Sabtu, 06 Agustus 2011

Tak Ada Air Mata

Ketika seseorang mengalami kesedihan yang amat mendalam, apakah airmata akan otomatis keluar dari kelopak mata? Ketika daya tak lagi kuasa mengubah keadaan, seseorang akan berpasrah dalam tangisan dan jeritan? Mungkin hal itu berlaku bagi orang lain, tapi tidak bagi gadis kecil yang berdiri di pinggir trotoar itu. Dia hanya berdiri dan bergeming menatap kenyataan yang terjadi di hadapannya.

Kedua bola mata kecilnya menjadi saksi saat kenyataan tidak bisa berubah hanya dengan sebuah jeritan. Keadaan tidak akan menjadi lebih bahagia hanya dengan sebuah tangisan dan deraian air mata. Tangan mungilnya mendekap erat boneka kelinci miliknya, seolah tak ingin kehilangan benda itu. Gadis kecil itu menyaksikan pertunjukkan dunia secara live dalam diam. Tidak ada komentar, tidak ada racauan dan tidak ada jeritan. Emosinya telah luruh. Hilang dan tak bersisa dalam tubuhnya. Dalam diam dia menyaksikan eksekusi berdarah. Saat ayahnya mati di keroyok warga saat berusaha mencuri tas seorang wanita. Dalam diam gadis kecil itu mengingat kembali perkataan Ayahnya dan kejadian yang tersaji beberapa menit yang lalu.

“Sayang, kamu tunggu disini yah. Bapak mau cari uang dulu, kamu lapar kan?” ucap lelaki berkemeja biru lusuh itu kepada anak perempuannya yang masih berusia 6 tahun itu.
Gadis itu hanya mengangguk kecil. Mulutnya diam terkunci. Satu tangannya memegangi perutnya yang sudah tidak diisi sejak tiga hari yang lalu. Sementara sebeleh tangannya yang lain mendekap erat boneka kelinci miliknya–benda terakhir miliknya–saat ayahnya berjalan menyeberangi jalan lalu berlari ke arah wanita muda berusia 25 tahunan dan merampas paksa tas yang menggantung dibahu wanita tersebut.

Tak ada air mata yang keluar dari kedua bola mata gadis kecil itu. Tidak ada tangis. Tidak ada jeritan. Kenyataan telah merampas semuanya. Rumah kardusnya sudah dibongkar paksa oleh orang-orang berseragam biru tua. Ayahnya–orang tua satu-satunya–di renggut nyawanya oleh orang-orang yang tidak paham keadaan yang dialaminya. Hanya boneka kelinci yang sudah lusuh yang masih dimiliki oleh gadis kecil itu, karena kenyataan telah mencuri hal yang dimilikinya ; rumah, ayah, teman-temannya bahkan tangisan dan air mata.

Selasa, 02 Agustus 2011

ini karena kita

aku memandangi hamparan pasir putih yang kuinjak saat ini, pasir putih yang indah. lalu mataku beralih ke arah depan, menatap deburan ombak kecil yang menabrak karang. memperhatikan warna air laut yang biru muda. aku tersenyum, hatiku gembira karena saat ini aku berada di tempat yang sangat menyenangkan. tenang, sejuk dan bersih tanpa ada banyak polusi dan sampah.

dari tempatku duduk, aku memperhatikan banyak wisatawan lainnya yang tertawa, bercanda dan berfoto-foto mengabadikan moment dan pemandangan indah yang disajikan oleh pulau ini. laut bewarna biru yang teduh, pasirnya yang bewarna putih bersih, karang-karang besar yang indah serta ombak-ombak kecil yang datang menghampiri bibir pantai. sungguh indah dan menenangkan.

"Yah, udah abis nih makanannya... buang dimana yah?" ucap seorang perempuan yang sepertinya wisatawan lokal -sepertiku- yang berdiri di belakangku.

"Itu tempat sampah tuh," ucap seorang lelaki yang sepertinya teman perempuan tersebut.

"Ahh... jauh. udah lah buang disini aja." Perempuan itu menjatuhkan sampah bungkusan plastik makanannya sembarangan, lalu dia kemudian pergi begitu saja tanpa memikirkan akibatnya.

aku berfikir dalam lamunanku. masih banyak tempat yang bersih dan alami, tapi semua itu hanya sementara jika orang-orang yang berada di tempat itu masih memelihara kemalasan untuk menjaga kebersihan. seperti saat ini. tempat ini bersih, tapi orang-orang seperti kami -wisatawan- yang membuat tempat wisata ini menjadi kotor. maafkan aku pasir pantai, terumbu karang, ombak yang indah, laut yang teduh. karena kami kalian menjadi ternoda.