"Waktu kalian 20 menit!" Aku berkata kepada murid-murid kelas 8 yang gelagapan. Raut wajah mereka terlihat kaget dan lelah. Aku tahu baru saja mereka ujian mata pelajaran Matematika tepat sebelum jam pelajaranku.
"Kalian harus menyiapkan puisi yang akan kalian baca. Puisinya boleh dibuat sendiri atau pakai puisi orang lain, yang penting kalian harus membaca puisi tersebut. Puisi yang dibuat sendiri akan mendapat nilai plus. Penilaian akan ditentukan oleh beberapa poin, utamanya pada cara membaca dan ekspresi saat membaca puisi.
"Oh iya, puisinya harus bertema tentang keluarga," ucapku menutup perintah.
Beberapa anak langsung menunduk dan berkutat pada kertas dan penanya masing-masing. Aku berkeliling dan melihat beberapa murid sudah mulai menulis puisi buatannya sendiri, sebagian lainnya membuka ponselnya dan membuka blog yang bersisi postingan beberapa puisi dari penyair canon.
Minggu ini, adalah minggu ujian di sekolah tempatku mengajar. Sebagai guru mata pelajaran Bahasa Indonesia aku memutuskan untuk mengambil nilai dari cara ujian praktik membaca puisi. Kadang aku merasa, puisi posisinya mulai tidak lagi dilihat dalam dunia penulisan di negeri ini. Puisi dipandang sebelah mata, padahal puisi posisinya sama seperti prosa, salah satu jalan menyuarakan isi hati dan pikiran. Bahkan oleh salah satu penulis senior negeri ini, dia berkata: ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Dalam hal ini pun termasuk puisi, bukan hanya prosa.
Aku menyukai puisi sejak kecil, ayahku suka menulis puisi, dan dia sering membacakan puisi-puisinya kepadaku sebelum aku tertidur. Ayahku selalu membacakan puisinya yang berisi tentang perlawanan. Bagi Ayah, puisi ialah jalan lain ketika suara-suara sudah banyak dibungkam.
Yak, 5 menit lagi. Nanti Ibu akan tunjuk secara acak siapa yang membaca terlebih dahulu." Beberapa anak mulai merapal dan menghafal puisi yang akan mereka bacakan di bangkunya masing-masing.
"Ibu Fitri!" teriak Nadia seraya mengacungkan jarinya. "Saya sudah siap," ucap salah satu murid favoritku. Dia adalah satu dari beberapa murid yang menonjol di pelajaranku.
Aku mengangguk dan Nadia segera beranjak dari bangkunya. Aku bersiap menggoreskan nilai di lembar yang sudah kupegang.
Nadia mulai membaca sebuah puisi yang tak memiliki judul. Mendengarnya mataku memerah basah, jemariku bergetar hingga mematahkan pena yang kugenggam.
Kalau nanti ibumu didatangi polisi
Menangislah sekuatmu
Biar tetangga kanan kiri datang
Dan mengira ada pencuri
Masuk ke rumah kita*
Tanpa sadar aku terisak saat mendengar bait-bait puisi itu dibacakan. Aku mengenang Ayahku. Mendadak aku merasa begitu rindu.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
* Puisi merupakan sebuah puisi dari Wiji Thukul kepada anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar