Kamis, 21 Maret 2013

Taman

Di bawah langit senja dua pasang kaki kurus mengayun di ayunan yg berderak. Karat menguasai batang tubuh mainan itu. Usang. Nyaris tak ada lagi anak-anak yang menggunakannya. Benda itu sudah mulai dilupakan, kecuali oleh sepasang bocah yang mulai beranjak dewasa itu.

"Rasanya, sudah lama sekali kita melewatkan yang seperti ini," gumam Hera. Kakinya yang sebenarnya sudah dapat memijak tanah ditekuk, agar dia dapat mengayunkan tubuhnya. Pelan, dengan derak yang menyiratkan sebentar lagi robohnya tempat dia mengayunkan diri.

Gara tidak mengalihkan pandangannya dari arah matahari yang sudah tak lagi terlihat. Dalam pandangannya, mentari seolah melarilan diri dan tidak akan kembali lagi, di esok hari. Remaja lelaki yang sebentar lagi akan mengenakan seragam putih biru itu menelan ludahnya. Terasa pahit. Dia mencengkeram erat rantai ayunan, agar gelisah tidak membuatnya lepas kendali.

"Taman ini adalah kapsul waktu kita. Di sini, sejak 6 tahin lalu, kita banyak menghabiskan waktu untuk tertawa dan hanya tertawa. Seolah tidak asa ruang untuk bersedih." Hera berceloteh banyak saat Gara hanya diam. Perempuan yang lebih tua 2 tahun dari Gara itu seolah tidak ingin menghentikannya tentang celoteh masa lalu, saat mereka berdua sering menghabiskan tawa dan canda di taman ini; taman yang sebentar lagi mati.

Gara menggerakkan bibirnya pelan. Di wajahnya membayang jelas rona kesedihan. Dia adalah lelaki yang tak dapat menyembunyikan ekspresi, walaupun dia lelaki. "Sedih yah." Gara mendesah pelan. "Pertama-tama taman ini, terus nggak lama kemudian kamu."

Lelaki itu tidak melanjutkan ucapannya. Seolah tertiup oleh angin sore dan lenyap ditelan debu. Getar suaranya masih terasa jelas di telinga Hera. "Nggak usah bersedih. Bertemu dan berpisah adalah hal yang lumrah terjadi. Tapi yang terpenting adalah bagaimana caranya agar kita tidak bosan untuk menjaga kenangan yang sudah terjadi, dan kita tidak menjadi asing satu sama lain nantinya." Hera menghembuskan nafas berat sesaat setelah mengucapkan kata-kata itu. Dia menengadahkan kepalanya ke atas agar airmatanya tak tumpah. Bukankah baru saja dia berucap bahwa perpisahan dalah hal yang lumrah. Dilihatnya langit sudah menggelap dan bulan sudah mulai menampakkan wujudnya di sudut langit.

"Kapan kamu pindah?" tanya Gara dengan nada datar. "Mungkin aku bakal kangen suasana ini. Ngobrol berdua sampai suara adzan terdengar dan kita pulang ke rumah masing-masing." Sejenak Gara menjeda ucapannya. Hening menyusup sesaat sebelum dia mengehembuskan nafas kencang dan melanjutkan kata-kata. "Ah, tapi, mulai besok pun kita udah ga bisa lagi ngobrol disini." Suaranya terdengar getir.

Hera hanya mengangguk pelan. Dia beranjak dari bangku ayunannya. Berdiri dan membelai pelan rantai ayunan yang sudah berkarat penuh. "Udah adzan, waktunya pulang. Yuk." Hera berucap pelan. Dia menyulurkan tangan kepada Gara. Lelaki itu menyambutnya. "Aku berangkat lusa. Dan setelah itu aku nggak tahu akan kembali kesini atau nggak."

Gara dan Hera berjalan keluar dari taman dalam diam. Gara berjalan menunduk. Sepertinya kepala berat dipenuhi kesedihan. Saat keluar dari lingkup taman, Gara menolehkan pandangannya kembali ke arah taman. Matanya menatap sebuah papan pengumuman yang ditulis dengan huruf tebal dan jelas. TAMAN INI AKAN DIBONGKAR. Di papan tersebut tertera jelas tanggal pembongkarannya yang jatuh pada hari esok. Hatinya bergemuruh. Kehilangan dua hal yang selalu ada di kesehariannya selama 6 tahun terakhir membuatnya merasakan kesedihan yang besar. Satu kehilangan adalah biasa, bila dua adalah duka.

1 komentar:

  1. Cerpennya asyik, bikin pengin baca dari awal sampai akhir. Cuma dialog itu terlalu advance buat anak SD yang baru mau masuk SMP. Dari pemilihan kata maupun dari segi pemikirannya. Anak-anak kayaknya belum semelankolis dan seromantis itu deh...
    Dan anak cowok seusia itu... lebih memilih cari mainan baru daripada menangisi taman.
    Terus, penggambaran tamannya, sejauh apa taman itu berkesan buat mereka, sepenting apa, belum terdeskripsikan secara jelas. Kalau misalnya diceritain mereka ngapain aja di situ, nemu apa aja di sana, ada kejadian apa -- selain sekadar nulis kalau mereka main dan ngobrol -- bakalan lebih nyess lagi. Si pembaca bakal ikut ngerasa kehilangan.
    Menurutku lhooo :p

    BalasHapus