Keringat mengucur deras namun kau tetap tabah
“Duduklah.” Aku duduk mengikuti
perintah lelaki di hadapanku. “Bagaimana kabarmu? Sehat?”
Aku hanya
menganggukkan kepalaku. Aku menatap lekat lelaki di hadapanku itu. Sudah lama
tidak menjumpainya. Aku merutuki diriku sendiri yang baru menemuinya saat ini.
Bau pengap khas obat memenuhi kamar ini. “Maafkan aku baru bisa pulang
sekarang,” ucapku dengan suara bergetar.
“Sudahlah, Ayah
bahagia masih bisa bertemu denganmu. Sekarang ceritakanlah apa yang kau alami,
dan apa yang tidak kuketahui.”
Kutatap ayah yang
duduk bersandar di atas kasur. Tubuhnya nampak kurus, terlihat tulang-tulang
yang mencuat, seolah hanya dilapisi oleh selembar kulit yang sudah berkeriput.
Matanya terlihat cekung seperti kelelahan. Kutatap dalam-dalam mata itu, mata
dari lelaki yang menjadi panutanku, lelaki yang punggungnya selalu kulihat
sejak diriku dapat melihat. Sejak Ibu meninggal karena sakit saat aku berumur 2
tahun, ayahlah yang merawat dan membesarkanku.
Kemarin, sebuah
kabar dari bibiku datang. Mereka memintaku untuk pulang setelah hampir 5 tahun
merantau di Ibukota. Mereka mengabarkan ayah sedang sakit. Selama aku merantau
di Jakarta, saudari kandung ayahku itulah yang merawat beliau. Dari yang
diceritakan, aku mengetahui bahwa ayah menderita sakit paru-paru sejak dua
tahun terakhir. Namun kondisi beliau memburuk dalam seminggu terakhir. Saat ini
ayah hanya dirawat di rumah, sebab kendala biaya menjadi alasan utama tidak
dirawat di rumah sakit.
Saat mendengar hal
tersebut, aku sangat terkejut. Kupikir kondisi ayah sehat-sehat saja, sebab
selama ini dia tidak memberitahu hal apapun. Ayah yang selama ini tidak pernah
memintaku pulang, kini menyuruh bibi untuk menghubungiku agar aku pulang. Ya
pulang ke sini, ke rumahku tempat aku tumbuh dan dibesarkan.
Aku bercerita
banyak hal dengan ayah. Tentang apa saja yang kualami selama 5 tahun merantau,
walau beberapa cerita sudah pernah kuceritakan pada ayah melalui surat yang
rutin kukirim setiap tiga bulan sekali.
“Sudah lama sekali
kita tidak berbicara seperti ini yah,” ucap ayah kepadaku.
` “Ya,
aku merindukan hal ini.” Mataku menahan haru yang mulai menderaku. Bola mataku
sudah memanas, siap memuntahkan airmata yang sudah menggenang.
Kulihat, ayah
mengambil sesuatu dari balik bantalnya. Sebuah kotak besi. Tangannya terlihat
sangat ringkih saat mengangkat benda itu dan diletakkan kotak tersebut di
pangkuannya. Ketika dibuka, aku melihat banyak lembar foto yang sudah menguning
yang tersimpan di sana. “Kamu ingat foto ini?” tanyanya memperlihatkan sebuah
foto bocah perempuan dengan gigi berlubang yang sedang digendong oleh lelaki
yang berbadan kekar.
Aku tertawa kecil saat
memandangi foto tersebut. “Mana mungkin aku melupakan diriku sendiri dan ayah.”
Kemudian ayah
mengeluarkan foto-foto lain yang merupakan potret peristiwa-peristiwa yang
kualami sejak aku kecil hingga lulus sekolah menengah. Hanya sampai situ, sebab
selepas lulus sekolah aku langsung memutuskan untuk merantau ke Jakarta.
Aku mengambil
beberapa lembar foto yang sudah menguning. Dadaku berdesir, ada haru yang tak
juga menghilang. Dulu, tetangga kami memiliki kamera, dan ayah selalu memohon
kepada tetanggaku tersebut untuk mengambil fotoku dan dirinya. Saat aku masih
kecil dulu, sangat senang difoto, sehingga selalu meminta ayah untuk memoto
diriku sesering mungkin, dan sesering itu pula ayah merepotkan tetangga kami
itu.
“Ayah, kenapa di
foto-foto ini banyak sekali foto diriku yang sedang digendong?”
“Sebab dulu ayah
tidak mampu membelikanmu sepeda untuk dirimu berkeliling seperti anak
seumuranmu pada saat itu. Sementara ayah hanya seorang kuli, hanya seorang
bodoh yang bahkan tidak bisa baca dan tulis pada saat itu. Yang ayah tahu, kamu
bahagia saat sedang digendong, dan hal itu kulakukan untukmu dengan senang
hati.”
Keriput tulang pipimu gambarkan perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
Kini kurus dan terbungkuk
Tangisku hampir
pecah. Pelupuk mataku tak lagi sanggup menahan airmata. Perlahan, airmata
menetes melalui celah kecil di pinggir mataku. “Ayah,” ucapku lirih seraya
memeluk tubuh kurus lelaki terhebat yang pernah kukenal. Tubuhnya yang dulu
tegap berisi, sekarang sudah layu dimakan penyakit.
Hatiku berdenyut
keras, terasa perih. Aku tidak dapat melakukan apa-apa untuk membuatnya merasa
lebih baik. Terdengar suara batuk ayah yang terdengar sangat berat dan
berlangsung lama. Terlihat oleh mataku, darah keluar dari mulutnya. Tubuhku
bergetar saat melihat wajah ayah yang mendadak pias. Segera aku berlari keluar
kamar untuk meminta pertolongan pada bibi dan saudaraku yang lain.
“Laksmi,” panggil
ayah yang membuatku yang baru saja akan mencari pertolongan menjadi berhenti.
Suara ayah terdengar sangat lirih dan hampir tak terdengar. “Dengarkanlah, aku
tak pernah meminta apapun darimu, dan tak menuntut dirimu menjadi apa yang
kumau. Aku hanya dapat mendoakanmu, jalanilah hidupmu sebaik-baiknya.
Bahagiakan dirimu, bahagiakan orang yang kamu cintai, sebab hanya dengan kasih sayang
kita dapat menjalani kehidupan dengan tenang.”
Tangisku pecah
sejadi-jadinya. Kupeluk tubuh kurus ayah. Kurasakan elusannya di punggungku.
Hatiku terasa hangat dibuatnya. Di pundaknya aku menumpahkan airmataku, hal
yang dulu selalu kulakukan saat aku merasa sedih dan kesepian.
“Semoga kamu
bahagia, anakku,” bisik ayah di dekat telingaku, terdengar sangat lirih. Dan
kemudian usapannya terhenti. Jeritku semakin mengeras, airmata yang mengalir
bagai air bah yang tak tertahankan menjadi pertanda, bahwa baru saja aku
kehilangan lelaki terhebat yang pernah kumiliki.
***
Ayah, dalam hening kurindu untuk menuai padi milik kita
Namun kerinduan hanya tinggal kerinduan
Aku menabur bunga
di atas pusara ayah. Sudah hampir enam bulan berlalu semenjak kepergiannya,
namun lubang di hatiku masih belum tertutup. Sisa-sisa kenangan dengannya masih
menghampiriku, memancing tangis dan airmata yang sudah tak terhitung. Lebih
tepatnya, aku lelah menghitung berapa banyak tangisan yang kubuat semenjak
kepergian ayah.
“Ayah, aku ingin
mengabarkan kepadamu, kekasihku baru saja melamarku. Kami akan menikah akhir
tahun ini. Aku bahagia dengannya dan aku akan membahagiakan calon suamiku itu,
seperti wasiatmu. Semoga, ayah bahagia juga mendengarnya,” ucapku dengan bibir
bergetar. Getir terasa di dada, membuat airmata tak sanggup menahan dirinya
untuk tidak menerobos keluar.
“Laksmi, tabahkan
dirimu. Aku yakin ayahmu bahagia di dalam rengkuhan-Nya,” ucap Ferdi, calon
suamiku. Dia mendekatkan tubuhnya denganku, direngkuhnya aku dalam dekapannya.
Dalam pelukannya aku menangis sepuasnya. Berharap kesedihan reda seiring
keringnya airmata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar