Aku ingin menjadi cahaya, agar kamu tak tersesat,
dan langkahmu aman tanpa takut tersandung, terjatuh atau bahkan terjerembab. Dulu
katamu, hal yang paling mengerikan ialah terjebak dalam kegelapan, lalu kita tak
tahu ke mana kaki melangkah, apa saja yang sudah kaki kita tapaki, dan tempat
apa saja yang sudah kita singgahi.
Kekasih, aku ingin menjadi penerang bagimu, agar
langkahmu lebih waspada dan kakimu tak terluka saat menapaki jalan kehidupan
yang penuh dengan duri.
Suatu hari aku berdoa kepada Tuhan, Jadikan aku cahaya, agar kekasihku tak lagi berada
di dalam kegelapan. Matanya telah menjadi cahaya bagiku, dan kini izinkan aku
menjadi cahaya bagi matanya.
“Maaf selalu merepotkanmu,” ucap Gia suatu hari kepadaku.
Aku tersenyum dan mengetukkan jariku sebanyak dua
kali ke telapak tangannya. Sesudah itu kami kembali berjalan tanpa peduli tatapan
orang lain yang melihat kami. Sepanjang jalan aku menautkan jemariku di
sela-sela jemarinya. Mengusir hawa dingin yang diam-diam memeluk sekujur tubuh
kita masing-masing.
“Aku memang takut gelap, tapi setidaknya jika
bersamamu, aku tidak sendirian saat menghadapinya.” Aku mendengar jelas
kata-kata yang kamu ucapkan kepadaku di sore terakhir itu. Lagi-lagi aku
tersenyum saat mendengarnya, lalu kuraba pipimu dan kusap pelan.
Sore itu adalah sore terakhirku bersamamu. Setelah
sore itu, Tuhan memanggilku dan tidak memperpanjang kontrak roh yang menghuni
tubuhku.
Entah selama beberapa hari atau beberapa minggu atau
beberapa tahun aku hanyut dalam kegelapaan. Aku tidak bisa menghitung dengan
pasti waktu yang sudah terlewati, sebab waktu adalah perihal yang paling tidak
pernah dapat dipastikan dengan baik. Selama itu aku tak melihat apa-apa. Gelap.
Akhirnya aku paham bagaimana rasanya menjadi kamu.
Kini, setelah sekian lama, aku rindu kekasihku. Tuhan, aku rindu kekasihku, izinkan aku
untuk dapat melihatnya kembali. Untuk kedua kalinya aku berdoa.
Kesokan harinya, Tuhan menjawab kedua doaku secara
bersamaan. Malam itu aku melihat kekasihku, Gia, baru pulang entah dari mana. Dia
terlihat jauh lebih cantik dan juga dewasa. Aku melihat sekelilingku, dan
mendapati diriku berada di ruang keluarga rumah kekasihku tersebut.
Tuhan mengabulkan doaku. Aku kembali melihat kekasihku dengan cukup
jelas, dan juga menjadi cahaya.
“Pa, itu chandelier
kapan dibelinya? Kok aku baru lihat?” tanya Gia saat melihatku. Aku memekik girang, tubuhku
bergoyang. Akhirnya kekasihku dapat melihat cahaya.
Mata baru Gia, dari? jangan-jangan...Si Akunya jadi chandelier atau cahaya? *banyak nanya :D
BalasHapusSilahkan ditafsirkan sendiri, Mbak. :D
Hapussi aku ngasih matanya buat Gia?
BalasHapusNggak, Kak. :D
HapusPacarnya ada lagi tapi wujudnya beda, ya?
BalasHapusyap. :D berenkarnasi. :D
HapusBagian terakhir cerita sama sekali tak memberi petunjuk atas banyak pertanyaan, Danis. Malah jadi semakin bertanya-tanya. :)
BalasHapus