Sabtu, 16 Maret 2013

Orang Yang Terlupakan

Malam ini hujan turun kembali. Aku-seperti biasa-memeluk diriku sendiri. Saat dingin menyeruak, menggigit kulit tipisku dengan kesedihan. Untungnya aku sudah terbiasa sehingga tak merasa risih sekalipun.

Di beranda rumah seseorang-yang bahkan tidak kutahu siapa pemiliknya-aku sesekali menengadahkan tangan. Merasakan rintik hujan yang kadang hampir membuatku mati. Selembar kain usang bermotif kotak-yang mungkin kalian sebut sebagai sarung-menemaniku selalu di tiap malam. Kain ini adalah yang terbaik yang kupunya-aku enggan menyebutnya sebagai satu-satunya. Beberapa bagian sobek dan terlihat lusuh, tapi inilah yang aku miliki.

Aku tertawa sesekali, walau tak tahu pasti apa yang aku tertawai. Hanya saja, aku merasa bahagia saat tertawa. Apakah untuk tertawa perlu sebuah alasan? Aku rasa tidak. Orang-orang memandangku aneh sebab kebiasaanku tertawa di saat yang tidak tepat-menurut mereka. Aku tak peduli. Menurutku, malah orang-oranng yang terlihat aneh. Mereka, seperti lupa definisi bahagia, sehingga untuk tertawa pun susah; memerlukan sebuah alasan yang logis. Ah, mungkin mereka juga lupa bahwa tidak semua dapat dilogikakan. Bahagia itu mutlak urusan hati, bukan pikiran. Bila hati tidak bahagia, niscaya, pikiran pun tak akan pernah mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Malam ini hujan terlihat tidak akan berhenti dalam waktu yang sebentar. Itu artinya aku akan lebih lama menemani kesedihan sang malam. Dan waktu akan terasa lebih panjang. Saat merasakan kesedihan, waktu akan terasa melambat, dan saat merasa bahagia, waktu terasa lebih cepat. Selalu seperti itu, seolah, kita diharuskan belajar untuk lebih banyak merasakan kesedihan daripada kebahagiaan. Dahulu, dahulu sekali, aku sering mendengar wejangan 'bahagia itu mahal' dari beberapa motivator yang sering kudatangi acara. Mereka dengan menggebu menjelaskan konsep bahagia dari berbagai sudut pandang dan keadaan. Begitu rumit.

Konsep bahagia itu sederhana, yaitu nikmati apa yang kamu punya dan miliki. Tapi terkadang, apa yang sudah ada terasa tidaklah cukup. Ciri khas manusia pada umumnya.

Aku beranjak, dan berjalan menyusuri jalan yang lengang. Hanya ada lampu jalan yang bersinar redup seolah enggan untuk menyala, beberapa pasang lelaki yang sibuk memproduksi asap dari mulutnya dan wanita yang sibuk mempertebal wajahnya dengan bubuk penggoda, untuk menarik perhatian lelaki kesepian yang tak tahan digoda oleh dingin malam.

Aku tertawa lagi. Hanya tertawa tanpa memikirkan apa yang aku tertawai. Dan seperti biasa, berpasang mata menghujamkan pandangannya padaku; lelaki dengan kain sarung compang camping, baju lusuh dan rambut awut-awutan kering sebab tak pernah dikeramasi sibuk membawa beberapa potong kardus sebagai alas tidurku nanti. Mereka menutup hidung saat aku lewat, dan memandang jijik, seolah aku adalah kotoran berjalan. Aku kembali tertawa. Menertawakan dunia yang sudah mulai tak waras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar