Kamis, 04 April 2013

Cinta Dari Balik Mata

Sore itu, seperti biasa, seperti sore di hari sebelumnya, aku sibuk memandangi langit yang menjadi jingga. Belasan layang-layang serupa bintik yang menghiasi langit yang hampir memerah seutuhnya.

Aku melihatmu berjalan pulang menuju rumahmu yang letaknya hanya beberapa pintu dari rumahku dan berseberangan, dipisahkan oleh sepetak gang kecil yang hanya muat dilalui oleh kendaraan bermotor.

Seperti biasa pula, aku memberikanmu sapaan terhangat dan senyuman terbaik yang kupunya. Dan harusnya, seperti biasa kamu pun akan mengangguk, membalas sapaanku dengan sungging senyumanmu. Seharusnya.

Sore ini, kamu diam saja saat kusapa. Wajahmu tertunduk, seolah enggan untuk menatapku. Langkahmu menjadi lebih cepat saat tubuhmu merapat ke arahku.

Senja terasa menjadi lebih sunyi dari malam yang ada di dalam pikiranku itu. Saat bibir kita diam membeku. Kata-kata mati dilesapkan diam. Hanya ada kamu, aku dan jejak-jejak kesedihan yang tertinggal di belakang.

Kirana, hari ini, aku merasakan cinta sedang sampai pada puncaknya. Dari rona wajahmu yang muram, aku melihat, ada cinta yang tertahan di balik airmata. Kamu, sedang membohongi dirimu sendiri. Dan aku, sedang berpura-pura bahwa luka hanyalah cara cinta menasbihkan dirinya, dalam ketidakrelaan.

Dalam pikiranku, aku masih jelas membayangkannya. Kata-kata menjadi serupa belati yang membunuh asa. Kau jejalkan kata-kata perpisahan yang diiringi oleh ciuman panjang; pengganti pelukan. Aku akan dijodohkan, katamu.

Kamu menerimanya? Tanyaku saat itu. Dan dalam memori pikiranku, kau menjawab dengan anggukan. Serupa ketuk palu hakim yang menjatuhkan vonis terberat dalam hidupku. Kamu sudah menjatuhkan pilihan, yang menjerumuskanku pada jeruji hati.

Dalam pikiranku pun, aku bertanya padamu. Dengan kedua tanganku mencengkeran pundak kecilmu aku memastikan, apakah kamu sudah tak mencintaiku? Dan sebuah anggukan darimu benar-benar mematikan harapanku, hanya harapan, bukan cinta.

Dari mataku, aku melihat cinta di bola matamu. Senyata senja sore ini, dari bening indera penglihatanmu, dirimu menyatakan cinta yang besar, menampakkan kekecewaan yang besar.

Nyatanya, semua yang ada dipikiranku, hanyalah ada dipikiranku saja. Aku tak pernah menjadi kekasihmu, dan malam perpisahan itu tak pernah ada. Hanya saja, kehilangan yang sebenar-benarnya nyata. Aku tahu kau menunggu. Dan kau tahu, bahwa aku tak akan pernah berani melangkah kesana. Hingga akhirnya sore ini aku sadar, bahwa cinta tak pernah cukup untuk membawamu pergi.

Malam itu, dari beranda rumahku aku melihat sebuah perayaan yang membahagiakan keluargamu. Seorang pria sempurna meminangmu, memintamu menjadi pendamping hidupnya. Aku melihat duka di matamu malam itu.

Kau bisa membohongi orang lain, tapi tidak denganku. Matamu adalh mataku. Kesedihanmu pasti terlihat olehku. Dan luka yang kau rasakan, tak pernah dapat kau sembunyikan dari penglihatanku.

Sore ini, akan menjadi sore yang lain dan tak akan pernah lagi sama. Kamu, tak dapat lagi kusapa. Dan senyumanmu tak akan pernah lagi kau berikan kepadaku.

"Semoga kamu bahagia Kirana." Aku berucap kepada perempuan yang sudah berjalan beberapa langkah melewatiku. Dan aku yakin dia tidak mendengarnya. Tak apa, itu lebih baik.

Langit sudah menggelap seutuhnya. Aku memutar roda, menggerakkannya ke dalam rumah. Melepas cinta tak pernah mudah, apalagi cinta yang disembunyikan tapi diketahui oleh orang kita cintai. Aku melepas nafas panjang. "Dek, bantu Abang dong," ucapku kepada adik lelakiku untuk membopongku pindah dari kursi roda ke kasur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar