Rabu, 19 September 2012

Kenangan Tentang Kamu, Hujan


Seperti sebuah kotak musik yang tidak akan berhenti memainkan musik ketika dibuka, begitupun kita yang akan terus menganga saat melihat tetesan-tetesan air perlahan-lahan turun ke bumi. Membasahi tanah dan menimbulkan aroma khas yang selalu kita nanti.


Aku masih teringat saat melihatmu duduk di pinggir jendela sambil memainkan bulir-bulir air yang menempel disana. Raut wajahmu begitu sedih, padahal hujan tengah turun saat ini. Membasahi bumi yang tengah kering, dan mendinginkan suasana yang tengah panas. Melihatmu seperti itu membuatku khawatir, dan dengan segenggam keberanianku aku menghampirimu untuk bertanya.

“Kenapa kamu terlihat begitu sedih, Putri?”
Kamu hanya menggeleng lemah dan menghela napas panjang perlahan. “Aku tidak sedih, Pang. Aku justru senang karena hujan akhirnya turun. Setidaknya aku masih bisa mencicipi bau tanah yang bercampur air seperti ini yang sudah lama kunanti. Petrichor. Namun sayangnya, aku tidak bisa bermain hujan. Pelajaran di kelas ini membuatku terkekang. Aku ingin bermain-main dengan hujan.”
Aku menarik tangannya. “Ayo kita bermain-main dengan hujan. Aku akan menemanimu, Putri.”
Kamu hanya terheran-heran tapi tidak melepaskan tanganku yang masih tergenggam di pergelanganmu. Lalu aku mengajakmu untuk keluar kelas, dan kita berlari menembus hujan di tengah lapangan sekolah. Aku berjingkrak-jingkrak, berputar-putar menikmati setiap air yang membasahi tubuhku. Awalnya kamu hanya diam mengamati, setelah melihatku melakukannya, kamu pun mengikuti. Kita menari-nari di tengah hujan tanpa peduli bayang pasang mata yang memandang aneh ke arah kita. Sebelum akhirnya, kita berdua diteriaki oleh guru BP untuk berhenti kemudian beliau meminjamkan kita sebuah seragam untuk menggantikan seragam kita yang sudah basah hingga menempel ke lekuk tubuh kita.
Kita, atau mungkin kamu yang lebih banyak kadarnya adalah sosok pecinta hujan. Hujan dan kamu seperti layaknya sebuah sahabat, katamu dulu waktu aku sempat bertanya kenapa kamu begitu menggilai hujan. Ketika kamu sedang merasa sedih, hujan selalu menghamburkan derasnya, dan menghapus kesedihanmu hingga membuatmu merasa begitu teduh. Kamu senang berbaur dengan hujan, apalagi saat mendengar bel pulang sekolah dan hujan masih menggenangi kota kita. Tanpa ragu kamu akan berlari dan menembus hujan itu. Sendiri atau bersamaku yang menemani.
Aku masih teringat saat kita memiliki nama panggilan yang begitu melekat akan sosokmu. Putri Hujan. Kemudian, kamu memanggilku dengan Pangeran Petir, karena aku memang menyukai alunan suara petir yang menggelegar. Seperti sebuah irama musik yang berdentum tak terduga dan begitu bebas apa adanya.
Putri Hujan dan Pangeran Petir. Itulah kita. Yang berbahagia. Di atas alam semesta cinta.
*
Kebahagiaan itu ternyata tidak berlangsung begitu lama. Putri Hujan dan Pangeran Petir tidak bisa berlama-lama menjalani suka cita. Terlalu banyak hal dalam hidup yang begitu menjadi misteri, termasuk mati.  Begitu banyak yang sebenarnya masih ingin aku bagi denganmu, Putri. Bukan hanya kebahagiaan melihat rinai-rinai hujan yang jatuh perlahan, atau kesedihan saat tangisanmu pecah ketika aku melakukan kesalahan. Membuat hujan di dalam hatimu.
Aku sempat berkata kepadamu, tentang Hujan dan Petir yang tidak pernah bisa berpisah jauh. Tanpa petir, hujan hanya seperti seseorang sedang menyiramkan air kepada tanah-tanah yang kering. Tanpa petir, hujan hanyalah pencipta dari segala suasana yang begitu hening dan dingin.
Maafkan aku Putri, yang tidak bisa menepati janji. Tuhan sudah menggariskan tanganku untuk tidak bisa lama-lama bersamamu. Umurku hanya sebentar, dan sayangnya hujan sendiri yang mengantarkan kepergianku. Aku harap jangan hanya hal itu lantas kamu akan membenci hujan dan petir. Jangan sayang, karena hujan dan petir adalah simbol keberadaan kita.
*
Sore ini langit menggelap. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun, dari tadi suara gemuruh petir berkumandang. “Suasana yang tepat sekali,” gumammu.
 “Halo, Pangeran Petir. Apa kabarmu? Tidak terasa sudah lima tahun terlewati setelah perpisahan kita. Perpisahan yang tidak kita inginkan,” ucapmu seraya melangkah mendekati nisanku.
Diam-diam aku senang memerhatikanmu dari tempatku saat ini. Tentang kesetianmu selama lima tahun ini untuk mengunjungi rumah baruku.
“Aku ingin mengabarkan berita baik padamu. Bulan depan aku akan menikah dengan kekasihku saat ini. Dan sepertinya aku tidak akan dapat menemuimu setiap bulan seperti sebelumnya.” lanjutmu.
Putri, aku senang mendengarkan kabar baik itu. Aku tidak ingin merenggut kebahagiaanmu atas ketiadaanku ini. Kenangan tentang kamu, Putri Hujan jauh melebihi apapun yang aku miliki ketika aku masih hidup selama ini.
Putri, aku senang mendengar kabar baik itu. Tidak usahlah kamu bersedih, karena aku aku akan merengkuhmu dalam bayangmu atau dengan petir yang menemani hujan yang turun ke bumi.
_
Bandung, 18 September 2012

 ) yang merupakan lanjutan cerita Aku, Kamu, Hujan dan Petir*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar