Dari sini cerita bermula...
Awal Mei, Pimpinan Kompas Minggu, Pak Putu Fajar Arcana atau
yang biasa dipanggil Bli Can mengumumkan di twitter perihal adanya Workshop
Cerpen yang akan diadakan oleh media Kompas. Sebuat kabar baik bagi para
penulis-penulis muda dan baru yang ingin menambah pengalaman, wawasan dan
kualitasnya dalam hal tulis menulis. Workshop Cerpen Kompas ini adalah yang
kedua kalinya diadakan, setelaah sebelumnya diadakan di tahun 2012. Workshop
cerpen yang pesertanya dibatasi ini menghadirkan cerpenis besar yang sudah
kenyang malang melintang di dunia penulisan cerpen di Indonesia sebagai
pematerinya, yaitu Seno Gumira Ajidarma dan Agus Noor. SGA!! Ah, nama beliau
sebagai salah satu pemateri workshop sepertinya sudah cukup membuat banyak orang
ingin bisa ikut menjadi bagian dari 30 peserta yang akan dipilih menjadi
peserta workshop. Ditambah Agus Noor sebagai pemateri satunya lagi semakin
menebalkan semangat banyak penulis untuk bisa hadir di acara tersebut. Bagi
yang tidak tahu siapa beliau, silahkan kalian cek sendiri di google.
Tanggal 13 Juni, hari yang ditunggu tiba. Bli Can
mengumumkan siapa-siapa saja yang beruntung
bisa menjadi peserta Workshop Cerpen Kompas 2014. Dari 29 nama penulis
yang lolos, hanya ada 1 nama yang benar-benar aku kenal yaitu Putriwidi
Saraswati, karena kami sama-sama anggota komunitas Bookaholic Fund, sebuah
komunitas yang mengumpulkan dana melalui lelang buku yang hasilnya untuk
disumbangkan. Sedangkan ada 2 nama lain yang aku kenal tapi mereka tidak kenal
saya, yaitu Mas Oddie yang merupakan anggota aktif akun @fiksimini dan Mbak
Vira yang pernah satu buku denganku di buku antologi The Coffee Shop Chronicles
atau Lovediction 1, entah aku lupa.
foto: pengumuman nama peserta yang lolos Workshop Cerpen Kompas 2014 |
25 Juni 2014. Hari yang ditunggu tiba. Setelah nyasar ke
gedung Kompas Gramedia di Palmerah Barat, akhirnya aku dan Putriwidi sampai di
gedung Kompas Gramedia di Palmerah Selatan yang menjadi lokasi berlangsungnya
acara Workshop Kompas 2014. Teman peserta pertama yang kita jumpai adalah Mbak
Feby. Mbak cantik nan mungil dengan pembawaan yang ceria dan supel membuka awal
perkenalan dengan peserta workshop lainnya berjalan dengan sangat baik.
Acara Workshop Cerpen Kompas 2014
Acara wokshop dibuka oleh Bli Can dengan cara yang tidak
biasa. Beliau meminta untuk seseorang berkenalan dengan teman disebelahnya dan
mengenalkan diri teman tersebut seolah adalah dirinya sendiri. Kikuk, pasti.
Bingung, tentu. Hampir seluruh peserta workshop mengalami hal itu. Setelah
perkenalan unik itu dilakukan dengan bingung, Blli Can memberitahukan maksud
mengapa dia memilih cara pengenalan hal seperti itu. Kurang lebih Bli Can
berkata seperti ini: “Seorang penulis harus bisa menggali informasi dari orang
lain dan menjadi orang lain agar bisa lebih luwes dan bisa mengeksplore
cerita.” (jika kata-katanya tidak tepat mohon dimaklumi).
Sesi Pertama: Seno Gumira Ajidarma
Setelah acara perkenalan singkat, Bli Can mempersilahkan Pak
Seno Gumira Ajidarma untuk masuk ke dalam ruangan. Beliaulah yang menjadi
pemateri sesi pertama. Sesi awal langsung dibuka oleh cerpenis senior yang
karya-karyanya tidak pernah absen untuk terbit di Kompas setiap tahunnya,
sebagai pengagum karya-karya SGA, tentu mendapatkan materi pembelajaran dari
beliau adalah hal yang sangat dinantikan. Dalam pikiran, aku mengira SGA akan
memberikan materi layaknya dosen di kelas, dengan slide dan penjelasan mengenai
teori-teori. Salah. Aku salah banget. Tidak ada slide, tidak ada coret-coretan
di board dan lainnya. SGA sejak awal kelas workshop dimulai konsisten hanya
berbicara dan melakukan tanya-jawab-penjelasan dengan anggota workshop.
Selama hampir 1 jam SGA bermonolog, memberi contoh bagaimana membuat cerita dari sudut pandang yang berbeda. Beliau beberapa kali bercakap panjang lebar tentang kemungkinan-kemungkinan cerita yang dapat ditulis dari sebuah premis-premis kecil. Lalu, 1 jam berikutnya dihabiskan dengan sesi tanya jawab dari peserta workshop.
Selama hampir 1 jam SGA bermonolog, memberi contoh bagaimana membuat cerita dari sudut pandang yang berbeda. Beliau beberapa kali bercakap panjang lebar tentang kemungkinan-kemungkinan cerita yang dapat ditulis dari sebuah premis-premis kecil. Lalu, 1 jam berikutnya dihabiskan dengan sesi tanya jawab dari peserta workshop.
SGA membuka workshop dengan sebuah pertanyaan: “Pada bisa
Bahasa Indonesia, kan? Kalau nggak bisa, selesai sudah. Tamat!”
Bagi SGA, teori itu tidak penting, yang terpenting adalah
aksi. “Tulis apa yang kamu mau. Kalau mau tulis A, ya tulis A. Kalau mau tulis
B, ya tulis B. Jangan kamu mau tulis A, tapi malah tulis B.”
Selama hampir 2 jam bercakap-cakap dengan SGA, ada beberapa
poin penting yang disampaikan olehnya agar bisa menjadi penulis yang lebih
baik.
1. Angle
Ide
boleh sama, cerita boleh serupa, namun sudut pandang penulis dalam menceritakan
sesuatu adalah pembeda dasarnya. Setiap penulis punya ciri khasnya sendiri, dan
harus. Menurut beliau, jika kamu ingin bercerita tentang suatu hal, pastikan
ceritakan dengan sudut pandang yang berbeda, dengan sudut pandang yang lain
dari yang sudah ada agar tulisanmu tidak dianggap serupa atau disama-samakan
dengan karya penulis lainnya.
Setiap cerita memiliki tujuan. “Apa yang ingin kamu
ceritakan dalam tulisanmu?” ucap SGA. Dan pemilihan angle dalam bercerita menjadi begitu penting bagi penulis untuk
menyampaikan apa yang ingin dituliskan dalam sebuah cerita.
“Cerita yang sama akan dituliskan secara berbeda jika
dilihat dari ‘mata’ yang berbeda.”
2. Imajinasi
“Ide
ada di mana-mana,” ucap SGA saat membuka workshop. Di awal workshop dia
bercerita tentang banyak hal dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di
jalanan, apa yang dilihat, dan apa yang didengar dapat dijadikan bahan cerita.
Jadi, menurut SGA, kehabisan ide adalah sebuah omong kosong. Imajinasi tidak
akan pernah habis menghasilkan ide. Maka itu, menurut SGA, sebagai penulis
merangsang dan mengembangkan imajinasi adalah hal yang penting untuk dapat
mengeksplore apa yang ingin dituliskan.
“Kembangkan apa saja yang mungkin dan pantas untuk diceritakan,”
ucap SGA selanjutnya. Menurut beliau cerpen selalu dapat dimulai dari sepotong
bagian cerita atau biasa disebut premis. Dari sebuah premis dapat dibangun
sebuah konstruksi cerita pendek yang utuh. Cerita pendek, bukan novel yang
diringkas atau dicomot bagiannya. Sebab menurut SGA kedua hal itu adalah hal
yang sangat berbeda.
“Menulis novel itu banyak senjatanya, kalau jelek di bagian
ini, bisa ditutupi dengan bagus di bagian lainnya. Sementara menulis cerpen itu
senjatanya sedikit, maka itu jangan sampai ada yang sia-sia dalam tulisan.”
3. Cara Bercerita
Hampir
serupa dengan angle, cara bercerita
setiap penulis bermacam-macam, namun dalam penulisan cerpen cara bercerita
semua cerpenis hampir sama, yaitu harus efisien. Dalam menulis harus show/menunjukkan cerita jangan sampai sering tell/menjelaskan isi cerita. “Seorang cerpenis harus bisa
menceritakan sesuatu tanpa mengatakan sesuatu tersebut. Biarkan pembaca menerka
apa yang sedang diceritakan oleh penulis. Berikan ruang bagi pembaca untuk
membayangkan sendiri seperti apa wujud cerita tersebut.”
4. Ending
Ending
adalah bagian paling penting dalam sebuah cerita. Bagi SGA, ending sebuah
cerpen adalah ketika cerita tersebut tidak selesai. “Sisakan sebuah misteri
dalam sebuah cerita, agar pembaca sendiri yang menentukan mau dibawa ke mana
cerita tersebut.”
Menurut SGA, tulisan sastra bukanlah sebuah pengumuman yang
memiliki kejelasan dan satu makna saja. Penulis ketika menuliskan sebuah cerita
pasti akan menitipkan gagasan dan pikirannya ke dalam tulisan. “Tulisan
berharga karena ada pikirannya,” ucap SGA yang membuat aku memahami maksud
beliau yang mengatakan ending/penyelesaian cerita adalah ketika cerita tidak
selesai. “Misteri hanya menarik ketika cerita tersebut tetap menjadi sebuah
misteri.”
5. Aksi
“Ide
yang paling bagus adalah ide yang menjadi ‘barang’, menjadi sebuah tulisan.”
Kata-kata tersebut seperti menjadi sebuah tamparan bagi orang-orang yang suka
menulis, sering punya ide-ide tapi malas untuk dituliskan.
Kebanyakan orang yang ingin menulis dan menjadi penulis
hanya sekedar ingin. Hal ini dikarenakan tidak adanya aksi dalam melaksanakan
keinginan tersebut. Kadang bagi pemula, ‘nyali’ untuk menulis menjadi redup.
Ada sebuah ketakukan dan kecemasan dalam menulis. Takut jelek, takut dikritik,
takut dicaci dan hal lainnya yang menjadi ‘momok’ bagi penulis-penulis baru dan
muda.
“Bagus atau tidak itu hanya kesepakatan sosial, yang
terpenting tulis saja dulu. Jadikan barang. Jadikan sesuatu. Jika memang tidak
bagus tinggal direvisi itulah gunanya pengeditoran. Sebab sebuah karya tulisan
bukanlah hal suci yang tidak bisa diotak-atik setelah selesai dituliskan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar