Kamis, 25 Juni 2015

Sekotak Awan Hujan Untuk Dia

Bus mulai berjalan pelan saat memasuki kawasan terminal. Aku terbangun dari tidur yang cukup nyenyak untuk sebuah perjalanan yang tidak sebentar. Orang-orang mulai berdiri dan mengambil barang bawaannya. Kupandangi satu per satu wajah penumpang yang terlihat lelah karena tak bisa tidur pulas, sama seperti yang kualami. Aku mengeluarkan sapu tangan yang ada di saku celana sebelah kanan dan mengusapkannya ke wajahku. Memang tidak membuat wajahku terlihat segar, namun setidaknya lebih baik daripada sebelumnya yang terlihat begitu kuyu saat aku mengaca pada layar ponselku.

Aku sengaja menunggu dan turun paling akhir, membiarkan orang-orang yang membawa banyak barang bawaan turun terlebih dahulu. Hal paling menyebalkan saat turun dari bis antar kota adalah ketika turun, dan ada saja orang yang tidak sabar lalu mendorong-dorong penumpang yang ada di depannya.

Kurogoh bagian bawah bangku, dan kuangkat sebuah kotak kaca yang sengaja kubawa dari kotaku. Satu-satunya benda bawaanku. Benda yang sengaja kubawa untuk Dia.

Beberapa orang menghambur ke arahku dan  menawariku tumpangan saat baru saja menjejakkan kaki di Terminal yang sudah kuakrabi. Aku tersenyum tipis dan mengangkat sebelah tangan sebagai tanda penolakan halus dan mereka mengerti tanpa perlu memaksa lebih lanjut. Kesalahan yang sering dilakukan oleh banyak orang dalam menghadapi situasi seperti ini adalah dengan melenggang acuh sehingga orang-orang tersebut memaksa dan tak jarang mengumpat karena tak ditanggapi.
Langit terlihat mendung siang ini. Matahari tidak tampak, padahal seharusnya saat ini dia tengah berada di tengah putaran rotasinya. Aku berdiri tak jauh dari bagian luar terminal, menunggu mobil angkutan umum yang akan membawaku ke rumah Dia. Sambil sesekali kupandangi isi kotak kaca yang aku timang sejak tadi. Semoga Dia suka, gumamku di dalam hati.

***

Aku memanggil dan melambai kepada Dia yang duduk di beranda atas. Hari sudah sore saat aku sudah berada di depan pintu rumah kontrakannya. “Hai,” sapaku singkat saat wajahnya muncul dari balik pintu.

“Kamu telat,” ujarnya ketus. Aku tertawa saat melihat bibirnya mengerucut menahan sebal.

Kupencet hidungnya, dan Dia menepis tanganku lalu mencubit pinggangku. “Hei, hati-hati, nanti kotak kaca ini pecah,” ucapku sambil meliukkan tubuh, menghindari jemarinya yang menarik kulit–lemak–pinggangku.

“Oke, naik dulu gih, aku mau ambil minum.” Dia menunjuk ke arah tangga yang ada di beranda, sementara dia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya dari dalam.

“Sirup lemon yah,” ucapku sebelum menjejalkan kaki ke anak tangga.

Aku menyusuri tangga besi yang melingkar, lalu duduk di bangku rotan yang ada di dekat jendela. Lalu dari dalam ruangan terdengar bunyi pintu terbuka. Dia keluar dari pintu tersebut sembari membawa nampan berisi satu teko sirup lemon dan dua buah gelas.

Beranda atas kontrakan Dia adalah tempat terbaik untuk melihat pemandangan langit. Tidak ada bangunan tinggi atau rumah berlantai banyak yang menghalangi pemandangan. Dari tempatku duduk saat ini, aku dan Dia dapat melihat dengan jelas senja yang tinggal setengah, akibat dicuri oleh seorang lelaki gila untuk diberikan kepada perempuan yang dia cintai.

“Kenapa kamu tertawa?” tanya Dia saat aku tergelak bila memikirkan soal senja tersebut.  Dulu aku menertawakan Sukab[1], lelaki gila yang melakukan kekonyolan ini. Dia menggunting senja lalu mengirimkannya kepada kekasihnya melalui pos. Namun, kini aku bisa mengerti mengapa lelaki itu melakukan hal tersebut.

Cinta itu buta, tepatnya membutakan logika. Setinggi apa pun pendidikanmu, selincah apa pun akalmu, jika seseorang telah jatuh cinta dalam artian sebenar-benarnya cinta–bukan perasaan yang sesaat singgah lalu ditinggalkan saat rasa bosan datang–yang orang itu pikirkan hanyalah bagaimana cara untuk membahagiakan orang dia cintai.

“Tidak apa-apa,” ucapku pelan menanggapi pertanyaan Dia. “Oh iya, ini aku bawakan sesuatu untukmu.” Aku menyorongkan kotak kaca yang kuletakkan di sampingku. “Gantung di sini saja. Jadi jika kamu bosan melihat senja yang tinggal setengah itu, kamu bisa memandangi ini kapan pun kamu mau,” ucapku saat segumpal awan kelabu dikeluarkan Dia dari dalam kotak kaca.

Sementara Dia sibuk mengatur posisi awan kelabu, aku memainkan ponselku dan melihat perkembangan di sosial media. Saat ini, dunia maya sedang gempar oleh berita mengenai hilangnya secuil awan hujan di Kota Hujan. Aku membacanya sekilas dan tersenyum, lalu menutup ponselku kembali.

“Semoga kamu suka ya, Putri Hujan,” ucapku kepadanya. Nama panggilan itu kusematkan kepada Dia, karena perempuan yang ada di hadapanku ini begitu menyukai hujan. Aku membawakan sekotak awan hujan karena di kota ini hujan belum juga turun. Padahal bulan Juni sudah hampir selesai. Hal ini membuat Dia agak kecewa, dan aku tidak mau mengecewakan orang yang kucintai ini.

“Terima kasih, Lelaki Matahari.” Aku tersenyum saat dia memanggilku seperti itu. Kata Dia, selain namaku yang arti Matahari, aku pun memiliki sifat yang sama seperti matahari. Selalu semangat. Aku mengakuinya, jika tidak bagaimana mungkin aku bisa bertahan untuk tetap mencintainya walau aku tau, dia lebih menyukai senja dan juga laki-laki yang mengaguminya.




[1] Tokoh dalam cerita Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar