Kumatikan playlistku. Lagu
Berhenti Berharap dari band kesayanganku semakin menambah muram suasana.
Gelisah yang menggelayuti pikiranku tak jua mereda. Sudah waktunya berhenti,
pikirku.
Kuhembuskan
nafas pelan, mencoba mengurangi sesak yang membebat. Gemuruh di dadaku tak
berkurang. Kilasan kejadian siang tadi masih terus membayang.
Kau ajarkan aku bahagia, kau ajarkan aku derita.
Kau berikan bahagia, kau berikan aku derita.
Potongan
lirik itu kembali terngiang di kepalaku. Perlahan mataku memanas. Airmata siap
menderas dari pelupuk mataku. Kehilangan tak selalu menyenangkan, bahkan untuk
kehilangan sesuatu yang tidak pernah dimiliki seutuhnya.
Isakku
tak tertahan. Kutangkupkan wajahku pada boneka bantal kesayanganku. Perlahan
boneka Angry Bird berwarna merah itu melembab; menampung seluruh airmataku
tanpa protes.
Perlahan
kesadaranku menipis, lelah mendera pikiran dan fisikku. Perlahan, cahaya
meremang dan menjadi gelap seutuhnya.
***
Pagi sudah menyapa, kurasakan hangatnya sinar
matahari di pipiku; yang masuk melalui jendela yang tidak kututup semalam.
Pandanganku mengerjap, rasa malas menyergapku. Dan kasurku mendadak seperti
kekasih yang cemburu berlebihan, seolah tak ingin kutinggalkan dan memintaku
tetap di atasnya.
Terdengar ponselku berdering. Sebuah panggilan dari
Fraya. "Hallo, Fray," ucapku dengan nada suara yang masih parau.
"Baru bangun? Buruan mandi gih, sejam lagi gue
jemput."
Aku tergagap. "Kita mau ke--" ucapanku
terpotong ucapan Fraya.
"Udah cepetan mandi. Oke yah, bye." Fraya
langsung menutup panggilannya. Meninggalkanku dalam kebingungan. Mau ngajak aku
kemana? tanyaku pada udara disekitarku.
Aku beranjak dari atas kasur menuju kamar mandi
dengan ogah-ogahan. Hari minggu pagi begini mau kemana sih? sungutku sedikit
kesal.
Beberapa puluh menit kemudian Fraya tiba. Terdengar
suara mobilnya memasuki halaman parkir kostanku. Dia yang sudah mengenal semua
teman kostku,dan penjaga kostan langsung naik ke lantai dua tempat kamarku
berada.
"Udah siap, Ne?" tanyanya saat aku baru saja
selesai merias wajahku.
"Kita mau kemana sih, Fray?"
"Lo emangnya lupa?" Terlihat wajah sebal
di wajah Fraya. "Jeane, penyakit lupaan lo udah akut banget yah? Kita tuh
mau ke bandara, jemput saudara gua yang datang dari Aceh. Baru lusa kemarin gue
kasih tau, kok udah lupa aja."
"Oh iya," ucapku seraya menyunggirkan
cengiran, "ya maaf, Fray. Lo kan tau gua kayak apa."
Aku melihat dia menyungut. Gusar di wajahnya sangat
terlihat. Fraya tipe orang yag eksresif, dia akan selalu mengekspresikan apa
yang dirasakannya. Bila dia sedang sebal, maka mimik wajahnya akan sangat
mempelihatkan dirinya sedang sebal, seperti saat ini.
Aku tertawa kecil melihat ekspresi wajah Fraya.
Postur tubuhnya yang mini dan wajahnya yang polos membuatnya seperti anak kecil
yang tidak dibelikan mainan kesukaannya saat dia memasang ekspresi sebal.
"Yaudah, kita jalan sekarang tanyaku? Hayolah, nanti saudaramu terlalu
menunggu. Kapan jam kedatangan pesawatnya?" tanyaku agar suasana mencair
kembali.
***
"Reza, disini!" Fraya memekik ke arah
orang-orang yabg baru keluar dari pintu kedatangan, dia terlihat emanggil
lelaki berbaju kaos warna coklat tua yang sedang mendorong trolley di atara
kerumunan orang-orang lainnya. "Reza," pekiknya sekali lagi seraya
melambaikan tangan di udara.
Lelaki itu melihat ke arah kami. Dia terlihat
tersenyum saat menemukan kami. Dia mendekat ke arah kami. "Hai Fraya, aku
kira kamu bakal telat jemput aku."
"Ya, hampir," ucap Fraya melirik kepadaku.
Lelaki itu ikut menoleh ke arahku.
"Ah, Za, kenalin ini Jeane, teman
dekatku."
"Hai, Reza," ucapnya menyodorkan
tangannya.
"Ha-hai, Jeane," ucapku sedikit kikuk saat
Reza menjabat tanganku. Kulihat dia tersenyum. Senyumnya terlihat menyenangkan.
Garis rahangnya yang tegas dengan leaung pipit yang tercetak saat di tersenyum,
membuat siapa saja yang melihat senyumannya akan ikut tersenyum.
"Yuk kita cabut sekarang." Ucapan Fraya
membuatku terkaget. Segera kulepaskan tanganku yang terjabat dengan tangan
Reza. Kulihat Reza tersenyum lagi ke arahku. Wajahku menyemu merah.
"Oke," jawabku dengan Reza hampir
bersamaan. Fraya memandang aneh ke arah kita berdua. Reza hanya menebar senyum
kepada Fraya seolah memberi tahu bahwa semua biasa saja. Sementara itu aku diam
saja dan segera menyusul Fraya yang berjalan paling depan.
***
Aku duduk di beranda kamar kostanku. Ditemani boneka bantal Angry
Bird aku membuang waktu dengan lamunan, dengan pikiran seputar Reza. Semalam,
aku memimpikannya. Mimpiku memutarkan kembali awal proses pertemuanku
dengannya. Awalnya setiap pagi terasa biasa bagiku, namun menjadi tidak biasa
lagi sejak pertemuan dengannya. Ada yang tidak sama sejak senyuman Reza
memikatku. Ada kehangatan yang kurasakan setiap aku melihat senyumnya itu.
Tanpa dikomandoi, airmata kembali menetes. Aku mengutuk diriku
sendiri. Mengutuk kebodohanku dan kerapuhanku saat ini. Dengan kesal aku
mencoba menghapus tiap airmata yang keluar. Berharap dia tak lagi keluar. “Bodoh,
bodoh, bodoh.”
“Sebentar,” ucap Reza kembali ke arah mobilnya
dan mengeluarkan sesuatu dari dalam bagasi. “Ini untuk kamu, selamat ulang
tahun, semoga kamu suka.” Senyumnya yang khas mengembang di wajahnya.
Aku terperangah saat melihat apa yang
diberikan oleh Reza. Sebuah boneka bantal Angry Bird berwarna merah. Wajahku menyemu
semerah boneka yang kudekap. “Makasi, aku suka banget.”
“Anything for you, Dear.”
Tanpa aba-aba sebuah kecupan mendarat di
bibirku. Menjadikan malam itu sebagai malam terindah yang pernah kurasakan.
“Kenapa?” ucapku pada udara. Suaraku terdengar lirih, mungkin
sudah hampir tak memiliki daya untuk bersuara. Pandanganku kosong, tak tahu
menatap apa. Pikiranku penuh tentang Reza. Tentang kehangatannya, keramahannya,
dan tentang rasa sakit hati yang diberikannya.
Kicau burung masih terdengar di halaman kostan, dan cahaya mentari
masih terasa hangat, namun terasa sudah sangat lama aku berada di beranda. Aku baru
menyadarinya saat ini baru pukul 07.00 saat Fraya menelponku. Dia
mengkhawatirkan keadaanku.
Kejadian semalam masih sangat membekas dipikiranku. Pengkhianatan itu
terjadi di depan mataku. Meninju ulu hatiku dengan telak, membuat nafasku sesak
sesaat.
“Jeane?” Kulihat wajahnya yang
kebingungan. Tangannya langsung melepaskan kaitannya dengan perempuan yang ada
di sampingnya. “Kamu kenapa ada disini?” Sebuah pertanyaan konyol
dilontarkannya padaku.
“Siapa dia, Sayang?” tanya perempuan di
samping Reza. Dia kembali mengaitkan lengannya pada lengan Reza. “Kamu siapanya
Reza? Dia tunanganku,” ucapnya menohokku.
Pertahananku roboh, namun aku tak mau
jatuh dihadapannya, segera aku melangkahkan kakiku secepatnya. “Kenapa?”
tanyaku sebelum meninggalkan Reza dengan perempuan itu.
Terdengar olehku suara Reza yang
memangggil namaku. Aku ingin berpaling, namun tak mau. Apalah artinya kembali
jika dia tak menjadi milikku.
Tangisku menderas. Airmata menghujani boneka bantal Angry Bird
yang kucengkeram kuat. “Kenapa? Kenapa sejak awal kamu nggak bilang kalau kamu
sudah punya tunangan. Kenapa, Za?!!” Tangisku pecah sejadi-jadinya. Hatiku menjeritkan
perih yang saat ini kurasakan. Semua pertahananku roboh dan hancur tak bersisa.
Kenapa
ada derita, bila bahagia tercipta
Kenapa
ada sang hitam, bila putih menyenangkan
Alunan suara Duta
terngiang jelas di kepalaku. Kini aku tau bagaimana rasanya sebuah patah hati
dan kekecewaan yang mendalam. Kupeluk erat bonekaku, kupeluk erat sakit hati
ini.
Ketika sedih yang
terasa, dan kesendirian menyapa. Hanya diriku sendiri yang dapat memelukku. Saat
ini aku merasakannya dan menyadarinya, bahwa cinta adalah nama lain dari luka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar