Tetanggaku adalah
perempuan yang paling cantik. Meski dia jarang berbicara, dan tak pernah tersenyum,
aku akan selalu senang memandanginya yang terlihat begitu menarik. Jika sedang
tak ada pekerjaan, aku akan betah duduk berlama-lama di beranda rumahku, hanya
untuk sekedar memandangi wajahnya.
Matanya. Sepasang bola
matanya ialah yang membuatku rela menghamburkan waktu yang katanya begitu
berharga. Aku selalu merasa senang dan tenang tiap memperhatikan sepasang mata
tetanggaku itu, walau aku tahu ada begitu banyak duka yang merumah di sana.
Tetanggaku adalah
perempuan yang memiliki mata paling cantik di seantero komplek perumahanku. Matanya
adalah laut, tempat di mana segala kesedihan bermuara. Setiap ada orang yang
memandangi matanya, maka segala kesedihannya akan terhisap ke sana. Sebab itu,
aku selalu senang saat memandangi mata tetanggaku yang keruh, di sana, banyak
pasang airmata yang merumah dan bermuara.
Konon katanya,
tetanggaku adalah putri seorang nelayan. Setiap hari dia selalu memandangi
perairan yang luas sehingga matanya yang awalnya berwarna hitam, berubah warna
menjadi kebiru-biruan. Dulu, tetanggaku itu orang periang, selalu tersenyum dan
boros dalam mengumbar tawa. Sepasang bibirnya tak pernah terkatup dan tertutup.
Aku mendengar hal ini dari mamang penjual rokok di warung pinggir jalan yang
ada di depan komplek.
“Lalu mengapa saat ini
dia menjadi pemurung dan pendiam? Dan sepertinya warna bola matanya cokelat keruh.”
***
Tetanggaku adalah
perempuan paling cantik. Tak ada yang menyangkal pengakuan tersebut. Dari pria
muda sepertiku, hingga mamang penjual rokok yang rambutnya tak lagi ada yang
berwarna hitam pun sepakat, bahwa tak ada yang menandingi kecantikan tetanggaku
tersebut.
Malam ini, aku duduk
asik di beranda dengan secangkir kopi dan buku kumpulan cerita karya Agus Noor
yang baru saja kubeli sore tadi. Aku menunggu tetanggaku pulang.
Benar saja, ketika
jarum pendek di jam tanganku menunjukkan pukul 11, tetanggaku pulang. Dia
keluar dari mobil mewah yang mungkin baru bisa kubeli jika aku menabung selama
20 puluh tahun dengan gaji sesuai UMP di kota ini, atau jika aku jadi anggota
dewan seperti pemilik mobil mewah tersebut.
Tetanggaku yang cantik
keluar dari mobil tersebut. Malam ini dia memakai pakaian dengan punggung
terbuka, belahan dada begitu rendah dan panjangnya hanya mampu menutup setengah
bagian pahanya yang mulus. Aku tak tahu nama jeni pakaiannya apa, tapi yang aku
tahu tetanggaku terlihat tambah cantik karenanya.
Tak lama, mobil mewah
tersebut pergi meninggalkan tetanggaku yang terlihat mengumbar tersenyum palsu.
Dia duduk di beranda rumahnya, lalu
menangis seperti biasa.
“Konon katanya dia
terpaksa menjadi simpanan pejabat karena ayahnya mati di tengah laut karena
tersapu badai saat sedang mencari ikan, dan keluarga terlilit hutang banyak.
Sejak saat itu, perlahan, kedua matanya berubah warna, dari kebiruan menjadi kecokelatan. Keruh, seperti air laut di tepi pantai atau
seember airmata yang bercampur dengan make
up yang luntur di wajah.”
Danis, masih kurang padet untuk FF :P
BalasHapuskurang padet? Beklah... masih nyari cara nulis yang pas buat ff. :D
Hapusterlalu banyak deskripsi, Danis. way to go! :)
BalasHapusTerlalu banyak deskripsi ya Kak Vanda? :| Okelah... *catat di notes*
Hapus