Senin, 19 Agustus 2013

Menulis Takdir

Pada akhirnya, merasa sendiri adalah hal yang pasti akan dirasakan oleh siapapun, tanpa terkecuali. Sore ini, kala matahari sudah ingin mengundurkan diri dan akan berganti. Aku diam menikmati angin yang bertiup semilir. Tenang. Waktu seperti berhenti saat semburat jingga yang hangat dapat dinikmati pelan-pelan.

Sore ini, seperti sore yang biasanya pada hari-hari sebelumnya. Matahari masih jingga, saat akan terbenam dan sinarnya redup seperti cahaya hati yang sedang berlayar lalu karam. Kecuali aku. Hanya aku yang merasa sore ini begitu berbeda.

"Tumben kamu ada disini? Sedang berjalan-jalan atau...?" tanyaku dengan nada menggantung. Dihadapanku berdiri seorang lelaki yang mengenakan kemeja biru gelap yang senada dengan celana jeans yang dikenakannya.

"Ehem," lelaki itu berdeham dan membenarkan posisi kacamata yang sedikit merosot dari letaknya. Hidungnya yang tidak mancung selalu membuat posisi kacamata lelaki ini turun. Sebuah hal yang menjadi kebiasaan untuknya. "Jadi gini, aku akan menikah," ucapnya tanpa berbasa-basi.

"Lalu?" tanyaku dengan nada biasa.

"Aku mau kamu datang," ucapnya menyerahkan sepucuk undangan dengan foto dirinya dengan calon istrinya.

"Mau atau harus?"

"Engg, terserah kamu menganggapnya gimana. Hanya saja, aku merasa harus mengundangmu dan aku pun ingin kamu datang." Lelaki itu duduk di sampingku, menatap dan tersenyum kepadaku.

"Calon istrimu cantik, Dim," ucapku seraya membalas senyumannya.

Dimas kembali membetulkan posisi kacamatanya yang kembali merosot. "Ya, kamu juga cantik. Dan pintar."

"Hey, jangan goda aku. Bulan depan kamu menikah." Aku melemparkan kartu undangan ke arahnya. Lelaki itu tertawa pelan, pun juga denganku.

"Tapi itu jujur. Andai saja dulu orangtua kita masing-masing tidak menentang hubungan kita..." Ucapan Dimas terhenti sejenak. "Mungkin nama kamu yang ada di dalam kartu undangan itu, bersanding di sebelah namaku."

Aku menatap lurus paras lelaki itu. Rambutnya sudah tertata rapi, tidak lagi gondrong saat masih bersamaku. Dan juga sikapnya lebih formal. "Sudahlah. Masa lalu," ucapku seraya mengibaskan tangan. "Dan sepertinya..." Aku melirik ke kartu undangan. "Sheila sukses membuat dirimu lebih baik. Kamu yang sekarang jauh lebih rapi."

"Ya terlihat baik secara formal, walau aku tidak terbiasa. Aku lebih senang..."

"Menggunakan celana selutut, dengan baju kaos serta gelang-gelang tali yang selalu kamu kenakan di pergelangan tangan kirimu," aku memotong ucapan Dimas. Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Hingga sekarang, aku tidak lupa selera berbusananya yang begitu biasa.

Dimas tesenyum lebar. "Ya, dan tak lupa ini." Lelaki itu memegang rambutnya. "Capek kalau tiap bulan pergi ke tukang cukur rambut."

"Ya, rambutmu memang cepat sekali memanjang."

Hening menengahi obrolanku dengan Dimas. Dimas diam, sepertinya dia sedang mencari topik yang bisa dibicarakan.

Bertemu kembali dengan seseorang yang dulu selalu ada di sampingmu, setelah pertidaktemuan yang cukup lama, bisa membuatmu seperti orang bodoh yang tidak tahu ingin membicarakan apa. Itulah yang terjadi denganku dan Dimas saat ini.

"Masih sibuk menulis?" tanya Dimas membuka topik obrolan lagi.

"Ya masih."

"Aku masih ingat percakapan pertama kita. Kira-kira suasananya seperti ini kan?" tanya Dimas kembali.

Aku mengarahkan pandanganku kepada lelaki itu lagi. Dan mengingat-ingat saat pertama berkenalan dengannya, lalu sadar bahwa yang dikatakan Dimas benar. "Ya, sore hari, dan di sebuah taman. Hanya saja, lokasinya saja yang berbeda, walau sama-sama sebuah taman."

"Masih ingat apa yang kamu ucapkan kepadaku saat aku bertanya, apa alasanmu menulis?" Dimas menatapku lekat.

"Menulis takdir. Aku menulis tentang sesuatu yang ada di dalam pikiranku. Semoga apa yang kutulis menjadi takdir yang akan kutemui nantinya. Sebabnya itu aku selalu menulis hal-hal yang manis," ucap kami bersamaan. Aku cukup terkejut bahwa dia masih mengingat jawaban itu. Jawaban yang aku ucapkan kepada siapapun yang menanyakan alasanku menulis.

Kami saling menatap. Lalu tiba-tiba saja aku dan Dimas tersenyum, kemudian tertawa bersama.

"Ya... Ya... Sayangnya tidak selalu seperti itu," ucapku seraya membereskan laptop ke dalam tas.

"Maksudnya?" tanya Dimas dengan mimik wajah heran.

"Aku selalu menulis sesuatu yang manis, berharap itu menjadi takdir yang manis juga. Ya, sayangnya tidak selalu seperti itu. Kamu akan menikah bulan depan, dengan perempuan lain," ucapku dengan nada penekanan di kalimat terakhir. "Dan itu bukan takdir yang aku inginkan, sebenarnya." Aku bangkit dari bangku taman yang sudah kududuki sejak tadi. "Selamat, semoga pernikahan kalian nanti bahagia. Dan sepertinya aku tidak akan datang. Terima kasih untuk undangannya." Aku menyerahkan kembali sepucuk kartu undangan pernikahan itu kepada Dimas.

Aku melambaikan tangan kepada mantan kekasihku itu. Lelaki yang menemaniku selama hampir sewindu lamanya. Lelaki yang awalnya kupikir takdirku. Kadang memang seperti itu, aku hanya dapat berharap dia takdir kepadaku. Takdir yang manis. Sayangnya, takdir tidak dapat kita tentukan sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar