Minggu, 09 Juni 2013

Hujan, Selimut dan Bantal Pelarian

Hujan. Hari ini dia kembali menyambangi hati. Mendung. Langit hati tak juga menampakkan sedikit cerah yang dinantikan sejak pagi. Kepada rindu, matahari enggan memunculkan kehadirannya. Mungkin, sebuah penantian adalah hal yang ditunggu oleh kecemasan agar sebuah kabar tentang penenang hati tiba secapatnya. Hal, yang terlalu dini untuk diharapkan terjadi.

Suasana sudah mendingin. Hujan tak juga reda. Masih terasa lembab. Sepertinya, kesedihan sudah betah tinggal disini. Hari ini. Sebab, kulit terasa mulai mengerutkan dirinya. Seolah, hawa dingin sudah mulai mengendurkan nyali. Kulit mulai menyelimuti dirinya dengan dirinya sendiri. Memeluk kesedihannya sendiri, menenangkan cemas dan takut dengan selimutnya sendiri. Hari ini, kesepian sedang mencari teman, yaitu hati orang-orang yang menanggung cemas sendirian

Hari ini, sejak pagi tak sedikitpun cahaya matahari tampak dari celah jendela yang tak pernah tertutup rapat. Hati yang cemas, langit yang mendung, hujan yang enggan menghentikan dirinya menetes, hati yang kesepian dan bantal-bantal yang berserakan di atas kasur seolah menjadi konspirasi mini yang sedang merayu tubuh untuk merebahkan dirinya, sesaat saja, agar kecemasan tak lagi merasa sepi sendiri. Bantal itu, menawarkan diri untuk berbagi kesedihan, berbagi kesepian dengan tubuhnya yang begitu pas untuk dipeluk; untuk dititipi sepenggal kesedihan yang begitu kekal sejak pagi tadi.

Hari ini, hujan begitu abadi, dan langit tak juga memudarkan kelam. Sementara, banyak hati yang sudah bergelut dengan dirinya sendiri, sedang memeluk kesedihannya sendiri, dengan kulit yang sudah mengkerut akibat dingin yang mulai memeluknya, menyelimuti dirinya dengan hawa yang penuh dengan suasana menakutkan; kecemasan yang mulai menggerogoti ketabahan. Dan bantal-bantal yang berserak, dengan pelapis kain yang sudah lecak akibat sibuk menenangkan hati yang gelisah, sedang menenangkan kesepian, agar hati kembali menghangat; melupakan kesedihan, melupakan hujan yang tak berhenti menetes sejak pagi tadi, melupakan kesedihan yang kekal serupa langit yang terus murung. Dari jendela yang tak pernah tertutup rapat, aku melihat, kesedihan adalah hal yang paling nyata di hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar