Selasa, 12 Juni 2012

Pagi Kuning Keemasan


Mungkin aku adalah lelaki yang paling bahagia saat ini. Segelas kopi panas dengan aroma menggoda ditambah sebuah kecupan mesra menjadi pembuka pagiku, terasa manis saat bibir Raisa mencumbu bibirku. Dari tempat aku berdiri, di beranda penginapan yang aku sewa, aku memandang indah mentari yang baru akan memulai pekerjaannya; menyinari bumi.
“Indah,” ucap Raisa. Tatapannya menerawang jauh ke cakrawala. Sorot matanya berbinar cerah. Aku tahu bahwa saat ini dia sedang menikmati pemandangan indah ini. Jika aku mengagumi senja dan sunset, ketika mentari akan berpulang. Sebaliknya, Raisa sangat mengilai sunrise.
Aku memeluknya dari belakang. Kusandarkan daguku di pundaknya. Kuhirup aroma tubuhnya sesaat sebelum berbisik. “Ya, indah sekali. Sangat indah, apalagi saat memandangnya bersamamu. Keindahannya menjadi berlipat-lipat.”
Raisa mencubit pelan pinggangku. “Gombal.”
Aku tersenyum kecil seraya memeluknya lebih erat. Seolah tak ingin jauh-jauh darinya. Bagiku, pesona Raisa lebih indah dari apa pun, termasuk pemandangan pagi ini.
Kuarahkan pandanganku ke arah yang sama Raisa memandang. Mencoba ikut menikmati pemandangan langit yang mulai menguning. Tak seperti sunset yang meronakan jingga, terlihat seperti ironi dan kesedihan yang mendalam. Sunrise memiliki pesona yang lebih ceria, rona kuning keemasannya menggambarkan semangat dan kebahagiaan.
Raisa membalikkan badannya ke arahku. Ini tubuh kami saling berhadapan. Mata kami beradu pandang. Beberapa detik terlewat, hanya hening yang mengisi jeda tersebut. Kemudian kami saling tersenyum. Mulut tak berkata, namun mata dan hati berbicara dalam diam. Dalam sebuah keheningan selalu ada percakapan tak terlihat yang tercipta.
“Dari mana kamu tahu tempat seindah ini, Ram?” ucap Raisa seraya menyungingkan senyuman. Senyuman yang selalu menggodaku. Lengkung bibir yang selalu ingin aku peluk dengan bibirku.
“Sebuah rekomendasi dari salah satu rekan kerja. Dia bilang Pulang Lengkuas adalah tempat yang indah dan sulit untuk dilupakan setelah mengunjungi tempat ini.”
“Kamu harus berterima kasih dengan orang itu.”
Aku tersenyum simpul. Kulihat sorot mata Raisa begitu berbinar. Ya, aku harus berterima kasih dengan rekan bisnisku itu. Tempat ini memang indah. Memang bukan tempat yang paling indah, namun menjadi tempat indah yang tepat untuk dikunjungi.
“Karena berkat rekan bisnismu, aku bisa sebahagia pagi ini. Mentari yang terbit pagi ini adalah sunrise terindah yang pernah kulihat.” Raisa melingkarkan lengannya ke pinggangku. Jarak badan kami nyaris tak tersisa. Wajah kami saling berhadapan. Hidung kamu hanya berjarak nyaris beradu hingga dapat kurasakan deru nafasnya. Kutatap lekat matanya.
Di bawah cahaya keemasan mentari pagi ini, aku melewatkan momen yang sangat indah dalam hidupku. “Aku cinta kamu,” ucapku setelah bibirku lepas dari jeratan bibir Raisa. Kakiku mundur satu langkah. Kugenggam jemari Raisa. Kucium pelan ujung jari manisnya yang sudah terlingkarkan oleh cincin yang sama dengan cincin yang kupakai.
Raisa hanya tersenyum tersipu, dibelainya wajahku olehnya. “Love you too, my husband.” Aku mengembangkan senyum terlebar pagi ini. Pulau Lengkuas ini menjadi tempat terindah aku menghabiskan momen bulan maduku dengan Raisa. Selama beberapa hari aku akan menghabiskan waktu penuh dengan cinta bersama Raisa di pulau ini.

3 komentar:

  1. Romantis kali kau bang :D
    *jadi pengen cepet nikah, hehe

    BalasHapus
  2. jangan lupa undangannya yah. #eh? :))

    BalasHapus
  3. Wah, bagus cerpennya.. Romantis dan penuh imajinasi kata :)

    BalasHapus