Bus mulai berjalan pelan saat
memasuki kawasan terminal. Aku terbangun dari tidur yang cukup nyenyak untuk
sebuah perjalanan yang tidak sebentar. Orang-orang mulai berdiri dan mengambil
barang bawaannya. Kupandangi satu per satu wajah penumpang yang terlihat lelah
karena tak bisa tidur pulas, sama seperti yang kualami. Aku mengeluarkan sapu
tangan yang ada di saku celana sebelah kanan dan mengusapkannya ke wajahku.
Memang tidak membuat wajahku terlihat segar, namun setidaknya lebih baik
daripada sebelumnya yang terlihat begitu kuyu saat aku mengaca pada layar
ponselku.
Aku sengaja menunggu dan turun
paling akhir, membiarkan orang-orang yang membawa banyak barang bawaan turun
terlebih dahulu. Hal paling menyebalkan saat turun dari bis antar kota adalah
ketika turun, dan ada saja orang yang tidak sabar lalu mendorong-dorong
penumpang yang ada di depannya.
Kurogoh bagian bawah bangku, dan
kuangkat sebuah kotak kaca yang sengaja kubawa dari kotaku. Satu-satunya benda
bawaanku. Benda yang sengaja kubawa untuk Dia.
Beberapa orang menghambur ke
arahku dan menawariku tumpangan saat
baru saja menjejakkan kaki di Terminal yang sudah kuakrabi. Aku tersenyum tipis
dan mengangkat sebelah tangan sebagai tanda penolakan halus dan mereka mengerti
tanpa perlu memaksa lebih lanjut. Kesalahan yang sering dilakukan oleh banyak
orang dalam menghadapi situasi seperti ini adalah dengan melenggang acuh
sehingga orang-orang tersebut memaksa dan tak jarang mengumpat karena tak
ditanggapi.
Langit terlihat mendung siang
ini. Matahari tidak tampak, padahal seharusnya saat ini dia tengah berada di
tengah putaran rotasinya. Aku berdiri tak jauh dari bagian luar terminal,
menunggu mobil angkutan umum yang akan membawaku ke rumah Dia. Sambil sesekali
kupandangi isi kotak kaca yang aku timang sejak tadi. Semoga Dia suka, gumamku di dalam hati.
***
Aku memanggil dan melambai kepada
Dia yang duduk di beranda atas. Hari sudah sore saat aku sudah berada di depan
pintu rumah kontrakannya. “Hai,” sapaku singkat saat wajahnya muncul dari balik
pintu.
“Kamu telat,” ujarnya ketus. Aku
tertawa saat melihat bibirnya mengerucut menahan sebal.
Kupencet hidungnya, dan Dia
menepis tanganku lalu mencubit pinggangku. “Hei, hati-hati, nanti kotak kaca
ini pecah,” ucapku sambil meliukkan tubuh, menghindari jemarinya yang menarik
kulit–lemak–pinggangku.
“Oke, naik dulu gih, aku
mau ambil minum.” Dia menunjuk ke arah tangga yang ada di beranda,
sementara dia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya dari dalam.
“Sirup lemon yah,” ucapku sebelum
menjejalkan kaki ke anak tangga.
Aku menyusuri tangga besi yang
melingkar, lalu duduk di bangku rotan yang ada di dekat jendela. Lalu dari
dalam ruangan terdengar bunyi pintu terbuka. Dia keluar dari pintu tersebut
sembari membawa nampan berisi satu teko sirup lemon dan dua buah gelas.
Beranda atas kontrakan Dia adalah
tempat terbaik untuk melihat pemandangan langit. Tidak ada bangunan tinggi atau
rumah berlantai banyak yang menghalangi pemandangan. Dari tempatku duduk saat
ini, aku dan Dia dapat melihat dengan jelas senja yang tinggal setengah, akibat
dicuri oleh seorang lelaki gila untuk diberikan kepada perempuan yang dia
cintai.
“Kenapa kamu tertawa?” tanya Dia
saat aku tergelak bila memikirkan soal senja tersebut. Dulu aku menertawakan Sukab[1],
lelaki gila yang melakukan kekonyolan ini. Dia menggunting senja lalu
mengirimkannya kepada kekasihnya melalui pos. Namun, kini aku bisa mengerti
mengapa lelaki itu melakukan hal tersebut.
Cinta itu buta, tepatnya
membutakan logika. Setinggi apa pun pendidikanmu, selincah apa pun akalmu, jika
seseorang telah jatuh cinta dalam artian sebenar-benarnya cinta–bukan perasaan
yang sesaat singgah lalu ditinggalkan saat rasa bosan datang–yang orang itu
pikirkan hanyalah bagaimana cara untuk membahagiakan orang dia cintai.
“Tidak apa-apa,” ucapku pelan
menanggapi pertanyaan Dia. “Oh iya, ini aku bawakan sesuatu untukmu.” Aku
menyorongkan kotak kaca yang kuletakkan di sampingku. “Gantung di sini saja.
Jadi jika kamu bosan melihat senja yang tinggal setengah itu, kamu bisa memandangi
ini kapan pun kamu mau,” ucapku saat segumpal awan kelabu dikeluarkan Dia dari
dalam kotak kaca.
Sementara Dia sibuk mengatur
posisi awan kelabu, aku memainkan ponselku dan melihat perkembangan di sosial
media. Saat ini, dunia maya sedang gempar oleh berita mengenai hilangnya secuil
awan hujan di Kota Hujan. Aku membacanya sekilas dan tersenyum, lalu menutup
ponselku kembali.
“Semoga kamu suka ya, Putri
Hujan,” ucapku kepadanya. Nama panggilan itu kusematkan kepada Dia, karena
perempuan yang ada di hadapanku ini begitu menyukai hujan. Aku membawakan
sekotak awan hujan karena di kota ini hujan belum juga turun. Padahal bulan
Juni sudah hampir selesai. Hal ini membuat Dia agak kecewa, dan aku tidak mau
mengecewakan orang yang kucintai ini.
“Terima kasih, Lelaki Matahari.”
Aku tersenyum saat dia memanggilku seperti itu. Kata Dia, selain namaku yang
arti Matahari, aku pun memiliki sifat yang sama seperti matahari. Selalu
semangat. Aku mengakuinya, jika tidak bagaimana mungkin aku bisa bertahan untuk
tetap mencintainya walau aku tau, dia lebih menyukai senja dan juga laki-laki
yang mengaguminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar