Sabtu, 15 Juni 2013

Hujan, Dan Juni Yang Terlampau Tabah

Disela derai rindu, kata-kata memainkan peran
Kepada hujan, kepada rintik yang merebahkan diri kepada bumi
Juni, dia terlalu tabah untuk menanggung beban

Katanya, tidak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni.
Dia bijak, dia arif, dan dia tabah.
Dan nyatanya, begitulah adanya.
Dia, Juni, adalah yang rela menanggung segala hujan disekujur tubuhnya

Rindu, ialah cinta yang terlampau sering dibiarkan bermandikan hujan
Ketabahan yang sudah terlampau bosan untuk menenangkan resah
Dan hujan di bulan Juni, ialah penghilang jejak-jejak sunyi
Di hati; jalan lapang yang telah lama tidak ditapaki.

***

"Apa yang terpikirkan olehmu saat mendengar kata 'Hujan' dan 'Juni'?" tanya seorang yang berdiri di samping tempat aku mendudukkan diri.

Hari ini adalah salah satu hati diantara hari-hari yang ada di bulan Juni, dan saat ini hujan sedang turun; deras. Aku menutup buku yang sedang aku baca, mendongakkan kepala, melihat siapa yang berbicara kepadaku. "Sapardi," jawabku singkat dengan nada yang sangat datar. "Lalu menurutmu?"

"Perempuan yang terlampau tabah."

Aku menaikkan alis mata sebelah kiri. Mencerna satu kata yang diucapkan seseorang yang bahkan tidak kukenal siapa dia. "Maksudmu?"

"Ya, Hujan di bulan Juni ialah perempuan yang begitu tabah. Dia menunggu Juni untuk melepaskan kesedihannya. Agar airmata tersamarkan oleh hujan."

Minggu, 09 Juni 2013

Hujan, Selimut dan Bantal Pelarian

Hujan. Hari ini dia kembali menyambangi hati. Mendung. Langit hati tak juga menampakkan sedikit cerah yang dinantikan sejak pagi. Kepada rindu, matahari enggan memunculkan kehadirannya. Mungkin, sebuah penantian adalah hal yang ditunggu oleh kecemasan agar sebuah kabar tentang penenang hati tiba secapatnya. Hal, yang terlalu dini untuk diharapkan terjadi.

Suasana sudah mendingin. Hujan tak juga reda. Masih terasa lembab. Sepertinya, kesedihan sudah betah tinggal disini. Hari ini. Sebab, kulit terasa mulai mengerutkan dirinya. Seolah, hawa dingin sudah mulai mengendurkan nyali. Kulit mulai menyelimuti dirinya dengan dirinya sendiri. Memeluk kesedihannya sendiri, menenangkan cemas dan takut dengan selimutnya sendiri. Hari ini, kesepian sedang mencari teman, yaitu hati orang-orang yang menanggung cemas sendirian

Hari ini, sejak pagi tak sedikitpun cahaya matahari tampak dari celah jendela yang tak pernah tertutup rapat. Hati yang cemas, langit yang mendung, hujan yang enggan menghentikan dirinya menetes, hati yang kesepian dan bantal-bantal yang berserakan di atas kasur seolah menjadi konspirasi mini yang sedang merayu tubuh untuk merebahkan dirinya, sesaat saja, agar kecemasan tak lagi merasa sepi sendiri. Bantal itu, menawarkan diri untuk berbagi kesedihan, berbagi kesepian dengan tubuhnya yang begitu pas untuk dipeluk; untuk dititipi sepenggal kesedihan yang begitu kekal sejak pagi tadi.

Hari ini, hujan begitu abadi, dan langit tak juga memudarkan kelam. Sementara, banyak hati yang sudah bergelut dengan dirinya sendiri, sedang memeluk kesedihannya sendiri, dengan kulit yang sudah mengkerut akibat dingin yang mulai memeluknya, menyelimuti dirinya dengan hawa yang penuh dengan suasana menakutkan; kecemasan yang mulai menggerogoti ketabahan. Dan bantal-bantal yang berserak, dengan pelapis kain yang sudah lecak akibat sibuk menenangkan hati yang gelisah, sedang menenangkan kesepian, agar hati kembali menghangat; melupakan kesedihan, melupakan hujan yang tak berhenti menetes sejak pagi tadi, melupakan kesedihan yang kekal serupa langit yang terus murung. Dari jendela yang tak pernah tertutup rapat, aku melihat, kesedihan adalah hal yang paling nyata di hari ini.