Senin, 03 September 2012

Lelaki Terhebat

Kau nampak tua dan lelah
Keringat mengucur deras namun kau tetap tabah

“Duduklah.” Aku duduk mengikuti perintah lelaki di hadapanku. “Bagaimana kabarmu? Sehat?”

Aku hanya menganggukkan kepalaku. Aku menatap lekat lelaki di hadapanku itu. Sudah lama tidak menjumpainya. Aku merutuki diriku sendiri yang baru menemuinya saat ini. Bau pengap khas obat memenuhi kamar ini. “Maafkan aku baru bisa pulang sekarang,” ucapku dengan suara bergetar.

“Sudahlah, Ayah bahagia masih bisa bertemu denganmu. Sekarang ceritakanlah apa yang kau alami, dan apa yang tidak kuketahui.”

Kutatap ayah yang duduk bersandar di atas kasur. Tubuhnya nampak kurus, terlihat tulang-tulang yang mencuat, seolah hanya dilapisi oleh selembar kulit yang sudah berkeriput. Matanya terlihat cekung seperti kelelahan. Kutatap dalam-dalam mata itu, mata dari lelaki yang menjadi panutanku, lelaki yang punggungnya selalu kulihat sejak diriku dapat melihat. Sejak Ibu meninggal karena sakit saat aku berumur 2 tahun, ayahlah yang merawat dan membesarkanku.

Kemarin, sebuah kabar dari bibiku datang. Mereka memintaku untuk pulang setelah hampir 5 tahun merantau di Ibukota. Mereka mengabarkan ayah sedang sakit. Selama aku merantau di Jakarta, saudari kandung ayahku itulah yang merawat beliau. Dari yang diceritakan, aku mengetahui bahwa ayah menderita sakit paru-paru sejak dua tahun terakhir. Namun kondisi beliau memburuk dalam seminggu terakhir. Saat ini ayah hanya dirawat di rumah, sebab kendala biaya menjadi alasan utama tidak dirawat di rumah sakit.

Saat mendengar hal tersebut, aku sangat terkejut. Kupikir kondisi ayah sehat-sehat saja, sebab selama ini dia tidak memberitahu hal apapun. Ayah yang selama ini tidak pernah memintaku pulang, kini menyuruh bibi untuk menghubungiku agar aku pulang. Ya pulang ke sini, ke rumahku tempat aku tumbuh dan dibesarkan.

Aku bercerita banyak hal dengan ayah. Tentang apa saja yang kualami selama 5 tahun merantau, walau beberapa cerita sudah pernah kuceritakan pada ayah melalui surat yang rutin kukirim setiap tiga bulan sekali.

“Sudah lama sekali kita tidak berbicara seperti ini yah,” ucap ayah kepadaku.

`       “Ya, aku merindukan hal ini.” Mataku menahan haru yang mulai menderaku. Bola mataku sudah memanas, siap memuntahkan airmata yang sudah menggenang.

Kulihat, ayah mengambil sesuatu dari balik bantalnya. Sebuah kotak besi. Tangannya terlihat sangat ringkih saat mengangkat benda itu dan diletakkan kotak tersebut di pangkuannya. Ketika dibuka, aku melihat banyak lembar foto yang sudah menguning yang tersimpan di sana. “Kamu ingat foto ini?” tanyanya memperlihatkan sebuah foto bocah perempuan dengan gigi berlubang yang sedang digendong oleh lelaki yang berbadan kekar.

Aku tertawa kecil saat memandangi foto tersebut. “Mana mungkin aku melupakan diriku sendiri dan ayah.”

Kemudian ayah mengeluarkan foto-foto lain yang merupakan potret peristiwa-peristiwa yang kualami sejak aku kecil hingga lulus sekolah menengah. Hanya sampai situ, sebab selepas lulus sekolah aku langsung memutuskan untuk merantau ke Jakarta.

Aku mengambil beberapa lembar foto yang sudah menguning. Dadaku berdesir, ada haru yang tak juga menghilang. Dulu, tetangga kami memiliki kamera, dan ayah selalu memohon kepada tetanggaku tersebut untuk mengambil fotoku dan dirinya. Saat aku masih kecil dulu, sangat senang difoto, sehingga selalu meminta ayah untuk memoto diriku sesering mungkin, dan sesering itu pula ayah merepotkan tetangga kami itu.

“Ayah, kenapa di foto-foto ini banyak sekali foto diriku yang sedang digendong?”

“Sebab dulu ayah tidak mampu membelikanmu sepeda untuk dirimu berkeliling seperti anak seumuranmu pada saat itu. Sementara ayah hanya seorang kuli, hanya seorang bodoh yang bahkan tidak bisa baca dan tulis pada saat itu. Yang ayah tahu, kamu bahagia saat sedang digendong, dan hal itu kulakukan untukmu dengan senang hati.”

Keriput tulang pipimu gambarkan perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
Kini kurus dan terbungkuk

Tangisku hampir pecah. Pelupuk mataku tak lagi sanggup menahan airmata. Perlahan, airmata menetes melalui celah kecil di pinggir mataku. “Ayah,” ucapku lirih seraya memeluk tubuh kurus lelaki terhebat yang pernah kukenal. Tubuhnya yang dulu tegap berisi, sekarang sudah layu dimakan penyakit.

Hatiku berdenyut keras, terasa perih. Aku tidak dapat melakukan apa-apa untuk membuatnya merasa lebih baik. Terdengar suara batuk ayah yang terdengar sangat berat dan berlangsung lama. Terlihat oleh mataku, darah keluar dari mulutnya. Tubuhku bergetar saat melihat wajah ayah yang mendadak pias. Segera aku berlari keluar kamar untuk meminta pertolongan pada bibi dan saudaraku yang lain.

“Laksmi,” panggil ayah yang membuatku yang baru saja akan mencari pertolongan menjadi berhenti. Suara ayah terdengar sangat lirih dan hampir tak terdengar. “Dengarkanlah, aku tak pernah meminta apapun darimu, dan tak menuntut dirimu menjadi apa yang kumau. Aku hanya dapat mendoakanmu, jalanilah hidupmu sebaik-baiknya. Bahagiakan dirimu, bahagiakan orang yang kamu cintai, sebab hanya dengan kasih sayang kita dapat menjalani kehidupan dengan tenang.”

Tangisku pecah sejadi-jadinya. Kupeluk tubuh kurus ayah. Kurasakan elusannya di punggungku. Hatiku terasa hangat dibuatnya. Di pundaknya aku menumpahkan airmataku, hal yang dulu selalu kulakukan saat aku merasa sedih dan kesepian.

“Semoga kamu bahagia, anakku,” bisik ayah di dekat telingaku, terdengar sangat lirih. Dan kemudian usapannya terhenti. Jeritku semakin mengeras, airmata yang mengalir bagai air bah yang tak tertahankan menjadi pertanda, bahwa baru saja aku kehilangan lelaki terhebat yang pernah kumiliki.

***

Ayah, dalam hening kurindu untuk menuai padi milik kita
Namun kerinduan hanya tinggal kerinduan

Aku menabur bunga di atas pusara ayah. Sudah hampir enam bulan berlalu semenjak kepergiannya, namun lubang di hatiku masih belum tertutup. Sisa-sisa kenangan dengannya masih menghampiriku, memancing tangis dan airmata yang sudah tak terhitung. Lebih tepatnya, aku lelah menghitung berapa banyak tangisan yang kubuat semenjak kepergian ayah.

“Ayah, aku ingin mengabarkan kepadamu, kekasihku baru saja melamarku. Kami akan menikah akhir tahun ini. Aku bahagia dengannya dan aku akan membahagiakan calon suamiku itu, seperti wasiatmu. Semoga, ayah bahagia juga mendengarnya,” ucapku dengan bibir bergetar. Getir terasa di dada, membuat airmata tak sanggup menahan dirinya untuk tidak menerobos keluar.

“Laksmi, tabahkan dirimu. Aku yakin ayahmu bahagia di dalam rengkuhan-Nya,” ucap Ferdi, calon suamiku. Dia mendekatkan tubuhnya denganku, direngkuhnya aku dalam dekapannya. Dalam pelukannya aku menangis sepuasnya. Berharap kesedihan reda seiring keringnya airmata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar