Jumat, 16 Agustus 2013

Lima Menit Kemudian

Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Satu menit kemudian, lima menit, sepuluh menit, satu jam atau beberapa bilangan waktu kemudian. Selalu ada sesuatu yang terjadi di luar perkiraan. Selalu.

Perkenalkan, namaku Nino. Beberapa menit yang lalu aku baru saja menghubungi kekasihku, Nayla. Mengabarkannya aku baru akan bergegas pulang dari rumah seorang teman. Rencananya, sesampainya di rumah aku akan segera tidur dan bangun keesokan harinya. Sebab besok aku sudah menyusun beberapa jadwal kegiatan, pergi bersama Nayla ke kampus untuk mengambil baju toga untuk acara wisuda yang akan diadakan dua hari kemudian.

Begitulah rencana yang sudah kubuat untuk beberapa hari ke depan. Seharusnya, semuanya berjalan lancar sesuai dengan perkiraanku. Setelah menutup telepon aku menghidupkan motorku dan melajukannya dengan normal. Biasanya, dari rumah Sony-temanku-sampai ke rumahku hanya memakan waktu sekitar 10 menit jika kulajukan motor dengan kecepatan tinggi, atau sekitar 15 menit jika dengan kecepatan pelan.

"Hati-hati di jalan, Sayang." Begitulah ucapan terakhir Nayla kepadaku sebelum kuakhiri percakapan dan kututup sambungan telepon.

Seperti itulah kira-kira perencanaan yang sudah kubuat. Dan seharusnya semua perencanaanku akan berjalan dengan tepat andai saja ban motorku tidak kempes mendadak, membuat ban motor goyang dan tergelincir di jalanan yang masih basah sisa hujan beberapa jam yang lalu. Aku terjatuh, lebih tepatnya terlempar dari motor, dan helm yang kugunakan terlepas lalu kepalaku menghantam trotoar jalan. Tak lama kemudian mataku terpejam, seperti hilang kesadaran.

Lima menit kemudian aku tersadar. Aku melihat beberapa orang berkerumun, beberapa orang lainnya mengangkat sepeda motorku yang terlempar jauh ke sudut jalan yang lain. Kemudian tak berapa lama kemudian datang seorang berpakaian polisi. Dia menginstruksikan orang-orang yang berkerumun untuk mengangkat tubuh korban kecelakaan itu, dan itu aku. Lalu polisi tersebut merogoh beberapa kantung celana dan jaketku, mengambil ponselku. Kulihat polisi tersebut membuka kotak daftar panggilan terakhir dan menghubungi nomor terakhir yang aku hubungi. Nayla.

"Halo, selamat malam," ucap polisi tersebut dengan nada suara yang tegas.

"Halo, selamat malam? Ini siapa yah? Kenapa suaranya bukan suara Nino?" Terdengar suara Nayla yang sepertinya bingung.

"Halo, Mbak Nayla. Mbak Nayla ini siapanya pemilik ponsel ini ya? Apakah Mbak Nayla keluarganya?" tanya Polisi itu kembali.

"Bukan, Pak. Saya pacarnya. Ada apa dengan pacar saya yah, Pak?" Nada khawatir terdengar jelas dari balik speaker phone.

"Saya Bambang Cahyono dari kepolisian sektor Tanah Abang ingin mengabarkan bahwa pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan tunggal, dan meninggal di tempat. Jenasah akan dirujuk ke rumah sakit terdekat. Mohon diberitahukan kepada keluarga korban. Selamat malam." Panggilan ditutup, dan ponselku kembali dimasukkan ke dalam saku celana.

Tak lama kemudian mobil pengangkut jenasah datang dan mengangkut tubuhku ke rumah sakit yang sering kulewati setiap kali pulang dari rumah Sony. Bunyi sirine, angin malam dan bau jalanan yang masih basah oleh sisa hujan terasa begitu tegas. Aku berdiri menatap tak percaya atas apa yang terjadi kepadaku. Dalam lima menit segalanya berubah. Hanya dalam waktu lima menit, seluruh rencana yang sudah aku buat menjadi sia-sia.

Tidak ada yang pasti di dunia ini, segala yang diperkiraan tidak pernah bisa tepat seluruhnya. Akan selalu ada hal yang membuat perkiraan itu meleset. Aku menyadari makna kata-kata itu sekarang. Semua yang aku rencanakan meleset, bahkan perencanaan itu hanya akan menjadi sebuah rencana yang tidak akan pernah dapat aku lakukan. Hanya dalam lima menit kemudian, segala perencanaanku menjadi sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar