Aku menyapu pandang sekelilingku. Lalu lalang orang-orang dengan gembolan tas dan kardus yang terikat rapi menjejali pandangan mataku. Decit roda yang beradu dengan rel serta deru gemuruh mesin keret terdengar di telingaku. Di pojok selasar stasiun aku melihat beberapa penjual nasi bungkus yang menanti pembeli; penumpang kelaparan yang tak sempat membeli makan.
Aku menghela nafas. Stasiun ini beserta seluruh sensasinya sudah lama sekali tidak kurasakan, entah sudah berapa tahun terlewat.
Bukan artinya aku tidak pernah pergi ke stasiun dan merasakan keramaian orang-orang yang akan berangkat dan pergi ke kampung halaman. Hanya saja, stasiun ini begitu spesial bagiku, bagi masa laluku. Dulu aku pernah pergi dari sini, dan setelah sekian tahun berbilang, baru hari ini aku datang kembali kesini.
Kilas kenangan berkelebat satu per satu di kepalaku. Sore yang gelap, tanpa ada semburat senja yang mengantarkan kepergianku, lalu tangisan dari perempuan yang terkasih. Hanya sepasang duka dan airmata yang dihujankan oleh langit yang menemani langkahku saat memasuki gerbong kereta, yang membawaku pergi hingga tahun berbilang sepuluh.
Kini aku pulang. Hanya ingin pulang. Menemui orangtuaku di pemakaman; tanpa hal lain yang kuharapkan.
Di pintu keluar kulihat orang yang sama dengan orang yang melepaskanku dengan pelukan; yang tak pernah ingin kulepaskan. "Kinanthi?" ujarku saat melihat kekasihku yang dulu berdiri di pintu keluar. Ya, Kinanthi adalah kekasihku, dulu, sebelum keberangkatanku ke Jakarta menjadi tanda perpisahan yang menyakitkan. Tanpa kata-kata, tanpa aba-aba dan tanpa seremah tanda apapun, dia memutuskan untuk menikah dengan lelaki lain; dijodohkan. Dan kabar itu aku terima langsung darinya, melalui sepucuk surat berwarna merah jambu dan huruf-huruf lentik tulisannya menjadi pedang yang menguliti perasaanku. Setelah Kinanthi tidak ada lagi yang tersisa di kota kelahiranku itu. Kedua orangtuaku sudah tak ada dan aku tidak memiliki saudara kandung ataupun keluarga dekat lainnya. Sebab ayah dan ibu juga merupakan anak tunggal.
"Kenapa kau ada disini?" tanyaku tanpa dapat menyembunyikan keterkejutanku.
"Menunggumu." Kinanthi mengucapkannya dengan pelan namun tegas. Dia tidak sedang berbohong.
"Hahaha, kamu sedang bercanda?" ucapku dengan tawa yang kubuat-buat. Berharap dia memang sedang benar-benar bercanda. Dan aku pun tidak tahu dari mana dia tahu kalau aku akan pulang hari ini.
Kinanthi terdiam. Di sampingnya terdapat sebuah koper ukuran sedang. "Tidak."
"Lalu? Kenapa kamu membawa koper? Ingin berangkat kemana?"
"Bersamamu."
Aku mendelik. Kebingunganku semakin bertambah banyak. Kinanthi hanya berbicara sedikit. Hal yang selalu dilakukannya dulu saat dia sedang memendam banyak masalah. "Jangan bercanda. Kamu memiliki keluarga." Kinanthi kembali diam. Namun, jika Kinanthi masih seperti dulu, dia akan menjelaskan semua yang dirasakan dan dipikirkan olehnya; beserta airmata.
"Aku tidak bahagia. Maka dari itu, bawa aku bersamamu. Aku tidak memiliki anak dari lelaki bajingan itu. Aku tahu kamu akan pulang hari ini. Aku mengetahuinya dari Mas Joko. Aku menunggumu kembali. Maka itu, bawalah aku. Kemanapun. Tidak masalah," kata Kinanthi dengan terbata-bata. Seperti yang kuduga, isak airmata menyelingi ucapannya sesekali, dan membasahi pipinya yang dulu selalu kubelai.
Akhirnya kebingunganku terjawab. Mas Joko, tetangga kontrakkanku yang juga masih satu kampung denganku dan Kinanthi yang mengabarkan kepulanganku kepada perempuan yang ada dihadapanku ini. Dari Mas Joko pula aku sesekali mendengar kabar Kinanthi setiap dia mudik 6 bulan sekali.
Aku mendekatkan tubuh Kinanthi ke arahku. Kurasakan tubuhnya mengurus sejak terakhir aku memeluknya sepuluh tahun yang lalu. Sepertinya dia benar-benar tersiksa. Aku memeluknya dan Kinanthi menyambut pelukanku dengan erat. Hatiku menggetir; terasa pedih. "Maafkan aku Kinanthi," ucapku pelan di samping telinganya. "Aku tidak bisa membawamu. Aku pun sudah memiliki keluarga di Jakarta."
Tak ada kata-kata dari Kinanthi. Tangisnya berhenti walau airmata tak bosan mengalir dari sela mata dan membasahi pipinya. "Aku sudah tahu, Mas."
Aku diam memandangi wajah Kinanthi, mencoba menerka apa yang dipikirkannya melalui rona matanya yang menggelap. Kini, dia sudah melepaskan pelukannya. Dia mendesah pelan, jauh lebih tenang, seolah baru saja bebannya sudah ditumpahkan melalui pelukan tadi. "Maaf, Kinanthi." Suaraku melirih.
"Tidak apa, Mas. Itu sudah cukup. Aku pikir cinta itu masih ada, dan kamu masih seperti dulu, berani untuk melakukan apapun, asal bersamaku. Seperti yang kamu ucapkan dulu."
Hatiku memerih. Ucapan Kinanthi memaksaku mengingat kembali momen dimana aku berusaha memperjuangkan hubunganku dengannya. Aku, rakyat biasa yang bermimpi untuk mempersunting perempuan berdarah biru kental. "Ki...," ucapku tak selesai. Bahkan untuk menyebutkan namanya saja lidahku tidak sanggup menahan getir.
"Tidak apa, Mas Wirya. Aku tahu itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Kini aku akan kembali ke suamiku." Kinanthi terdiam sesaat, lalu mendekatkan tubuhnya lagi ke arahku. "Kini biarkan aku mengucapkan salam perpisahan yang tidak sempat aku ucapkan dulu. Kinanthi mengecup bibirku. "Aku mencintaimu, Wirya Gunawan."
Aku tertegun. Bibirku terkunci. Suaraku tertahan di kerongkongan dan lidahku kelu tak mampu menyilatkan kata-kata.
"Sekarang, aku pergi. Selamat tinggal." Kinanthi berbalik dan berjalan menjauhiku. Aku terdiam. Kali ini aku yang melihatnya pergi. Dan sepertinya akan sangat jauh. Mungkin ini adalah kesempatan terakhir aku bisa menemuinya.
Aku berjalan cepat setengah berlari ke arah Kinanthi. "Kinan!" seruku. Dia berhenti dan berbalik. Kali ini dia tersenyun ke arahku. Dadaku terasa sesak, sudah lama sekali aku merindukan senyuman itu. Kupeluk Kinanthi erat, seerat aku tidak ingin melepaskannya. Mataku memanas, dengan sekuat hati aku menahan diri agar tidak terisak.
"Terima kasih sudah dan masih mencintaiku, Mas. Itu sudah cukup bagiku." Kinanthi melepaskan tubuhnya dari pelukanku. Sekali lagi dia merekahkan senyumannya sebelum benar-benar pergi.
Sekali lagi terdengar decit suara roda kereta yang baru saja berhenti. Di riuhnya lalu lalang orang-orang di Stasiun Tugu, aku menjadi satu-satunya yang merasa sendiri. Baru saja, belahan hatiku yang lain, yang kukira sudah mati sejak lama hidup kembali. Namun sekarang dia meninggalkanku. Tidak mati, hanya saja pergi ke tempat yang tidak dapat kujangkau. Cinta saja kadang tidak cukup untuk bersama. Dan lebih menyakitkan saat mengetahui cinta itu masih ada, tapi tidak dapat dimiliki dan bersama kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar