirta itu.
Tak lama kemudian polisi datang. Tawuran selesai, murid-murid dari masing-masing sekolah kabur melarikan diri dan meninggalkan sesosok jasad yang sudah bermandikan darah. Kepalanya sudah tidak berbentuk utuh, sebagian isinya berserakan keluar. Tengkorak pemuda malang itu pecah dihantam stick golf dan kopel yang digunakan Agus dan Ridwan. Pemuda malang itu bukanlah korban pertama atau kedua dari tawuran yang terjadi di kalangan pemuda. Menjadi korban dari egoisme yang dilabeli rasa solidaritas, kekompakkan dan persatuan disuatu kelompok. Bukan korban pertama dari melencengnya makna persatuan dan menjadikan makna persatuan menjadi begitu sempit.
Satu nyawa pemuda bangsa kembali melayang. Hari ini adalah hari dimana sumpah pemuda diperingati. Tanggal 28 Oktober, dimana puluhan tahun lalu, pemuda-pemuda bangsa dari berbagai daerah berkumpul dan bersatu atas nama Indonesia. Dan kini, setelah puluhan tahun setelah hari sakral itu, makna sumpah pemuda sudah hilang dan terlupakan. Yang ada hanya tinggal peringatan dan seremonial, dimana dulu pernah ada hari dimana pemuda bangsa dari berbagai macam daerah bersatu, berkumpul dan saling menguatkan persatuan di antara mereka. Ya, generasi pemuda saat ini tidak pernah merasakan kongres pemuda seperti apa. Maka dari itu, sudah banyak dari mereka yang tidak tahu apa makna sumpah pemuda, dan mungkin saja, pemuda generasi saat ini sudah lupa sumpah pemuda itu seperti apa.

Sabtu, 06 Agustus 2011

Tak Ada Air Mata

Ketika seseorang mengalami kesedihan yang amat mendalam, apakah airmata akan otomatis keluar dari kelopak mata? Ketika daya tak lagi kuasa mengubah keadaan, seseorang akan berpasrah dalam tangisan dan jeritan? Mungkin hal itu berlaku bagi orang lain, tapi tidak bagi gadis kecil yang berdiri di pinggir trotoar itu. Dia hanya berdiri dan bergeming menatap kenyataan yang terjadi di hadapannya.

Kedua bola mata kecilnya menjadi saksi saat kenyataan tidak bisa berubah hanya dengan sebuah jeritan. Keadaan tidak akan menjadi lebih bahagia hanya dengan sebuah tangisan dan deraian air mata. Tangan mungilnya mendekap erat boneka kelinci miliknya, seolah tak ingin kehilangan benda itu. Gadis kecil itu menyaksikan pertunjukkan dunia secara live dalam diam. Tidak ada komentar, tidak ada racauan dan tidak ada jeritan. Emosinya telah luruh. Hilang dan tak bersisa dalam tubuhnya. Dalam diam dia menyaksikan eksekusi berdarah. Saat ayahnya mati di keroyok warga saat berusaha mencuri tas seorang wanita. Dalam diam gadis kecil itu mengingat kembali perkataan Ayahnya dan kejadian yang tersaji beberapa menit yang lalu.

“Sayang, kamu tunggu disini yah. Bapak mau cari uang dulu, kamu lapar kan?” ucap lelaki berkemeja biru lusuh itu kepada anak perempuannya yang masih berusia 6 tahun itu.
Gadis itu hanya mengangguk kecil. Mulutnya diam terkunci. Satu tangannya memegangi perutnya yang sudah tidak diisi sejak tiga hari yang lalu. Sementara sebeleh tangannya yang lain mendekap erat boneka kelinci miliknya–benda terakhir miliknya–saat ayahnya berjalan menyeberangi jalan lalu berlari ke arah wanita muda berusia 25 tahunan dan merampas paksa tas yang menggantung dibahu wanita tersebut.

Tak ada air mata yang keluar dari kedua bola mata gadis kecil itu. Tidak ada tangis. Tidak ada jeritan. Kenyataan telah merampas semuanya. Rumah kardusnya sudah dibongkar paksa oleh orang-orang berseragam biru tua. Ayahnya–orang tua satu-satunya–di renggut nyawanya oleh orang-orang yang tidak paham keadaan yang dialaminya. Hanya boneka kelinci yang sudah lusuh yang masih dimiliki oleh gadis kecil itu, karena kenyataan telah mencuri hal yang dimilikinya ; rumah, ayah, teman-temannya bahkan tangisan dan air mata.

Selasa, 02 Agustus 2011

ini karena kita

aku memandangi hamparan pasir putih yang kuinjak saat ini, pasir putih yang indah. lalu mataku beralih ke arah depan, menatap deburan ombak kecil yang menabrak karang. memperhatikan warna air laut yang biru muda. aku tersenyum, hatiku gembira karena saat ini aku berada di tempat yang sangat menyenangkan. tenang, sejuk dan bersih tanpa ada banyak polusi dan sampah.

dari tempatku duduk, aku memperhatikan banyak wisatawan lainnya yang tertawa, bercanda dan berfoto-foto mengabadikan moment dan pemandangan indah yang disajikan oleh pulau ini. laut bewarna biru yang teduh, pasirnya yang bewarna putih bersih, karang-karang besar yang indah serta ombak-ombak kecil yang datang menghampiri bibir pantai. sungguh indah dan menenangkan.

"Yah, udah abis nih makanannya... buang dimana yah?" ucap seorang perempuan yang sepertinya wisatawan lokal -sepertiku- yang berdiri di belakangku.

"Itu tempat sampah tuh," ucap seorang lelaki yang sepertinya teman perempuan tersebut.

"Ahh... jauh. udah lah buang disini aja." Perempuan itu menjatuhkan sampah bungkusan plastik makanannya sembarangan, lalu dia kemudian pergi begitu saja tanpa memikirkan akibatnya.

aku berfikir dalam lamunanku. masih banyak tempat yang bersih dan alami, tapi semua itu hanya sementara jika orang-orang yang berada di tempat itu masih memelihara kemalasan untuk menjaga kebersihan. seperti saat ini. tempat ini bersih, tapi orang-orang seperti kami -wisatawan- yang membuat tempat wisata ini menjadi kotor. maafkan aku pasir pantai, terumbu karang, ombak yang indah, laut yang teduh. karena kami kalian menjadi ternoda.

Jumat, 22 Juli 2011

Tiba di Titik Jenuh

sebuah titik kosong
berembun dalam gersangnya pikiran
meracau dan memberontakkan semua yang ada

diam dan tak ada yang terpikirkan
semua bayang angan dan harapan telah terbang
menjauh dan tanpa pemberitahuan

seperti kabar angin
yang datang cepat tanpa tahu datangnya
titik itu meracuni pikiranku

aku seketika lemah, kosong dan tak berdaya
diam menguasaiku
menghentikan setiap gerakan yang ingin ku lakukan
mematikan langkah yang ingin kujalankan..
titik itu bernama JENUH..

Selasa, 17 Mei 2011

Selamat Ulang Tahun

selamat ulang tahun
kamu dengan sejuta makna untukku
saat waktu tetap berjalan
kamu tetap mempesonaku

selamat ulang tahun
tidak terasa waktu berlalu dengan cepat
terlalu cepat untukku kejar

kamu yang mempesonaku
sejak 1000 malam yang lalu
hingga saat ini. ironi

selamat ulang tahun
aku akan mengucapkannya untukmu
walau kau tak lagi mengingat ulang tahunku

Selasa, 03 Mei 2011

tobat

aku ingin menabuhkan sebuah titik putih di atas hitam
menyepuhkan terang dalam gelap yang kelam

kesalahan dan kesalahan
aku berhenti agar tak kembali kedalam gelap
sejenak berpikir dalam diam
melagukan kembali semua harapan

terdiam
berfikir
dan mencoba menyesap
aku jera
aku ingin terang ini menghapus gelapku.

Rabu, 16 Maret 2011

Dari Hati Untuk Indonesia

Aku terbakar dengan pesonamu
Bagai nyala api didalam jiwa
Tak terpadamkan dan kekal

Kau yang aku impikan
Auramu begitu kental
Sosok yang tak mati..
Walau jasadmu telah lama membusuk

Aku rindu sosokmu
Yang mampu bakar gelora jiwa muda ini

Laksana banteng
Dirimu keras tak terkikis oleh kemunafikan
Seperti sang Garuda, yang cinta akan bangsa ini

Untukmu sang proklamator
Biarkan semangatmu mengalir dalam darah setiap pemuda
Jiwamu melekat dalam diri para pemuda
Aku Cinta Indonesia!!!

Jumat, 18 Februari 2011

Tarian

Aku pertama kali melihatmu di sebuah sanggar, saat aku sedang mengantarkan adikku untuk latihan disana. Seorang dengan baju khas penari balet, meliuk-liuk bergerak ditengah ruang latihan di sanggar itu. Sanggar yang mempertemukan aku dengan kamu.
Semenjak hari itu, setiap kali aku mengantarkan adikku ke sanggar, perhatianku hanya tertuju kepadamu. Kamu yang tidak kuketahui namamu. Izinkan aku menuliskan tentang dirimu dalam jiwaku.

Sebait rindu aku titipkan dijiwamu
Aku dengan keterbatasan ingin mencinta
Berjabat tangan dan memandang matamu dengan langsung

Kamu, dengan tarian itu
Begitu indah menurutku yang tak mengerti tarian
Tapi aku paham, keindahan tak dapat dipungkiri

Cinta? Aku tak paham
Tapi aku merasa, jiwaku ikut menari dengan liar
Saat melihat dirimu meliuk-liuk indah didalam sanggar.
Ya! Dan sayangnya hanya sebatas itu yang mampu aku lakukan.

Sebuah surat kutuliskan untuk penari balet itu. Surat yang tak pernah dibaca oleh dia yang selalu menari-nari didalam hatiku.

Sabtu, 22 Januari 2011

Untukmu Yang Disana (Sepenggal Air Mata Untukmu)

Aku tak percaya lagi.. dengan apa yang kau beri.. aku terdampar disini terpuruk menunggu mati..
Terdengar kembali lagu itu mengalun di radio yang sedang kuputar. Mengorek kembali sebuah kenangan usang dan sebuah luka lama.
Kamu yang namanya tak mampu kusebut
Seperti badai yang mampu mengoyak hatiku lalu menghadirkan pelangi setelahnya

Pesonamu begitu kuat
Seperti serbuk opium yang mampu larutkan isi otakku
Membuatku lupa diri asal bisa bersamamu
Walau aku harus menanggalkan jubah rasa malu dan semua harga diriku

Untukmu yang entah berada dimana
Aku titipkan sepenggal air mata yang telah membeku ini
Untukmu sang “badai dan pelangi” di hatiku
Aku kisahkan kekalahanku ini
Untukku yang telah kau tinggalkan untuk menikah dengan perempuan lain

Sabtu, 15 Januari 2011

Putri Kencana dan Prince

Sekolah baru, suasana baru, semoga saja teman-teman baru disini sifatnya ramah-ramah seperti teman-temanku di Jakarta. Aku berkata dalam hati saat akan memperkenalkan diriku. “Nama aku Sagara Rahayu, aku siswi pindahan dari SMA Negeri 4 Jakarta, salam kenal.” Aku memperkenalkan diriku didepan kawan-kawan baruku di SMA Negeri 11 Surabaya.

“Baik yah anak-anak, ibu tinggal dulu.” Ibu kepala sekolah berkata kepada murid-murid. “Dan kamu Ayu,kamu duduk di bangku keempat baris ketiga dari pintu yah, kamu akan duduk dengan Raden Bayu dan semoga kamu bisa cepat berbaur dengan teman-teman baru kamu yah.” Ucapnya kepadaku

“Iya bu Miranda.” jawabku kepada kepala sekolah baruku ini.

Saat ini aku duduk di bangku SMA kelas 2, mulai hari ini aku akan menjalani kehidupan baru di sebuah kota baru yang belum pernah aku singgahi sama sekali. Aku berharap dalam hati semoga saja aku bisa mendapatkan teman baru secepatnya.

“Hai, salam kenal.” ucapku kepada teman sebangku yang baru

“Salam kenal Sagara” jawabnya cuek dan acuh

Ishh. Dingin banget ini cowok. Pikirku. “Ehmm, kamu panggil aku Ayu aja dan aku manggil kamu Bayu aja gimana?” aku mencoba membangun komunikasi dengan teman pertamaku ini.

Masih menatap buku tanpa menoleh ke arahku. “ya boleh” ucapnya singkat.
Ahh, bakalan runyam nih, punya teman sebangku yang dingin cuek dan acuh kayak begini. Gerutuku. Lalu, tercipta suasana yang tidak mengenakkan antara aku dan Bayu, dan kami melewati waktu sampai istirahat dalam diam.

Kringg…kringg… bel istirahat berbunyi dan murid-murid dikelas berangsur-angsur berkurang dan migrasi ke kantin. Hanya aku, bayu dan beberapa teman-teman yang masih tinggal dikelas. Aku mengeluarkan kotak nasi yang sengaja disiapkan bunda dari rumah dan kulihat juga Bayu mengeluarkan kotak makanan juga dari dalam tasnya.

“Uhmm, kamu setiap hari bawa makanan dari rumah juga Bay?” Aku memulai percakapan

“Iya.” Jawabnya singkat.

“Beneran setiap hari?” tanyaku. “Jadi kamu nggak pernah ke kantin dong?” lanjutku.
Bayu menghentikan suapannya lalu memandang ke arahku. “Aduh, kamu itu cerewet dan banyak omong banget yah, bisa nggak kamu diam.” ketusnya

Uuhhhhh. Nyebelin banget deh ini cowok. Dingin banget. Aduhh bunda, kayaknya aku bakal susah dapet teman baru deh. Teman sebangku aku ini pendiam dan sombong. Ratapku dalam hati.

“Ohh iya deh Bay, maaf yah.” jawabku memendam kesal

****

Sudah hampir 5 bulan aku menjalani kehidupan baruku di Surabaya, aku sudah mendapatkan beberapa teman baru namun Bayu masih saja bersikap dingin kepadaku. Menurut Rinda, teman baruku, cowok berkepala botak ini ternyata memang memiliki sifat yang pendiam, sedikit angkuh dan sombong, maka dari itu aku sering menyebutnya Mr. Angkuh. Mungkin dia bersikap seperti itu karena adalah siswa terpintar dikelas. Aku pun mengakui bahwa dia memang pintar dikelas. Dia menjadi rivalku dalam perebutan juara kelas, aku dan dia seperti minyak dan air. Sekalinya dia berbicara pasti akan membuat aku jengkel karena kata-kata angkuhnya dan kamipun sering terlibat cekcok adu mulut.

Suatu hari saat pengumuman nilai UAS semester pertama kami keluar. Aku, Rinda dan teman-teman yang lain sibuk bertanya dan membandingkan nilai yang kami peroleh. Kulihat hanya Mr. Angkuh saja yang terlihat tidak tertarik untuk membandingkan nilainya.

Aku berjalan ke arahnya. “ Nilai pelajaran Biologi kamu berapa, Bay?” tanyaku kepada Bayu yang sedang membaca sebuah buku.

Ia mendongak dari balik bukunya. Dengan ekspresi datar yang aku benci dia berkata, “Penting yah banding-bandingin nilai?”. “Lagijuga aku yakin nilai aku nggak lebih kecil dari nilai kamu”. Ucapnya lagi.

Ughh. Dasar mr. Angkuh. Aku membatin. “Issh, kamu sombong banget sih. Mang berapa sih nilai kamu.” Tanyaku dengan sedikit kejengkelan. “Nilai aku 95, kamu berapa?” ucapku menyombongkan diri dihadapannya

Mr. Angkuh kembali mendongakkan kepalanya. “Huhh, baru dapat nilai 95 aja sombong, nih nilai aku.” Ucapnya seraya menyodorkan kertas ulangannya.

Aku kaget saat melihat nilai yang dia peroleh. 98 ? Oh God, nilai aku kalah. Aku berkata dalam hati. Lalu aku kembalikan kertas ulangannya dan menampilkan ekspresi kalah. Aku melihat senyum tipis di wajah Bayu, sebuah senyum yang membuatku semakin kesal.

****

Suatu hari kami sekelas pergi study tour ke Kebun Raya Bogor. Lalu disana kami dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok yang bertugas untuk meneliti jenis tumbuh-tumbuhan yang ada disana. Entah mengalami mimpi buruk apa aku tadi malam, aku ditempatkan satu kelompok dengan Bayu.

Setelah pembagian kelompok selesai, semua teman-teman sekelompok berkumpul untuk membicarakan tugas dan apa yang harus dilakukan oleh masing-masing anggota. Mr. Angkuh dipilih secara aklamasi sebagai ketua kelompok.

Bayu menyampaikan instruksi-instruksi kepada teman-teman kelompok. Lalu aku mengeluarkan diary kesayanganku dan mencatat instruksi-instruksi yang disampaikan.

Setelah memberikan instruksi, dia berjalan ke arahku dan berbisik, “putri kencana, kamu bantu aku yah, lupakan semua masalah kita dikelas selama ini.”

Deg. Jantungku berdetak hebat, darahku mendesir kencang. Putri kencana? Hanya satu orang di panti asuhan yang memanggilku seperti itu. Seketika aku terlempar pada kenangan yang sudah lama sekali.

Aku adalah anak yang diadopsi oleh bunda Kirana saat berusia 10 tahun. Namun aku sudah tinggal di panti dari kecil. Dan aku baru bisa mengingat kehidupan panti saat umurku 6 tahun. Saat aku di panti sampai aku di jadikan anak angkat Bunda Kirana, aku lebih banyak berdiam diri di kamar dan menulis di buku diary. Tidak seperti teman-temanku yang lainnya yang lebih sering bermain diluar kamar. Namun hanya ada satu teman yang sangat denganku di panti. Aku memanggilnya Prince dan dia memanggilku Putri Kencana, dia juga merupakan anak panti dan seumuran denganku. Setiap hari aku melewati hari-hariku dengan sebuah diary lusuh dan prince. Dia menjadi satu-satunya sahabatku di panti ini. Sampai akhirnya aku meninggalkan dia dan panti saat umur 10 tahun, sejak itu aku tidak mengetahui kabarnya sama sekali. Dan kini dihadapanku mr. Angkuh orang menyebalkan dan sombong ini memanggilku putri kencana.

“Ayu, kamu baik-baik aja?” tanya Bayu yang mengembalikan kesadaranku.

“Prince?” ucapku kepada Mr. Angkuh. “Benar kamu prince yang dulu juga penghuni panti Jerami?” tanyaku kepada Bayu.

Ia mengangguk pelan, “aku juga baru sadar kalau kamu itu putri kencana saat melihat diary yang kamu keluarkan tadi saat kita rapat koordinasi”. “diary yang sama dengan diary yang selalu aku lihat saat aku masih di panti dan aku yakin, bahwa kamu adalah putri kencana yang selalu aku cari.”

Deg. Detak jantung ini semakin cepat. “Prince…”. “Hooii, Bayu…. Rahayu… cepat kemari.. acara penelitian sudah mau dimulai, ayo siap-siap” terdengar suara teman sekelompok kami memanggil kami untuk berkumpul memulai acara.

Lalu acara penelitian dimulai,dan kami pun mengerjakan tugas yang telah di instruksikan tadi. Namun aku tidak fokus dalam mengerjakan penelitian. Kepalaku dipenuhi banyak pertanyaan yang ingin segera dijawab oleh Mr. Angkuh. Bayang-bayangan masa lalu itu masih terus berkelebat dalam pikiranku.

****

21 Maret 2010
Dear Diary sayang,
Hari ini aku resmi jadi pacarnya prince dan aku nggak nyangka banget kalau beberapa hari yang lalu aku baru sadar bahwa Bayu, orang yang angkuh, sombong dan orang yang paling aku sebelin di sekolah adalah prince yang selama ini aku cari-cari. Ya prince adalah Raden Bayu cowok yang jadi rival, sahabat dan pacarku saat ini. Uhmm Diary… Ternyata Mr. Angkuh itu orangnya bisa bersikap lembut dan romantis juga yah, jauh banget sama sikap yang dia tunjukkan selama ini kalau dikelas. Tapi aku sebel sama dia diary, dia masih suka bersikap angkuh sombong dan arogan ke aku kalau dikelas. Huufftt… tapi diary, aku bahagia banget saat ini. Muaach.

Sudah lama sekali aku tidak bercerita kapada buku diary aku ini. Saat membuka kembali lembaran-lembaran lama yang kertasnya sudah mengkerut, aku kembali terhempas kedalam kenangan-kenangan indah di masa dulu. Saat aku masih di tinggal di panti dan melewati setiap hari bersama prince.

****

Detik telah jauh melangkah, hari-hari telah lama terlewati dan tanpa sadar aku sudah dipenghujung kelas 3 dan akan menyongsong hari perayaan kelulusan kami. Aku masih berpacaran dengan prince dan kami melewati setiap harinya dengan indah seperti masa kecil dulu. Namun tidak lama lagi juga aku akan pindah kembali ke Jakarta, sebab masa dinas ayahku sudah hampir selesai.

****

Di bandara
“prince, maaf yah aku harus pergi lagi. Ini nomor hape aku, terus hubungi aku yah prince, jangan sampai aku kehilangan kamu lagi”. Ucapku berair mata sesaat sebelum aku memasuki pintu keberangkatan.

Mr. Angkuh tersenyum kepadaku. “hati-hati di Jakarta ya Putri. Aku janji pertemuan kita selanjutnya nggak akan lama seperti sebelumnya”. Ucapnya kepadaku.

Lalu aku pun berjalan menuju pintu keberangkatan, sebab pesawat akan segera berangkat. Aku melambaikan tangan kepada prince dan aku melihatnya melambaikan tangannya juga ke arahku. Prince.. aku sayang kamu.. Aku membisikkan kata-kata yang mungkin tak mampu didengar oleh Bayu.

****

Beberapa bulan kemudian aku di terima sebagai mahasiswa di Universitas Indonesia. Aku bahagia sekali mengetahui hal ini dan aku tambah lebih bahagia juga saat mengetahui bahwa Raden Bayu atau Mr. Angkuh atau prince ku diterima sebagai mahasiswa baru juga di UI.

Dia membuktikan janjinya bahwa pertemuan kita selanjutnya tidak akan lama seperti sebelumnya. Kami pun kembali menjalani keseharian bersama kembali seperti dulu saat masih kanak-kanak, saat prince selalu ada di setiap hariku. Raden Bayu dialah sahabatku, kekasihku dan juga rivalku, dialah prince dalam hidupku.

Kamulah Musikku

Kamu itu indah dan menyenangkan
Sanggup singkirkan kelabu ku
Dan kamu pun bisa menjadi requim dihidupku
Yang bisa membuat hariku penuh airmata

Seperti sebuah harmonisasi kehidupan
Yang mampu mengalunkan nada-nada indah
Dan juga melodi kematian bagiku
Dalam setiap detik yang terlewatkan

Mampu membuatku tertawa bahagia
dan lupakan semua masalah
Namun kau bisa menghadirkan kesedihan
Yang sanggup hancurkan diri ini

Dirimu seperti penggalan bait-bait lagu
Selalu mengalun dalam fikiranku
Ya, itulah definisiku tentangmu

Kamu seperti musik dalam hidupku
Tak terlewatkan dan akan selalu ada dalam fikiranku
Ya benar, seperti musik..
Yang sanggup membuatku bahagia dan juga berurai airmata
Tetaplah menggema dalam hatiku sayang..

Selasa, 11 Januari 2011

Tanpamu Hidupku Galau

Hadirmu warnai duniaku dan membuat tubuhku bergetar dan berkeringat saat menikmatimu
Ribuan kecewa saat kau tak lagi ku jangkau
Dirimu terbang melangit dan hanya dapat dijangkau oleh mereka yang berada

Kau bagai candu bagiku
Berhari-hari tanpamu membuatku gelisah dan galau
Hadirmu seperti oksigen yang selalu kubutuhkan

Cepatlah membumi sayangku, agar aku dapat menjangkaumu kembali
Agar aku dapat menikmatimu lagi
Denganmu hidup ini begitu nikmat
Tanpamu hidupku menjadi galau, wahai Cabaiku..

Jumat, 07 Januari 2011

Pelangi di Kala Senja

Kringggg!!! Kringgg!! Bel sekolah berbunyi pertanda jam belajar telah selesai. Di sebuh lorong sekolah SMU Bangsa, seorang perempun muda berkacamata tergopoh-gopoh berlari mengejar teman prianya.
“Adittt… Adiiitt… tunggu sebentar !!” teriak Andini dari kejauhan
“iya din, ada apa? Kok kamu lari-larian begitu?”
“iya ini dit, aku punya selembaran lomba menulis puisi. Kan kamu pinter bikin puisi tuh, lumayan loh hadiahnya kalau kamu coba ikutan lomba ini dan bisa menang.”
Adit terdiam sejenak, lalu berkata “makasih ya din, nanti aku pikirin dulu mau ikut atau nggak”

***


Duta Buana Publishing Present

Buat kamu-kamu yang senang menulis dan memiliki tulisan (cerpen, novel atau puisi) masukan karya tulisan kamu. Acara ini bebas usia dan tidak dipungut biaya apapun. Pemenang akan mendapatkan hadiah yang menarik dari panitia dan karya tulisannya akan di masukkan dalam kumpulan tulisan lainnya. Pendaftaran ditutup tanggal 31 Maret, Info lebih lanjut hubungi marisa 08128988xxx.
Didalam sebuah ruangan yang sedikit berantakan oleh baju, buku, dan berbagai novel yang berserakan di atas kasurnya, Adit mengeluarkan secarik kertas yang ada di dalam tasnya lalu ia membacanya, sebuah selebaran yang diberikan oleh Andini tadi siang.
Hmm, aku ikut nggak ya?. Kalau aku ikut, aku mau ikut kategori yang mana ya? novel, cerpen apa puisi yah?. Sepanjang hari hingga malam pun tiba, Adit terus bertanya-tanya dalam diri mencoba mengumpulkan keyakinan dalam dirinya.

***

Sepulang sekolah Andini mendatangi kelas Adit, untuk meyakinkan sahabatnya ini untuk berani mengikutsertakan karya tulisannya.
“hai din, kamu mau tanya tentang keikutsertaan aku” ucap Adit saat melihat Dini berjalan ke arahnya.
“hahaha, iya nih… gimana? Kamu jadi ikut nggak?”
“hmm, aku pengen tau dulu, hadiahnya buat yang juara itu apa, kalau hadiahnya menarik, aku ikut deh. Hehehe.”
“woo, belom ikutan udah tanya hadiahnya aja.” Cemooh Andini kepada Adit.
“yudah-yudah, aku mau telepon CP nya dulu yah, tunggu sebentar.” Adit perlahan berjalan menjauh dari Andini dan memulai percakapan dengan panitia acara lomba tersebut.
Percakapan antara Adit dengan panitia acara berlangsung singkat. Lalu Adit kembali menghampiri Andini dengan wajah semringah.
“aku bakal ikutan lomba itu Din”
“wah bagus deh, panitianya ngomong apa sampe kamu langsung mutusin buat ikut lomba.” Tanya Andini masih keherenan dengan perubahan pikiran Adit.
“kata mbaknya, juara pertama bakal dapat notebook sebagai hadiahnya” jawab Adit dengan mood ceria “lumayan Din buat ganti laptop lama aku. Hehehe. Besok temenin aku kirim naskahnya yah.” Lanjut adit.
Pelangi di Kala Senja

Aku seperti senja
Yang indah mengandung ironi
Menggores keindahan dibalik kesedihan

Aku seperti senja
Yang kehilangan cahaya menuju gelap
Telah lenyap warna tak bersinar

Aku mencari pelangi
Agar senja lebih berwarna
Aku inginkan pelangi
Pelangi di kala senjaku

Andini membaca puisi karya Adit yang ingin dikirimkan untuk lomba. Didalam hati ia mengagumi karya temannya ini, dia bergumam dalam pikirannya andai saja dia bisa menjadi pelangi tersebut, menjadi sebuah pewarna yang menghiasi senja yang indah namun tersirat kesedihan dan kesepian.
“gimana Din puisi yang aku tulis ini? bagus nggak?” tanya Adit
“bagus kok bagus.. ini puisi tentang kamu sendiri Dit?”
“eehhmmm gimana yah?” Adit terlihat sedikit kebingungan “iya sih Din, ini puisi menggambarkan suasana hati diriku saat-saat ini.”
“ohh begitu, yaudah-yaudah kita kirim sekarang aja naskah puisi ini” Dini mencoba mengalihkan pembicaraan.
Adit mulai memasukkan naskah puisinya kedalam map coklat dan menuliskan idenditas dirinya serta alamat yang dituju.
***
Waktu pengumuman pemenang lomba telah tiba, dan mereka pun mengecek daftar pemenangnya melalui situs panitia. Dan ternyata puisi yang dituliskan oleh Adit mendapatkan juara pertama di lomba tersebut. Pemenang dijadwalkan untuk mengambil hadiah serta membacakan puisinya saat penyerahan hadiah.
“Din, aku juara Din” Adit berbicara dengan Andini melalui telepon dangan nada senang. “coba kamu ada disini Din melihat langsung pemberitahuan ini, mang kamu sekarang lagi dimana? Kok nggak masuk sekolah?.”
“wah selamat ya Dit, puisi kamu bagus kok, cocok kalau kamu yang menang. Memang kapan penyerahan hadiahnya? Aku lagi pergi ke rumah bu’de aku nih.”
“menurut jadwal lusa Din acara penyerahan hadiahnya, kamu hati-hati dijalan yah dan cepatbalik yah yah biar bisa liat aku pegang pialanya. Hahhaha” ucap Adit seraya tertawa.
“amin, makasih yah Dit.”

***

Saat akan baru berangkat menuju tempat penyerahan hadiah handphone Adit bergetar, ada telepon masuk dari nomor orangtua Andini. Adit bertanya-tanya dalam benaknya, tumben-tumeben sekali orangtua Andini menelepon dia.
“hallo, Assalamualaikum tante” salam Adit
“walaikum salam nak Adit, nak Adit sedang apa? Tante ingin mengabarkan ke nak Adit, kalau Andini mengalami kecelakaan dansekarang sedang dirawat di rumah sakit Syahid.” Tante Linda menjelaskan
“innalillahi.. baik tante saya akan langsung menuju kesana.” Adit langsung menghidupkan motornya dan bergegas ke rumah sakit dan melupakan acara penyerahan hadiah.

***

Adit tiba dirumah sakit dan langsung masuk ke dalam kamar perawatan, ia tampak sangat cemas melihat keadaan Andini yang belum sadarkan diri. Lantas ia menunggui Andini hingga ia sadarkan diri.
Lalu..Andini m membuka matanya dan melihat Adit yang duduk disampingnya menunggui dirinya.
“Aa..Adit.. kamu ngapain disini?” ucap Andini yang baru sadarkan diri. “bukannya hari ini adalah hari penyerahan piala lomba ya? Lalu kamu ngapa...” Adit lantas menghentikan racauan Andini dengan jari telunjuknya.
“aku khawatir sama kondisi kamu Din, aku takut..aku takut kehilangan pelangi ku.” Tersirat sebuat kesedihan dalam ucapan Adit.
“maksudnya?” Andini yang baru sadarkan diri masih bingung dengan keadaan yang dialaminya saat ini
“ya, kamu adalah pelangi. Kamu adalah pelangiku. Kamu yang lebih penting dari piala itu, sebab kamu adalah pelangi di kala senjaku.”