Kamis, 27 November 2014

Silsilah Luka

Sumber: http://arzuhan.deviantart.com/art/Darkness-100010629
Rumi berdiri menatap cermin yang memantulkan separuh bayang tubuhnya. Dari sebelah kanan, cahaya lampu jalanan masuk sebagian melalui celah jendela yang tak tertutup rapat. Tak banyak cahaya yang dapat masuk ke dalam kamar yang lampunya entah telah mati sejak kapan.

Dia tersenyum menatap wajahnya sendiri, lalu kadang tertawa kecil. Dia mengambil lipstik berwarna semerah darah lalu dioleskan ke bibirnya secara serampangan. Kini, seputar bibir, mulut dan pipinya berwarna merah, dengan sedikit noda merah lainnya yang sudah ada di sana sejak tadi.

“Huahahaha.” Rumi tertawa terbahak saat melihat hasil riasannya sendiri.

Diletakannya lipstik tersebut dan kemudian dia mengambil bedak yang berada tak jauh dari tempat dia meletakkan lipstik. Dipoleskannya pelan-pelan ke pipinya. Tangannya gemetar saat melakukan hal tersebut. Jemarinya yang kemerahan sudah mulai terasa lengket dan sulit untuk digerak-gerakkan. Dengan telaten Rumi merias wajahnya sendiri dengan penerangan seadanya.

Peralatan di meja rias tersebut cukup lengkap, dan Rumi terus mencoba satu per satu dengan cara yang salah. Dirinya yang selama ini tak pernah belajar dan diajarkan cara merias wajah. Jemarinya tak fasih mengenal pelbagai peralatan kecantikan yang ada di hadapannya.

Tidak ada yang abadi di dunia ini, termasuk kebohongan. Karena di balik hitam kau akan menemukan terang.

“Aku cantik kan, Sayang?” ucap Rumi kepada lelaki yang tertidur di ranjang di belakangnya. Dia terlihat pulas berbaring tanpa busana.

Rumi bangkit dan berjalan ke arah ranjang, dan duduk di tepinya. Tangannya membelai lembut rambut kekasihnya yang kaku dan berbau amis.

“Cantikan mana, Sayang? Aku pakai make up atau aku yang tidak pakai make up?”

Jemari Rumi menyusuri lekuk wajah kekasihnya. Dia mendekatkan wajah dan mencium keningnya.

“Katamu, tanpa make up pun aku sudah cantik. Katamu, ‘tak perlu kamu berias, kamu sudah cantik. Aku cinta kamu.’”

Rumi bangkit dari tepi ranjang, lalu berjalan ke tepi ranjang yang lainnya. Saat melewati meja rias dia mengambil sebuah benda yang ada di atasnya.


“Tapi, kenapa kamu memilih dia!!” pekik Rumi. “Kalau aku lebih cantik, kamu mencintaiku, kenapa kamu berkencan dengannya!!” Dihantamkannya berkali-kali palu yang digenggamnya ke batok kepala perempuan yang tubuhnya telanjang. Dia tergolek di bawah ranjang. Paras wajahnya yang cantik sudah penuh dengan darah yang mengalir dari celah rongga kepalanya.

14 komentar:

  1. wuih, sadis! keren ceritanya.
    tapi itu ada typo di paragraf terakhir, mas. batok kelapa?
    *kemudian kasih sedotan* *bawa ke tepi pantai*
    hehehe

    BalasHapus
  2. Keren bgt tapiii sadesss hehe. Salam kenal ya. Perasaan yg Doa untuk Kekasih manis banget deh. Keren-keren....
    _Edmalia_

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi sudah baca Mbak. :D
      Lagi latihan bikin tulisan dengan banyak genre. :D

      Hapus
  3. waduuh... serem dan sadis banget... :)

    BalasHapus
  4. Eyaampun aku kok ngebayangin darah di mana-mana. Tapi sekaligus mbayangin santai di pinggir pantai minum es kelapa, hihi piss :D

    BalasHapus
  5. Sumpah, ini sadis bgt. Duhhh....

    *lalu ikutan yg lain nyedot kelapa*

    BalasHapus