Sabtu, 01 September 2012

Kenapa?


Kumatikan playlistku. Lagu Berhenti Berharap dari band kesayanganku semakin menambah muram suasana. Gelisah yang menggelayuti pikiranku tak jua mereda. Sudah waktunya berhenti, pikirku.

Kuhembuskan nafas pelan, mencoba mengurangi sesak yang membebat. Gemuruh di dadaku tak berkurang. Kilasan kejadian siang tadi masih terus membayang.

Kau ajarkan aku bahagia, kau ajarkan aku derita.
Kau berikan bahagia, kau berikan aku derita.

Potongan lirik itu kembali terngiang di kepalaku. Perlahan mataku memanas. Airmata siap menderas dari pelupuk mataku. Kehilangan tak selalu menyenangkan, bahkan untuk kehilangan sesuatu yang tidak pernah dimiliki seutuhnya.

Isakku tak tertahan. Kutangkupkan wajahku pada boneka bantal kesayanganku. Perlahan boneka Angry Bird berwarna merah itu melembab; menampung seluruh airmataku tanpa protes.

Perlahan kesadaranku menipis, lelah mendera pikiran dan fisikku. Perlahan, cahaya meremang dan menjadi gelap seutuhnya.

***

Pagi sudah menyapa, kurasakan hangatnya sinar matahari di pipiku; yang masuk melalui jendela yang tidak kututup semalam. Pandanganku mengerjap, rasa malas menyergapku. Dan kasurku mendadak seperti kekasih yang cemburu berlebihan, seolah tak ingin kutinggalkan dan memintaku tetap di atasnya.

Terdengar ponselku berdering. Sebuah panggilan dari Fraya. "Hallo, Fray," ucapku dengan nada suara yang masih parau.

"Baru bangun? Buruan mandi gih, sejam lagi gue jemput."

Aku tergagap. "Kita mau ke--" ucapanku terpotong ucapan Fraya.

"Udah cepetan mandi. Oke yah, bye." Fraya langsung menutup panggilannya. Meninggalkanku dalam kebingungan. Mau ngajak aku kemana? tanyaku pada udara disekitarku.

Aku beranjak dari atas kasur menuju kamar mandi dengan ogah-ogahan. Hari minggu pagi begini mau kemana sih? sungutku sedikit kesal.

Beberapa puluh menit kemudian Fraya tiba. Terdengar suara mobilnya memasuki halaman parkir kostanku. Dia yang sudah mengenal semua teman kostku,dan penjaga kostan langsung naik ke lantai dua tempat kamarku berada.

"Udah siap, Ne?" tanyanya saat aku baru saja selesai merias wajahku.

"Kita mau kemana sih, Fray?"

"Lo emangnya lupa?" Terlihat wajah sebal di wajah Fraya. "Jeane, penyakit lupaan lo udah akut banget yah? Kita tuh mau ke bandara, jemput saudara gua yang datang dari Aceh. Baru lusa kemarin gue kasih tau, kok udah lupa aja."

"Oh iya," ucapku seraya menyunggirkan cengiran, "ya maaf, Fray. Lo kan tau gua kayak apa."

Aku melihat dia menyungut. Gusar di wajahnya sangat terlihat. Fraya tipe orang yag eksresif, dia akan selalu mengekspresikan apa yang dirasakannya. Bila dia sedang sebal, maka mimik wajahnya akan sangat mempelihatkan dirinya sedang sebal, seperti saat ini.

Aku tertawa kecil melihat ekspresi wajah Fraya. Postur tubuhnya yang mini dan wajahnya yang polos membuatnya seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan kesukaannya saat dia memasang ekspresi sebal. "Yaudah, kita jalan sekarang tanyaku? Hayolah, nanti saudaramu terlalu menunggu. Kapan jam kedatangan pesawatnya?" tanyaku agar suasana mencair kembali.

***

"Reza, disini!" Fraya memekik ke arah orang-orang yabg baru keluar dari pintu kedatangan, dia terlihat emanggil lelaki berbaju kaos warna coklat tua yang sedang mendorong trolley di atara kerumunan orang-orang lainnya. "Reza," pekiknya sekali lagi seraya melambaikan tangan di udara.

Lelaki itu melihat ke arah kami. Dia terlihat tersenyum saat menemukan kami. Dia mendekat ke arah kami. "Hai Fraya, aku kira kamu bakal telat jemput aku."

"Ya, hampir," ucap Fraya melirik kepadaku. Lelaki itu ikut menoleh ke arahku.

"Ah, Za, kenalin ini Jeane, teman dekatku."

"Hai, Reza," ucapnya menyodorkan tangannya.

"Ha-hai, Jeane," ucapku sedikit kikuk saat Reza menjabat tanganku. Kulihat dia tersenyum. Senyumnya terlihat menyenangkan. Garis rahangnya yang tegas dengan leaung pipit yang tercetak saat di tersenyum, membuat siapa saja yang melihat senyumannya akan ikut tersenyum.

"Yuk kita cabut sekarang." Ucapan Fraya membuatku terkaget. Segera kulepaskan tanganku yang terjabat dengan tangan Reza. Kulihat Reza tersenyum lagi ke arahku. Wajahku menyemu merah.

"Oke," jawabku dengan Reza hampir bersamaan. Fraya memandang aneh ke arah kita berdua. Reza hanya menebar senyum kepada Fraya seolah memberi tahu bahwa semua biasa saja. Sementara itu aku diam saja dan segera menyusul Fraya yang berjalan paling depan.

***

Aku duduk di beranda kamar kostanku. Ditemani boneka bantal Angry Bird aku membuang waktu dengan lamunan, dengan pikiran seputar Reza. Semalam, aku memimpikannya. Mimpiku memutarkan kembali awal proses pertemuanku dengannya. Awalnya setiap pagi terasa biasa bagiku, namun menjadi tidak biasa lagi sejak pertemuan dengannya. Ada yang tidak sama sejak senyuman Reza memikatku. Ada kehangatan yang kurasakan setiap aku melihat senyumnya itu.

Tanpa dikomandoi, airmata kembali menetes. Aku mengutuk diriku sendiri. Mengutuk kebodohanku dan kerapuhanku saat ini. Dengan kesal aku mencoba menghapus tiap airmata yang keluar. Berharap dia tak lagi keluar. “Bodoh, bodoh, bodoh.”

“Sebentar,” ucap Reza kembali ke arah mobilnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam bagasi. “Ini untuk kamu, selamat ulang tahun, semoga kamu suka.” Senyumnya yang khas mengembang di wajahnya.

Aku terperangah saat melihat apa yang diberikan oleh Reza. Sebuah boneka bantal Angry Bird berwarna merah. Wajahku menyemu semerah boneka yang kudekap. “Makasi, aku suka banget.”

“Anything for you, Dear.”

Tanpa aba-aba sebuah kecupan mendarat di bibirku. Menjadikan malam itu sebagai malam terindah yang pernah kurasakan.

“Kenapa?” ucapku pada udara. Suaraku terdengar lirih, mungkin sudah hampir tak memiliki daya untuk bersuara. Pandanganku kosong, tak tahu menatap apa. Pikiranku penuh tentang Reza. Tentang kehangatannya, keramahannya, dan tentang rasa sakit hati yang diberikannya.

Kicau burung masih terdengar di halaman kostan, dan cahaya mentari masih terasa hangat, namun terasa sudah sangat lama aku berada di beranda. Aku baru menyadarinya saat ini baru pukul 07.00 saat Fraya menelponku. Dia mengkhawatirkan keadaanku.

Kejadian semalam masih sangat membekas dipikiranku. Pengkhianatan itu terjadi di depan mataku. Meninju ulu hatiku dengan telak, membuat nafasku sesak sesaat.

“Jeane?” Kulihat wajahnya yang kebingungan. Tangannya langsung melepaskan kaitannya dengan perempuan yang ada di sampingnya. “Kamu kenapa ada disini?” Sebuah pertanyaan konyol dilontarkannya padaku.

“Siapa dia, Sayang?” tanya perempuan di samping Reza. Dia kembali mengaitkan lengannya pada lengan Reza. “Kamu siapanya Reza? Dia tunanganku,” ucapnya menohokku.

Pertahananku roboh, namun aku tak mau jatuh dihadapannya, segera aku melangkahkan kakiku secepatnya. “Kenapa?” tanyaku sebelum meninggalkan Reza dengan perempuan itu.

Terdengar olehku suara Reza yang memangggil namaku. Aku ingin berpaling, namun tak mau. Apalah artinya kembali jika dia tak menjadi milikku.

Tangisku menderas. Airmata menghujani boneka bantal Angry Bird yang kucengkeram kuat. “Kenapa? Kenapa sejak awal kamu nggak bilang kalau kamu sudah punya tunangan. Kenapa, Za?!!” Tangisku pecah sejadi-jadinya. Hatiku menjeritkan perih yang saat ini kurasakan. Semua pertahananku roboh dan hancur tak bersisa.

Kenapa ada derita, bila bahagia tercipta
Kenapa ada sang hitam, bila putih menyenangkan

Alunan suara Duta terngiang jelas di kepalaku. Kini aku tau bagaimana rasanya sebuah patah hati dan kekecewaan yang mendalam. Kupeluk erat bonekaku, kupeluk erat sakit hati ini.

Ketika sedih yang terasa, dan kesendirian menyapa. Hanya diriku sendiri yang dapat memelukku. Saat ini aku merasakannya dan menyadarinya, bahwa cinta adalah nama lain dari luka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar