Kamis, 27 September 2012

(Bukan) Harapan Yang Terwujud


“Karen, kamu sedang apa disini? Belum pulang?” tanya Liam kepada perempuan yang sedang berdiri di hadapannya, perempuan berpita kuning dengan kacamata yang membingkai di wajah ovalnya.
Karen menoleh ke arah Liam. “Mau pulang, ini lagi nungguin mikrolet,” ucapnya datar kepada Liam. Muka gerbang sekolah Karen dan Liam memang langsung menghadap ke jalan, sehingga siswa-siswi yang pulang sekolah bisa langsung menaiki angkutan-angkutan umum yang melintas di depan sekolah.
“Kamu bawa apa?” tanya Liam saat dirinya melihat sebuah goodie bag didekap oleh teman sekelasnya itu. “Dan, kenapa baru pulang jam segini? Tumben-tumbenan.” Liam mendekatkan motornya ke arah Karen agar lebih mudah berbicara dengannya.
“Oh ini, ini novel-novel punyaku yang dipinjam sama Andien. Baru pulang jam segini karena nungguin Andien selesai latihan paduan suara, buat ngambil novel-novel ini,” ujar Karen kepada Liam yang  sudah mematikan mesin motornya, “kamu sendiri kenapa baru pulang jam segini?”
“Abis main futsal.” Liam menyunggingkan cengiran saat menjawab pertanyaan Karen. “Daripada kamu naik mikrolet, mending pulang sama aku aja. Rumah kamu satu arah sama rumahku,” ucapku memberikan penawaran.
“Nggak usah deh, nggak enak ngerepotin kamu.”
Liam menyalakan kembali mesin motornya. “Udah nggak apa-apa. Ayo naik, ini kamu pake,” ucap Liam menyodorkan helm berwarna biru kepada Karen. “Ayo, nanti keburu Magrib.”
Matahari sudah mulai meredupkan sinarnya. Semburat jingga hampir padam dan matahari akan seutuhnya tenggelam di batas cakrawala. Di tengah deru bisingnya suara kendaraan yang saling bersahutan, Liam memacu kendaraannya melewati celah-celah yang diciptakan oleh mobil, motor dan angkutan umum yang sedang berebutan tempat di jalanan.
“Kalau kamu tetap naik mikrolet, bisa-bisa kamu baru sampai rumah abis Magrib, Ka,” ujar Liam kepada Karen yang diboncengnya. Karen merapatkan tubuhnya pada Liam, dan melingkarkan tangannya di pinggang teman sekolahnya itu–takut jatuh.
“Iya, makasi yah udah nganterin,” ucap Karen, “aku nggak biasa pulang sesore ini sih.”
“Rumah kamu dari pertigaan di depan lewat mana?” tanya Liam pada Karen. “Soalnya aku cuma pernah liat kamu turun dari mikrolet di pertigaan di depan sana.”
“Lurus, Li. Nanti putar balik dan belok ke kiri. Rumahku masuk ke dalam jalan kecil.”
“Oh oke,” ucap Liam pertanda mengerti.
***
“Liam makasi ya,” ucap Karen kembali mengucapkan terima kasih kepada Liam saat mereka sudah sampai di depan rumah Karen.
“Nggak apa-apa, santai aja. Yaudah, aku pulang sekarang yah.”
Liam menghidupkan kembali motornya dan segera melesat dengan kecepatan standar. Dari kaca spionnya dia melihat Karen yang melambaikan tangan kepadanya. Liam tersenyum saat melihat pantulan Karen yang diselimuti cahaya senja. Terlihat lebih menarik untuk dipandang.
***
“Karen,” panggil Liam kepada perempuan yang melintas di depannya. Wajahnya menunduk dan tak menghiraukan hal lain di sekitarnya, seperti sedang larut dalam pikirannya sendiri. “Bengong aja kalau jalan. Lagi mikirin apa sih?”
“Hey Liam.” Karen seperti terkejut saat dipanggil oleh Liam. “Oiya, kamu besok ikut kumpul sama teman-teman yang lain?” tanya Karen kepada Liam yang sedang duduk-duduk santai di bawah pohon yang ada di taman sekolah.
“Ikut,” ucap Liam tersenyum, “kamu juga ikut kan?”
Mimik di wajah Karen berubah menjadi muram. “Kayaknya nggak deh, Li”
“Lho, kenapa?” tanya Liam sembari membenarkan posisi duduknya. “Ikut aja, acaranya bakal seru kayaknya. Sayang lho kalau nggak ikut.”
“Acaranya sore sih, dan tempat acaranya agak jauh. Ditambah aku nggak tau tempat acaranya dimana, dan nggak ada barengan.” Karen terus menjabakan alasan-alasan  yang membuatnya memutuskan tidak ikut dalam acara kumpul bersama teman-teman sekolahnya.
“Yaelah, ikut aja.”
“Nggak berani, Li. Kalau acaranya sampai malam, gimana?”
“Aku yang anterin kamu. Nanti aku jemput kamu juga deh, biar kamu nggak ribet buat ke tempat acaranya. Gimana?”
“Beneran?” tanya Karen kepada Liam.
“Iya,” ucap Liam tegas seraya tersenyum. Senyum yang membuat Karen ikut tersenyum karenanya.
***
Seperti yang diucapkan oleh Liam, acara berjalan dengan seru. Tawa dan canda bertaburan selama acara. Keheningan hanya menjadi jeda selewat saat Liam dan teman-temannya lelah tertawa, sebelum dilanjutkan lagi oleh temannya yang lain.
“Kenapa kamu nggak ikut ngumpul di dekat teman yang lainnya?” tanya Liam yang menghampiri Karen.
Karen menyelesaikan tegukannya sebelum menjawab pertanyaan dengan gelengan kepala.
“Sayang lho kalau cuma diam doang,” ucap Liam tersenyum, “Ke sana yuk,” ajak Liam seraya mengamit jemari Karen yang membuat perempuan itu sedikit salah tingkah dalm tersipu malu.
Karen berjalan di samping Liam menuju kerumunan. Karen yang pemalu memang jarang ikut kumpul bersama teman-teman sekolah dan cenderung menjaga jarak. Berkat Liam, dia mengakrabi dirinya dan dalam waktu singkat bisa mencairkan kekakuan yang selalu dialaminya saat berkumpul dengan teman-teman lainnya.
***
“Liam, sekali lagi makasi yah,” ucap Karen saat dirinya sudah berada di depan pintu rumahnya.
“Iya, ngga apa-apa kok, biasa aja. Aku pulang yah, udah malam,” ucap Liam kepada Karen.
“Makasi ya, Nak Liam, sudah jemput dan nganter pulang Karen.”
“Iya tante. Saya pamit ya tante,” ucap Liam kepada ibunya Karen, seraya berpamitan.
“Liam anak yang baik dan sopan yah.”
“Iya, Ma,” ucap Karen kepada ibunya saat kedua ibu dan anak itu melihat Liam yang sudah melajukan motornya dalam gelap malam.
***
“Kamu mau pergi ke acara Sosial Media Festival juga? Wah sama dong, aku nanti sore juga mau ke sana,” ucap Liam kepada Karen saat mereka tak sengaja berpapasan di lorong menuju kantin dan mengobrol. “Kamu kesana sama siapa? Sendiri?”
“Sama Andien,” ujar Karen. “Kamu kesana sama siapa?”
Terdengar bunyi bel pertanda masuk, jam istirahat telah berahir. “Sampai ketemu sore nanti yah,” ucap Liam seraya bergegas masuk ke dalam kelas. Beberapa murid yang masih di kantin pun terlihat buru-buru masuk ke kelasnya masing-masing, termasuk Karen.
***
Aku terpukul jatuh
Saat kau mengajakku
Saat kau kenalkanku
Pada pacar barumu

“Hai Karen, Andien,” panggil Liam saat melihat kedua temannya di salah satu stand akun jejaring social yang berpartisipasi dalam acara.
“Hai, Li–” ucap Karen terputus saat melihat perempuan yang berdiri di samping Liam. Perempuan berambut lurus sepanjang sebahu yang mengamit lengan Liam.
“Ah iya, kenalin, ini Gita,” ucap Liam seraya mengenalan perempuan di sampingnya.
“Hai, aku Gita.” Andien dan Karen menjabat tangan Gita dan ikut memperkenalkan diri.
“Kamu?” tanya Andien menggantung seraya melirik kepada Liam.
“Aku pacarnya Liam,” ucap Gita seraya tersenyum simpul.
“Andien, ayo kita pulang sekarang,” ujar Karen seraya menarik lengan Andien.
“Lho, mau kemana? Buru-buru banget.” Liam berucap dengan suara agak kencang, sebab Andien dan Karen sudah menjauh.
“Dasar lelaki,” gerutu Andien kepada Karen yang sudah mengusap airmata yang menetes di pipinya.     
Aku sekuat hatiku
Tak boleh bersedih
Tak boleh menangis
Dan harus kau tahu
Jika boleh jujur
Ingin kupukul pacarmu

Tipe-X – Saat-Saat Menyebalkan

Selasa, 25 September 2012

Kamu Selalu Ada

Hujan turun dengan deras, bersama kilatan-kilatan petir, sore ini aku terkurung dalam kamar. Tak banyak yang dapat kulakukan ketika hujan kecuali berdiam diri, walau terkadang jemari iseng mencoret-coretkan aksara dalam lembaran kertas kosong.

Hai, kamu apa kabar
Melupakanmu sangatlah tidak mudah
Walau kini aku tak tahu dimana kamu berada, hatiku selalu mengatakan bahwa kamu baik-baik saja

Hari ini sedang hujan, dan seperti biasa, aku selalu mengingatmu
Tetangmu selalu mengalir deras dalam ingatanku kala hujan turun dengan buasnya
Hujan dan kenangan tentangmu selalu melekat dalam ingatan dan tak terpisahkan

Aku tak pernah menolak keberadaanmu dalam pikiranku
Tentangmu selalu menyenangkan untuk dikenang
Walau terkadang, aku tak mengerti mengapa aku tak bisa melupakanmu

Sudahlah, sekarang mari nikmati saja hujan yang turun sore ini
Dengarkan saja, alunan nada yang dihasilkan oleh deru yang kamu gemari
Dan rasakan ketenangan dan keheningan yang ditawarkan oleh keriuhan saat hujan turun

Aku tersenyum saat kembali saat membaca kembali tulisanku. Tulisan yang isinya hampir selalu sama kala aku menulisnya ketika keadaan di luar sedang hujan. Tulisan tentang lelaki yang dulu kucintai. Lelaki yang dulu sangat menyukai hujan.

Aku meletakkan pena dan menutup buku tersebut. Lalu jemariku dengan lihai memegang sebuah bingkai foto yang ada di atas meja. Bingkai yang berisi foto lelaki itu, lelaki pecinta hujan yang selalu menjadi subjek yang kutuliskan.

"Semoga kamu baik-baik saja di Surga. Semoga disana juga turun hujan, sehingga kamu dapat tersenyum paling indah," ucapku pada mantan kekasih yang sudah tenang di alam sana.

I can see you, if you're not with me
I can say to myself, if you're okay
I can feel you, if you're not with me
I can reach you myself, you show me the way

Bondan - Not With Me

Rabu, 19 September 2012

Kenangan Tentang Kamu, Hujan


Seperti sebuah kotak musik yang tidak akan berhenti memainkan musik ketika dibuka, begitupun kita yang akan terus menganga saat melihat tetesan-tetesan air perlahan-lahan turun ke bumi. Membasahi tanah dan menimbulkan aroma khas yang selalu kita nanti.


Aku masih teringat saat melihatmu duduk di pinggir jendela sambil memainkan bulir-bulir air yang menempel disana. Raut wajahmu begitu sedih, padahal hujan tengah turun saat ini. Membasahi bumi yang tengah kering, dan mendinginkan suasana yang tengah panas. Melihatmu seperti itu membuatku khawatir, dan dengan segenggam keberanianku aku menghampirimu untuk bertanya.

“Kenapa kamu terlihat begitu sedih, Putri?”
Kamu hanya menggeleng lemah dan menghela napas panjang perlahan. “Aku tidak sedih, Pang. Aku justru senang karena hujan akhirnya turun. Setidaknya aku masih bisa mencicipi bau tanah yang bercampur air seperti ini yang sudah lama kunanti. Petrichor. Namun sayangnya, aku tidak bisa bermain hujan. Pelajaran di kelas ini membuatku terkekang. Aku ingin bermain-main dengan hujan.”
Aku menarik tangannya. “Ayo kita bermain-main dengan hujan. Aku akan menemanimu, Putri.”
Kamu hanya terheran-heran tapi tidak melepaskan tanganku yang masih tergenggam di pergelanganmu. Lalu aku mengajakmu untuk keluar kelas, dan kita berlari menembus hujan di tengah lapangan sekolah. Aku berjingkrak-jingkrak, berputar-putar menikmati setiap air yang membasahi tubuhku. Awalnya kamu hanya diam mengamati, setelah melihatku melakukannya, kamu pun mengikuti. Kita menari-nari di tengah hujan tanpa peduli bayang pasang mata yang memandang aneh ke arah kita. Sebelum akhirnya, kita berdua diteriaki oleh guru BP untuk berhenti kemudian beliau meminjamkan kita sebuah seragam untuk menggantikan seragam kita yang sudah basah hingga menempel ke lekuk tubuh kita.
Kita, atau mungkin kamu yang lebih banyak kadarnya adalah sosok pecinta hujan. Hujan dan kamu seperti layaknya sebuah sahabat, katamu dulu waktu aku sempat bertanya kenapa kamu begitu menggilai hujan. Ketika kamu sedang merasa sedih, hujan selalu menghamburkan derasnya, dan menghapus kesedihanmu hingga membuatmu merasa begitu teduh. Kamu senang berbaur dengan hujan, apalagi saat mendengar bel pulang sekolah dan hujan masih menggenangi kota kita. Tanpa ragu kamu akan berlari dan menembus hujan itu. Sendiri atau bersamaku yang menemani.
Aku masih teringat saat kita memiliki nama panggilan yang begitu melekat akan sosokmu. Putri Hujan. Kemudian, kamu memanggilku dengan Pangeran Petir, karena aku memang menyukai alunan suara petir yang menggelegar. Seperti sebuah irama musik yang berdentum tak terduga dan begitu bebas apa adanya.
Putri Hujan dan Pangeran Petir. Itulah kita. Yang berbahagia. Di atas alam semesta cinta.
*
Kebahagiaan itu ternyata tidak berlangsung begitu lama. Putri Hujan dan Pangeran Petir tidak bisa berlama-lama menjalani suka cita. Terlalu banyak hal dalam hidup yang begitu menjadi misteri, termasuk mati.  Begitu banyak yang sebenarnya masih ingin aku bagi denganmu, Putri. Bukan hanya kebahagiaan melihat rinai-rinai hujan yang jatuh perlahan, atau kesedihan saat tangisanmu pecah ketika aku melakukan kesalahan. Membuat hujan di dalam hatimu.
Aku sempat berkata kepadamu, tentang Hujan dan Petir yang tidak pernah bisa berpisah jauh. Tanpa petir, hujan hanya seperti seseorang sedang menyiramkan air kepada tanah-tanah yang kering. Tanpa petir, hujan hanyalah pencipta dari segala suasana yang begitu hening dan dingin.
Maafkan aku Putri, yang tidak bisa menepati janji. Tuhan sudah menggariskan tanganku untuk tidak bisa lama-lama bersamamu. Umurku hanya sebentar, dan sayangnya hujan sendiri yang mengantarkan kepergianku. Aku harap jangan hanya hal itu lantas kamu akan membenci hujan dan petir. Jangan sayang, karena hujan dan petir adalah simbol keberadaan kita.
*
Sore ini langit menggelap. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun, dari tadi suara gemuruh petir berkumandang. “Suasana yang tepat sekali,” gumammu.
 “Halo, Pangeran Petir. Apa kabarmu? Tidak terasa sudah lima tahun terlewati setelah perpisahan kita. Perpisahan yang tidak kita inginkan,” ucapmu seraya melangkah mendekati nisanku.
Diam-diam aku senang memerhatikanmu dari tempatku saat ini. Tentang kesetianmu selama lima tahun ini untuk mengunjungi rumah baruku.
“Aku ingin mengabarkan berita baik padamu. Bulan depan aku akan menikah dengan kekasihku saat ini. Dan sepertinya aku tidak akan dapat menemuimu setiap bulan seperti sebelumnya.” lanjutmu.
Putri, aku senang mendengarkan kabar baik itu. Aku tidak ingin merenggut kebahagiaanmu atas ketiadaanku ini. Kenangan tentang kamu, Putri Hujan jauh melebihi apapun yang aku miliki ketika aku masih hidup selama ini.
Putri, aku senang mendengar kabar baik itu. Tidak usahlah kamu bersedih, karena aku aku akan merengkuhmu dalam bayangmu atau dengan petir yang menemani hujan yang turun ke bumi.
_
Bandung, 18 September 2012

 ) yang merupakan lanjutan cerita Aku, Kamu, Hujan dan Petir*

Selasa, 18 September 2012

Aku Dan Kamu Bukan Kita

1)

Andaikan tidak pernah ada kata andaikan dalam kehidupan ini
Kita takkan pernah susah payah menahan sakit di dada, pada sesuatu pada kenangan di masa silam
Untuk mengingatmu saja, ribuan luka tertoreh di dalam dada

2)

Disini, malam dengan seribu kenangan
Aku merenungi sebuah rekaman ingatan di masa silam
Nanti-nantikan sebuah penantian yang tak akan datang

3)

Kita hanyalah sepasang hati yang terlalu penuh harap dan angan. Tapi,
Angan hanyalah menjadi sebuah harapan. Sebuah layar yang tak pernah terkembang
Mimpi pun cuma menjadi pemanis saja. Bunga tidur yang sukse membuaikan lelap
Untuk menyenangkan hati, dengan rela kita terluka untuk menjaga agar harap tetap ada

4)

Benarkah? Harap, keinginan, angan dan kata-kata busuk semacamnya hanya pengawal duka?
Uraikan setiap memori indah menjadi pisau-pisau kecil yang tajam dan merobek perasaan
Kalau memang iya, sebutlah aku pengagum luka. Sebab kenangan itu selalu kujaga
Atau sebut saja aku penggila duka
Nestapa pun rela kurasai agar anganku memilikimu tetap terjaga

5)

Kemarin aku melihatmu dengan kekasihmu
Indera penglihatanku membangunkanku dari segala ilusi dan pengharapan
Terbangun aku aku dari mimpi manis memilikimu sebagai kekasihku
Andaikan kata andaikan tidak pernah ada, mungkin aku takkan pernah sesakit ini mencintaimu, masa laluku.

Bukan Keledai


Aku berdiri memandangi poster calon pemimpin masa depan di kotaku ini. Senyumnya yang ceria seolah menyiratkan dirinya sangat percaya diri dapat mengelola semrawutnya tata kelola kota ini. Aku menyunggingkan senyum, senyum pahit yang merepresentasikan hatiku.
“Wis, kamu bakal milih Ndak?” tanya Kusno yang berdiri disampingku.
“Pasti milih, Kus. Masa depan kota ini ada di tangan para pemimpinnya. Dan jangan sampai semakin salah urus. Permasalahan udah banyak, kalau sampai dipimpin sama yang nggak becus, bisa makin salah urus. Makin susah kita nanti.”
“Kamu bakal pilih calon yang ini? Calon incumbent kita ini.” tanya Kusno menunjuk poster salah satu calon pemimpin yang aan dipilih seminggu yang akan mendatang.
“Gaya kamu, Kus, sok-sokan pake istilah incumbent. Kayak ngerti aja kamu. Tapi, sepertinya aku nggak milih dia, Kus.”
“Lha, kenapa? Dia kan putra daerah, satu daerah sama kamu. Seiman pula, udah gitu dia pengalaman pula di pemerintahan.”
“Pemimpin itu bukan masalah putra daerah atau satu iman, Kus. Percuma putra daerah kalau nggak tahu permasalahan yang dihadapi oleh daerahnya. Percuma satu iman kalau justru dzalim. Percuma juga berpengalaman kalau tetap nggak becus ngurusin pemerintahannya.”
“Kok kamu kayaknya nggak suka banget sama calon pemimpin kita yang satu ini, Wis.”
“Aku nggak suka sama calon yang satu ini bukan karena alasan subjektif dan yang dibuat-buat, Kus. Kamu liat aja sekarang. Ruang terbuka makin sedikit. Mall sama apartemen? Makin banyak, kayak jamur. Terus jalanan. Kemacetan nggak berkurang, justru makin macet. Pengelolaan angkutan umum aja berantakan,” ucapku sedikit menggebu-gebu.
“Ya, tapi kan ada positifnya juga Wis. Buktinya dampak bencana banjir berkurang. Itu proyek penanggulangan banjirnya kan pas masa kepemimpinan beliau?” ujar Kusno.
“Iya, tapi itu bukan proyek pemerintahannya dia. Itu proyek negara, biayanya juga ditanggung sama negara, bukan pemerintah daerah.”
“Jadi kamu bakal pilih calon pasangan yang satunya lagi, Wis?”
“Sepertinya begitu, Kus.”
“Kan belom ketauan dia bisa memimpin kota kita ini atau nggak.”
“Ya mending lebih baik aku pilih yang belum tentu bisa memimpin daripada pilih orang yang sudah jelas tidak bisa memimpin, Kus. Seenggaknya masih ada harapan untuk perubahan yang lebih baik.”
Kusno terdiam. Dia seperti memikirkan kata-kataku. “Wisnu… Wisnu, ya terserah kamu. Setiap orang punya penilaian sendiri-sendiri,” ucap Kusno, “Yasudahlah, lebih baik kita kembali kerja. Nanti keburu sore.”
“Kamu sendiri bakal pilih siapa, Kus?” tanyaku pada Kusno yang mulai berjalan.
“Aku nggak milih, Wis.”
Aku memasang raut wajah bingung. “Nggak milih? Kamu golput, Kus?” tanyaku seraya berjalan menyusul Kusno.
“Nggak.”
“Lalu?”
“Aku nggak masuk daftar pemilih Kus, perkampunganku nggak masuk dalam daftar pemilih. Hampir semua yang tinggal disana nggak punya hak pilih. Yah, pemulung kayak kita, nggak dianggap punya hak suara sepertinya, Wis.” Terdengar suara Kusno melirih. “Sudahlah, Wis. Kita ini cuma pemulung, nggak usah ketinggian bicarakan politik. Kita bukan siapa-siapa. Daripada kelamaan ngobrol, mending kita lanjut mulung. Isi punyaku masih belum penuh nih. Harus penuh sampai pulang nanti, kalau nggak duit yang didapat bakalan kurang.”
Aku terdiam mendengar ucapan Kusno. Segera kugendong kembali  keranjang sampah di punggungku. Mungkin benar kata-kata Kusno, sepertinya aku terlalu tinggi membicarakan politik. Sementara aku ada di lapisan terbawah. Tapi, demi masa depan yang lebih baik, aku akan mempergunakan hak milikku dengan baik saat pemilihan minggu depan. Sebab aku bukan keledai yang akan melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya, mempercayakan masa depan kotaku ke orang yang sudah jelas tak bisa mengurusnya.

Ini masalah kuasa, alibimu berharga
Kalau kami tak percaya, lantas kau mau apa?

Ini mosi tidak percaya, jangan anggap kami tak berdaya
Ini mosi tidak percaya, kami tak mau lagi diperdaya           

Efek Rumah Kaca – Mosi Tidak Percaya

Minggu, 16 September 2012

Tentang Lelaki yang Mencintai Lautan



1)

Kau adalah lautan terdalam

Sesering apapun kuselami tubumu, tetap tak kutemukan dimana dasar hatimu

Sedalam apapun, hingga mungkin kau bosan

Tak juga dapat kujejaki palung dirimu

Apakah sedalam itu keenggananmu?


2)

Kau menyebutnya luka, sementara aku?

Bagiku tak ada beda antara luka dan cinta

Sebab aku hanya mengenal dirimu

Sebagai tujuan akhirku, tubuhmu


3)

Kita terkadang hidup terlau lama

Tapi tak pernah mendapati apa-apa

Dan juga, kadang kita terlalu takut untuk mencinta

Sebab termakan oleh bayang-bayang oleh duka, luka dan nestapa


4)

Bagaimana mungkin seorang pelaut dapat menaklukan dunia

Jika ombak saja sudah mengaramkan nyalinya

Dan bagaimana mungkin kau dapat mengerti sebuah cinta tanpa mengerti apa arti sebuah ketabahan


5)

Aku adalah ombak yang senang mencumbu tepian pantai

Bercinta dengan hamparan pasir yang menggeliatkan tubuh

Terkadang, karang merayuku pula

Agar dapat kupeluk dan kucumbu tubuhnya

Apa yg menyenangkan selalu sesaat

Tak pernah kekal ataupun lekang dimakan waktu


6)

Aku adalah ombak

Sejauh apapun pantai yang kujamah

Semesra apapun cumbuan yang ditawarkan karang

Aku tetaplah ombak yang akan kembali ke lautan

Kembali mencumbu tubuhmu

Sebab itu, belajarlah ketabahan dari diriku.

Aku, Kamu, Hujan dan Petir



Sepiku tak pernah berujung
Saat kau tak biasa
Sendiri menjalani waktu
Sulitnya ada suka yg pernah ada perih

Aku mematikan playlist lagu yang berkumandang di iPod. Baru saja hujan turun. Suara gerimis lebih menarik perhatianku, alunan nada alam yang tak terkalahkan oleh lagu mana pun. Kubuka sedikit jendela kamarku. Menikmati percikan-percikan airmata langit yang masuk melalui sela jendela yang terbuka.

Suasana hening saat hujan turun adalah jeda terbaik untuk berpikir. Memikirkan apapun; rencana masa depan, impian, harapan atau bahkan sesuatu yang tertinggal di masa lalu. Dan kini aku mengalami hal yang disebutkan terakhir.

“Apa kabarmu? Apakah kamu masih menggilai hujan seperti dulu. Berusaha untuk berlari ke tengah lapangan saat langit sedang bergemuruh, seolah memanggil namamu untuk menyambut rintik yang akan membasahi bumi? Apakah di sana ada hujan?”  monologku pada kaca jendela. Kumainkan jemariku diatas kaca yang sudah berembun.Menuliskan namaku dan namamu; Putri Hujan dan Pangeran Petir.

Kita adalah sepasang manusia yang menggilai hujan. Seolah, turunnya hujan adalah saatnya kita melakukan ibadah. Dengan segera kita berlari menyambutnya. Menghambur ke dalam ribuan tetes air yang dicurahkan oleh langit. Ya, jika hujan terjadi saat bel pertanda pulang sekolah sudah berkumandang. Jika tidak, kita hanya dapat menahan hasrat untuk tidak berlari saat deru suara hujan memanggil. Memandang iri keluar jendela dari dalam kelas, memperhatikan rintik air yang seperti menari sebab diterpa oleh angin.

Aku masih mengingat dengan jelas pertemuan itu. Saat pertama kali kamu memanggilku Putri Hujan. Bahkan saat aku memejamkan mata, kejadian itu seperti baru terjadi kemarin; sangat segar di dalam kepalaku. Aku tersenyum simpul saat mengenangnya kembali. Terlihat hujan mereda.Kini rintik-rintik hujan terlihat tak bertenaga. Sedikit rasa kecewa menghampiriku. Dengan adanya hujan, aku tak pernah sendirian, kamu selalu ada disampingku; dalam ingatanku.

***

“Menurutmu apa yang dipikirkan orang-orang yang sedang berteduh saat hujan turun?” Tetiba Pangeran berdiri di sampingku saat diriku sedang berdiri di ambang pintu kelas. Bel pertanda pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Tapi masih banyak murid di dalam kelas, sebab hujan yang turun dengan deras.

Dari tempat kita berdiri, aku dan Pangeran dapat melihat halte bus di depan sekolah yang saat ini disesaki orang. Bukan oleh orang-orang yang mau naik kendaraan umum, namun orang-orang takut basah oleh air hujan. Aku menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Pangeran tadi.

“Aku pun tak tahu apa saja yang dipikirkan mereka. Tapi jika di antara orang-orang di sana ada orang yang tidak bersyukur, pasti isi pikiran mereka adalah kapan hujan ini akan berhenti.”

Aku mengagguk setuju dengan perkataannya. “Padahal hujan begitu menyenangkan.”

“Benar, Put. Sangat menyenangkan. Kita pulang sekarang?”

“Oke. Tapi sebentar, aku lapisi dulu buku-buku ini dengan plastik,” ucapku kepada Pangeran.

“Sudah?” tanya Pangeran kepadaku. Aku menjawabnya dengan anggukan.

“Kalian mau pulang sekarang? Hujannya masih deras lho,” ucap Riri kepadaku dan Pangeran. Teman sekelasku memandang sedikit heran, sebab hampir semua murid bertahan di dalam kelas menunggu hujan reda. Kalaupun ada yang pulang, pasti mereka membawa payung dan jas hujan, tidak seperti diriku dan Pangeran yang tidak membawa payung ataupun jas hujan.

“Iya, mau ikutan Ri? Hujan-hujanan itu seru lho,” ajak Pangeran.

“Aduh, nggak deh Put, Pang. Aku kalau hujan-hujanan besoknya bisa meriang. Kalian aja deh yah.” Riri kemudian meninggalkan aku dan Pangeran di depan kelas. Dia kembali menunggu hujan reda di dalam kelas.

“Yuk pulang sekarang. Nanti hujannya keburu berhenti,” kata Pangeran seraya mendorongku maju.

Bau tanah yang basah dan air hujam merupakan kombinasi bau yang sangat khas dan alami. Aku merentangkan tangan lebar saat tetesan air hujan memeluk tubuhku. Tubuhku dan Pangeran sudah kuyup diguyur hujan.

Sepanjang perjalanan pulang kami berceloteh banyak hal. Sesekali terdiam untuk menikmati rintikan hujan yang menerpa wajah dan tubuh kita masing-masing. Seragam putih abu-abu kami sudah tak menyisakan bagian yang kering. Kami adalah penggila hujan yang rela menenggelamkan diri dalam rinai hujan.

“Apa yang kamu suka dari hujan, Put?” tanya Pangeran kepadaku. Dia sedikit mengeraskan suaranya agar tak kalah oleh deru suara hujan.

Aku sedikit bingung dengan pertanyaan dari Pangeran. “Ya hujannya lah. Memang apa lagi?”

“Kalau aku, ketika hujan turun. Aku pun menyukai rintikan hujan, menenangkan. Namun aku akan lebih menyukai hujan yang ada petirnya. Petir menambah suasana hujan menjadi lebih menyenangkan,” ucap Pangeran bersemangat. Kedua bola matanya membulat pertanda antusias.

“Kalau begitu, nama kamu jadi Pangeran Petir,” ucapku asal-asalan kemudian aku tertawa kecil.

“Dan kamu, Putri Hujan.”

Aku mengerutkan dahiku. Lalu kulihat bola mata Pangeran yabg mengarah langsung ke mataku. Pangeran menyunggingkan senyuman. Refleks aku pun menyunggingkan senyum dan kami kemudian tertawa bersama. “Putri Hujan dan Pangeran Petir. Bukan nama yang buruk,” ucapku kepada Pangeran kemudian kita kembali tertawa.

***


Ku tak mampu mencari lagi
Apa yang kurasakan
Dan aku sangat menyadari
Aku kehilanganmu

Aku mengerti, bahwa tak akan pernah ada kejadian dimana setiap keinginan berubah menjadi nyata sesuai dengan yang diinginkan. Ada beberapa keinginan yang dikabulkan oleh Tuhan, tapi tak jarang, keinginan tersebut diganti oleh hal lain, bahkan keinginan itu tak pernah terwujud dalam bentuk apapun; hanya tetap menjadi keingininan yang kekal.

Seperti mencintaimu, itu adalah yang terjadi padaku saat masa putih abu-abu dulu, dan ingin menjadi kekasihmu adalah keinginanku saat itu. Keinginan yang tak pernah diwujudkan oleh Tuhan. Begitu banyak waktu yang kuhabiskan bersamamu, melakukan pembicaraan tentang hujan yang sama-sama kita gilai, atau bahkan menghabiskan waktu di bawah rinai hujan, berbagi tawa, canda, kesedihan dan air mata dalam rinai hujan. Dan di bawah rinainya pun aku harus kehilanganmu. Bagiku, hujan selalu mengingatkanku padaku dan dirimu.

Katamu dulu, hujan tak pernah lengkap tanpa gemuruh petir yang menyertainya. Tanpa petir, hujan akan kesepian. Jika aku adalah hujan, dan kamu adalah petir itu, maka aku akan selalu mengamini ucapanmu itu. Tanpamu, aku merasa sepi. Terasa ada jeda panjang di hariku tanpamu. Tak ada lagi gemuruh yang menyertaimu, aku hanyalah hujan yang kesepian.

Sore ini langit menggelap. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun, dari tadi sudah kudengar suara gemuruh petir berkumandang. “Suasana yang tepat sekali,” gumamku.

“Halo, Pangeran Petir. Apa kabarmu? Tidak terasa sudah lima tahun terlewati setelah perpisahan kita. Perpisahan yang tidak kita inginkan,” ucapku seraya melangkah. Tangan kiriku membuka kacamata hitam yang kukenakan, sementara tangan kanan memegangi payung agar tak terbang tertiup angin yang sudah bertiup kencang. “Aku ingin mengabarkan berita baik padamu. Bulan depan aku akan menikah dengan kekasihku saat ini. Dan sepertinya aku tidak akan dapat menemuimu setiap bulan seperti sebelumnya.”

Aku menarik nafas pelan, mengurangi sesak yang mulai memenuhi rongga dada. “Bukan, bukan aku akan melupakanmu. Tentangmu akan tetap ada dalam hatiku. Kamu adalah orang yang kucintai pertama kali, dan sudah ada ruang khusus dalam bilik hatiku ini agar tetap mengenangmu,” ucapku menunjuk dadaku. “Kenangan tentangmu akan selalu ada dan tak akan terlupa. Setiap hujan yang turun disertai gemuruh petir, disanalah aku menempatkan ingatan tentang kita.”

Mataku mulai memanas. Ternyata tak mudah untuk menahan kesedihan, walau kejadian ya ng menyebabkan sedih itu sudah terjadi sejak lama. “Bagaimana aku melupakanmu. Darimu aku belajar mencintai hujan, petir dan berbagai arti filosofisnya. Hujan bukan lagi hal yang kusukai, tapi menjadi hal yang kugilai, dan itu karenamu.”
“Kamu adalah cinta pertamaku. Lelaki yang pertama kali membuatku tertawa bahagia dan terisak sedih karenamu. Jadi tenang saja, kamu tak akan pernah kulupakan,” suaraku bergetar. Kugigit bibir bawahku agar tak pecah airmataku. “Dan bagaimana aku melupakanmu, sementara setiap hujan turun aku selalu teringat kejadian itu. Kejadian yang tak pernah kita inginkan. Kejadian yang membuat dirimu meninggalkanku selamanya.”

Tangisku tak tertahan lagi. Pertahanan airmataku roboh sebab tak kuat menahan besarnya kesedihan. Malam itu, tepat lima tahun yang lalu, di tengah hujan deras kecelakaan itu terjadi. Saat itu merupakan perjalanan pulang dari perayaan kelulusan kami. Saat berbelok di pertigaan jalan, tetiba sebuah mobil box melaju dengan kecepatan penuh dari arah samping. Mobil box yang menerobos merah menabrak motor kami. Aku yang duduk di bonceng oleh Pangeran hanya mengalami luka di beberapa bagian tubuhku. Sementara Pangeran tidak tertolong karena kepalanya terbentur keras akibat tabrakan itu.

Perlahan hujan turun membasahi tubuhku. Menyamarkan airmata yang meleleh di pipiku. Bau tanah tercium sangat pekat. “Kamu pasti senang. Hujan turun, dan dengarlah suara petir yang bergemuruh itu.” Kemudian aku menaburkan bunga di atas makan Pangeran. Kucium nisannya sebelum aku pulang. Aku pernah mendengar pepatah yang menyebutkan melupakan cinta pertama tak akan pernah mudah, dan aku mengamini hal itu.

Melupakanmu adalah hal tersulit bagiku
Karena kau terukir dalam di hatiku

Rabu, 12 September 2012

Hapus Dia Dari Ingatanku


Tuliskan kesedihan, semua tak bisa kau ungkapkan

Aku memainkan pena di jariku. Memutarkannya tanpa tahu akan kugunakan untuk apa. Jemari kalut mencari pelampias gelisah di dalam dada. Pena sudah siap untuk melahirkan aksara, namun tak ada yang tertera di sana; di atas lembaran kertas yang sejak tadi terbuka.

Tidak ada kesunyian yang melebihi sebuah kehampaan, dan tak ada luka yang lebih pedih dari sebuah pengkhianatan. Luka dan bahagia menjadi satu paket dalam sebuah proses mencintai. Terkadang, apa yang begitu dicintai menjadi sumber luka terhebat. Melukai tanpa kita sadari bahwa hal itu telah menjadi duri di dalam dada.

Kilatan-kilatan kejadian kemarin malam masih terngiang di dalam kepala. Menghantui diri pada pahitnya kenyataan. Pada kerasnya kehancuran sebuah kepercayaan. Malam ini, kesunyian menawan suara-suara yang di dominasi oleh rintihan. Hanya tinta yang berani merepresentasikan sebuah ironinya sebuah cinta yang dipertahankan. Melalui aksara, kucoba keluarkan sesak di dada.

Aku mencintaimu dengan sederhana
Sesederhana kata cinta
Saling menyayangi, saling melengkapi

Aku sadar bahwa sebuah cinta dapat berujung duka
Melahirkan luka, menciptakan derita

Bukan, bukan karena aku kuat menanggungnya
Hanya saja aku percaya, luka adalah cara Tuhan memberikan ketabahan
Cara cinta menunjukkan jalan bahagia sesungguhnya

Kecupanmu pada dia menjadi penerang mataku
Menyadarkanku pada satu hal
Bahwa cinta adalah sesuatu yang sangat berharga
Yang akan kujaga sepenuh jiwa
Dan itu bukan untukmu

Sebuah tangisan menjadi penutup malam. Sebuah requim penutup lembaran kisah dengan Brahma, lelaki yang kucintai dan juga yang menorehkan luka terdalam di hatiku. Kututup buku coretanku. Buku yang penuh akan setiap curahan hati yang tak terdengar, buku yang penuh akan sajak-sajak yang menggambarkan isi perasaanku ke Brahma. Dan sajak tadi menjadi sajak penutup yang kutulis untuknya

***

Buang semua puisi, antara kita berdua

"Bi, tolong bawain tong ke sini yah," ucapku kepada Bi Yuni. Sore ini cuaca sangat teduh. Awan tebal bergerak pelan mengikuti arah angin, warna biru cerah memenuhi langit. Aku duduk di beranda, menikmati hembusan angin sepoi yang kadang bertiup ke arahku.

"Ini tongnya, Non," kata Bi Yuni kepadaku seraya menyerahkan tong bekas cat yang sedikit berdebu, "memang buat apa yah, Non? Kok tumben-tumbenan minta diambilin tong," tanya Bi Yuni seperti penasaran.

"Oh ini," ucapku seraya mengarahkan pandangan ke tong tersebut. "Buat bakar ini, Bi." Aku memperlihatkan benda yang sejak tadi ada di tanganku.

Bi Yuni terlihat sedikit kaget saat melihat benda yang ingin kubakar sesaat lagi. "Non, Non Pia serius mau bakar buku itu, Non?" tanya Bi Yuni. "Bukannya itu buku hadiah ulang tahun dari Den Brahma? Dan juga buku yang sering Non Pia tulisin sesuatu di sana?"

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan-perkataan Bi Yuni.

"Maaf Non, bukan bibi lancang. Tapi bibi pernah liat isi buku itu. Di buku itu juga banyak foto-foto Non Pia sama Den Brahma juga kan? Kenapa buku itu mau dibakar, Non?"

Senyumku mengecut saat mengingat-ingat kembali isi di dalam buku yang kugenggam ini. Dalam hati kecilku, kesedihan seperti ingin bermekaran kembali. "Nggak apa-apa, Bi. Sekarang buku ini udah nggak spesial dan penting lagi kok," ucapku pada Bi Yuni. Hal yang juga menjadi penguat hatiku, agar airmata tak lagi menetes untuk Brahma.

"Oh gitu yah, Non. Padahal sayang banget kalau dibakar."

"Bi, tolong ambil minyak tanah sama korek api."

Bi Yuni langsung menuju dapur setelah mendengar pintaku, tak lama dia keluar dengan korek api batang dan dirigen kecil berisi minyak tanah. "Ini, Non."

"Makasi ya Bi, bibi udah boleh ke dalam sekarang," ucapku mengusir Bi Yuni secara tak langsung. Aku tak mau ketetapan hatiku untuk membakar buku ini menjadi goyah kembali.

Kulempar buku yang kugenggam ke dala tong, lalu kusiramkan minyak tanah ke dalamnya. Kuhidupkan korek api batang dan kuleparkan ke dalam tong berlumuran minyak tanah. Seketika api menyambar dan menjilat-jilat buku yang ada di dalamnya. Selamat tinggal. Semoga kenanganmu pun menjadi abu dalam pikiranku, ucapku membatin saat melihat lidah api mulai melumat buku tersebut dan mengubahnya menjadi lembaran abu.

***

"Pia, tolong dengar penjelasanku," ucap Brahma saat bertemu dengannya di kantin fakultas. Dia mencengkeram tanganku saat aku berusaha menghindarinya. Bukan karena takut, tapi diriku sudah muak bertemu dengannya. "Apa yang kamu lihat waku itu hanya salah paham."

"Kamu bilang salah paham? Aku nggak buta. Aku liat kamu cium Silvia. Sahabatku sendiri!!" Emosiku tak terbendung. Suaraku mengencang dan membentak Brahma. "Silvia sudah cerita ke aku. Bagaimana kamu mengejar dia. Bagaimana kamu membuainya dengan rayuanmu. Dan kamu bilang itu semua cuma salah paham?"

"Okey, aku tahu aku salah. Aku minta maaf, Pia. Aku khilaf, aku sadar aku salah." Kulihat mimik wajah Brahma yang seperti mengiba maaf, terlihat menyedihkan. "Aku sadar banget sudah ngecewain kamu. Tapi aku masih cinta sama kamu, Pia. Aku nggak bisa gitu aja lupain kam-"

Plak!! Sebuah tamparan keras dari telapak tanganku mendarat mulus di pipinya. "Makan itu cinta. Berdoa sama Tuhan agar kamu lupa siapa aku. Lupa siapa saja yang sudah kamu sakiti, dan aku pun akan berdoa agar kamu tak lagi dalam ingatanku."

Aku berjalan meninggalkan kantin fakultas, meninggalkan Brahma yang diam menanggung malu. Tatapan mahasiswa-mahasiswi lain tersorot padanya. Tamparanku di pipinya menjadi tontonan gratis di kantis fakultas pada siang ini.

Sadarkan aku Tuhan, dia bukan milikku
Biarkan waktu, waktu, hapus aku

Aku berdoa pada Tuhan, agar menghapus ingatanku tentang Brahma. Dalam dada, sesak kurasa, tapi setidaknya tamparan tadi cukup melampiaskan sedikit kekecewaanku.


Minggu, 09 September 2012

Menunggu


Langit sudah memerah, menyemburatkan cahaya jingga yang kemilau meneduhkan. Satria duduk di bangku taman memandangi orang-orang yang lalu lalang di sana. Memperhatikan senyum dan tawa anak-anak yang sedang bermain dengan orang tuanya, pasangan muda mudi yang sedang tertawa bersama, dan para lansia yang sedang berjalan sore dengan cucu mereka. Semua terlihat bahagia sore ini, sementara Satria terlihat cemas. Berkali-kali dia melirik jam tangan dan ponselnya.

Jam tangan digitalnya sudah menunjukkan  pukul lima sore. Satria gelisah, itu artinya sudah hampir satu jam dia menunggu. Menunggu adalah hal yang sangat tidak menyenangkan, begitu pun dengan yang dirasakan oleh Satria sore ini. Gelisah terpancar dari wajahnya, sudah meleset dari satu jam dari waktu yang dijanjikan. Dia membuka ponselnya berkali-kali, namun tak juga ada pesan balasan yang masuk.

Waiting for your call, I’m sick, call I’m angry
Call desperate for your voice

Kamu dimana? Kita jadi ketemu, ‘kan? ketik Satria, segera dia mengirim pesan pendek yang kesekian kepada seseorang yang ditunggunya.

Dalam sebuah proses menunggu, waktu terasa berjalan jauh lebih lambat dari biasanya. Terasa ada jeda yang panjang kala berdiam diri hanya untuk menantikan kedatangan seseorang. Satria mengeluarkan headset dari saku celananya, mencoba membunuh waktu dengan playlist kesukaan. Berusaha membunuh bosan akibat yang ditunggu tak kunjung datang.

Matahari hampir benar-benar tenggelam. Sebentar lagi senja akan benar-benar padam. Keramaian orang-orang di taman mulai berkurang, perlahan mereka berangsur-angsur meninggalkan taman dan kembali ke rumahnya masing-masing, hingga yang tersisa hanya Satria seorang.

Satria menghembuskan nafas panjang, seolah melepas lelah yang dideritanya. Dia menatap nanar pada layar ponselnya. Rencana bertemu hari ini gagal total. Hatinya menciut, merasa bahwa dirinya tak dihargai. “Mau ketemu aja kok rasanya susah banget. Apa kamu udah males buat ketemu aku?” ucap Satria berbicara pada ponselnya.

Langit mulai menggelap saat Satria memutuskan untuk pulang. Di telinganya sayup-sayup terdengar suara John Vesely membawakan lagu Your Call. Satria memejamkan matanya, menikmati lagu yang menjadi kesukaannya, dan juga kesukaan Dinata, orang yang ditunggunya sejak tadi.

Listening to the song we used to sing
In the Car, do you remember
Butterfly, early summer
It’s playing on repeat, just like when we would meet
Like whe we would meet

***

Kadang, sebuah masalah kecil bisa menjadi sebuah awal dari masalah besar jika terjadi disaat yang sangat tidak tepat atau terjadi disaat kondisi emosional sedang sangat tidak stabil. Semua prasangka baik dikalahkan prasangka buruk, sebuah hal yang selalu sukses membuat sebuah masalah menjadi besar.

“Satria, aku tahu kamu marah. A–,”

“Sudahlah, Di, aku tahu. Iya, aku tahu kalo kamu sibuk, dan tetiba nggak bisa dateng. Aku ngerti banget,” ucap Satria dengan nada malas.

“Sa, aku nggak maksud kayak gitu,” ujar Dinata mencoba memberian penjelasan, “sebenarnya–“

“Udah deh ya, Di. Aku capek. Malem ini aku mau istirahat cepet. Soalnya besok subuh udah harus ada di Bandara. First flight.” Satria langsung memutuskan panggilan telepon. Kemudian dihembuskan lagi nafas panjang olehnya, melepas sesak yang memenuhi kepala dan dadanya.

Direbahkan tubuhnya di atas kasur. Rasa frustasi menderanya. Pikirannya yang sering negative thinking membuat Satria merasa hubungan antara dirinya dan Dinata tidak akan berjalan lama lagi. Kesibukannya dan kesibukan Dinata menjadi faktor utama renggangnya hubungan keduanya. Kesibukan Dinata sebagai karyawati yang memiliki jam kerja padat dan Satria sebagai manajer sebuah band yang mengharuskannya sering keluar kota seringkali menjadi penyebab perselisihan kecil yang menjadi besar ini.

Satria menggenggam kotak kecil yang tadi dibawanya saat ingin bertemu Dinata, sebuah hadiah kecil untuk kekasihnya setelah hampir sebulan tak bertemu. Kemudian dilemparnya kota tersebut ke atas kasur, rasa kesal kembali menderanya saat mengingat kembali kejadian sore tadi.

***

Kamu dimana? Kita jadi ketemu, ‘kan?

Dinata membaca kembali beberapa pesan yang masuk sejak sore tadi. Matanya memanas menahan getir. “Kamu pasti berpikiran kalo aku lupa kita janjian hari ini. Kamu salah, aku nggak mungkin lupa.” Suara parau terdengar dari ucapan Dinata, perempuan itu sedang berusaha menahan agar tangis tak pecah di pipinya. Dinata meremas selimutnya, menahan diri untuk merutuki kebodohannya yang tertidur sehingga tidak menemui Satria. Malam telah larut, matanya tak juga terpejam, walau sembab di matanya sudah terlihat jelas.

Dinata mengetik dan mengirim sebuah pesan kepada Satria sebelum dia benar-benar memejamkan matanya.

***

Satria melirik jam di pergelangan tangannya. Sebentar lagi waktu keberangkatannya, sementara belum terlihat kedatangan Dinata. Pagi tadi, sebuah pesan dari Dinata masuk di ponselnya. Kekasihnya itu meminta dirinya agar tidak langsung masuk ke pesawat. Dinata memintanya menunggu, sebab Dinata akan datang.

“Satria,” terdengar panggilan dari Dinata. Terlihat kekasihnya itu berjalan semi berlari menghampiri Satria.

“Ada apa?” tanya Satria dengan nada setengah bertanya dan heran.

“Aku tahu kamu marah sebab kemarin aku nggak datang. Aku minta maaf. Kemarin aku ngga datang bukan karena lupa, tapi karena ini.” Dinata menyerahkan sebuah kotak kecil kepada Satria.
Satria mengambil kotak tersebut dan membukanya. Dirinya tercengang saat melihat isi kotak tersebut. Dia memandang Dinata. Terlihat binar mata Dinata disertai anggukan kecil.

“Selamat ulang tahun, dan juga happy anniversary hubungan kita,” ucap Dinata.

Isi kotak tersebut adalah scrap book yang berisi foto mereka berdua. Foto mereka sejak awal pacaran hingga kini. Satria menutup kotak tesebut. Dia tersenyum gembira. Segala pikiran negatif di kepalanya sirna. Dipeluknya erat kekasihnya itu. Sebuah kecupan di ubun-ubun kepala Dinata menjadi pengganti ucapan perpisahan mereka.

“Aku bakal seminggu di sana, ketika aku pulang. Sambut kedatanganku,” ucap Satria yang dijawab dengan anggukan oleh Dinata. “Love you,” bisik Satria.

Yes, I do.” Dinata melepaskan pelukan Satria. Seperti biasa, Dinata melepas kembali kepergian Satria, dan akan menunggu kepulangannya.

Cause I was born to tell you I love you
And I am torn to do what I have to, to make you mine
Stay with me tonight

Jumat, 07 September 2012

Di Matamu


1)
Kita adalah sepasang kenangan yang selalu berbicara tentang cinta
Kita adalah sepasang hati yang tak pernah rela untuk saling melupakan

2)
Sementara waktu terus berjalan
Kita memutuskan untuk tetap bertahan
Dengan luka yang kita jaga, yang kita pelihara agar tidak terlupa

3)
Kirana, di matamu aku melihat diriku tenggelam
Menyemayamkan cinta pada binar matamu
Sementara kau, memberikan pandanganmu pada hati yang lain
Pada cinta yang menyakitimu

4)
Bagaimana mungkin aku melupakanmu
Bila mulutku saja bungkam, berkhianat pada ketakutan
Bagaimana mungkin aku melupakanmu
Jika setiap malam aku mengucapkan rindu; menyelipkan namamu dalam sujudku

5)
Sebut saja kita pecinta luka
Sebab terpelihara cinta di dalam dada
Cinta yang menyakitkan
Luka yang tak pernah ingin kita lupakan

Senin, 03 September 2012

Lelaki Terhebat

Kau nampak tua dan lelah
Keringat mengucur deras namun kau tetap tabah

“Duduklah.” Aku duduk mengikuti perintah lelaki di hadapanku. “Bagaimana kabarmu? Sehat?”

Aku hanya menganggukkan kepalaku. Aku menatap lekat lelaki di hadapanku itu. Sudah lama tidak menjumpainya. Aku merutuki diriku sendiri yang baru menemuinya saat ini. Bau pengap khas obat memenuhi kamar ini. “Maafkan aku baru bisa pulang sekarang,” ucapku dengan suara bergetar.

“Sudahlah, Ayah bahagia masih bisa bertemu denganmu. Sekarang ceritakanlah apa yang kau alami, dan apa yang tidak kuketahui.”

Kutatap ayah yang duduk bersandar di atas kasur. Tubuhnya nampak kurus, terlihat tulang-tulang yang mencuat, seolah hanya dilapisi oleh selembar kulit yang sudah berkeriput. Matanya terlihat cekung seperti kelelahan. Kutatap dalam-dalam mata itu, mata dari lelaki yang menjadi panutanku, lelaki yang punggungnya selalu kulihat sejak diriku dapat melihat. Sejak Ibu meninggal karena sakit saat aku berumur 2 tahun, ayahlah yang merawat dan membesarkanku.

Kemarin, sebuah kabar dari bibiku datang. Mereka memintaku untuk pulang setelah hampir 5 tahun merantau di Ibukota. Mereka mengabarkan ayah sedang sakit. Selama aku merantau di Jakarta, saudari kandung ayahku itulah yang merawat beliau. Dari yang diceritakan, aku mengetahui bahwa ayah menderita sakit paru-paru sejak dua tahun terakhir. Namun kondisi beliau memburuk dalam seminggu terakhir. Saat ini ayah hanya dirawat di rumah, sebab kendala biaya menjadi alasan utama tidak dirawat di rumah sakit.

Saat mendengar hal tersebut, aku sangat terkejut. Kupikir kondisi ayah sehat-sehat saja, sebab selama ini dia tidak memberitahu hal apapun. Ayah yang selama ini tidak pernah memintaku pulang, kini menyuruh bibi untuk menghubungiku agar aku pulang. Ya pulang ke sini, ke rumahku tempat aku tumbuh dan dibesarkan.

Aku bercerita banyak hal dengan ayah. Tentang apa saja yang kualami selama 5 tahun merantau, walau beberapa cerita sudah pernah kuceritakan pada ayah melalui surat yang rutin kukirim setiap tiga bulan sekali.

“Sudah lama sekali kita tidak berbicara seperti ini yah,” ucap ayah kepadaku.

`       “Ya, aku merindukan hal ini.” Mataku menahan haru yang mulai menderaku. Bola mataku sudah memanas, siap memuntahkan airmata yang sudah menggenang.

Kulihat, ayah mengambil sesuatu dari balik bantalnya. Sebuah kotak besi. Tangannya terlihat sangat ringkih saat mengangkat benda itu dan diletakkan kotak tersebut di pangkuannya. Ketika dibuka, aku melihat banyak lembar foto yang sudah menguning yang tersimpan di sana. “Kamu ingat foto ini?” tanyanya memperlihatkan sebuah foto bocah perempuan dengan gigi berlubang yang sedang digendong oleh lelaki yang berbadan kekar.

Aku tertawa kecil saat memandangi foto tersebut. “Mana mungkin aku melupakan diriku sendiri dan ayah.”

Kemudian ayah mengeluarkan foto-foto lain yang merupakan potret peristiwa-peristiwa yang kualami sejak aku kecil hingga lulus sekolah menengah. Hanya sampai situ, sebab selepas lulus sekolah aku langsung memutuskan untuk merantau ke Jakarta.

Aku mengambil beberapa lembar foto yang sudah menguning. Dadaku berdesir, ada haru yang tak juga menghilang. Dulu, tetangga kami memiliki kamera, dan ayah selalu memohon kepada tetanggaku tersebut untuk mengambil fotoku dan dirinya. Saat aku masih kecil dulu, sangat senang difoto, sehingga selalu meminta ayah untuk memoto diriku sesering mungkin, dan sesering itu pula ayah merepotkan tetangga kami itu.

“Ayah, kenapa di foto-foto ini banyak sekali foto diriku yang sedang digendong?”

“Sebab dulu ayah tidak mampu membelikanmu sepeda untuk dirimu berkeliling seperti anak seumuranmu pada saat itu. Sementara ayah hanya seorang kuli, hanya seorang bodoh yang bahkan tidak bisa baca dan tulis pada saat itu. Yang ayah tahu, kamu bahagia saat sedang digendong, dan hal itu kulakukan untukmu dengan senang hati.”

Keriput tulang pipimu gambarkan perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
Kini kurus dan terbungkuk

Tangisku hampir pecah. Pelupuk mataku tak lagi sanggup menahan airmata. Perlahan, airmata menetes melalui celah kecil di pinggir mataku. “Ayah,” ucapku lirih seraya memeluk tubuh kurus lelaki terhebat yang pernah kukenal. Tubuhnya yang dulu tegap berisi, sekarang sudah layu dimakan penyakit.

Hatiku berdenyut keras, terasa perih. Aku tidak dapat melakukan apa-apa untuk membuatnya merasa lebih baik. Terdengar suara batuk ayah yang terdengar sangat berat dan berlangsung lama. Terlihat oleh mataku, darah keluar dari mulutnya. Tubuhku bergetar saat melihat wajah ayah yang mendadak pias. Segera aku berlari keluar kamar untuk meminta pertolongan pada bibi dan saudaraku yang lain.

“Laksmi,” panggil ayah yang membuatku yang baru saja akan mencari pertolongan menjadi berhenti. Suara ayah terdengar sangat lirih dan hampir tak terdengar. “Dengarkanlah, aku tak pernah meminta apapun darimu, dan tak menuntut dirimu menjadi apa yang kumau. Aku hanya dapat mendoakanmu, jalanilah hidupmu sebaik-baiknya. Bahagiakan dirimu, bahagiakan orang yang kamu cintai, sebab hanya dengan kasih sayang kita dapat menjalani kehidupan dengan tenang.”

Tangisku pecah sejadi-jadinya. Kupeluk tubuh kurus ayah. Kurasakan elusannya di punggungku. Hatiku terasa hangat dibuatnya. Di pundaknya aku menumpahkan airmataku, hal yang dulu selalu kulakukan saat aku merasa sedih dan kesepian.

“Semoga kamu bahagia, anakku,” bisik ayah di dekat telingaku, terdengar sangat lirih. Dan kemudian usapannya terhenti. Jeritku semakin mengeras, airmata yang mengalir bagai air bah yang tak tertahankan menjadi pertanda, bahwa baru saja aku kehilangan lelaki terhebat yang pernah kumiliki.

***

Ayah, dalam hening kurindu untuk menuai padi milik kita
Namun kerinduan hanya tinggal kerinduan

Aku menabur bunga di atas pusara ayah. Sudah hampir enam bulan berlalu semenjak kepergiannya, namun lubang di hatiku masih belum tertutup. Sisa-sisa kenangan dengannya masih menghampiriku, memancing tangis dan airmata yang sudah tak terhitung. Lebih tepatnya, aku lelah menghitung berapa banyak tangisan yang kubuat semenjak kepergian ayah.

“Ayah, aku ingin mengabarkan kepadamu, kekasihku baru saja melamarku. Kami akan menikah akhir tahun ini. Aku bahagia dengannya dan aku akan membahagiakan calon suamiku itu, seperti wasiatmu. Semoga, ayah bahagia juga mendengarnya,” ucapku dengan bibir bergetar. Getir terasa di dada, membuat airmata tak sanggup menahan dirinya untuk tidak menerobos keluar.

“Laksmi, tabahkan dirimu. Aku yakin ayahmu bahagia di dalam rengkuhan-Nya,” ucap Ferdi, calon suamiku. Dia mendekatkan tubuhnya denganku, direngkuhnya aku dalam dekapannya. Dalam pelukannya aku menangis sepuasnya. Berharap kesedihan reda seiring keringnya airmata.