Sabtu, 30 Maret 2013

Pulang

Aku menyapu pandang sekelilingku. Lalu lalang orang-orang dengan gembolan tas dan kardus yang terikat rapi menjejali pandangan mataku. Decit roda yang beradu dengan rel serta deru gemuruh mesin keret terdengar di telingaku. Di pojok selasar stasiun aku melihat beberapa penjual nasi bungkus yang menanti pembeli; penumpang kelaparan yang tak sempat membeli makan.

Aku menghela nafas. Stasiun ini beserta seluruh sensasinya sudah lama sekali tidak kurasakan, entah sudah berapa tahun terlewat.

Bukan artinya aku tidak pernah pergi ke stasiun dan merasakan keramaian orang-orang yang akan berangkat dan pergi ke kampung halaman. Hanya saja, stasiun ini begitu spesial bagiku, bagi masa laluku. Dulu aku pernah pergi dari sini, dan setelah sekian tahun berbilang, baru hari ini aku datang kembali kesini.

Kilas kenangan berkelebat satu per satu di kepalaku. Sore yang gelap, tanpa ada semburat senja yang mengantarkan kepergianku, lalu tangisan dari perempuan yang terkasih. Hanya sepasang duka dan airmata yang dihujankan oleh langit yang menemani langkahku saat memasuki gerbong kereta, yang membawaku pergi hingga tahun berbilang sepuluh.

Kini aku pulang. Hanya ingin pulang. Menemui orangtuaku di pemakaman; tanpa hal lain yang kuharapkan.

Di pintu keluar kulihat orang yang sama dengan orang yang melepaskanku dengan pelukan; yang tak pernah ingin kulepaskan. "Kinanthi?" ujarku saat melihat kekasihku yang dulu berdiri di pintu keluar. Ya, Kinanthi adalah kekasihku, dulu, sebelum keberangkatanku ke Jakarta menjadi tanda perpisahan yang menyakitkan. Tanpa kata-kata, tanpa aba-aba dan tanpa seremah tanda apapun, dia memutuskan untuk menikah dengan lelaki lain; dijodohkan. Dan kabar itu aku terima langsung darinya, melalui sepucuk surat berwarna merah jambu dan huruf-huruf lentik tulisannya menjadi pedang yang menguliti perasaanku. Setelah Kinanthi tidak ada lagi yang tersisa di kota kelahiranku itu. Kedua orangtuaku sudah tak ada dan aku tidak memiliki saudara kandung ataupun keluarga dekat lainnya. Sebab ayah dan ibu juga merupakan anak tunggal.

"Kenapa kau ada disini?" tanyaku tanpa dapat menyembunyikan keterkejutanku.

"Menunggumu." Kinanthi mengucapkannya dengan pelan namun tegas. Dia tidak sedang berbohong.

"Hahaha, kamu sedang bercanda?" ucapku dengan tawa yang kubuat-buat. Berharap dia memang sedang benar-benar bercanda. Dan aku pun tidak tahu dari mana dia tahu kalau aku akan pulang hari ini.

Kinanthi terdiam. Di sampingnya terdapat sebuah koper ukuran sedang. "Tidak."

"Lalu? Kenapa kamu membawa koper? Ingin berangkat kemana?"

"Bersamamu."

Aku mendelik. Kebingunganku semakin bertambah banyak. Kinanthi hanya berbicara sedikit. Hal yang selalu dilakukannya dulu saat dia sedang memendam banyak masalah. "Jangan bercanda. Kamu memiliki keluarga." Kinanthi kembali diam. Namun, jika Kinanthi masih seperti dulu, dia akan menjelaskan semua yang dirasakan dan dipikirkan olehnya; beserta airmata.

"Aku tidak bahagia. Maka dari itu, bawa aku bersamamu. Aku tidak memiliki anak dari lelaki bajingan itu. Aku tahu kamu akan pulang hari ini. Aku mengetahuinya dari Mas Joko. Aku menunggumu kembali. Maka itu, bawalah aku. Kemanapun. Tidak masalah," kata Kinanthi dengan terbata-bata. Seperti yang kuduga, isak airmata menyelingi ucapannya sesekali, dan membasahi pipinya yang dulu selalu kubelai.

Akhirnya kebingunganku terjawab. Mas Joko, tetangga kontrakkanku yang juga masih satu kampung denganku dan Kinanthi yang mengabarkan kepulanganku kepada perempuan yang ada dihadapanku ini. Dari Mas Joko pula aku sesekali mendengar kabar Kinanthi setiap dia mudik 6 bulan sekali.

Aku mendekatkan tubuh Kinanthi ke arahku. Kurasakan tubuhnya mengurus sejak terakhir aku memeluknya sepuluh tahun yang lalu. Sepertinya dia benar-benar tersiksa. Aku memeluknya dan Kinanthi menyambut pelukanku dengan erat. Hatiku menggetir; terasa pedih. "Maafkan aku Kinanthi," ucapku pelan di samping telinganya. "Aku tidak bisa membawamu. Aku pun sudah memiliki keluarga di Jakarta."

Tak ada kata-kata dari Kinanthi. Tangisnya berhenti walau airmata tak bosan mengalir dari sela mata dan membasahi pipinya. "Aku sudah tahu, Mas."

Aku diam memandangi wajah Kinanthi, mencoba menerka apa yang dipikirkannya melalui rona matanya yang menggelap. Kini, dia sudah melepaskan pelukannya. Dia mendesah pelan, jauh lebih tenang, seolah baru saja bebannya sudah ditumpahkan melalui pelukan tadi. "Maaf, Kinanthi." Suaraku melirih.

"Tidak apa, Mas. Itu sudah cukup. Aku pikir cinta itu masih ada, dan kamu masih seperti dulu, berani untuk melakukan apapun, asal bersamaku. Seperti yang kamu ucapkan dulu."

Hatiku memerih. Ucapan Kinanthi memaksaku mengingat kembali momen dimana aku berusaha memperjuangkan hubunganku dengannya. Aku, rakyat biasa yang bermimpi untuk mempersunting perempuan berdarah biru kental. "Ki...," ucapku tak selesai. Bahkan untuk menyebutkan namanya saja lidahku tidak sanggup menahan getir.

"Tidak apa, Mas Wirya. Aku tahu itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Kini aku akan kembali ke suamiku." Kinanthi terdiam sesaat, lalu mendekatkan tubuhnya lagi ke arahku. "Kini biarkan aku mengucapkan salam perpisahan yang tidak sempat aku ucapkan dulu. Kinanthi mengecup bibirku. "Aku mencintaimu, Wirya Gunawan."

Aku tertegun. Bibirku terkunci. Suaraku tertahan di kerongkongan dan lidahku kelu tak mampu menyilatkan kata-kata.

"Sekarang, aku pergi. Selamat tinggal." Kinanthi berbalik dan berjalan menjauhiku. Aku terdiam. Kali ini aku yang melihatnya pergi. Dan sepertinya akan sangat jauh. Mungkin ini adalah kesempatan terakhir aku bisa menemuinya.

Aku berjalan cepat setengah berlari ke arah Kinanthi. "Kinan!" seruku. Dia berhenti dan berbalik. Kali ini dia tersenyun ke arahku. Dadaku terasa sesak, sudah lama sekali aku merindukan senyuman itu. Kupeluk Kinanthi erat, seerat aku tidak ingin melepaskannya. Mataku memanas, dengan sekuat hati aku menahan diri agar tidak terisak.

"Terima kasih sudah dan masih mencintaiku, Mas. Itu sudah cukup bagiku." Kinanthi melepaskan tubuhnya dari pelukanku. Sekali lagi dia merekahkan senyumannya sebelum benar-benar pergi.

Sekali lagi terdengar decit suara roda kereta yang baru saja berhenti. Di riuhnya lalu lalang orang-orang di Stasiun Tugu, aku menjadi satu-satunya yang merasa sendiri. Baru saja, belahan hatiku yang lain, yang kukira sudah mati sejak lama hidup kembali. Namun sekarang dia meninggalkanku. Tidak mati, hanya saja pergi ke tempat yang tidak dapat kujangkau. Cinta saja kadang tidak cukup untuk bersama. Dan lebih menyakitkan saat mengetahui cinta itu masih ada, tapi tidak dapat dimiliki dan bersama kembali.

Kamis, 28 Maret 2013

Doa Dari Jemari Kesepian

Waktu berjalan, dan bilangan kembali terulang
Dalam langkah yang tak terasa semakin panjang
Dan kadang, tak disadari apa saja yang sudah dilewati oleh langkah-langkah yang garang
Begitu saja terlewat dan menjadi satu catatan tambahan di bilik kenangan yang semakin usang

Doa dan harapan yang terucapkan semoga menjadi prasasti, bukan buih
Terpahat, tertulis dan terangkai jelas dalam sanubari
Bukan hanya ucapan yang terlontar dan diaminkan. Lalu terlewat dan terhempas begitu saja
Kata adalah doa, dan doa adalah harapan, lalu, harapan adalah sebuah nyawa dalam kehidupan

Malam ini, jari-jari kurus ikut berdoa
Semoga, apa yang terlewat bukanlah hal sia-sia
Yang terlihat bukanlah kegelapan yang pernah terlewati beberapa waktu silam
Bukanlah jejak-jejak kumal yang kadang malu untuk terlihatkan oleh pasang mata ini

Aku pendosa ulung
Kadang lupa dimana 'akar' dimana aku bermula
Harapku;
Semoga Tuhan tak lupa akan diriku.


*PS: Selamat ulang tahun pemilik jari ini. Semoga yang tertuliskan adalah kebaikan
Jika pun bukan kebaikan. Setidaknya yang tertuliskan adalah hal yang membahagiakan dan tidak merugikan

Kamis, 21 Maret 2013

Taman

Di bawah langit senja dua pasang kaki kurus mengayun di ayunan yg berderak. Karat menguasai batang tubuh mainan itu. Usang. Nyaris tak ada lagi anak-anak yang menggunakannya. Benda itu sudah mulai dilupakan, kecuali oleh sepasang bocah yang mulai beranjak dewasa itu.

"Rasanya, sudah lama sekali kita melewatkan yang seperti ini," gumam Hera. Kakinya yang sebenarnya sudah dapat memijak tanah ditekuk, agar dia dapat mengayunkan tubuhnya. Pelan, dengan derak yang menyiratkan sebentar lagi robohnya tempat dia mengayunkan diri.

Gara tidak mengalihkan pandangannya dari arah matahari yang sudah tak lagi terlihat. Dalam pandangannya, mentari seolah melarilan diri dan tidak akan kembali lagi, di esok hari. Remaja lelaki yang sebentar lagi akan mengenakan seragam putih biru itu menelan ludahnya. Terasa pahit. Dia mencengkeram erat rantai ayunan, agar gelisah tidak membuatnya lepas kendali.

"Taman ini adalah kapsul waktu kita. Di sini, sejak 6 tahin lalu, kita banyak menghabiskan waktu untuk tertawa dan hanya tertawa. Seolah tidak asa ruang untuk bersedih." Hera berceloteh banyak saat Gara hanya diam. Perempuan yang lebih tua 2 tahun dari Gara itu seolah tidak ingin menghentikannya tentang celoteh masa lalu, saat mereka berdua sering menghabiskan tawa dan canda di taman ini; taman yang sebentar lagi mati.

Gara menggerakkan bibirnya pelan. Di wajahnya membayang jelas rona kesedihan. Dia adalah lelaki yang tak dapat menyembunyikan ekspresi, walaupun dia lelaki. "Sedih yah." Gara mendesah pelan. "Pertama-tama taman ini, terus nggak lama kemudian kamu."

Lelaki itu tidak melanjutkan ucapannya. Seolah tertiup oleh angin sore dan lenyap ditelan debu. Getar suaranya masih terasa jelas di telinga Hera. "Nggak usah bersedih. Bertemu dan berpisah adalah hal yang lumrah terjadi. Tapi yang terpenting adalah bagaimana caranya agar kita tidak bosan untuk menjaga kenangan yang sudah terjadi, dan kita tidak menjadi asing satu sama lain nantinya." Hera menghembuskan nafas berat sesaat setelah mengucapkan kata-kata itu. Dia menengadahkan kepalanya ke atas agar airmatanya tak tumpah. Bukankah baru saja dia berucap bahwa perpisahan dalah hal yang lumrah. Dilihatnya langit sudah menggelap dan bulan sudah mulai menampakkan wujudnya di sudut langit.

"Kapan kamu pindah?" tanya Gara dengan nada datar. "Mungkin aku bakal kangen suasana ini. Ngobrol berdua sampai suara adzan terdengar dan kita pulang ke rumah masing-masing." Sejenak Gara menjeda ucapannya. Hening menyusup sesaat sebelum dia mengehembuskan nafas kencang dan melanjutkan kata-kata. "Ah, tapi, mulai besok pun kita udah ga bisa lagi ngobrol disini." Suaranya terdengar getir.

Hera hanya mengangguk pelan. Dia beranjak dari bangku ayunannya. Berdiri dan membelai pelan rantai ayunan yang sudah berkarat penuh. "Udah adzan, waktunya pulang. Yuk." Hera berucap pelan. Dia menyulurkan tangan kepada Gara. Lelaki itu menyambutnya. "Aku berangkat lusa. Dan setelah itu aku nggak tahu akan kembali kesini atau nggak."

Gara dan Hera berjalan keluar dari taman dalam diam. Gara berjalan menunduk. Sepertinya kepala berat dipenuhi kesedihan. Saat keluar dari lingkup taman, Gara menolehkan pandangannya kembali ke arah taman. Matanya menatap sebuah papan pengumuman yang ditulis dengan huruf tebal dan jelas. TAMAN INI AKAN DIBONGKAR. Di papan tersebut tertera jelas tanggal pembongkarannya yang jatuh pada hari esok. Hatinya bergemuruh. Kehilangan dua hal yang selalu ada di kesehariannya selama 6 tahun terakhir membuatnya merasakan kesedihan yang besar. Satu kehilangan adalah biasa, bila dua adalah duka.

Sabtu, 16 Maret 2013

Orang Yang Terlupakan

Malam ini hujan turun kembali. Aku-seperti biasa-memeluk diriku sendiri. Saat dingin menyeruak, menggigit kulit tipisku dengan kesedihan. Untungnya aku sudah terbiasa sehingga tak merasa risih sekalipun.

Di beranda rumah seseorang-yang bahkan tidak kutahu siapa pemiliknya-aku sesekali menengadahkan tangan. Merasakan rintik hujan yang kadang hampir membuatku mati. Selembar kain usang bermotif kotak-yang mungkin kalian sebut sebagai sarung-menemaniku selalu di tiap malam. Kain ini adalah yang terbaik yang kupunya-aku enggan menyebutnya sebagai satu-satunya. Beberapa bagian sobek dan terlihat lusuh, tapi inilah yang aku miliki.

Aku tertawa sesekali, walau tak tahu pasti apa yang aku tertawai. Hanya saja, aku merasa bahagia saat tertawa. Apakah untuk tertawa perlu sebuah alasan? Aku rasa tidak. Orang-orang memandangku aneh sebab kebiasaanku tertawa di saat yang tidak tepat-menurut mereka. Aku tak peduli. Menurutku, malah orang-oranng yang terlihat aneh. Mereka, seperti lupa definisi bahagia, sehingga untuk tertawa pun susah; memerlukan sebuah alasan yang logis. Ah, mungkin mereka juga lupa bahwa tidak semua dapat dilogikakan. Bahagia itu mutlak urusan hati, bukan pikiran. Bila hati tidak bahagia, niscaya, pikiran pun tak akan pernah mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Malam ini hujan terlihat tidak akan berhenti dalam waktu yang sebentar. Itu artinya aku akan lebih lama menemani kesedihan sang malam. Dan waktu akan terasa lebih panjang. Saat merasakan kesedihan, waktu akan terasa melambat, dan saat merasa bahagia, waktu terasa lebih cepat. Selalu seperti itu, seolah, kita diharuskan belajar untuk lebih banyak merasakan kesedihan daripada kebahagiaan. Dahulu, dahulu sekali, aku sering mendengar wejangan 'bahagia itu mahal' dari beberapa motivator yang sering kudatangi acara. Mereka dengan menggebu menjelaskan konsep bahagia dari berbagai sudut pandang dan keadaan. Begitu rumit.

Konsep bahagia itu sederhana, yaitu nikmati apa yang kamu punya dan miliki. Tapi terkadang, apa yang sudah ada terasa tidaklah cukup. Ciri khas manusia pada umumnya.

Aku beranjak, dan berjalan menyusuri jalan yang lengang. Hanya ada lampu jalan yang bersinar redup seolah enggan untuk menyala, beberapa pasang lelaki yang sibuk memproduksi asap dari mulutnya dan wanita yang sibuk mempertebal wajahnya dengan bubuk penggoda, untuk menarik perhatian lelaki kesepian yang tak tahan digoda oleh dingin malam.

Aku tertawa lagi. Hanya tertawa tanpa memikirkan apa yang aku tertawai. Dan seperti biasa, berpasang mata menghujamkan pandangannya padaku; lelaki dengan kain sarung compang camping, baju lusuh dan rambut awut-awutan kering sebab tak pernah dikeramasi sibuk membawa beberapa potong kardus sebagai alas tidurku nanti. Mereka menutup hidung saat aku lewat, dan memandang jijik, seolah aku adalah kotoran berjalan. Aku kembali tertawa. Menertawakan dunia yang sudah mulai tak waras.