Rabu, 23 Januari 2013

Kisah Sederhana Kala Senja

Matahari sudah mulai beranjak dari titik kulminasinya. Kini, sinarnya sudah mulai meredup, meninggalkan jejak-jejak kehangatan. Dan semilir angin, menambah daftar alasan untuk duduk-duduk, bersantai atau bahkan saling berbicara dengan secangkir kopi sebagai tegukan.

Sore ini, akhir pekan, seperti biasa, taman akan selalu ramai dengan orang-orang; para ibu yang menemani anaknya bermain prosotan, bapak-bapak menjelang paruh baya yang duduk beralas koran sedang sibuk memikirkan langkah permainan catur selanjutnya, bocah yang lari dengan senyum merekah sebab balon yang diinginkan berhasil didapatkan dengan cara setengah merengek, dan muda-mudi yang duduk berdua menghabiskan kebersamaan.

Aku selalu tersenyum jika sedang mengunjungi taman ini. Aura bahagia tersebar di penjuru taman, menjadi satu tempat dimana orang-orang menanggalkan kepenatan menjalani keseharian; seperti yang sering kulakulan.

Di tanganku, sudah siap kanvas kosong, pensil gambar, kuas berserta macam-macam warna cat air yang kubiarkan bertumpuk di dalam ember yang kugenggam. Kususuri jalan di taman, mencari posisi dan objek yang tepat untuk kujadikan model dadakan tanpa bayaran.

Di pojok taman, di bawah lampu penerang yang belum menyala lampunya, aku melihat seorang wanita yang sedang bersandar pada tiang. Wajahnya terlihat cemas-menunggu seseorang, terbukti dari intensitasnya melirik ke jam tangan yang dikenakannya di pergelangan tangan kiri. Aku tersenyum melihat tingkah polahnya.

Aku memundurkan langkah, menjaga jarakku agar tak disadari oleh wanita itu bahwa sedang ada aku yang memperhatikannya; mengagumi dirinya.

Kuambil pensil yang tak lancip ujungnya dari dalam ember. Kugoreskan, dan kubuat sebuah sketsa siluet wanita tadi. Jemariku dengan lincah menggoreskan pensil dan menghasilkan garis-garis yang kemudian menjadi siluet tubuh wanita itu. Angle dan pencahayaannya begitu pas.

Jika aku bukan seorang pelukis, melainkan seorang fotografer, aku takkan melewatkan moment itu. Cahaya matahari yang sudah menjingga jatuh menimpa kepal wanita itu, dan menghasilkan sebuah bayangan panjang yang bercampur dengan bayangan tiang. Dalam benakku, image yang terbayang begitu indah dan sempurna. Tapi, bukankah yang indah dan sempurna hanya memang ada di dalam benak saja.

"Kamu kemana aja? Sudah disini dari kapan? Kenapa nggak bilang-bilang?" Wanita tadi berbicara. Nada suaranya terdengar cemas dan kesal pada saat yang sama. Wanita itu berjalan menuju tempat orang yang menjadi lawan bicaranya tadi.

Aku tersenyum mendengarnya. Jemariku masih asik menggoreskan mata pensil di kanvas, dan sesekali kusapu, untuk menimbulkan efek bayangan dan gradasi tertentu.

"Aku sudah bosan menunggu, aku kira kamu ga bakal jadi datang." Wanita itu mulai mengeluarkan isi kekesalannya.

Aku tersenyum lagi mendengar perkataan wanita tersebut. Saat sketsa gambar siluet sudah selesai kubuat, kugeser papan penyangga kanvas, agar wanita yang duduk di sampingku dapat melihatnya dengan jelas.

Bola mata wanita itu membulat, binar mata terlihat lebih hidup.

"Selamat ulang tahun, Sayang. Ini hadiah untukmu," ucapku kepada wanita yang sejak tadi menunggu kedatanganku di bawah tiang lampu penerangan taman.

Di tangan wanita tersebut, di kanvas yang dipegangnya, ada sebuah silet tubuhnya sendiri yang kubuat secara kilat.

Langit makin menggelap, di ujung cakrawala, matahari mulai menenggelamkan dirinya. Sore ini terasa begitu indah dan membahagiakan. Sesekali, tiupan angin sepoi menerbangkan rambut-rambut kecil di belakang telinga; menguarkan suasana yang begitu nyaman.

Wanita itu mengamit telapak tanganku, digenggamnya erat. Kekasihku itu menatap ke arahku, menantang kedua bola mataku. Lalu dia tersenyum. Hal yang membuatku ikut tersenyum sendiri. Hal yang selalu membuatku bahagia saat melihatnya tersenyum. Senyuman adalah cara paling mudah untuk menambah kebahagiaan.

Dan sebuah kecupan hangat yang singkat di bibir menjadi penutup sore yang indah. Sore yang terasa begitu hangat; di dada dan hati. Sore di kala senja yang selalu kusempatkan di tengah rutinitas sehari-hari.

Seperti itulah perayaan ulang tahun kekasihku. Sederhana. Hanya aku dan dia. Dia mengapit erat lenganku. Kami duduk di bangku taman, menghabiskan waktu, menatap senja, hingga benar-benar habis dan digantikan malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar