Aku memegang tangan
kekasihku. Kami duduk di sebuah ruangan yang penuh dengan kaca. Begitu ada
banyak kami di dalam ruangan ini, sehingga kami tak merasa kesepian.
“Tahukah kamu hal yang
paling menyedihkan?” Aku mendongakkan kepala menatap sepasang mata kekasihku
yang basah. “Sebuah perpisahan,” ucapnya lagi.
Tangannya memegang erat
lenganku. Aku menepuknya pelan, lalu tersenyum. “Setidaknya tidak semenyedihkan
perpisahan yang diam-diam. Perpisahan tanpa ada perayaan, tanpa ada perkataan.”
“Terkadang, aku ingin
menggugat keadaan.” Kekasihku kembali berkata. Kulihat dia menggigit bagian
bawah bibirnya yang sering kukecup. “Kenapa harus kamu, kenapa bukan orang
lain?”
“Karena hanya aku yang bisa,
Sayang.” Kubelai lembut helai rambutnya yang kekuningan, kusampirkan di daun
telinganya yang selalu kubisiki kata cinta. Aku mendekatkan wajahku dan
membisikkan kembali kalimat itu. “…sampai kapan pun. Bahkan jika nanti, ketika
aku kembali, kau sudah menjalani kehidupanmu selama kebersamaan kita, dan kamu tak
secantik saat ini.”
“Sudah waktunya,” sela
seorang berpakaian perawat yang masuk diam-diam dari pintu yang berada di
belakangku.
Aku bangkit dan
bersiap, namun genggaman kekasihku begitu kuat. Isakan tangisnya perlahan
terdengar lebih keras. Siapa pun dia, termasuk kekasihku, tidak ada yang pernah
siap menghadapi perpisahan dengan orang dicintainya.
Aku tak tahu kapan lagi
akan bertemu Arsailina. “Tunggu sebentar,” ucapku kepada perawat yang sudah
berdiri beberapa langkah di depanku.
“Kami tunggu di depan,”
ucapnya singkat tak berbasa-basi.
“Arsa,” bisikku
kepadanya. Kupegang bahunya yang gemetar dan kupeluk tubuhnya yang sudah khatam
kujamahi. “Jika nanti aku kembali, aku akan meminta kepada mereka untuk
membangunkanku di bulan September. Agar nanti aku bisa merayakan ulang tahunmu
yang entah ke berapa.” Sekali lagi kudaratkan sebuah kecupan untuknya di
ubun-ubun kepalanya.
“Berjanjilah,” ucapnya
lirih.
“Ya.” Kulepaskan
pelukanku dan beranjak menuju pintu. Di sana perawat tadi sudah menungguku.
***
Arsailina berdiri
memandangi Zei yang berjalan memunggunginya. Zei adalah seorang sebagai agen
rahasia. Arsailina sudah terbiasa melihat punggung suaminya ketika berangkat
menjalani misinya, namun kali ini punggung itu terlihat begitu jauh. Arsailina
mengangkat lengannya, mencoba menggapai punggung semakin menjauh, ke tempat
yang tak akan pernah bisa dia gapai.
Di tangannya digenggam
sebuah surat dari sebuah organisasi rahasia milik pemerintah yang menyatakan
suaminya menjadi salah satu dari beberapa orang yang akan ‘ditidurkan’
*Dikembangkan dari fiksimini Ahmad Abdul Mu'izz: WAKE ME UP WHEN SEPTEMBER ENDS. Aku hanya tak ingin bertambah tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar