Rabu, 14 Agustus 2013

Tombol Pengingat

Malam benderang, sinar rembulan menerangi salah satu sudut jalan. Aku sesekali melihat ke luar, menikmati pemandangan bulan yang memasuki masa purnama. Terasa menenangkan.

Aku memperhatikan jam, harusnya, cafe tempat aku datangi saat ini sudah memulai acaranya. Acara yang membuat aku sengaja datang ke cafe ini. Malam puisi. Itu acara yang akan diadakan oleh cafe ini.

Aku bukanlah penyair. Hanya saja, menikmati sajak, puisi, syair atau apapun itu yang berupa barisan kata-kata indah, selalu membuat diriku tenang. Selalu ada 'magis' tersendiri saat mendengar puisi dibacakan oleh orang yang tepat. Seperti malam ini dan malam puisi lain yang sering kudatangi.

Acara dimulai dan seorang lelaki maju dan membacakan puisi milik penyair senior. Orang-orang diam mendengarkan dengan seksama.

"Hujan turun semalaman, paginya jalak berkicau dan daun jambu bersemi. Mereka tak mengenal gurindam dan peribahasa, tapi menghayati adat kita yang purba."

Puisi yang dibacakan dengan penuh penghayatan terasa di dada. Puisi tentang alam yang menyentil kehidupan manusia.

Aku memandang ke sekeliling. Berharap menemukan seseorang yang kucari. Perempuan yang kadang diam-diam ikut menikmati pembacaan di malam puisi yang sering diadakan di tempat ini.

"Menurutmu, apa bagian terbaik dari pembacaan puisi?" Aku teringat ucapan perempuan itu kepadaku saat pertama kali kami bertemu di salah satu acara malam puisi yang sudah kulupakan kapan.

"Menikmati saat puisi dinyanyikan? Dan kata-kata dibacakan dengan mimik dan penghayatan yang tepat?" ucapku kepada perempuan yang tak kutahu siapa namanya itu.

"Bukan. Menurutku, bagian terbaik dari puisi yang dibacakan ialah saat merasa puisi itu dituliskan untuk kita atau saat merasa puisi itu ditulis untuk mengingatkan kita akan sesuatu."

"Bagaimana bisa?" tanyaku heran.

Perempuan itu tertawa pelan. "Puisi itu adalah tombol pengingat, yang ketika ditekan (baca: dibaca) akan membawa kita kepada hal-hal yang berkaitan dengan apa yang dimaksudkan dalam puisi. Mengingatkan kita pada hal-hal yang pernah terjadi."

"Contohnya?" tanyaku semakin tak mengerti. Perempuan ini sepertinya memiliki pikiran yang cukup kompleks. Ucapannya tadi cukup sulit dicerna.

"Nikmati lebih banyak puisi dan datang lebih sering ke malam puisi. Nanti kamu akan mengerti puisi sebagai tombol pengingat," ucap perempuan itu seraya bangkit dari kursinya.

"Lalu, menurutmu, puisi selalu mengingatkanmu tentang apa?"

"Kehilangan. Mendengar puisi akan selalu mengingatkanku pada suatu hal yang tak lagi dapat kumiliki."

Aku menyesap kopi yang sudah mendingin dengan sekali tegukan. Aku melemparkan pandangan ke luar lagi. Menikmati sinar bulan yang sedang purnama.

Penampilan puisi tadi sudah selesai, kemudian tak lama maju seorang perempuan untuk membacakan sebuah puisi karya orang yang sama dengan puisi sebelumnya.

"Bagaimana kau berkata bahwa kau bukan matahari, sedang panasmu menggugurkan daun-daun, memisahkannya dari ranting tempatnya bergantung."

Aku mendengarkan lirik puisi itu dan mulai menyadari, bagiku, puisi ialah tombol pengingat yang akan selalu mengingatkanku pada perempuan itu.

Dalam sebuah puisi akan selalu ada kenangan. Untuk diingat atau dilupakan, ialah hal kesekian. Sebab kenangan, adalah sebuah kepastian, yang akan dikekalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar