Sabtu, 28 Juni 2014

Cerita Workshop Cerpen Kompas 2014 (Bagian 1)

Dari sini cerita bermula...

Awal Mei, Pimpinan Kompas Minggu, Pak Putu Fajar Arcana atau yang biasa dipanggil Bli Can mengumumkan di twitter perihal adanya Workshop Cerpen yang akan diadakan oleh media Kompas. Sebuat kabar baik bagi para penulis-penulis muda dan baru yang ingin menambah pengalaman, wawasan dan kualitasnya dalam hal tulis menulis. Workshop Cerpen Kompas ini adalah yang kedua kalinya diadakan, setelaah sebelumnya diadakan di tahun 2012. Workshop cerpen yang pesertanya dibatasi ini menghadirkan cerpenis besar yang sudah kenyang malang melintang di dunia penulisan cerpen di Indonesia sebagai pematerinya, yaitu Seno Gumira Ajidarma dan Agus Noor. SGA!! Ah, nama beliau sebagai salah satu pemateri workshop sepertinya sudah cukup membuat banyak orang ingin bisa ikut menjadi bagian dari 30 peserta yang akan dipilih menjadi peserta workshop. Ditambah Agus Noor sebagai pemateri satunya lagi semakin menebalkan semangat banyak penulis untuk bisa hadir di acara tersebut. Bagi yang tidak tahu siapa beliau, silahkan kalian cek sendiri di google.

Tanggal 13 Juni, hari yang ditunggu tiba. Bli Can mengumumkan siapa-siapa saja yang beruntung  bisa menjadi peserta Workshop Cerpen Kompas 2014. Dari 29 nama penulis yang lolos, hanya ada 1 nama yang benar-benar aku kenal yaitu Putriwidi Saraswati, karena kami sama-sama anggota komunitas Bookaholic Fund, sebuah komunitas yang mengumpulkan dana melalui lelang buku yang hasilnya untuk disumbangkan. Sedangkan ada 2 nama lain yang aku kenal tapi mereka tidak kenal saya, yaitu Mas Oddie yang merupakan anggota aktif akun @fiksimini dan Mbak Vira yang pernah satu buku denganku di buku antologi The Coffee Shop Chronicles atau Lovediction 1, entah aku lupa.
foto: pengumuman nama peserta yang lolos Workshop Cerpen Kompas 2014

25 Juni 2014. Hari yang ditunggu tiba. Setelah nyasar ke gedung Kompas Gramedia di Palmerah Barat, akhirnya aku dan Putriwidi sampai di gedung Kompas Gramedia di Palmerah Selatan yang menjadi lokasi berlangsungnya acara Workshop Kompas 2014. Teman peserta pertama yang kita jumpai adalah Mbak Feby. Mbak cantik nan mungil dengan pembawaan yang ceria dan supel membuka awal perkenalan dengan peserta workshop lainnya berjalan dengan sangat baik.

Acara Workshop Cerpen Kompas 2014

Acara wokshop dibuka oleh Bli Can dengan cara yang tidak biasa. Beliau meminta untuk seseorang berkenalan dengan teman disebelahnya dan mengenalkan diri teman tersebut seolah adalah dirinya sendiri. Kikuk, pasti. Bingung, tentu. Hampir seluruh peserta workshop mengalami hal itu. Setelah perkenalan unik itu dilakukan dengan bingung, Blli Can memberitahukan maksud mengapa dia memilih cara pengenalan hal seperti itu. Kurang lebih Bli Can berkata seperti ini: “Seorang penulis harus bisa menggali informasi dari orang lain dan menjadi orang lain agar bisa lebih luwes dan bisa mengeksplore cerita.” (jika kata-katanya tidak tepat mohon dimaklumi).

Sesi Pertama: Seno Gumira Ajidarma

Setelah acara perkenalan singkat, Bli Can mempersilahkan Pak Seno Gumira Ajidarma untuk masuk ke dalam ruangan. Beliaulah yang menjadi pemateri sesi pertama. Sesi awal langsung dibuka oleh cerpenis senior yang karya-karyanya tidak pernah absen untuk terbit di Kompas setiap tahunnya, sebagai pengagum karya-karya SGA, tentu mendapatkan materi pembelajaran dari beliau adalah hal yang sangat dinantikan. Dalam pikiran, aku mengira SGA akan memberikan materi layaknya dosen di kelas, dengan slide dan penjelasan mengenai teori-teori. Salah. Aku salah banget. Tidak ada slide, tidak ada coret-coretan di board dan lainnya. SGA sejak awal kelas workshop dimulai konsisten hanya berbicara dan melakukan tanya-jawab-penjelasan dengan anggota workshop.

Selama hampir 1 jam SGA bermonolog, memberi contoh bagaimana membuat cerita dari sudut pandang yang berbeda. Beliau beberapa kali bercakap panjang lebar tentang kemungkinan-kemungkinan cerita yang dapat ditulis dari sebuah premis-premis kecil. Lalu, 1 jam berikutnya dihabiskan dengan sesi tanya jawab dari peserta workshop.

SGA membuka workshop dengan sebuah pertanyaan: “Pada bisa Bahasa Indonesia, kan? Kalau nggak bisa, selesai sudah. Tamat!”

Bagi SGA, teori itu tidak penting, yang terpenting adalah aksi. “Tulis apa yang kamu mau. Kalau mau tulis A, ya tulis A. Kalau mau tulis B, ya tulis B. Jangan kamu mau tulis A, tapi malah tulis B.”
Selama hampir 2 jam bercakap-cakap dengan SGA, ada beberapa poin penting yang disampaikan olehnya agar bisa menjadi penulis yang lebih baik.

1. Angle

                Ide boleh sama, cerita boleh serupa, namun sudut pandang penulis dalam menceritakan sesuatu adalah pembeda dasarnya. Setiap penulis punya ciri khasnya sendiri, dan harus. Menurut beliau, jika kamu ingin bercerita tentang suatu hal, pastikan ceritakan dengan sudut pandang yang berbeda, dengan sudut pandang yang lain dari yang sudah ada agar tulisanmu tidak dianggap serupa atau disama-samakan dengan karya penulis lainnya.
Setiap cerita memiliki tujuan. “Apa yang ingin kamu ceritakan dalam tulisanmu?” ucap SGA. Dan pemilihan angle dalam bercerita menjadi begitu penting bagi penulis untuk menyampaikan apa yang ingin dituliskan dalam sebuah cerita.
“Cerita yang sama akan dituliskan secara berbeda jika dilihat dari ‘mata’ yang berbeda.”

2. Imajinasi

                “Ide ada di mana-mana,” ucap SGA saat membuka workshop. Di awal workshop dia bercerita tentang banyak hal dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di jalanan, apa yang dilihat, dan apa yang didengar dapat dijadikan bahan cerita. Jadi, menurut SGA, kehabisan ide adalah sebuah omong kosong. Imajinasi tidak akan pernah habis menghasilkan ide. Maka itu, menurut SGA, sebagai penulis merangsang dan mengembangkan imajinasi adalah hal yang penting untuk dapat mengeksplore apa yang ingin dituliskan.
“Kembangkan apa saja yang mungkin dan pantas untuk diceritakan,” ucap SGA selanjutnya. Menurut beliau cerpen selalu dapat dimulai dari sepotong bagian cerita atau biasa disebut premis. Dari sebuah premis dapat dibangun sebuah konstruksi cerita pendek yang utuh. Cerita pendek, bukan novel yang diringkas atau dicomot bagiannya. Sebab menurut SGA kedua hal itu adalah hal yang sangat berbeda.
“Menulis novel itu banyak senjatanya, kalau jelek di bagian ini, bisa ditutupi dengan bagus di bagian lainnya. Sementara menulis cerpen itu senjatanya sedikit, maka itu jangan sampai ada yang sia-sia dalam tulisan.”

3. Cara Bercerita

                Hampir serupa dengan angle, cara bercerita setiap penulis bermacam-macam, namun dalam penulisan cerpen cara bercerita semua cerpenis hampir sama, yaitu harus efisien.  Dalam menulis harus show/menunjukkan cerita jangan sampai sering tell/menjelaskan isi cerita. “Seorang cerpenis harus bisa menceritakan sesuatu tanpa mengatakan sesuatu tersebut. Biarkan pembaca menerka apa yang sedang diceritakan oleh penulis. Berikan ruang bagi pembaca untuk membayangkan sendiri seperti apa wujud cerita tersebut.”

4. Ending

                Ending adalah bagian paling penting dalam sebuah cerita. Bagi SGA, ending sebuah cerpen adalah ketika cerita tersebut tidak selesai. “Sisakan sebuah misteri dalam sebuah cerita, agar pembaca sendiri yang menentukan mau dibawa ke mana cerita tersebut.”

Menurut SGA, tulisan sastra bukanlah sebuah pengumuman yang memiliki kejelasan dan satu makna saja. Penulis ketika menuliskan sebuah cerita pasti akan menitipkan gagasan dan pikirannya ke dalam tulisan. “Tulisan berharga karena ada pikirannya,” ucap SGA yang membuat aku memahami maksud beliau yang mengatakan ending/penyelesaian cerita adalah ketika cerita tidak selesai. “Misteri hanya menarik ketika cerita tersebut tetap menjadi sebuah misteri.”

5. Aksi

                “Ide yang paling bagus adalah ide yang menjadi ‘barang’, menjadi sebuah tulisan.” Kata-kata tersebut seperti menjadi sebuah tamparan bagi orang-orang yang suka menulis, sering punya ide-ide tapi malas untuk dituliskan.

Kebanyakan orang yang ingin menulis dan menjadi penulis hanya sekedar ingin. Hal ini dikarenakan tidak adanya aksi dalam melaksanakan keinginan tersebut. Kadang bagi pemula, ‘nyali’ untuk menulis menjadi redup. Ada sebuah ketakukan dan kecemasan dalam menulis. Takut jelek, takut dikritik, takut dicaci dan hal lainnya yang menjadi ‘momok’ bagi penulis-penulis baru dan muda.

“Bagus atau tidak itu hanya kesepakatan sosial, yang terpenting tulis saja dulu. Jadikan barang. Jadikan sesuatu. Jika memang tidak bagus tinggal direvisi itulah gunanya pengeditoran. Sebab sebuah karya tulisan bukanlah hal suci yang tidak bisa diotak-atik setelah selesai dituliskan.”
Foto: Selfie bareng Seno Gumira Ajidarma

Selasa, 17 Juni 2014

Riana dan Buku Tua

Apa hal yang paling kamu takutkan? Riana membaca kalimat pertama dari halaman paling awal pada buku yang dipegangnya saat ini. Kalimat tersebut dituliskan dengan warna hitam dengan corak tulisan yang miring dan ditulis dengan huruf sambung. Sesekali dia meniup debu yang menempel pada sekujur buku yang baru saja ditemukan olehnya beberapa menit yang lalu.

Riana menutup buku tersebut, lalu mengelus sampul buku yang warna hitamnya sudah agar pudar. Waktu sudah melunturkan kepekatan warna sampul buku tersebut. Riana tak tahu buku itu milik siapa, dan juga tak menanyakan kepada kedua orangtuanya siapa pemilik buku tersebut. Buku tersebut adalah hasil pencarian dari membongkar gudang barang-barang lama untuk mencari buku lama miliknya, namun yang ditemukan adalah buku tua dengan sampul berwarna hitam pudar dan kertas kecoklatan. Waktu menunjukkan dengan jelas umur buku tersebut lebih tua dari umur remaja tanggung yang menemukannya.

Riana memperhatikan dengan seksama buku tersebut, lalu kembali membuka buku itu. Apakah kamu takut akan darah? Riana kembali membaca sebuah kalimat yang ada di halaman ketiga buku tersebut. Hanya ada satu kalimat yang tadi dibaca, tidak ada yang lain. Kalimat tersebut berada di tengah halaman, terlihat sangat mencolok dengan warna merah yang begitu pekat.

Tidak, ucap Riana sedikit ragu. Seketika bulu roman di tengkuknya meremang. Dengan enggan dia menyentuh tulisan tersebut. Tubuhnya menegang kala menyadari bahwa tulisan di halaman kedua masih basah, seolah baru saja dituliskan. Didekatkan jemarinya yang digunakan untuk menyentuh kalimat ke hidungnya, dan mendapati bau anyir di sana.

Riana menelan ludahnya sendiri dan menutup kembali buku tua itu secara refleks, lalu menoleh ke arah kiri dan kanan bergantian. Tanpa dia sadari pundak dan punggungnya sudah basah, juga nafasnya yang agak memburu. Dia menoleh ke arah dinding di dekat ruang tengah dan melihat jam yang dipasang oleh Ayahnya, waktu sudah menunjukkan pukul empat namun kedua orangtuanya belum juga pulang. Padahal, sebelum pergi mereka mengatakan akan pulang sebelum pukul empat sore.

Riana menunggu di ruang tengah, menatap ke arah pintu namun sesekali mengarahkan pandangannya kembali ke arah buku tua tersebut, berulang-ulang. Darah mudanya yang penuh dengan gejolak rasa penasaran berkali-kali mendorongnya untuk membuka kembali buku tersebut dan melihat halamannya selanjutnya.

Dari sofa di ruang tengah remaja tersebut perlahan bangkit dan berjalan ke arah buku tua yang tadi ditinggalkannya di atas rak televisi. Degup jantungnya makin kencang seiring makin dekat tangannya untuk menyentuh buku tua tersebut.

"Adeeekkk..." Suara Ibu terdengar dari halaman depan. Kedua orangtuanya baru saja tiba. Riana berbalik ke arah pintu, buku tua tersebut disembunyikannya di bagian belakang bajunya, diselipkan di pinggang celananya. "Adek, tolong bantu Ibu, Dek," ucap Ibu yang terlihat kepayahan membawa beberapa kantong belanjaan bulanan seperti sabun, shampo, deterjen dan benda-benda keperluan yang diperlukan selama satu bulan ke depan.

Riana berjalan pelan ke arah pintu agar tidak terlihat mencurigakan, diambilnya salah satu kantong belanjaan berisi peralatan mandi ke arah dapur dan meletakkannya sembarang di dekat wetafel. Kemudian kembali ke arah pintu dan melakukan hal yang sama sementara ayah dan ibunya menurunkan beberapa kantong belanjaan persediaan makanan dari dalam mobil.

"Adek mau es krim? Ini Ibu beliin es krim cokelat kesukaanmu nih." Ibu mengeluarkan sekotak es krim yang tidak pernah mampu ditolak oleh Riana. Kedua bola mata remaja tanggung tersebut membulat.

Mau, Bu. Remaja itu mengangguk kepada Ibu dan Ayahnya yang sudah duduk di dekat meja makan. Diambilnya sekotak es krim itu dan dibawanya pergi.

"Adek mau makan es krim di mana? Nggak di sini aja? Bareng Ayah sama Ibu?" tanya Ayah kepada putrinya yang baru saja masuk usia belasan.

Riana menggeleng lemah. Aku mau makan di dalam kamar saja, sekalian mau baca sesuatu.

Ayah menggangguk, paham akan kode tangan yang diberikan putri semata wayangnya itu. "Yaudah, nanti sampahnya diberesin yah."

***

Satu suapan es krim kembali masuk ke dalam mulut Riana saat dia duduk di atas kasurnya. Di hadapannya buku tua yang ditemukannya di gudang masih tergolek manis. Sejak tadi Riana berkali-kali menyendokkan es krim tanpa sekalipun membuka buku tersebut dan melihat halaman selanjutnya. Sejujurnya dia merasa takut, namun rasa penasarannya begitu kuat sehingga membuatnya tak sabar untuk membaca kalimat yang ada di halamannya selanjutnya.

Dipegangnya buku itu untuk kesekian kali. Lalu diletakkannya kembali di atas kasur. Berulang kali Riana lakukan itu. Hingga akhirnya tak ada lagi es krim yang bisa disuap ke dalam mulutnya, baru dibulatkan tekadnya untuk membuka halaman selanjutnya buku tersebut.

Apakah kamu takut gelap. Kalimat itu tertulis di halaman kelima. Tidak seperti dua kalimat sebelumnya, di halaman kelima ini posisi kalimatnya ada di pojok kanan buku, dan berwarna perak.

Riana mengerenyitkan dahinya. Dia menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan tadi. Seketika kamarnya menjadi gelap gulita. Nafasnya tercekat, jantungnya berdetak kencang, dan perasaan panik dengan cepat merambati dirinya. Diraih ponselnya yang berada tak jauh dari genggamannya. Cahaya dari layar ponselnya menjadi satu-satunya pelita yang dimilikinya. Dengan segera Riana berjalan ke arah pintu kamarnya, dan keluar.

Ibu berjalan dari ruang tengah ke arah Riana yang baru keluar dari dalam kamarnya. Ibu memegang sebuah lampu baterai di tangannya sebagai sumber cahaya. "Sepertinya lagi ada pemadaman listrik, Dek. Tadi Ayah cek keluar, dan tetangga yang lain juga pada mati lampu. Ayo adek duduk di ruang tengah aja sama Ayah dan Ibu," ucap Ibu yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Riana yang masih sibuk mengatur nafasnya.

Dalam diamnya Riana memikirkan buku tua tersebut, seketika bulu kuduknya kembali berdiri dan meremang. Riana yang memeluk lengan Ibu saat dituntun ke ruang tengah mempererat pelukannya.

"Adek kenapa? Nggak biasanya takut gelap," ujar Ibu yang tak mendapat tanggapan dari Riana.

Listrik baru hidup kembali satu jam kemudian. Riana kembali masuk ke dalam kamar dan matanya langsung tertuju pada buku yang masih terbuka di halaman kelima. Riana dengan segera ditutupnya buku tersebut dan memasukkannya ke dalam plastik lalu dimasukkan ke dalam tempat sampah.

Riana kemudian membawa tempat sampahnya ke luar rumah dan mengeluarkan isinya ke tempat sampah utama, agar besok pagi akan diambil oleh tukang sampah.

***

Riana terbangun dari tidurnya, saat Ibu membuka jendela kamarnya. Pagi sudah tiba, sinar matahari menyilaukan matanya dan memaksanya untuk bangkit dari tempat tidurnya. "Adek... bangun, mandi sekarang yah, biar nggak telat ke sekolahnya.

Dengan enggan Riana mengambil handuk yang tergantung di salah satu dinding kamarnya dan berjalan menuju kamar mandi. Langkahnya terhenti saat melewati meja belajar.

Tubuh remaja tanggung itu bergetar saat melihat buku tua itu ada di atas meja belajarnya dengan kondisi terbuka di halaman kelima.