Rabu, 28 Agustus 2013

Kepada Perempuan Pertamaku

Tahukah kamu, bahwa aku masih mengingatmu?
Senyummu, ialah hal yang tak akan pernah lenyap dan lesap di pikiranku.

Katamu dulu, setiap manusia memiliki memori yang terbatas
Apa yang terjadi di masa lalu akan terlupa pelan-pelan, dan kenangannya akan memudar perlahan
Dengan pasti, tanpa disadari

Kepada perempuan pertamaku
Mungkin kamu sudah lupa, pada senja di pinggir jalan tempo dulu
Ketika kita saling berdiri dalam diam
Menunggu datangnya bis umum yang akan mengantarmu pulang
Lalu sebuah kalimat terucapkan dari lidahku yang bergetar dan tubuhku yang keringatan

"Saya menyukaimu. Bukan oleh kecantikanmu, sebab kamu tidaklah cantik. Bukan oleh kebaikanmu, sebab ada yang lebih baik darimu. Hanya saja, saya menyukaimu, bukan kepada yang lain."

Mungkin kamu lupa, pada kata yang menjadi awal dari kita
Menjadi kait yang mengikat janji yang aku ucapkan
Untuk menjaga senyummu terus terkembang dan mengembang

Aku masih jelas mengingatmu
Sebab, kuletakkan ingatan itu di dadaku
Dalam sebuah ruang di salah satu bilik jantungku
Agar tiap kali aku menghirup udara, kau selalu terkenang

Maka itu, biarkan aku mengingatmu
Dalam sebuah ruang yang tak pernah ada tanda tanya atau celah untuk melupakanmu.

Jumat, 23 Agustus 2013

Puisi dan Doa Untuk Hujan di Sore Hari

"Masihkah kamu menulis puisi, dan berdoa setiap pagi, agar hujan turun sore hari?"
Aku masih ingat pertanyaan darimu tempo hari

Kemarin ilu terasa di gigi
Membelit lidah hingga tak mampu berkata
Pada akhirnya aku diam hingga kau pergi
Dan kulihat punggungmu dibayangi senja

Mungkin kau lupa, bahwa aku tak pernah lupa
Puisi ialah doa
Seperti yang dulu kau kata
Yang menggumamkan asa, dan menghapus dosa; yang kita buat dahulu kala.

Aku tak pernah berhenti menulis puisi
Pun juga doa agar hujan turun di sore hari

Di mana aku menulis puisi? Kamu tahu?
Di sini! (jemariku)
Di sini! (dadaku)
Di sini! (jantungku)
Di sini! (pikiranku)
Aku menulis puisi di manapun aku dapat menemui sepi, kamu tahu?

Lalu, tahukah kamu alasan aku berdoa tiap pagi?
Aku, berharap hujan turun di sore hari
Agar pilu, yang selalu hadir di tiap pagi
Dapat melarungkan sendu, bersama hujan dan senja di sore nanti

Senin, 19 Agustus 2013

Menulis Takdir

Pada akhirnya, merasa sendiri adalah hal yang pasti akan dirasakan oleh siapapun, tanpa terkecuali. Sore ini, kala matahari sudah ingin mengundurkan diri dan akan berganti. Aku diam menikmati angin yang bertiup semilir. Tenang. Waktu seperti berhenti saat semburat jingga yang hangat dapat dinikmati pelan-pelan.

Sore ini, seperti sore yang biasanya pada hari-hari sebelumnya. Matahari masih jingga, saat akan terbenam dan sinarnya redup seperti cahaya hati yang sedang berlayar lalu karam. Kecuali aku. Hanya aku yang merasa sore ini begitu berbeda.

"Tumben kamu ada disini? Sedang berjalan-jalan atau...?" tanyaku dengan nada menggantung. Dihadapanku berdiri seorang lelaki yang mengenakan kemeja biru gelap yang senada dengan celana jeans yang dikenakannya.

"Ehem," lelaki itu berdeham dan membenarkan posisi kacamata yang sedikit merosot dari letaknya. Hidungnya yang tidak mancung selalu membuat posisi kacamata lelaki ini turun. Sebuah hal yang menjadi kebiasaan untuknya. "Jadi gini, aku akan menikah," ucapnya tanpa berbasa-basi.

"Lalu?" tanyaku dengan nada biasa.

"Aku mau kamu datang," ucapnya menyerahkan sepucuk undangan dengan foto dirinya dengan calon istrinya.

"Mau atau harus?"

"Engg, terserah kamu menganggapnya gimana. Hanya saja, aku merasa harus mengundangmu dan aku pun ingin kamu datang." Lelaki itu duduk di sampingku, menatap dan tersenyum kepadaku.

"Calon istrimu cantik, Dim," ucapku seraya membalas senyumannya.

Dimas kembali membetulkan posisi kacamatanya yang kembali merosot. "Ya, kamu juga cantik. Dan pintar."

"Hey, jangan goda aku. Bulan depan kamu menikah." Aku melemparkan kartu undangan ke arahnya. Lelaki itu tertawa pelan, pun juga denganku.

"Tapi itu jujur. Andai saja dulu orangtua kita masing-masing tidak menentang hubungan kita..." Ucapan Dimas terhenti sejenak. "Mungkin nama kamu yang ada di dalam kartu undangan itu, bersanding di sebelah namaku."

Aku menatap lurus paras lelaki itu. Rambutnya sudah tertata rapi, tidak lagi gondrong saat masih bersamaku. Dan juga sikapnya lebih formal. "Sudahlah. Masa lalu," ucapku seraya mengibaskan tangan. "Dan sepertinya..." Aku melirik ke kartu undangan. "Sheila sukses membuat dirimu lebih baik. Kamu yang sekarang jauh lebih rapi."

"Ya terlihat baik secara formal, walau aku tidak terbiasa. Aku lebih senang..."

"Menggunakan celana selutut, dengan baju kaos serta gelang-gelang tali yang selalu kamu kenakan di pergelangan tangan kirimu," aku memotong ucapan Dimas. Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Hingga sekarang, aku tidak lupa selera berbusananya yang begitu biasa.

Dimas tesenyum lebar. "Ya, dan tak lupa ini." Lelaki itu memegang rambutnya. "Capek kalau tiap bulan pergi ke tukang cukur rambut."

"Ya, rambutmu memang cepat sekali memanjang."

Hening menengahi obrolanku dengan Dimas. Dimas diam, sepertinya dia sedang mencari topik yang bisa dibicarakan.

Bertemu kembali dengan seseorang yang dulu selalu ada di sampingmu, setelah pertidaktemuan yang cukup lama, bisa membuatmu seperti orang bodoh yang tidak tahu ingin membicarakan apa. Itulah yang terjadi denganku dan Dimas saat ini.

"Masih sibuk menulis?" tanya Dimas membuka topik obrolan lagi.

"Ya masih."

"Aku masih ingat percakapan pertama kita. Kira-kira suasananya seperti ini kan?" tanya Dimas kembali.

Aku mengarahkan pandanganku kepada lelaki itu lagi. Dan mengingat-ingat saat pertama berkenalan dengannya, lalu sadar bahwa yang dikatakan Dimas benar. "Ya, sore hari, dan di sebuah taman. Hanya saja, lokasinya saja yang berbeda, walau sama-sama sebuah taman."

"Masih ingat apa yang kamu ucapkan kepadaku saat aku bertanya, apa alasanmu menulis?" Dimas menatapku lekat.

"Menulis takdir. Aku menulis tentang sesuatu yang ada di dalam pikiranku. Semoga apa yang kutulis menjadi takdir yang akan kutemui nantinya. Sebabnya itu aku selalu menulis hal-hal yang manis," ucap kami bersamaan. Aku cukup terkejut bahwa dia masih mengingat jawaban itu. Jawaban yang aku ucapkan kepada siapapun yang menanyakan alasanku menulis.

Kami saling menatap. Lalu tiba-tiba saja aku dan Dimas tersenyum, kemudian tertawa bersama.

"Ya... Ya... Sayangnya tidak selalu seperti itu," ucapku seraya membereskan laptop ke dalam tas.

"Maksudnya?" tanya Dimas dengan mimik wajah heran.

"Aku selalu menulis sesuatu yang manis, berharap itu menjadi takdir yang manis juga. Ya, sayangnya tidak selalu seperti itu. Kamu akan menikah bulan depan, dengan perempuan lain," ucapku dengan nada penekanan di kalimat terakhir. "Dan itu bukan takdir yang aku inginkan, sebenarnya." Aku bangkit dari bangku taman yang sudah kududuki sejak tadi. "Selamat, semoga pernikahan kalian nanti bahagia. Dan sepertinya aku tidak akan datang. Terima kasih untuk undangannya." Aku menyerahkan kembali sepucuk kartu undangan pernikahan itu kepada Dimas.

Aku melambaikan tangan kepada mantan kekasihku itu. Lelaki yang menemaniku selama hampir sewindu lamanya. Lelaki yang awalnya kupikir takdirku. Kadang memang seperti itu, aku hanya dapat berharap dia takdir kepadaku. Takdir yang manis. Sayangnya, takdir tidak dapat kita tentukan sendiri.

Jumat, 16 Agustus 2013

Tiga Senjata

"Setiap orang punya jodohnya masing-masing. Dan tidak setiap wanita cantik akan mendapatkan jodoh lelaki rupawan. Pun sebaliknya, lelaki yang tidak rupawan bukan berarti tidak bisa mendapatkan pasangan seorang wanita yang cantik."

Aku dengan seksama mendengarkan penjelasan seorang motivator yang berdiri di depan panggung. Memakai jas hitam dan celana bahan dengan warna senada. Motivator itu berjalan bolak-balik dari sudut panggung satu ke sudut panggung yang lain. Materi kali ini adalah tentang masalah percintaan dan jodoh.

"Tidak ada orang yang tidak memiliki jodohnya. Tuhan menciptakan manusia untuk hidup berpasangan. Jadi tidak ada seorang pun yang tidak memiliki pasangan, kecuali dia tidak menginginkannya atau dia tidak berusaha mencarinya."

"Lho, katanya tadi tiap orang punya jodohnya masing-masing, Pak. Lalu untuk apa lagi jodoh itu dicari?" Tiba-tiba salah seorang peserta mengacungkan jari dan melontarkan pertanyaan.

Motivator itu berhenti mondar-mandir, dan kini berdiri tepat di bangku peserta yang tiba-tiba bertanya tadi. Motivator itu tersenyum. "Walau jodoh sudah disiapkan oleh Tuhan, jika kamu tidak mencarinya dan berkenalan dengannya, bagaimana kamu bisa tahu dia itu jodoh kamu atau bukan? Lagipula, kalau kamu diam saja, tidak mencari, bagaimana mungkin kamu bertemu jodoh kamu?"

"Pak, tadi bapak bilang, bisa saja lelaki yang tidak rupawan berjodoh dengan wanita cantik? Bagaimana caranya, Pak? Apa harus kaya raya dulu baru bisa berjodoh dengan wanita cantik?" tanya seorang peserta lain yang duduk di sisi kanan panggung.

"Kenapa tidak?" Motivator itu berdeham sesaat. "Harta bukan syarat mutlak untuk mendapatkan hati wanita. Harta penting tapi bukan segalanya. Ada tiga senjata yang harus dimiliki oleh seorang lelaki untuk memikat hati wanita. Wanita manapun, mau wanita yang cantik, pintar, baik, sederhana atau wanita yang memiliki semua karakter itu. Semuanya bisa."

"Apa itu, Pak?" tanya peserta lainnya.

"Sikap, Sayang dan Setia."

"Maksudnya?"

"Lelaki yang memiliki sikap, penyayang dan tentu saja setia akan selalu dicari oleh para wanita. Memiliki harta lebih dan rupawan adalah paket pelengkap yang dicari. Walau tanpa menjadi lelaki rupawan pun, dengan tiga senjata tadi dapat memikat hati wanita manapun. Wanita yang baik tentunya." Motivator itu melemparkan senyuman kepadaku.

Aku tersenyum dan berkedip kepada Motivator itu. Perawakan Motivator itu sebenarnya biasa saja. Tidak rupawan pun juga tidak memiliki tubuh yang tinggi dan atletis. Dan sepertinya dia tidak bergelimang harta Hanya saja, pesonanya terlihat kuat. Auranya seperti memancar terang. Membuatku terkesima tiap kali melihatnya.

"Sepertinya kamu lupa satu hal, Pak. Tiga senjata seperti itu tidak hanya membuat lelaki dapat memikat hati perempuan," ucapku seraya membenarkan posisi dudukku.

"Kamu apa sih, Rudi? Kok ngomong sendiri gitu?" ucap Laina, sahabat perempuanku yang juga ikut menjadi peserta.

Lima Menit Kemudian

Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Satu menit kemudian, lima menit, sepuluh menit, satu jam atau beberapa bilangan waktu kemudian. Selalu ada sesuatu yang terjadi di luar perkiraan. Selalu.

Perkenalkan, namaku Nino. Beberapa menit yang lalu aku baru saja menghubungi kekasihku, Nayla. Mengabarkannya aku baru akan bergegas pulang dari rumah seorang teman. Rencananya, sesampainya di rumah aku akan segera tidur dan bangun keesokan harinya. Sebab besok aku sudah menyusun beberapa jadwal kegiatan, pergi bersama Nayla ke kampus untuk mengambil baju toga untuk acara wisuda yang akan diadakan dua hari kemudian.

Begitulah rencana yang sudah kubuat untuk beberapa hari ke depan. Seharusnya, semuanya berjalan lancar sesuai dengan perkiraanku. Setelah menutup telepon aku menghidupkan motorku dan melajukannya dengan normal. Biasanya, dari rumah Sony-temanku-sampai ke rumahku hanya memakan waktu sekitar 10 menit jika kulajukan motor dengan kecepatan tinggi, atau sekitar 15 menit jika dengan kecepatan pelan.

"Hati-hati di jalan, Sayang." Begitulah ucapan terakhir Nayla kepadaku sebelum kuakhiri percakapan dan kututup sambungan telepon.

Seperti itulah kira-kira perencanaan yang sudah kubuat. Dan seharusnya semua perencanaanku akan berjalan dengan tepat andai saja ban motorku tidak kempes mendadak, membuat ban motor goyang dan tergelincir di jalanan yang masih basah sisa hujan beberapa jam yang lalu. Aku terjatuh, lebih tepatnya terlempar dari motor, dan helm yang kugunakan terlepas lalu kepalaku menghantam trotoar jalan. Tak lama kemudian mataku terpejam, seperti hilang kesadaran.

Lima menit kemudian aku tersadar. Aku melihat beberapa orang berkerumun, beberapa orang lainnya mengangkat sepeda motorku yang terlempar jauh ke sudut jalan yang lain. Kemudian tak berapa lama kemudian datang seorang berpakaian polisi. Dia menginstruksikan orang-orang yang berkerumun untuk mengangkat tubuh korban kecelakaan itu, dan itu aku. Lalu polisi tersebut merogoh beberapa kantung celana dan jaketku, mengambil ponselku. Kulihat polisi tersebut membuka kotak daftar panggilan terakhir dan menghubungi nomor terakhir yang aku hubungi. Nayla.

"Halo, selamat malam," ucap polisi tersebut dengan nada suara yang tegas.

"Halo, selamat malam? Ini siapa yah? Kenapa suaranya bukan suara Nino?" Terdengar suara Nayla yang sepertinya bingung.

"Halo, Mbak Nayla. Mbak Nayla ini siapanya pemilik ponsel ini ya? Apakah Mbak Nayla keluarganya?" tanya Polisi itu kembali.

"Bukan, Pak. Saya pacarnya. Ada apa dengan pacar saya yah, Pak?" Nada khawatir terdengar jelas dari balik speaker phone.

"Saya Bambang Cahyono dari kepolisian sektor Tanah Abang ingin mengabarkan bahwa pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan tunggal, dan meninggal di tempat. Jenasah akan dirujuk ke rumah sakit terdekat. Mohon diberitahukan kepada keluarga korban. Selamat malam." Panggilan ditutup, dan ponselku kembali dimasukkan ke dalam saku celana.

Tak lama kemudian mobil pengangkut jenasah datang dan mengangkut tubuhku ke rumah sakit yang sering kulewati setiap kali pulang dari rumah Sony. Bunyi sirine, angin malam dan bau jalanan yang masih basah oleh sisa hujan terasa begitu tegas. Aku berdiri menatap tak percaya atas apa yang terjadi kepadaku. Dalam lima menit segalanya berubah. Hanya dalam waktu lima menit, seluruh rencana yang sudah aku buat menjadi sia-sia.

Tidak ada yang pasti di dunia ini, segala yang diperkiraan tidak pernah bisa tepat seluruhnya. Akan selalu ada hal yang membuat perkiraan itu meleset. Aku menyadari makna kata-kata itu sekarang. Semua yang aku rencanakan meleset, bahkan perencanaan itu hanya akan menjadi sebuah rencana yang tidak akan pernah dapat aku lakukan. Hanya dalam lima menit kemudian, segala perencanaanku menjadi sia-sia.

Rabu, 14 Agustus 2013

Tombol Pengingat

Malam benderang, sinar rembulan menerangi salah satu sudut jalan. Aku sesekali melihat ke luar, menikmati pemandangan bulan yang memasuki masa purnama. Terasa menenangkan.

Aku memperhatikan jam, harusnya, cafe tempat aku datangi saat ini sudah memulai acaranya. Acara yang membuat aku sengaja datang ke cafe ini. Malam puisi. Itu acara yang akan diadakan oleh cafe ini.

Aku bukanlah penyair. Hanya saja, menikmati sajak, puisi, syair atau apapun itu yang berupa barisan kata-kata indah, selalu membuat diriku tenang. Selalu ada 'magis' tersendiri saat mendengar puisi dibacakan oleh orang yang tepat. Seperti malam ini dan malam puisi lain yang sering kudatangi.

Acara dimulai dan seorang lelaki maju dan membacakan puisi milik penyair senior. Orang-orang diam mendengarkan dengan seksama.

"Hujan turun semalaman, paginya jalak berkicau dan daun jambu bersemi. Mereka tak mengenal gurindam dan peribahasa, tapi menghayati adat kita yang purba."

Puisi yang dibacakan dengan penuh penghayatan terasa di dada. Puisi tentang alam yang menyentil kehidupan manusia.

Aku memandang ke sekeliling. Berharap menemukan seseorang yang kucari. Perempuan yang kadang diam-diam ikut menikmati pembacaan di malam puisi yang sering diadakan di tempat ini.

"Menurutmu, apa bagian terbaik dari pembacaan puisi?" Aku teringat ucapan perempuan itu kepadaku saat pertama kali kami bertemu di salah satu acara malam puisi yang sudah kulupakan kapan.

"Menikmati saat puisi dinyanyikan? Dan kata-kata dibacakan dengan mimik dan penghayatan yang tepat?" ucapku kepada perempuan yang tak kutahu siapa namanya itu.

"Bukan. Menurutku, bagian terbaik dari puisi yang dibacakan ialah saat merasa puisi itu dituliskan untuk kita atau saat merasa puisi itu ditulis untuk mengingatkan kita akan sesuatu."

"Bagaimana bisa?" tanyaku heran.

Perempuan itu tertawa pelan. "Puisi itu adalah tombol pengingat, yang ketika ditekan (baca: dibaca) akan membawa kita kepada hal-hal yang berkaitan dengan apa yang dimaksudkan dalam puisi. Mengingatkan kita pada hal-hal yang pernah terjadi."

"Contohnya?" tanyaku semakin tak mengerti. Perempuan ini sepertinya memiliki pikiran yang cukup kompleks. Ucapannya tadi cukup sulit dicerna.

"Nikmati lebih banyak puisi dan datang lebih sering ke malam puisi. Nanti kamu akan mengerti puisi sebagai tombol pengingat," ucap perempuan itu seraya bangkit dari kursinya.

"Lalu, menurutmu, puisi selalu mengingatkanmu tentang apa?"

"Kehilangan. Mendengar puisi akan selalu mengingatkanku pada suatu hal yang tak lagi dapat kumiliki."

Aku menyesap kopi yang sudah mendingin dengan sekali tegukan. Aku melemparkan pandangan ke luar lagi. Menikmati sinar bulan yang sedang purnama.

Penampilan puisi tadi sudah selesai, kemudian tak lama maju seorang perempuan untuk membacakan sebuah puisi karya orang yang sama dengan puisi sebelumnya.

"Bagaimana kau berkata bahwa kau bukan matahari, sedang panasmu menggugurkan daun-daun, memisahkannya dari ranting tempatnya bergantung."

Aku mendengarkan lirik puisi itu dan mulai menyadari, bagiku, puisi ialah tombol pengingat yang akan selalu mengingatkanku pada perempuan itu.

Dalam sebuah puisi akan selalu ada kenangan. Untuk diingat atau dilupakan, ialah hal kesekian. Sebab kenangan, adalah sebuah kepastian, yang akan dikekalkan.

Selasa, 13 Agustus 2013

Sepasang Sepatu Tua

Debu-debu beterbangan. Sore ini akan menjadi sore yang melelahkan bagiku. Beres-beres untuk pindah kosan bukanlah hal yang mudah.

Hari ini setelah sekian tahun lamanya tinggal menetap di kamar mungil ukuran 3x4 meter yang lokasinya tak jauh dari kampus, aku harus mengucapkan selamat tinggal. Kamar kosan ini adalah yang pertama dan terakhir aku tempati semenjak mulai berkuliah di kota ini.

Minggu yang lalu aku resmi di wisuda. Itu artinya, urusanku dengan kampus telah selesai, dan aku akan meninggalkan kamar kosan ini lalu kembali pulang ke rumah.

"Semua barang-barang lo mau diapain? Mau lo bawa pulang semua?" tanya Santy, sahabatku yang rela untuk ikut repot meembantuku pindahan.

Aku berhenti sejenak memasukkan novel dan buku-buku koleksiku ke dalam kardus. "Dijual-jualin aja, San. Repot kalau aku bawa pulang semua." Ya, rumahku yang berada di kota lain membuatku tidak mungkin untuk membawa semua benda yang aku beli sendiri, yang ada di kamar kosan saat ini.

"TV, DVD dan lemarinya mau dijual? Bisa aja sih. Mungkin beberapa junior ada yang mau bayarin. Kondisinya masih bagus kayaknya."

"Yaudah dijual aja," ucapku kembali memasukkan novel-novel koleksiku ke dalam kardus kedua. "Oh iya, San. Sekalian tolong lo pilih-pilih ya, barang-barang kecil yang menurut lo masih bagus dan nggak. Beberapa mungkin bakal gua buang."

"Siap, Bos!" ucap Santy memberikan salam hormat kepadaku.

"Isshh apa sih," desisku.

"Ya abis, lo daritadi ngasih perintah melulu. Kayak bos. Kayak Nino." Santy berceletuk seraya mengeluarkan beberapa benda yang aku taruh di kolong kasur.

Aku berhenti sejenak membereskan novel saat nama itu disebutkan. Nino, kekasihku. Lelaki yang menemaniku selama aku kuliah. Kami berkenalan dan menjalin hubungan saat masa awal kuliah dan mengakhirinya secara paksa tak lama sebelum mengenakan toga. Nino memang memiliki karakter yang cukup 'bossy', suka memberi perintah, walau tidak semenyebalkan kebayakan orang berkarakter seperti itu. Mungkin 4 tahun bersamanya membuat kebiasaannya itu menular ke diriku.

"Udah dong, jangan dibahas lagi." Kadang, setelah sekian lama bersama seseorang, akan ada beberapa kebiasaan orang tersebut yang akan melekat dan terbawa dalam diri kita.

"Iya deh, iya." Santy mengecek satu persatu benda yang dia keluarkan dari kolong tempat tidur. "Yang ini mau lo bawa nggak?" tanya sahabatku itu melemparkan sebuah kotak kardus kepadaku.

Aku tertegun memandangi kotak itu. Kotak itu adalah kotak berisi sepasang sepatu berwarna merah. Sepatu model klasik yang umurnya pun seklasik modelnya.

Sepatu merah adalah benda yang harus dibawa oleh mahasiswi baru saat masa 'perploncoan'. Sepatu itu bukan milikku. Aku tidak suka warna merah, maka itu aku tak pernah punya sepatu berwarna merah. Sepatu itu milik Nino, tepatnya, sepatu merah itu milik ibunya. Nino memberikannya kepadaku saat tahu aku tidak membawa sepatu merah. Dia melindungiku, dan mau menanggung hukuman untuk dikerjai senior karena dikira tak membawa sepatu merah.

Aku memandangi sepasang sepatu tua yang tersimpan rapi di dalam kotaknya. Sepatu yang menjadi awal aku mengenal Nino. Aku meletakkkan kotak sepatu itu di jajaran benda yang akan aku bawa pulang.

Akan selalu ada yang terbawa dari masa lalu. Dan aku kini merasakan rindu.

"Santy.... Nanti setelah beres-beres, kita ke Tanah Kusir dulu yuk, temani gue liat Nino."

Rona wajah Santy terlihat sendu saat menatapku. "Iya, Nayla." Santy mendekat dan memelukku. "Nino sudah tenang disana, Nay. Lo jangan sedih lagi yah."

Seketika, aku mengingat kembali kejadian malam itu, beberapa hari sebelum wisuda. Kabar yang datang tengah malam dari seorang polisi yang menghubungiku dari nomor Nino. Kecelakaan dan korban meninggal di tempat, begitulah yang dikabarkan kepadaku, nomor terakhir yang dihubungi Nino.

Aku mengambil sepasang sepatu tua berwarna merah itu, dan kupeluk erat. Selalu ada cerita pada sebuah benda, kenangan akan selalu bersemayam disana.

Sabtu, 10 Agustus 2013

Apa Yang Tersisa Dari Rindu?

Apalah yang tersisa dari rindu?
Selain daripadanya ragu dan cemburu

Malam itu, sepasang serangga berkicau, riang terdengar syahdu
Dan aku, mendengarkan suaranya yang bertalu-talu; terasa pilu
Suaranya meriuhkan malam sendu
Sembunyikan jejak-jejak sunyi nan kelabu

Rindu, ialah kayu, ucapmu
Alasan agar pertemuan-pertemuan yang kita nantikan tidak menjadi sia-sia berlalu
Menjaga api agar tak cepat padam dan layu, seperti kelopak putri malu
Begitulah katamu selalu

Apa yang tersisa dari rindu?
Bilamana akhirnya kayu akan terbakar pilu dan tetap menjadi abu