Selasa, 29 April 2014

Perempuan Yang Menunggu Waktu

"Nanti kalau kita sudah sama-sama dewasa, janji yah kalau kita akan bertemu lagi di sini."

Aku masih mengingat kata-kata itu. Kata-kata yang diucapkan saat umurku masih jauh dari usia orang dewasa. Masih dengan jelas ingatanku mengingat kapan dan di mana aku mengatakan hal itu dahulu, ketika seragamku masih berwarna putih merah dan rambutku masing sering dikepang oleh ibuku.

"Dewasa? Kapan? Harus ada patokan umurnya dong. Kita nggak tahu kapan kita merasa dewasa." Kata-kata lelaki seumuranku itu masih basah dalam ingatanku. Lelaki itu umurnya hanya berbeda dua bulan dariku, tapi pola pikirnya seperti dua tahun lebih tua dariku.

"Bagaimana kalau kita sudah sama-sama berumur 20 tahun?"

"Kapan tanggalnya? Yang pasti dong, kan kita berumur 20 tahunnya nggak barengan."

"Setiap hari ini. Tanggal sekarang. 20 Juni. Gimana, Rey?"

"Baik."

"Janji yah, Rey?"

"Iya janji. Tapi kalau kita nggak ketemu lagi gimana?"

"Ya kita janjian lagi pas umur kita 30 tahun. Kalau nggak ketemu lagi, ya pas umur kita 40 tahun."

Waktu terus berjalan, umur menua, tapi kenangan seringkali tetap awet muda. Itulah yang aku rasakan. Janji itu terasa seperti baru kemarin aku ucapkan. Aku selalu merasa baru beberapa hari yang lalu aku dan Reyhan saling menautkan jari kelingking.

Hari ini adalah hari yang dijanjikan. Aku berjalan pelan menuju tempat yang dijanjikan; sebuah taman yang tak jauh dari sekolah dasarku dahulu, taman yang tak jauh dari komplek perumahanku.

Taman itu masih terlihat sama bagiku walau sebenarnya sudah terjadi banyak perubahan sejak aku mengucapkan janji remeh dengan Reyhan bertahun-tahun yang lalu. Kadang, ada hal-hal yang akan selalu terlihat sama secara subjektif, walau secara objektif hal tersebut sudah tak lagi sama.

Tak lama, sebuah mobil berhenti tak jauh dari taman, seorang lelaki keluar dari dalamnya. Reyhan. Dia tersenyum ke arahku. Senyumannya masih terlihat sama, baik hari ini maupun bertahun-tahun yang lalu. Tak lama, di belakangnya berjalan seorang anak laki-laki yang wajahnya tak jauh berbeda dengan lelaki yang berjalan di depannya. Lalu digandengnya tangan bocah itu oleh Reyhan.

"Hai, Resita. Sudah daritadi? Maaf terlambat."

"Baru sampai juga. Bagaimana kabarmu?" tanyaku kepada Reyhan. "Dan bagaimana kabar jagoan kecilmu?" aku melirik ke arah bocah yang berjalan di samping Reyhan.

Waktu berlaku, orang-orang dan keadaan berubah namun perasaan adalah hal yang menjadi pengecualian. Ini adalah pertemuan yang kedua. Ini adalah pertemuan pertamaku dengannya dan jagoannya. Di pertemuan pertama aku dikabari langsung olehnya bahwa dia akan berkeluarga. Dan sejak itu kami masih sering berkomunikasi. Reyhan menganggapku sebagai salah satu teman baiknya, namun aku tak menganggapnya seperti itu.

"Re, pernah kepikiran nggak. Kok lucu yah. Kita berteman, sering berkomunikasi, tapi tetap harus bertemu setiap 10 tahun sekali."

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Reyhan. Andai dia tahu aku selalu menunggu waktu 10 tahun itu.

*cerita ini terinspirasi dari salah satu gambar dalam komik detective conan ini:

Rabu, 23 April 2014

Pertemuan yang Tak Pernah Kuinginkan Untuk Berakhir

Pertemuan dan perpisahan adalah jodoh abadi yang tak akan mungkin muncul tanpa disertai satu sama lain. Tak akan pernah ada sebuah awal pertemuan yang tidak diakhiri dengan perpisahan. Siapapun dia, dalam keadaan apapun, sebuah awal perkenalan pasti akan diakhiri dengan perpisahan. Yang membedakannya hanya waktu yang ada di antara keduanya; kenangan yang tercipta di antara jeda tersebut.

Tak selalu, sebuah awal pertemuan akan menimbulkan kesan baik dan menyenangkan. Umumnya sebuah pertemuan–yang biasanya–tidak sengaja akan menimbulkan kesan seperti itu. Seperti yang terjadi pada Zuan, di tengah terik matahari yang menyapanya, sebuah pertemuan yang–cukup–tidak menyenangkan dihadapinya.

“Jangan dorong,” terdengar suara seseorang dari belakang Zuan saat dirinya bersama mahasiswa baru lainnya sedang mengantri masuk ke dalam gedung kesehatan. Tes kesehatan yang harus dilakukan seluruh mahasiswa baru dalam waktu bersamaan ini menimbulkan antrian yang tidak sedikit. Satu angkatan mahasiswa baru berbaris rapi sejak pagi di depan gedung kesehatan. Prosedur tes kesehatan yang–cukup–tidak efektif membuat banyak mahasiswa baru belum menjalani tes, padahal hari sudah siang.

Antrian di belakang Zuan makin tidak karuan, dorongan dari beberapa orang yang tidak sabar membuat antrian menjadi tidak kondusif. “Pak, sudah siang nih,” teriak salah seorang mahasiswa berbadan besar yang berdiri tak jauh dari belakang Zuan. Seorang panitia–yang sepertinya dosen–tidak mampu menenangkan ketidak-sabaran para mahasiswa baru.

Sebuah dorongan keras dari arah belakang dirasakan lagi oleh Zuan, dirinya yang tidak siap, langsung oleng dan jatuh menubruk seseorang di depannya; mahasiswi. "Ah, maaf, ga sengaja," ucap Zuan seraya menangkupkan kedua tanganya di depan dada.

Perempuan berwajah khas bumi parahiyangan dihadapan Zuan hanya tersenyum masam pertanda maklum. Dia memegang sikunya, sedikit terluka sepertinya.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Zuan saat melihat ekpresi kesakitan di wajah perempuan itu.

"Nggak apa-apa," ucap perempuan tersebut, kemudian dia beranjak saat gilirannya tes kesehatan tiba. Dia segera masuk ke dalam gedung dan diperiksa oleh petugas medis.

Zuan memandangi perempuan tersebut, sampai gilirannya tiba. Pertemuan yang sangat tidak sengaja, dengan cara yangcukup–tidak menyenangkan. "Cukup manis," gumam Zuan seraya tersenyum mengomentari paras mahasiswi tersebut.

***

Pernahkan kamu berpikir dan menyadari, bahwa tidak pernah ada yang bernama kebetulan. Tuhan melalui pertanda alam sering bermain-main dengan rekaan yang tak pernah bisa diduga. Sebuah pertemuan yang tidak sengaja bisa menjadi sebuah awal yang bahagia, walau terkadang menimbulkan luka di dada.
“Kamu masih ingat semua hal itu?” tanya Zuan pada kekasihnya, Zahra.

Suasana kafe cangkir cukup lengang, hanya ada beberapa mahasiswa–termasuk Zuan dan Zahra. Zahra menganggup pelan seraya menyesap ice mocchacino kesukaannya. “Bagaimana aku bisa melupakan pertemuan pertama denganmu. Pertama kalinya aku ke kampus ini, langsung sebuah luka yang kamu berikan,” ucap Zahra seraya tertawa kecil.“

Zuan ikut tertawa mendengar ucapan Zahra, perempuan berwajah khas bumi parahiyangan itu mengingatkannya kembali pada awal pertemuannya dengan dia. Insiden dorong mendorong yang membuat kesan pertama mereka bertemu tidak menyenangkan. “Haha, aku percaya tidak ada yang namanya kebetulan. Setiap kejadian selalu berkaitan, sebelum atau sesudahnya. Seperti saat ini, mungkin saja, kejadian tersebutlah yang membuatmu tetap mengingat pertemuan pertama denganku.”

Zahra menatap lekat kedua bola mata Zuan, di sana dia menemukan kelembutan dan kehangatan lelaki yang menjadi kekasihnya sejak empat tahun yang lalu itu. Dia tersenyum, dadanya menghangat. “Ya, aku pun demikian. Begitu banyak pertemuan dengan lelaki, dan pertemuan denganmu menjadi sesuatu yang memiliki ingatan tersendiri, di sini,” ucapnya menunjuk ke arah dadanya.

“Lalu, apa lagi yang kamu ingat tentang pertemuan kita?” tanya Zuan.

Zahra memejamkan matanya, seolah mencari cerita yang tersesak di dalam kepalanya untuk dibacakan kembali kepada Zuan. “Apa perlu kuceritakan semuanya padamu?” Zahra balik bertanya.

“Ceritakanlah, aku ingin mendengarnya, walau aku pun tak pernah melupakan setiap pertemuan kita.” Zuan menggenggam jemari Zahra, dan tatapannya membalas tatapan perempuan yang dicintainya itu. Seolah berbicara, kedua mata mereka berkomunikasi, dan senyuman hangat bermekaran di bibir mereka masing-masing.

Terkadang ada hal-hal yang tak perlu diucapkan agar kita mengerti. Cukup dengan sebuah anggukan, mimik wajah, kedipan mata atau bahkan sebuah ekspresi diam, mampu membuat kita mengerti dan memahami apa yang ingin disampaikan.

Zuan dan Zahra masih beradu pandang dalam diam. Serupa itulah cara mereka membicarakan kenangan. Tak perlu suara, sebab mata mereka dapat membaca cerita tentang kenangan mereka melalui tatapan. Seolah barisan aksara menjelma di kedua bola mata, dan mereka saling membacanya masing-masing.

Suasana di cafe cangkir mulai ramai, saat semakin banyak mahasiswa yang berpakaian sama dengan Zuan dan Zahra memasuki ruangan. Beberapa di antaranya memberikan lambaian tangan dan sapaan kepada Zuan dan Zahra, yang juga dibalas dengan lambaian tangan dan senyum oleh keduanya.

“Ah, ternyata mereka di sini.” Tetiba suara khas yang sangat familiar terdengar dari arah pintu masuk. “Hey, pasangan romantis, kalian tuh hobi banget yah menghilang dan ninggalin kita,” ucap Prita dengan suara melengkingnya yang khas. Dia datang bersama Rudi, Fathya dan Wira yang muncul di belakang Prita.

Zuan melepaskan tautan jemarinya di jemari lembut milik Zahra.  Bertautan tangan dihadapan orang lain merupakan hal yang tidak biasa di universitas islam ini. “Biarkan kami menikmati privasi ini,” ucap Zuan yang kemudian dilanjutkan dengan tawa kecil.

“Nggak terasa yah,” ucap Fathya yang sudah duduk di samping Zahra. Rudi dan Wira memilih duduk di samping Zuan.

“Ya, kadang waktu terasa begitu cepat terlewat.” Wira menjawab ucapan Fathya.

“Ah, aku bakal kengen kalian nih. Kangen kumpul di sini setiap jam makan siang,” ujar Prita dengan mimik wajah yang menyiratkan kesedihan. Prita yang selalu terlihat senang dan ceria merupakan perempuan yang sangat ekspresif, dia selalu mengekspresikan apa yang dirasakannya, baik saat senang dan sedih.

“Sudahlah, jangan merusak suasana bahagia saat ini. Kamu nggak kasihan dengan Rudi apa? Dia tuh sekarang lagi senang sebab bisa lulus tepat waktu, masa kamu bahas sesuatu yang mellow sih,” ucap Zahra sembari meledek Rudi.

Gelak tawa pecah di antara mereka semua. Pertemuan, pembicaraan dan gelak tawa seperti ini akan menjadi hal yang akan dirindukan oleh mereka berenam.

“Semoga kedekatan kita nggak menghilang setelah ini. Toga ini bukan sebuah tanda akhir kebersamaan kita lho.” Rudi menunjuk Toga yang dikenakannya. Hari ini menjadi hari yang membahagiakan bagi mereka dan teman-teman satu angkatan lainnya.

“Ya benar, setiap pertemuan dengan kalian selalu menyisakan cerita yang dengan senang hati akan kukenang. Terutama setiap pertemuan dengan kamu,” ucap Zuan khusus pada Zahra. “Tiap pertemuan denganmu adalah hal tak pernah kuinginkan untuk berakhir.”

“Hey, sudahlah, jangan juga merayu di saat seperti ini,” ucap Wira kepada Zuan dan Zahra, dan gelak tawa kembali pecah.

Setiap pertemuan memiliki kisahnya masing-masing. Selalu ada cerita yang tercipta, dan menjelma menjadi kenangan, entah bahagia ataupun duka. Dan bagi Zuan, setiap pertemuan dengan kawan-kawan dekatnya ini merupakan pertemuan yang tak pernah diinginkannya untuk berakhir selepas masa kuliah ini, dan khusus dengan Zahra, dia tak pernah terpikirkan untuk berhenti bertemu dengannya.

Sabtu, 19 April 2014

Sajak-Sajak Dini Hari

sumber gambar: google.com
 
Di sepertiga malam aku bertanya, apakah ada sebuah rindu yang mati sebelum sempat hidup, merekah, dan tumbuh menjadi segumpal duri dalam diri
Jika ada, seperti apakah rasanya?
Aku bertanya saat sepercik gelisah merambati perasaanku
Mencekik logikaku sehingga aku limbung dan pikiranku melambung; pada sebuah sajak sederhana

Satu: ketika cinta merekah ada sebuah duka yang diam-diam menunggu takdirnya
Dua: berkawanlah dengan airmata, jika memang jatuh cinta sedemikian indahnya
Tiga: tersenyumlah, jika airmata terlalu mahal untuk dibuang percuma
Empat: pada akhirnya cinta akan melahirkan rindu dan gelisah
Lima: ingatlah, sepahit apapun, cinta tetaplah hal yang begitu manis ketika masih merekah
Enam: jatuh cintalah lalu terluka, sebab itulah takdir yang paling pasti selain hidup dan mati yang harus dijalani manusia

Di sepertiga dini hari, pikiranku banyak bertanya tentang hal-hal yang begitu sederhana
Misalnya, sajak-sajak tentang cinta
Tentang rindu yang mati sebelum sempat hidup, merekah dan tumbuh menjadi sebuah duri dalam diri.

Versi SC:  di sini