Senin, 14 Januari 2013

Orang Ketiga Pertama

Suara Duta memenuhi telingaku. Melalui headset yang kujejalkan di telinga, aku menikmati lagu-lagu Sheila On 7 yang menjadi playlistku sore ini, menemaniku melewati waktu, untuk menunggu. Kubuka Samsung S III, kulihat daftar lagu-lagu SO7 yang kupunya. Aku tersenyum saat melihat sebuah judul lagu disana. Segera jemariku menekan tombol 'play'. Seketika lagu Jadikan Aku Pacarmu berkumandang. Senyumku terus mengembang saat mendengar lirik-lirik lagu itu dinyanyikan, begitu sesuai dengan yang aku rasakan saat ini.

Kulirik jam digital di smartphone yang kugenggam. Tidak terasa aku sudah menunggu hampir setengah jam. Perlahan, jenuh mulai menderaku. Menunggu adalah aktifitas santai yang cepat membosankan. Terlalu lama menunggu malah membuat diri tak tenang. Aku mulai bertanya-tanya di dalam hati, kenapa Rani datangnya setelat ini.

Hari ini adalah pertemuan-entah-yang-keberapa dengan Rani. Seharusnya, lima menit lagi kita sudah harus masuk ke dalam studio, film yang ingin di tonton sebentar lagi akan dimulai. Aku gelisah menimang tiket masuk di tanganku.

Terdengar lagi suara petugas bioskop memberitahukan bahwa studio 3-tempat dimana filmku diputar-sudah dibuka, dan orang-orang yang memiliki tiket berbondong-bondong masuk ke dalam studio untuk menonton film yang sedang 'in' saat ini.

Kulirik lagi jam digital, seharusnya, film baru dimulai, tapi Rani belum kunjung tiba. Aku melepas headset dan mematikan playlist. Sepertinya rencana menonton film akan batal. Isi pesan dari Rani yang mengabarkan dirinya akan sampai dalam beberapa menit lagi tak kunjung terealisasi. Beberapa menit bagi perempuan bermakna beberapa belas menit dalam keadaan sebenarnya.

Dari kejauhan terlihat Rani yang berjalan cepat setengah berlari. "Pang... Ipang, sorry yah telat banget. Kena macet. Film udah dimulai yah? Tiket udah dibeli? Yaudah yuk kita masuk," ucap Rani tanpa jeda ketika baru sampai, nafasnya memburu cepat, tersengal-sengal.

"Oke." Aku tersenyum kecil. Menatap matanya, membuat rasa kesalku kepadanya tadi langsung hilang. Aku dan Rani segera berjalan menuju pintu studio 3.

***

Film baru saja selesai. Saat lampu dinyalakan, terlihat olehku wajah Rani yang memerah, matanya sembab dan airmata membasahi pipinya. Cerita di film tadi memang mengharukan. Film biopic yang menceritakan sisi humanis dan romantis dari seorang yang hebat yang pernah dimiliki bangsa ini. Aku pun, tak kuasa menahan haru saat film tadi sampai di titik klimaksnya.

Kusodorkan tissue ke arah Rani. Dia mengambil beberapa helai dan menyeka wajahnya. Setelah beberapa saat, kami keluar dari studio, dia segera menuju toilet. Merapikan riasan wajahnya, sepertinya.

"Film tadi bagus yah," ucapku kepada Rani yang baru saja keluar dari toilet. Matanya masih terlihat sembab, menjelang akhir film tadi dia memang menangis hebat, sangat merasakan emosional film tersebut.

"Iya. Keren banget. Rasanya pengin punya suami yang setia dan punya cibta yang sangat besar ke istrinya seperti itu."

Aku dan Rani berjalan menyusuri mall, menuju sebuah restoran untuk mengisi perut yang keroncongan. Suasana mall hari ini cukup ramai karena weekend, hal yang membuatku harus menunggu untuk bisa makan di restoran seafood dengan harga kaki lima itu.

"Wira tahu kamu pergi sama aku?" tanyaku kepada Rani. Wira adalah kekasih Rani, menanyakannya hanyalah basa-basiku saja kepada Rani. Kami duduk di sofa yang disediakan restoran untuk menunggu.

"Hemm... Tidak. Soalnya sejak kemarin dia nggak ada kabar. Aku pengin ngasih tau dia, tapi dianya ga bjsa dihubungi, yaudah."

"Lagi ada masalah?"

"Kalau dari aku sih nggak ada. Nggak tahu juga deh kalau dia ngerasa ada masalah. Memang kebiasaannya dia kayak begitu. Menghindar kalau ada masalah."

Aku mendengarkan penjelasan Rani. Sepertinya hubungan mereka sedang dalam masalah. Mungkin aku jahat, tapi entah mengapa aku merasa senang.

"Tuan Irfan, meja untuk dua orang" terdengar suara pelayan yang memanggil namaku. Aku dan Rani segera masuk, menuju bangku yang baru saja dikosongkan.

Saat sedang berjalan, tiba-tiba Rani berhenti. "Kenapa?" tanyaku kepada Rani yang tiba-tiba mematung.

Aku melihat ke arah mata Rani memandang. Di pojok ruangan terlihat seorang lelaki yang sedang menyuapkan makanan ke mulut seorang wanit. Mereka terlihat mesra. Aku baru sadar mengapa Rani terdiam, lelaki itu Wira.

Tiba-tiba Rani berjalan ke arah Wira. Perasaanku tidak enak, sepertinya kejadian di dalam cerita drama akan terjadi. Hal yang terjadi selanjutnya tidak beda dengan cerita drama. Sebuah guyuran air dan makian, lalu perpisahan dengan tangisan.

Aku berjalan di samping Rani, menuntunnya keluar dari restoran. Tak peduli puluhan mata menatap ke arah kami. Kutenangkan dirinya. Saat ini, aku seperti orang ketiga yang menjadi saksi pertama runtuhnya hubungan mereka.

1 komentar: