Sabtu, 24 Oktober 2015

Seorang Lelaki Pemberani

Kita adalah sepasang punggung yang dipisahkan jarak
Lengan-lengan yang meronta, meraung dan mencakar rindu;
Mengutuk kesendirian

Katamu, kita adalah sepasang hati yang kuat saat saling mendekap
Namun, bagaimana bisa kau menganggapku seperti itu?
Setelah waktu berlalu, di kota yang sama, nyaliku tak pernah berani menggerakkan kakiku untuk menemuimu

Kita adalah sepasang hati yang kalah oleh rindu dan kobar perasaan-perasaan itu padam oleh jarak.

Jika nanti kamu kembali menemukan lelaki pemberani yang lain, maka kabarkan kepadaku berita bahagiamu lewat secarik surat undangan yang kau tuliskan namaku dan partner.

Jumat, 18 September 2015

Jika Suatu Hari Nanti

Jika suatu nanti kita berpisah
Maka beritahu aku
Hari di mana kamu merasa bahagia.

Jika lengan kita tak lagi saling memeluk
Beri tahu aku suatu hari nanti
Sanggupkah dia membahagiakanmu

Jika kau sudah tak lagi bersamaku
Mari kita berjumpa kembali
Dan melihat, siapa yang lebih tabah menanggung duka.

Sabtu, 01 Agustus 2015

Budaya Membaca Dapat Dipaksakan

Jika melihat fenomena terkini dunia perbukuan yang katanya lesu. Gue kembali berpikir, apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Kondisi ekonomi yang sedang lesu? Tim promosi dan pemasaran yang kurang maksimal? Kualitas tulisan menurun? atau minat membaca yang rendah?

Faktor-faktor di atas dapat terjadi semuanya atau bisa aja hanya salah satunya yang terjadi. Gue kali ini pengin menyampaikan beberapa unek-unek gue soal fakor yang terakhir. Ya, soal minat membaca yang rendah.

Gue bahas ini karena kemarin ketemu salah satu keponakan yang akhirnya baru cerita kalau sebenarnya dia suka banget baca novel, terutama novel detektif, sejarah dan thriller action. Ketika dia cerita seperti itu, gue seneng dengarnya, namun seketika senyum gue saat denger antusiasmenya terhadap bacaan harus terbentur oleh keadaan yang kurang lebih mirip dengan yang gue alami beberapa tahun yang lalu; orangtua menganggap beli novel/bacaan hanyalah sebuah pemborosan.

Menurut survey yang dibuat oleh banyak pihak mengenai minat baca, minat baca masyarakat Indonesia lebih rendah dibandingkan negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia. Dari beberapa hasil survey yang gue liat hasilnya sama. Menyedihkan.

Minat baca memang bisa tumbuh secara alami, tapi bisa juga dipaksakan untuk tumbuh kok. Peran orang-orang dewasa sangat berpengaruh terhadap tumbuhnya minat baca. Remaja (SMP atau SMA) umumnya memiliki minat baca dan antusiasme yang tinggi terhadap bacaan. Lihat saja bagaimana buku Raditya Dika sangat laris dan memiliki banyak penggemar. Atau novel bergenre Teenlit yang ditulis oleh Lexie Xu, Sitta Karina,  Luna Torasyngu, dll tidak pernah kehabisan pembaca remaja.

Sayangnya, walau minat baca remaja cukup tinggi, mereka tidak mempunyai kemampuan finansial yang cukup untuk dapat memenuhi hasrat membaca, kecuali memang mereka yang berasal dari keluarga yang secara finansial cukup kuat. Pembaca remaja tidak sama kondisi keuangannya dengan pembaca dewasa (tentu saja). Jika pembaca dewasa yang sudah memiliki penghasilan sendiri, dapat menyisihkan penghasilan mereka untuk membeli buku apa saja yang mau mereka baca. Hal ini tidak bisa dilakukan oleh pembaca remaja yang uang jajannya masih berasal dari orangtua.

Kasus yang terjadi pada salah satu keponakan gue sangat gue pahami. Dulu pun ketika gue masih sekolah dan belum berpenghasilan, gue beli novel cuma 1 judul dalam 1 bulan. Untuk menyiasati hasrat baca, akhirnya gua sama beberapa teman melakukan estafet pinjam meminjam novel. Cukup ribet tapi setidaknya itu cukup membantu untuk memenuhi hasrat membaca gue.

Nah maksud dari tulisannya ini sebenarnya, gue pengin berbagi kesadaran bagi orang dewasa lainnya untuk support orang-orang di sekitar kalian (minimal keluarga inti lah) yang memang memiliki minat baca yang kuat. Jika memang kalian punya adik atau keponakan yang suka membaca dan memang memiliki dana lebih, support mereka dengan membelikan (minimal meminjamkan) bacaan yang mereka inginkan. Jangan dilarang atau dihambat. Karena gue percaya, lebih banyak membaca akan lebih banyak tahu. Membaca bukan sebuah kesia-siaan dan belanja buku bukan sebuah pemborosan.


Kamis, 25 Juni 2015

Sekotak Awan Hujan Untuk Dia

Bus mulai berjalan pelan saat memasuki kawasan terminal. Aku terbangun dari tidur yang cukup nyenyak untuk sebuah perjalanan yang tidak sebentar. Orang-orang mulai berdiri dan mengambil barang bawaannya. Kupandangi satu per satu wajah penumpang yang terlihat lelah karena tak bisa tidur pulas, sama seperti yang kualami. Aku mengeluarkan sapu tangan yang ada di saku celana sebelah kanan dan mengusapkannya ke wajahku. Memang tidak membuat wajahku terlihat segar, namun setidaknya lebih baik daripada sebelumnya yang terlihat begitu kuyu saat aku mengaca pada layar ponselku.

Aku sengaja menunggu dan turun paling akhir, membiarkan orang-orang yang membawa banyak barang bawaan turun terlebih dahulu. Hal paling menyebalkan saat turun dari bis antar kota adalah ketika turun, dan ada saja orang yang tidak sabar lalu mendorong-dorong penumpang yang ada di depannya.

Kurogoh bagian bawah bangku, dan kuangkat sebuah kotak kaca yang sengaja kubawa dari kotaku. Satu-satunya benda bawaanku. Benda yang sengaja kubawa untuk Dia.

Beberapa orang menghambur ke arahku dan  menawariku tumpangan saat baru saja menjejakkan kaki di Terminal yang sudah kuakrabi. Aku tersenyum tipis dan mengangkat sebelah tangan sebagai tanda penolakan halus dan mereka mengerti tanpa perlu memaksa lebih lanjut. Kesalahan yang sering dilakukan oleh banyak orang dalam menghadapi situasi seperti ini adalah dengan melenggang acuh sehingga orang-orang tersebut memaksa dan tak jarang mengumpat karena tak ditanggapi.
Langit terlihat mendung siang ini. Matahari tidak tampak, padahal seharusnya saat ini dia tengah berada di tengah putaran rotasinya. Aku berdiri tak jauh dari bagian luar terminal, menunggu mobil angkutan umum yang akan membawaku ke rumah Dia. Sambil sesekali kupandangi isi kotak kaca yang aku timang sejak tadi. Semoga Dia suka, gumamku di dalam hati.

***

Aku memanggil dan melambai kepada Dia yang duduk di beranda atas. Hari sudah sore saat aku sudah berada di depan pintu rumah kontrakannya. “Hai,” sapaku singkat saat wajahnya muncul dari balik pintu.

“Kamu telat,” ujarnya ketus. Aku tertawa saat melihat bibirnya mengerucut menahan sebal.

Kupencet hidungnya, dan Dia menepis tanganku lalu mencubit pinggangku. “Hei, hati-hati, nanti kotak kaca ini pecah,” ucapku sambil meliukkan tubuh, menghindari jemarinya yang menarik kulit–lemak–pinggangku.

“Oke, naik dulu gih, aku mau ambil minum.” Dia menunjuk ke arah tangga yang ada di beranda, sementara dia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya dari dalam.

“Sirup lemon yah,” ucapku sebelum menjejalkan kaki ke anak tangga.

Aku menyusuri tangga besi yang melingkar, lalu duduk di bangku rotan yang ada di dekat jendela. Lalu dari dalam ruangan terdengar bunyi pintu terbuka. Dia keluar dari pintu tersebut sembari membawa nampan berisi satu teko sirup lemon dan dua buah gelas.

Beranda atas kontrakan Dia adalah tempat terbaik untuk melihat pemandangan langit. Tidak ada bangunan tinggi atau rumah berlantai banyak yang menghalangi pemandangan. Dari tempatku duduk saat ini, aku dan Dia dapat melihat dengan jelas senja yang tinggal setengah, akibat dicuri oleh seorang lelaki gila untuk diberikan kepada perempuan yang dia cintai.

“Kenapa kamu tertawa?” tanya Dia saat aku tergelak bila memikirkan soal senja tersebut.  Dulu aku menertawakan Sukab[1], lelaki gila yang melakukan kekonyolan ini. Dia menggunting senja lalu mengirimkannya kepada kekasihnya melalui pos. Namun, kini aku bisa mengerti mengapa lelaki itu melakukan hal tersebut.

Cinta itu buta, tepatnya membutakan logika. Setinggi apa pun pendidikanmu, selincah apa pun akalmu, jika seseorang telah jatuh cinta dalam artian sebenar-benarnya cinta–bukan perasaan yang sesaat singgah lalu ditinggalkan saat rasa bosan datang–yang orang itu pikirkan hanyalah bagaimana cara untuk membahagiakan orang dia cintai.

“Tidak apa-apa,” ucapku pelan menanggapi pertanyaan Dia. “Oh iya, ini aku bawakan sesuatu untukmu.” Aku menyorongkan kotak kaca yang kuletakkan di sampingku. “Gantung di sini saja. Jadi jika kamu bosan melihat senja yang tinggal setengah itu, kamu bisa memandangi ini kapan pun kamu mau,” ucapku saat segumpal awan kelabu dikeluarkan Dia dari dalam kotak kaca.

Sementara Dia sibuk mengatur posisi awan kelabu, aku memainkan ponselku dan melihat perkembangan di sosial media. Saat ini, dunia maya sedang gempar oleh berita mengenai hilangnya secuil awan hujan di Kota Hujan. Aku membacanya sekilas dan tersenyum, lalu menutup ponselku kembali.

“Semoga kamu suka ya, Putri Hujan,” ucapku kepadanya. Nama panggilan itu kusematkan kepada Dia, karena perempuan yang ada di hadapanku ini begitu menyukai hujan. Aku membawakan sekotak awan hujan karena di kota ini hujan belum juga turun. Padahal bulan Juni sudah hampir selesai. Hal ini membuat Dia agak kecewa, dan aku tidak mau mengecewakan orang yang kucintai ini.

“Terima kasih, Lelaki Matahari.” Aku tersenyum saat dia memanggilku seperti itu. Kata Dia, selain namaku yang arti Matahari, aku pun memiliki sifat yang sama seperti matahari. Selalu semangat. Aku mengakuinya, jika tidak bagaimana mungkin aku bisa bertahan untuk tetap mencintainya walau aku tau, dia lebih menyukai senja dan juga laki-laki yang mengaguminya.




[1] Tokoh dalam cerita Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma

Kamis, 28 Mei 2015

Catatan Untuk Sebuah Perayaan

Halo, Warung Blogger.

Selamat ulang tahun yang keempat!
Aku ingin menulis sebuah catatan kecil (anggaplah ini sebuah surat cinta) tentang betapa menyenangkannya bisa ikut turut serta dalam perayaan ulang tahun kamu yang dilaksanakan pada hari Minggu, 24 Mei 2015 kemarin.

Bersama Uni Dzalika
Sebagai warga baru yang masih sangat hijau mengenalmu, aku diajak oleh salah satu adminmu yang paling bawel, Uni Dzalika, untuk ikut serta hadir dalam sebuah perayaan kecil-kecilan untuk memperingati hari jadi kamu yang keempat. Dia berkata: "Ikut yah, pokoknya kamu harus ikut. Nanti bakal dikasih makan gratis menu Tomyum yang enak."

Akhirnya, berkat diiming-imingi akan mendapat Tomyam enak (yang benar-benar enak) aku mengiyakan ajakan tersebut. Berlokasi di Warung Tomyam yang terletak di Jombang, Ciputat, acara #4TahunWB dilaksanakan.

Foto saat makan siang.
sumber: @TomyamKelapa
Saat di acara, aku berkenalan dengan beberapa pengurus dan admin WB (kecuali Dzalika tentunya yang sudah aku kenal sejak satu tahun terakhir). Ada Mas Baha (selaku tuan rumah), Mbak Eva (eh atau Evi yah, aku lupa), lalu Nurri (yang pernah ketemu beberapa kali), dan admin lainnya yang maaf aku lupa namanya siapa.

Acara perayaan #4TahunWB berlangsung meriah dan seru. Walaupun yang hadir tidak terlalu banyak (jika dibandingkan anggota WB yang segambreng itu), namun acara perayaan ulang tahun tetap berjalan lancar dan menyenangkan. Sesi perkenalan anggota yang hadir, perkenalan admin dan pengurus WB, games, makan siang dan ditutup dengan sesi tukar kado. Tidak lupa para anggota yang hadir foto-foto bersama.

Secara keseluruhan acara berlangsung dengan baik. Sangat menyenangkan dan sangat mengenyangkan. Serius, Tomyam Kelapa nya enak. Buat yang penasaran, langsung kontak Kang Baha di @sobatbercahaya yah. Hehehe...
Tomyum Kelapa. Sumber: @Arief_Nurman
Akhir kata, aku mengucapkan terima kasih udah diajak, dijamu dan dikenalkan dengan teman-teman, admin dan pengurus WB. Semoga Warung Blogger makin besar bersamaan semakin banyaknya teman-teman blogger yang bergabung.

Oh iya, Kang Baha tanya, kritik dan catatan untuk evaluasi. Menurutku yang kurang dari acara perayaan #4TahunWB kemarin adalah kurang ramai. Teman-teman WB lainnya semoga banyak yang ikut di acara kopdar offline WB berikutnya.

Sekian. :)

Minggu, 01 Februari 2015

Ujian Membaca Puisi

"Waktu kalian 20 menit!" Aku berkata kepada murid-murid kelas 8 yang gelagapan. Raut wajah mereka terlihat kaget dan lelah. Aku tahu baru saja mereka ujian mata pelajaran Matematika tepat sebelum jam pelajaranku.

"Kalian harus menyiapkan puisi yang akan kalian baca. Puisinya boleh dibuat sendiri atau pakai puisi orang lain, yang penting kalian harus membaca puisi tersebut. Puisi yang dibuat sendiri akan mendapat nilai plus. Penilaian akan ditentukan oleh beberapa poin, utamanya pada cara membaca dan ekspresi saat membaca puisi.

"Oh iya, puisinya harus bertema tentang keluarga," ucapku menutup perintah.

Beberapa anak langsung menunduk dan berkutat pada kertas dan penanya masing-masing. Aku berkeliling dan melihat beberapa murid sudah mulai menulis puisi buatannya sendiri, sebagian lainnya membuka ponselnya dan membuka blog yang bersisi postingan beberapa puisi dari penyair canon.

Minggu ini, adalah minggu ujian di sekolah tempatku mengajar. Sebagai guru mata pelajaran Bahasa Indonesia aku memutuskan untuk mengambil nilai dari cara ujian praktik membaca puisi. Kadang aku merasa, puisi posisinya mulai tidak lagi dilihat dalam dunia penulisan di negeri ini. Puisi dipandang sebelah mata, padahal puisi posisinya sama seperti prosa, salah satu jalan menyuarakan isi hati dan pikiran. Bahkan oleh salah satu penulis senior negeri ini, dia berkata: ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Dalam hal ini pun termasuk puisi, bukan hanya prosa.

Aku menyukai puisi sejak kecil, ayahku suka menulis puisi, dan dia sering membacakan puisi-puisinya kepadaku sebelum aku tertidur. Ayahku selalu membacakan puisinya yang berisi tentang perlawanan. Bagi Ayah, puisi ialah jalan lain ketika suara-suara sudah banyak dibungkam.

Yak, 5 menit lagi. Nanti Ibu akan tunjuk secara acak siapa yang membaca terlebih dahulu." Beberapa anak mulai merapal dan menghafal puisi yang akan mereka bacakan di bangkunya masing-masing.

"Ibu Fitri!" teriak Nadia seraya mengacungkan jarinya. "Saya sudah siap," ucap salah satu murid favoritku. Dia adalah satu dari beberapa murid yang menonjol di pelajaranku.

Aku mengangguk dan Nadia segera beranjak dari bangkunya. Aku bersiap menggoreskan nilai di lembar yang sudah kupegang.

Nadia mulai membaca sebuah puisi yang tak memiliki judul. Mendengarnya mataku memerah basah, jemariku bergetar hingga mematahkan pena yang kugenggam.

Kalau nanti ibumu didatangi polisi
Menangislah sekuatmu
Biar tetangga kanan kiri datang
Dan mengira ada pencuri
Masuk ke rumah kita*

Tanpa sadar aku terisak saat mendengar bait-bait puisi itu dibacakan. Aku mengenang Ayahku. Mendadak aku merasa begitu rindu.


--------------------------------------------------------------------------------------------------------

* Puisi merupakan sebuah puisi dari Wiji Thukul kepada anaknya.

Kamis, 15 Januari 2015

Review: Sekilas Cerita Tentang Koala Kumal

Format:Soft Cover, Tanda Tangan
ISBN:0000768154
ISBN13:2010000768150
Tanggal Terbit:17 Januari 2015
Bahasa:Indonesia
Penerbit:GagasMedia
Dimensi:130 mm x 200 mm

Koala Kumal adalah buku terbarunya Raditya Dika. Siapa yang belum tau siapa Raditya Dika? Silahkan cek di sini kalau memang belum tau yah.

Nah jadi begini, sebagai salah satu dari sekian banyak orang yang 'war' dalam merebut kesempatan beli PO buku terbarunya dese, gua mau kasih beberapa review singkat mengenai buku ini. Iya WAR = Perang. Sebab, PO dengan hadiah 1 kaos ekslusif Koala Kumal ini awalnya hanya untuk 1000 pemesan pertama yg order dan bayar duluan. Dan lo tau kenapa ini gua bilang 'war'? Karena website bukabuku.com sebagai online bookstore yang nanganin proses PO Koala Kumal langsung down ketika pukul 00.01 (menit pertama) PO Koala Kumal dibuku! Dan dalam waktu 1 jam PO ditutup karena katanya sudah ada 1000 orang pemesan.

sumber: koleksinya Rido Arbain


Oke, mari kita mulai reviewnya:

Koala Kumal secara singkat adalah sebuah buku kumpulan cerita yang katanya merupakan pengalaman pribadinya Radit yang tentu saja nama tokoh asli dalam cerita ini sudah disamarkan.Seperti buku-buku Radit lainnya yang mengusung tema tertentu dalam setiap bukunya, di Koala Kumal ini secara menyeluruh Radit mengangkat tema Patah Hati. Patah hati di sini bukan hanya menyoal cinta saja, tapi juga patah hati pada hubungan persahabatan, patah hati pada kesan pertama dan tentu saja patah hati menyoal cinta.

Cerita pertama di Koala Kumal ini bercerita tentang masa kecil Radit dan pengalaman di bulan Ramadhan yang identik dengan petasan. Di bab ini menceritakan bagaimana rusaknya sebuah persahabatan hanya karena keegoisan masa kecil dan petasan. Sebuah pembuka yang sepertinya kurang mantap untuk sebuah buku komedi. Di bab ini lebih banyak sesuatu yang harus direnungkan alih-alih ditertawakan, namun, memang beberapa hal yang ditertawakan selalu berujung pada perenungan.

Cerita-cerita selanjutnya umumnya bercerita tentang patah hati yang berkaitan dengan sebuah hubungan: patah hati ke gebetan, patah hati pada kesan pertama dan bagian yang terbaiknya ada di bab Patah Hati terhebat. Yap, secara pribadi bab Patah Hati terhebat adalah bagian cerita terbaik di buku Koala Kumal ini. Bagian terbaik namun bukan bagian terlucu.

Sementara bab terakhir di buku Koala Kumal ini merupakan bab penutup yang manis. Sebuah sketsa yang berasal dari foto di bawah ini adalah sebuah rangkuman yang menjelaskan mengenai isi buku secara keseluruhan. Bab terakhir di buku Koala Kumal ini lebih dominan pada hal yang sangat filosofis dramatis.. Deskripsi yang menjelaskan sebuah kesimpulan: ketika kita kembali ke tempat lama, bisa jadi kita sudah merasa asing dengan tempat tersebut. Seolah sebuah quotes umum: time flies, people change, akan begitu terasa lekat saat buku ini selesai dibaca.
sumber: di sini


Secara pribadi, menurut gua, Koala Kumal ini adalah buku Radit yang bukan dikhususkan untuk pembaca baru. Iya, ini bukan buku yang sepertinya bisa dinikmati oleh orang-orang yang baru pertama kali baca karyanya Radit. Ini buku komedi yang tidak terlalu kental lagi mengenai unsur komedinya. Namun bagi gua yang baca bukunya Radit sejak awal, buku ini tetaplah sebuah buku khas dari Raditya Dika, buku yang gua percaya bahwa gua akan mendapatkan 'sesuatu' setelah menyelesaikan buku ini. Dan walau gua lebih banyak merenung daripada ketawa saat baca Koala Kumal ini tapi gua cukup puas. Penantian 3,5 tahun (sejak terakhir Manusia Setengah Salmon) terbayar tunai oleh buku ini. :)