Sepiku tak pernah berujung
Saat kau tak biasa
Sendiri menjalani waktu
Sulitnya ada suka yg pernah ada perih
Sendiri menjalani waktu
Sulitnya ada suka yg pernah ada perih
Aku mematikan
playlist lagu yang berkumandang di iPod. Baru saja hujan turun. Suara gerimis lebih
menarik perhatianku, alunan nada alam yang tak terkalahkan oleh lagu mana pun. Kubuka
sedikit jendela kamarku. Menikmati percikan-percikan airmata langit yang masuk melalui
sela jendela yang terbuka.
Suasana hening
saat hujan turun adalah jeda terbaik untuk berpikir. Memikirkan apapun; rencana
masa depan, impian, harapan atau bahkan sesuatu yang tertinggal di masa lalu. Dan
kini aku mengalami hal yang disebutkan terakhir.
“Apa kabarmu?
Apakah kamu masih menggilai hujan seperti dulu. Berusaha untuk berlari ke tengah
lapangan saat langit sedang bergemuruh, seolah memanggil namamu untuk menyambut
rintik yang akan membasahi bumi? Apakah di sana ada hujan?” monologku pada kaca jendela. Kumainkan jemariku
diatas kaca yang sudah berembun.Menuliskan namaku dan namamu; Putri Hujan dan Pangeran
Petir.
Kita
adalah sepasang manusia yang menggilai hujan. Seolah, turunnya hujan adalah saatnya
kita melakukan ibadah. Dengan segera kita berlari menyambutnya. Menghambur ke dalam
ribuan tetes air yang dicurahkan oleh langit. Ya, jika hujan terjadi saat bel pertanda
pulang sekolah sudah berkumandang. Jika tidak, kita hanya dapat menahan hasrat untuk
tidak berlari saat deru suara hujan memanggil. Memandang iri keluar jendela dari
dalam kelas, memperhatikan rintik air yang seperti menari sebab diterpa oleh angin.
Aku masih
mengingat dengan jelas pertemuan itu. Saat pertama kali kamu memanggilku Putri
Hujan. Bahkan saat aku memejamkan mata, kejadian itu seperti baru terjadi kemarin;
sangat segar di dalam kepalaku. Aku tersenyum simpul saat mengenangnya kembali.
Terlihat hujan mereda.Kini rintik-rintik hujan terlihat tak bertenaga. Sedikit
rasa kecewa menghampiriku. Dengan adanya hujan, aku tak pernah sendirian, kamu selalu
ada disampingku; dalam ingatanku.
***
“Menurutmu apa yang
dipikirkan orang-orang yang sedang berteduh saat hujan turun?” Tetiba Pangeran
berdiri di sampingku saat diriku sedang berdiri di ambang pintu kelas. Bel
pertanda pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Tapi masih banyak murid di
dalam kelas, sebab hujan yang turun dengan deras.
Dari tempat kita
berdiri, aku dan Pangeran dapat melihat halte bus di depan sekolah yang saat
ini disesaki orang. Bukan oleh orang-orang yang mau naik kendaraan umum, namun
orang-orang takut basah oleh air hujan. Aku menggeleng sebagai jawaban dari
pertanyaan Pangeran tadi.
“Aku pun tak tahu apa
saja yang dipikirkan mereka. Tapi jika di antara orang-orang di sana ada orang
yang tidak bersyukur, pasti isi pikiran mereka adalah kapan hujan ini akan
berhenti.”
Aku mengagguk setuju
dengan perkataannya. “Padahal hujan begitu menyenangkan.”
“Benar, Put. Sangat
menyenangkan. Kita pulang sekarang?”
“Oke. Tapi sebentar,
aku lapisi dulu buku-buku ini dengan plastik,” ucapku kepada Pangeran.
“Sudah?” tanya Pangeran
kepadaku. Aku menjawabnya dengan anggukan.
“Kalian mau pulang sekarang?
Hujannya masih deras lho,” ucap Riri kepadaku dan Pangeran. Teman sekelasku
memandang sedikit heran, sebab hampir semua murid bertahan di dalam kelas
menunggu hujan reda. Kalaupun ada yang pulang, pasti mereka membawa payung dan
jas hujan, tidak seperti diriku dan Pangeran yang tidak membawa payung ataupun
jas hujan.
“Iya, mau ikutan Ri?
Hujan-hujanan itu seru lho,” ajak Pangeran.
“Aduh, nggak deh Put,
Pang. Aku kalau hujan-hujanan besoknya bisa meriang. Kalian aja deh yah.” Riri
kemudian meninggalkan aku dan Pangeran di depan kelas. Dia kembali menunggu
hujan reda di dalam kelas.
“Yuk pulang sekarang.
Nanti hujannya keburu berhenti,” kata Pangeran seraya mendorongku maju.
Bau tanah yang basah
dan air hujam merupakan kombinasi bau yang sangat khas dan alami. Aku
merentangkan tangan lebar saat tetesan air hujan memeluk tubuhku. Tubuhku dan
Pangeran sudah kuyup diguyur hujan.
Sepanjang perjalanan
pulang kami berceloteh banyak hal. Sesekali terdiam untuk menikmati rintikan
hujan yang menerpa wajah dan tubuh kita masing-masing. Seragam putih abu-abu
kami sudah tak menyisakan bagian yang kering. Kami adalah penggila hujan yang
rela menenggelamkan diri dalam rinai hujan.
“Apa yang kamu suka
dari hujan, Put?” tanya Pangeran kepadaku. Dia sedikit mengeraskan suaranya
agar tak kalah oleh deru suara hujan.
Aku sedikit bingung dengan
pertanyaan dari Pangeran. “Ya hujannya lah. Memang apa lagi?”
“Kalau aku, ketika
hujan turun. Aku pun menyukai rintikan hujan, menenangkan. Namun aku akan lebih
menyukai hujan yang ada petirnya. Petir menambah suasana hujan menjadi lebih
menyenangkan,” ucap Pangeran bersemangat. Kedua bola matanya membulat pertanda
antusias.
“Kalau begitu, nama
kamu jadi Pangeran Petir,” ucapku asal-asalan kemudian aku tertawa kecil.
“Dan kamu, Putri Hujan.”
Aku mengerutkan dahiku.
Lalu kulihat bola mata Pangeran yabg mengarah langsung ke mataku. Pangeran
menyunggingkan senyuman. Refleks aku pun menyunggingkan senyum dan kami
kemudian tertawa bersama. “Putri Hujan dan Pangeran Petir. Bukan nama yang
buruk,” ucapku kepada Pangeran kemudian kita kembali tertawa.
***
Ku
tak mampu mencari lagi
Apa
yang kurasakan
Dan
aku sangat menyadari
Aku
kehilanganmu
Aku mengerti, bahwa tak akan pernah ada kejadian dimana
setiap keinginan berubah menjadi nyata sesuai dengan yang diinginkan. Ada
beberapa keinginan yang dikabulkan oleh Tuhan, tapi tak jarang, keinginan tersebut
diganti oleh hal lain, bahkan keinginan itu tak pernah terwujud dalam bentuk
apapun; hanya tetap menjadi keingininan yang kekal.
Seperti mencintaimu, itu adalah yang terjadi padaku saat masa
putih abu-abu dulu, dan ingin menjadi kekasihmu adalah keinginanku saat itu. Keinginan
yang tak pernah diwujudkan oleh Tuhan. Begitu banyak waktu yang kuhabiskan
bersamamu, melakukan pembicaraan tentang hujan yang sama-sama kita gilai, atau
bahkan menghabiskan waktu di bawah rinai hujan, berbagi tawa, canda, kesedihan
dan air mata dalam rinai hujan. Dan di bawah rinainya pun aku harus kehilanganmu.
Bagiku, hujan selalu mengingatkanku padaku dan dirimu.
Katamu dulu, hujan tak pernah lengkap tanpa gemuruh petir
yang menyertainya. Tanpa petir, hujan akan kesepian. Jika aku adalah hujan, dan
kamu adalah petir itu, maka aku akan selalu mengamini ucapanmu itu. Tanpamu,
aku merasa sepi. Terasa ada jeda panjang di hariku tanpamu. Tak ada lagi
gemuruh yang menyertaimu, aku hanyalah hujan yang kesepian.
Sore ini langit menggelap. Sepertinya sebentar lagi hujan
akan turun, dari tadi sudah kudengar suara gemuruh petir berkumandang. “Suasana
yang tepat sekali,” gumamku.
“Halo, Pangeran Petir. Apa kabarmu? Tidak terasa sudah lima
tahun terlewati setelah perpisahan kita. Perpisahan yang tidak kita inginkan,”
ucapku seraya melangkah. Tangan kiriku membuka kacamata hitam yang kukenakan,
sementara tangan kanan memegangi payung agar tak terbang tertiup angin yang
sudah bertiup kencang. “Aku ingin mengabarkan berita baik padamu. Bulan depan
aku akan menikah dengan kekasihku saat ini. Dan sepertinya aku tidak akan dapat
menemuimu setiap bulan seperti sebelumnya.”
Aku menarik nafas pelan, mengurangi sesak yang mulai memenuhi
rongga dada. “Bukan, bukan aku akan melupakanmu. Tentangmu akan tetap ada dalam
hatiku. Kamu adalah orang yang kucintai pertama kali, dan sudah ada ruang
khusus dalam bilik hatiku ini agar tetap mengenangmu,” ucapku menunjuk dadaku. “Kenangan
tentangmu akan selalu ada dan tak akan terlupa. Setiap hujan yang turun
disertai gemuruh petir, disanalah aku menempatkan ingatan tentang kita.”
Mataku mulai memanas. Ternyata tak mudah untuk menahan
kesedihan, walau kejadian ya ng menyebabkan sedih itu sudah terjadi sejak lama.
“Bagaimana aku melupakanmu. Darimu aku belajar mencintai hujan, petir dan
berbagai arti filosofisnya. Hujan bukan lagi hal yang kusukai, tapi menjadi hal
yang kugilai, dan itu karenamu.”
“Kamu adalah
cinta pertamaku. Lelaki yang pertama kali membuatku tertawa bahagia dan terisak
sedih karenamu. Jadi tenang saja, kamu tak akan pernah kulupakan,” suaraku
bergetar. Kugigit bibir bawahku agar tak pecah airmataku. “Dan bagaimana aku
melupakanmu, sementara setiap hujan turun aku selalu teringat kejadian itu. Kejadian
yang tak pernah kita inginkan. Kejadian yang membuat dirimu meninggalkanku
selamanya.”
Tangisku tak tertahan lagi. Pertahanan airmataku roboh sebab
tak kuat menahan besarnya kesedihan. Malam itu, tepat lima tahun yang lalu, di
tengah hujan deras kecelakaan itu terjadi. Saat itu merupakan perjalanan pulang
dari perayaan kelulusan kami. Saat berbelok di pertigaan jalan, tetiba sebuah
mobil box melaju dengan kecepatan penuh dari arah samping. Mobil box yang
menerobos merah menabrak motor kami. Aku yang duduk di bonceng oleh Pangeran
hanya mengalami luka di beberapa bagian tubuhku. Sementara Pangeran tidak
tertolong karena kepalanya terbentur keras akibat tabrakan itu.
Perlahan hujan turun membasahi tubuhku. Menyamarkan airmata
yang meleleh di pipiku. Bau tanah tercium sangat pekat. “Kamu pasti senang. Hujan
turun, dan dengarlah suara petir yang bergemuruh itu.” Kemudian aku menaburkan
bunga di atas makan Pangeran. Kucium nisannya sebelum aku pulang. Aku pernah
mendengar pepatah yang menyebutkan melupakan cinta pertama tak akan pernah
mudah, dan aku mengamini hal itu.
Melupakanmu adalah hal tersulit bagiku
Karena kau terukir dalam di hatiku
Karena kau terukir dalam di hatiku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar