Sabtu, 01 Agustus 2015

Budaya Membaca Dapat Dipaksakan

Jika melihat fenomena terkini dunia perbukuan yang katanya lesu. Gue kembali berpikir, apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Kondisi ekonomi yang sedang lesu? Tim promosi dan pemasaran yang kurang maksimal? Kualitas tulisan menurun? atau minat membaca yang rendah?

Faktor-faktor di atas dapat terjadi semuanya atau bisa aja hanya salah satunya yang terjadi. Gue kali ini pengin menyampaikan beberapa unek-unek gue soal fakor yang terakhir. Ya, soal minat membaca yang rendah.

Gue bahas ini karena kemarin ketemu salah satu keponakan yang akhirnya baru cerita kalau sebenarnya dia suka banget baca novel, terutama novel detektif, sejarah dan thriller action. Ketika dia cerita seperti itu, gue seneng dengarnya, namun seketika senyum gue saat denger antusiasmenya terhadap bacaan harus terbentur oleh keadaan yang kurang lebih mirip dengan yang gue alami beberapa tahun yang lalu; orangtua menganggap beli novel/bacaan hanyalah sebuah pemborosan.

Menurut survey yang dibuat oleh banyak pihak mengenai minat baca, minat baca masyarakat Indonesia lebih rendah dibandingkan negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia. Dari beberapa hasil survey yang gue liat hasilnya sama. Menyedihkan.

Minat baca memang bisa tumbuh secara alami, tapi bisa juga dipaksakan untuk tumbuh kok. Peran orang-orang dewasa sangat berpengaruh terhadap tumbuhnya minat baca. Remaja (SMP atau SMA) umumnya memiliki minat baca dan antusiasme yang tinggi terhadap bacaan. Lihat saja bagaimana buku Raditya Dika sangat laris dan memiliki banyak penggemar. Atau novel bergenre Teenlit yang ditulis oleh Lexie Xu, Sitta Karina,  Luna Torasyngu, dll tidak pernah kehabisan pembaca remaja.

Sayangnya, walau minat baca remaja cukup tinggi, mereka tidak mempunyai kemampuan finansial yang cukup untuk dapat memenuhi hasrat membaca, kecuali memang mereka yang berasal dari keluarga yang secara finansial cukup kuat. Pembaca remaja tidak sama kondisi keuangannya dengan pembaca dewasa (tentu saja). Jika pembaca dewasa yang sudah memiliki penghasilan sendiri, dapat menyisihkan penghasilan mereka untuk membeli buku apa saja yang mau mereka baca. Hal ini tidak bisa dilakukan oleh pembaca remaja yang uang jajannya masih berasal dari orangtua.

Kasus yang terjadi pada salah satu keponakan gue sangat gue pahami. Dulu pun ketika gue masih sekolah dan belum berpenghasilan, gue beli novel cuma 1 judul dalam 1 bulan. Untuk menyiasati hasrat baca, akhirnya gua sama beberapa teman melakukan estafet pinjam meminjam novel. Cukup ribet tapi setidaknya itu cukup membantu untuk memenuhi hasrat membaca gue.

Nah maksud dari tulisannya ini sebenarnya, gue pengin berbagi kesadaran bagi orang dewasa lainnya untuk support orang-orang di sekitar kalian (minimal keluarga inti lah) yang memang memiliki minat baca yang kuat. Jika memang kalian punya adik atau keponakan yang suka membaca dan memang memiliki dana lebih, support mereka dengan membelikan (minimal meminjamkan) bacaan yang mereka inginkan. Jangan dilarang atau dihambat. Karena gue percaya, lebih banyak membaca akan lebih banyak tahu. Membaca bukan sebuah kesia-siaan dan belanja buku bukan sebuah pemborosan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar