Minggu, 09 September 2012

Menunggu


Langit sudah memerah, menyemburatkan cahaya jingga yang kemilau meneduhkan. Satria duduk di bangku taman memandangi orang-orang yang lalu lalang di sana. Memperhatikan senyum dan tawa anak-anak yang sedang bermain dengan orang tuanya, pasangan muda mudi yang sedang tertawa bersama, dan para lansia yang sedang berjalan sore dengan cucu mereka. Semua terlihat bahagia sore ini, sementara Satria terlihat cemas. Berkali-kali dia melirik jam tangan dan ponselnya.

Jam tangan digitalnya sudah menunjukkan  pukul lima sore. Satria gelisah, itu artinya sudah hampir satu jam dia menunggu. Menunggu adalah hal yang sangat tidak menyenangkan, begitu pun dengan yang dirasakan oleh Satria sore ini. Gelisah terpancar dari wajahnya, sudah meleset dari satu jam dari waktu yang dijanjikan. Dia membuka ponselnya berkali-kali, namun tak juga ada pesan balasan yang masuk.

Waiting for your call, I’m sick, call I’m angry
Call desperate for your voice

Kamu dimana? Kita jadi ketemu, ‘kan? ketik Satria, segera dia mengirim pesan pendek yang kesekian kepada seseorang yang ditunggunya.

Dalam sebuah proses menunggu, waktu terasa berjalan jauh lebih lambat dari biasanya. Terasa ada jeda yang panjang kala berdiam diri hanya untuk menantikan kedatangan seseorang. Satria mengeluarkan headset dari saku celananya, mencoba membunuh waktu dengan playlist kesukaan. Berusaha membunuh bosan akibat yang ditunggu tak kunjung datang.

Matahari hampir benar-benar tenggelam. Sebentar lagi senja akan benar-benar padam. Keramaian orang-orang di taman mulai berkurang, perlahan mereka berangsur-angsur meninggalkan taman dan kembali ke rumahnya masing-masing, hingga yang tersisa hanya Satria seorang.

Satria menghembuskan nafas panjang, seolah melepas lelah yang dideritanya. Dia menatap nanar pada layar ponselnya. Rencana bertemu hari ini gagal total. Hatinya menciut, merasa bahwa dirinya tak dihargai. “Mau ketemu aja kok rasanya susah banget. Apa kamu udah males buat ketemu aku?” ucap Satria berbicara pada ponselnya.

Langit mulai menggelap saat Satria memutuskan untuk pulang. Di telinganya sayup-sayup terdengar suara John Vesely membawakan lagu Your Call. Satria memejamkan matanya, menikmati lagu yang menjadi kesukaannya, dan juga kesukaan Dinata, orang yang ditunggunya sejak tadi.

Listening to the song we used to sing
In the Car, do you remember
Butterfly, early summer
It’s playing on repeat, just like when we would meet
Like whe we would meet

***

Kadang, sebuah masalah kecil bisa menjadi sebuah awal dari masalah besar jika terjadi disaat yang sangat tidak tepat atau terjadi disaat kondisi emosional sedang sangat tidak stabil. Semua prasangka baik dikalahkan prasangka buruk, sebuah hal yang selalu sukses membuat sebuah masalah menjadi besar.

“Satria, aku tahu kamu marah. A–,”

“Sudahlah, Di, aku tahu. Iya, aku tahu kalo kamu sibuk, dan tetiba nggak bisa dateng. Aku ngerti banget,” ucap Satria dengan nada malas.

“Sa, aku nggak maksud kayak gitu,” ujar Dinata mencoba memberian penjelasan, “sebenarnya–“

“Udah deh ya, Di. Aku capek. Malem ini aku mau istirahat cepet. Soalnya besok subuh udah harus ada di Bandara. First flight.” Satria langsung memutuskan panggilan telepon. Kemudian dihembuskan lagi nafas panjang olehnya, melepas sesak yang memenuhi kepala dan dadanya.

Direbahkan tubuhnya di atas kasur. Rasa frustasi menderanya. Pikirannya yang sering negative thinking membuat Satria merasa hubungan antara dirinya dan Dinata tidak akan berjalan lama lagi. Kesibukannya dan kesibukan Dinata menjadi faktor utama renggangnya hubungan keduanya. Kesibukan Dinata sebagai karyawati yang memiliki jam kerja padat dan Satria sebagai manajer sebuah band yang mengharuskannya sering keluar kota seringkali menjadi penyebab perselisihan kecil yang menjadi besar ini.

Satria menggenggam kotak kecil yang tadi dibawanya saat ingin bertemu Dinata, sebuah hadiah kecil untuk kekasihnya setelah hampir sebulan tak bertemu. Kemudian dilemparnya kota tersebut ke atas kasur, rasa kesal kembali menderanya saat mengingat kembali kejadian sore tadi.

***

Kamu dimana? Kita jadi ketemu, ‘kan?

Dinata membaca kembali beberapa pesan yang masuk sejak sore tadi. Matanya memanas menahan getir. “Kamu pasti berpikiran kalo aku lupa kita janjian hari ini. Kamu salah, aku nggak mungkin lupa.” Suara parau terdengar dari ucapan Dinata, perempuan itu sedang berusaha menahan agar tangis tak pecah di pipinya. Dinata meremas selimutnya, menahan diri untuk merutuki kebodohannya yang tertidur sehingga tidak menemui Satria. Malam telah larut, matanya tak juga terpejam, walau sembab di matanya sudah terlihat jelas.

Dinata mengetik dan mengirim sebuah pesan kepada Satria sebelum dia benar-benar memejamkan matanya.

***

Satria melirik jam di pergelangan tangannya. Sebentar lagi waktu keberangkatannya, sementara belum terlihat kedatangan Dinata. Pagi tadi, sebuah pesan dari Dinata masuk di ponselnya. Kekasihnya itu meminta dirinya agar tidak langsung masuk ke pesawat. Dinata memintanya menunggu, sebab Dinata akan datang.

“Satria,” terdengar panggilan dari Dinata. Terlihat kekasihnya itu berjalan semi berlari menghampiri Satria.

“Ada apa?” tanya Satria dengan nada setengah bertanya dan heran.

“Aku tahu kamu marah sebab kemarin aku nggak datang. Aku minta maaf. Kemarin aku ngga datang bukan karena lupa, tapi karena ini.” Dinata menyerahkan sebuah kotak kecil kepada Satria.
Satria mengambil kotak tersebut dan membukanya. Dirinya tercengang saat melihat isi kotak tersebut. Dia memandang Dinata. Terlihat binar mata Dinata disertai anggukan kecil.

“Selamat ulang tahun, dan juga happy anniversary hubungan kita,” ucap Dinata.

Isi kotak tersebut adalah scrap book yang berisi foto mereka berdua. Foto mereka sejak awal pacaran hingga kini. Satria menutup kotak tesebut. Dia tersenyum gembira. Segala pikiran negatif di kepalanya sirna. Dipeluknya erat kekasihnya itu. Sebuah kecupan di ubun-ubun kepala Dinata menjadi pengganti ucapan perpisahan mereka.

“Aku bakal seminggu di sana, ketika aku pulang. Sambut kedatanganku,” ucap Satria yang dijawab dengan anggukan oleh Dinata. “Love you,” bisik Satria.

Yes, I do.” Dinata melepaskan pelukan Satria. Seperti biasa, Dinata melepas kembali kepergian Satria, dan akan menunggu kepulangannya.

Cause I was born to tell you I love you
And I am torn to do what I have to, to make you mine
Stay with me tonight

Tidak ada komentar:

Posting Komentar