Selasa, 13 Agustus 2013

Sepasang Sepatu Tua

Debu-debu beterbangan. Sore ini akan menjadi sore yang melelahkan bagiku. Beres-beres untuk pindah kosan bukanlah hal yang mudah.

Hari ini setelah sekian tahun lamanya tinggal menetap di kamar mungil ukuran 3x4 meter yang lokasinya tak jauh dari kampus, aku harus mengucapkan selamat tinggal. Kamar kosan ini adalah yang pertama dan terakhir aku tempati semenjak mulai berkuliah di kota ini.

Minggu yang lalu aku resmi di wisuda. Itu artinya, urusanku dengan kampus telah selesai, dan aku akan meninggalkan kamar kosan ini lalu kembali pulang ke rumah.

"Semua barang-barang lo mau diapain? Mau lo bawa pulang semua?" tanya Santy, sahabatku yang rela untuk ikut repot meembantuku pindahan.

Aku berhenti sejenak memasukkan novel dan buku-buku koleksiku ke dalam kardus. "Dijual-jualin aja, San. Repot kalau aku bawa pulang semua." Ya, rumahku yang berada di kota lain membuatku tidak mungkin untuk membawa semua benda yang aku beli sendiri, yang ada di kamar kosan saat ini.

"TV, DVD dan lemarinya mau dijual? Bisa aja sih. Mungkin beberapa junior ada yang mau bayarin. Kondisinya masih bagus kayaknya."

"Yaudah dijual aja," ucapku kembali memasukkan novel-novel koleksiku ke dalam kardus kedua. "Oh iya, San. Sekalian tolong lo pilih-pilih ya, barang-barang kecil yang menurut lo masih bagus dan nggak. Beberapa mungkin bakal gua buang."

"Siap, Bos!" ucap Santy memberikan salam hormat kepadaku.

"Isshh apa sih," desisku.

"Ya abis, lo daritadi ngasih perintah melulu. Kayak bos. Kayak Nino." Santy berceletuk seraya mengeluarkan beberapa benda yang aku taruh di kolong kasur.

Aku berhenti sejenak membereskan novel saat nama itu disebutkan. Nino, kekasihku. Lelaki yang menemaniku selama aku kuliah. Kami berkenalan dan menjalin hubungan saat masa awal kuliah dan mengakhirinya secara paksa tak lama sebelum mengenakan toga. Nino memang memiliki karakter yang cukup 'bossy', suka memberi perintah, walau tidak semenyebalkan kebayakan orang berkarakter seperti itu. Mungkin 4 tahun bersamanya membuat kebiasaannya itu menular ke diriku.

"Udah dong, jangan dibahas lagi." Kadang, setelah sekian lama bersama seseorang, akan ada beberapa kebiasaan orang tersebut yang akan melekat dan terbawa dalam diri kita.

"Iya deh, iya." Santy mengecek satu persatu benda yang dia keluarkan dari kolong tempat tidur. "Yang ini mau lo bawa nggak?" tanya sahabatku itu melemparkan sebuah kotak kardus kepadaku.

Aku tertegun memandangi kotak itu. Kotak itu adalah kotak berisi sepasang sepatu berwarna merah. Sepatu model klasik yang umurnya pun seklasik modelnya.

Sepatu merah adalah benda yang harus dibawa oleh mahasiswi baru saat masa 'perploncoan'. Sepatu itu bukan milikku. Aku tidak suka warna merah, maka itu aku tak pernah punya sepatu berwarna merah. Sepatu itu milik Nino, tepatnya, sepatu merah itu milik ibunya. Nino memberikannya kepadaku saat tahu aku tidak membawa sepatu merah. Dia melindungiku, dan mau menanggung hukuman untuk dikerjai senior karena dikira tak membawa sepatu merah.

Aku memandangi sepasang sepatu tua yang tersimpan rapi di dalam kotaknya. Sepatu yang menjadi awal aku mengenal Nino. Aku meletakkkan kotak sepatu itu di jajaran benda yang akan aku bawa pulang.

Akan selalu ada yang terbawa dari masa lalu. Dan aku kini merasakan rindu.

"Santy.... Nanti setelah beres-beres, kita ke Tanah Kusir dulu yuk, temani gue liat Nino."

Rona wajah Santy terlihat sendu saat menatapku. "Iya, Nayla." Santy mendekat dan memelukku. "Nino sudah tenang disana, Nay. Lo jangan sedih lagi yah."

Seketika, aku mengingat kembali kejadian malam itu, beberapa hari sebelum wisuda. Kabar yang datang tengah malam dari seorang polisi yang menghubungiku dari nomor Nino. Kecelakaan dan korban meninggal di tempat, begitulah yang dikabarkan kepadaku, nomor terakhir yang dihubungi Nino.

Aku mengambil sepasang sepatu tua berwarna merah itu, dan kupeluk erat. Selalu ada cerita pada sebuah benda, kenangan akan selalu bersemayam disana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar