Minggu, 16 September 2012

Aku, Kamu, Hujan dan Petir



Sepiku tak pernah berujung
Saat kau tak biasa
Sendiri menjalani waktu
Sulitnya ada suka yg pernah ada perih

Aku mematikan playlist lagu yang berkumandang di iPod. Baru saja hujan turun. Suara gerimis lebih menarik perhatianku, alunan nada alam yang tak terkalahkan oleh lagu mana pun. Kubuka sedikit jendela kamarku. Menikmati percikan-percikan airmata langit yang masuk melalui sela jendela yang terbuka.

Suasana hening saat hujan turun adalah jeda terbaik untuk berpikir. Memikirkan apapun; rencana masa depan, impian, harapan atau bahkan sesuatu yang tertinggal di masa lalu. Dan kini aku mengalami hal yang disebutkan terakhir.

“Apa kabarmu? Apakah kamu masih menggilai hujan seperti dulu. Berusaha untuk berlari ke tengah lapangan saat langit sedang bergemuruh, seolah memanggil namamu untuk menyambut rintik yang akan membasahi bumi? Apakah di sana ada hujan?”  monologku pada kaca jendela. Kumainkan jemariku diatas kaca yang sudah berembun.Menuliskan namaku dan namamu; Putri Hujan dan Pangeran Petir.

Kita adalah sepasang manusia yang menggilai hujan. Seolah, turunnya hujan adalah saatnya kita melakukan ibadah. Dengan segera kita berlari menyambutnya. Menghambur ke dalam ribuan tetes air yang dicurahkan oleh langit. Ya, jika hujan terjadi saat bel pertanda pulang sekolah sudah berkumandang. Jika tidak, kita hanya dapat menahan hasrat untuk tidak berlari saat deru suara hujan memanggil. Memandang iri keluar jendela dari dalam kelas, memperhatikan rintik air yang seperti menari sebab diterpa oleh angin.

Aku masih mengingat dengan jelas pertemuan itu. Saat pertama kali kamu memanggilku Putri Hujan. Bahkan saat aku memejamkan mata, kejadian itu seperti baru terjadi kemarin; sangat segar di dalam kepalaku. Aku tersenyum simpul saat mengenangnya kembali. Terlihat hujan mereda.Kini rintik-rintik hujan terlihat tak bertenaga. Sedikit rasa kecewa menghampiriku. Dengan adanya hujan, aku tak pernah sendirian, kamu selalu ada disampingku; dalam ingatanku.

***

“Menurutmu apa yang dipikirkan orang-orang yang sedang berteduh saat hujan turun?” Tetiba Pangeran berdiri di sampingku saat diriku sedang berdiri di ambang pintu kelas. Bel pertanda pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Tapi masih banyak murid di dalam kelas, sebab hujan yang turun dengan deras.

Dari tempat kita berdiri, aku dan Pangeran dapat melihat halte bus di depan sekolah yang saat ini disesaki orang. Bukan oleh orang-orang yang mau naik kendaraan umum, namun orang-orang takut basah oleh air hujan. Aku menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Pangeran tadi.

“Aku pun tak tahu apa saja yang dipikirkan mereka. Tapi jika di antara orang-orang di sana ada orang yang tidak bersyukur, pasti isi pikiran mereka adalah kapan hujan ini akan berhenti.”

Aku mengagguk setuju dengan perkataannya. “Padahal hujan begitu menyenangkan.”

“Benar, Put. Sangat menyenangkan. Kita pulang sekarang?”

“Oke. Tapi sebentar, aku lapisi dulu buku-buku ini dengan plastik,” ucapku kepada Pangeran.

“Sudah?” tanya Pangeran kepadaku. Aku menjawabnya dengan anggukan.

“Kalian mau pulang sekarang? Hujannya masih deras lho,” ucap Riri kepadaku dan Pangeran. Teman sekelasku memandang sedikit heran, sebab hampir semua murid bertahan di dalam kelas menunggu hujan reda. Kalaupun ada yang pulang, pasti mereka membawa payung dan jas hujan, tidak seperti diriku dan Pangeran yang tidak membawa payung ataupun jas hujan.

“Iya, mau ikutan Ri? Hujan-hujanan itu seru lho,” ajak Pangeran.

“Aduh, nggak deh Put, Pang. Aku kalau hujan-hujanan besoknya bisa meriang. Kalian aja deh yah.” Riri kemudian meninggalkan aku dan Pangeran di depan kelas. Dia kembali menunggu hujan reda di dalam kelas.

“Yuk pulang sekarang. Nanti hujannya keburu berhenti,” kata Pangeran seraya mendorongku maju.

Bau tanah yang basah dan air hujam merupakan kombinasi bau yang sangat khas dan alami. Aku merentangkan tangan lebar saat tetesan air hujan memeluk tubuhku. Tubuhku dan Pangeran sudah kuyup diguyur hujan.

Sepanjang perjalanan pulang kami berceloteh banyak hal. Sesekali terdiam untuk menikmati rintikan hujan yang menerpa wajah dan tubuh kita masing-masing. Seragam putih abu-abu kami sudah tak menyisakan bagian yang kering. Kami adalah penggila hujan yang rela menenggelamkan diri dalam rinai hujan.

“Apa yang kamu suka dari hujan, Put?” tanya Pangeran kepadaku. Dia sedikit mengeraskan suaranya agar tak kalah oleh deru suara hujan.

Aku sedikit bingung dengan pertanyaan dari Pangeran. “Ya hujannya lah. Memang apa lagi?”

“Kalau aku, ketika hujan turun. Aku pun menyukai rintikan hujan, menenangkan. Namun aku akan lebih menyukai hujan yang ada petirnya. Petir menambah suasana hujan menjadi lebih menyenangkan,” ucap Pangeran bersemangat. Kedua bola matanya membulat pertanda antusias.

“Kalau begitu, nama kamu jadi Pangeran Petir,” ucapku asal-asalan kemudian aku tertawa kecil.

“Dan kamu, Putri Hujan.”

Aku mengerutkan dahiku. Lalu kulihat bola mata Pangeran yabg mengarah langsung ke mataku. Pangeran menyunggingkan senyuman. Refleks aku pun menyunggingkan senyum dan kami kemudian tertawa bersama. “Putri Hujan dan Pangeran Petir. Bukan nama yang buruk,” ucapku kepada Pangeran kemudian kita kembali tertawa.

***


Ku tak mampu mencari lagi
Apa yang kurasakan
Dan aku sangat menyadari
Aku kehilanganmu

Aku mengerti, bahwa tak akan pernah ada kejadian dimana setiap keinginan berubah menjadi nyata sesuai dengan yang diinginkan. Ada beberapa keinginan yang dikabulkan oleh Tuhan, tapi tak jarang, keinginan tersebut diganti oleh hal lain, bahkan keinginan itu tak pernah terwujud dalam bentuk apapun; hanya tetap menjadi keingininan yang kekal.

Seperti mencintaimu, itu adalah yang terjadi padaku saat masa putih abu-abu dulu, dan ingin menjadi kekasihmu adalah keinginanku saat itu. Keinginan yang tak pernah diwujudkan oleh Tuhan. Begitu banyak waktu yang kuhabiskan bersamamu, melakukan pembicaraan tentang hujan yang sama-sama kita gilai, atau bahkan menghabiskan waktu di bawah rinai hujan, berbagi tawa, canda, kesedihan dan air mata dalam rinai hujan. Dan di bawah rinainya pun aku harus kehilanganmu. Bagiku, hujan selalu mengingatkanku padaku dan dirimu.

Katamu dulu, hujan tak pernah lengkap tanpa gemuruh petir yang menyertainya. Tanpa petir, hujan akan kesepian. Jika aku adalah hujan, dan kamu adalah petir itu, maka aku akan selalu mengamini ucapanmu itu. Tanpamu, aku merasa sepi. Terasa ada jeda panjang di hariku tanpamu. Tak ada lagi gemuruh yang menyertaimu, aku hanyalah hujan yang kesepian.

Sore ini langit menggelap. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun, dari tadi sudah kudengar suara gemuruh petir berkumandang. “Suasana yang tepat sekali,” gumamku.

“Halo, Pangeran Petir. Apa kabarmu? Tidak terasa sudah lima tahun terlewati setelah perpisahan kita. Perpisahan yang tidak kita inginkan,” ucapku seraya melangkah. Tangan kiriku membuka kacamata hitam yang kukenakan, sementara tangan kanan memegangi payung agar tak terbang tertiup angin yang sudah bertiup kencang. “Aku ingin mengabarkan berita baik padamu. Bulan depan aku akan menikah dengan kekasihku saat ini. Dan sepertinya aku tidak akan dapat menemuimu setiap bulan seperti sebelumnya.”

Aku menarik nafas pelan, mengurangi sesak yang mulai memenuhi rongga dada. “Bukan, bukan aku akan melupakanmu. Tentangmu akan tetap ada dalam hatiku. Kamu adalah orang yang kucintai pertama kali, dan sudah ada ruang khusus dalam bilik hatiku ini agar tetap mengenangmu,” ucapku menunjuk dadaku. “Kenangan tentangmu akan selalu ada dan tak akan terlupa. Setiap hujan yang turun disertai gemuruh petir, disanalah aku menempatkan ingatan tentang kita.”

Mataku mulai memanas. Ternyata tak mudah untuk menahan kesedihan, walau kejadian ya ng menyebabkan sedih itu sudah terjadi sejak lama. “Bagaimana aku melupakanmu. Darimu aku belajar mencintai hujan, petir dan berbagai arti filosofisnya. Hujan bukan lagi hal yang kusukai, tapi menjadi hal yang kugilai, dan itu karenamu.”
“Kamu adalah cinta pertamaku. Lelaki yang pertama kali membuatku tertawa bahagia dan terisak sedih karenamu. Jadi tenang saja, kamu tak akan pernah kulupakan,” suaraku bergetar. Kugigit bibir bawahku agar tak pecah airmataku. “Dan bagaimana aku melupakanmu, sementara setiap hujan turun aku selalu teringat kejadian itu. Kejadian yang tak pernah kita inginkan. Kejadian yang membuat dirimu meninggalkanku selamanya.”

Tangisku tak tertahan lagi. Pertahanan airmataku roboh sebab tak kuat menahan besarnya kesedihan. Malam itu, tepat lima tahun yang lalu, di tengah hujan deras kecelakaan itu terjadi. Saat itu merupakan perjalanan pulang dari perayaan kelulusan kami. Saat berbelok di pertigaan jalan, tetiba sebuah mobil box melaju dengan kecepatan penuh dari arah samping. Mobil box yang menerobos merah menabrak motor kami. Aku yang duduk di bonceng oleh Pangeran hanya mengalami luka di beberapa bagian tubuhku. Sementara Pangeran tidak tertolong karena kepalanya terbentur keras akibat tabrakan itu.

Perlahan hujan turun membasahi tubuhku. Menyamarkan airmata yang meleleh di pipiku. Bau tanah tercium sangat pekat. “Kamu pasti senang. Hujan turun, dan dengarlah suara petir yang bergemuruh itu.” Kemudian aku menaburkan bunga di atas makan Pangeran. Kucium nisannya sebelum aku pulang. Aku pernah mendengar pepatah yang menyebutkan melupakan cinta pertama tak akan pernah mudah, dan aku mengamini hal itu.

Melupakanmu adalah hal tersulit bagiku
Karena kau terukir dalam di hatiku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar