Rabu, 13 Juni 2012

Jingga di Ujung Senja


“Aku menunggu pelangi,” ucap Ryan pelan. Pandangannya menatap jauh ke langit.
Bodoh, ucapku membatin. Langit sore ini terlihat cerah, tak ada setitik pun awan mendung yang singgah di sana. Aku mendongak menatap langit yang mulai menjingga. Tanganku berhenti menari di atas keyboards, senja selalu mampu memesonaku.
“Kamu lebih suka mana, melihat pelangi atau senja?”
Pertanyaan bodoh. Bukannya kamu sudah tahu? Tak kugubris pertanyaan Ryan. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku. Ide di dalam kepalaku sudah menunggu untuk diterjemahkan dalam aksara. Editorku sudah menunggu bab selanjutnya draft novelku.
Ryan yang tadi berdiri kini duduk di sampingku. Persis di sampingku. “Ya, aku tahu, kamu sangat menggilai senja. Benar?” Aku hanya tersenyum simpul kepada sahabatku itu. Dia yang mengenalku sejak beberapa tahun terakhir, sudah hampir mengetahui apa saja hal yang kusuka dan tidak.
Kami duduk di pinggir taman kecil di dekat sungai Musi. Dari tempat kami duduk, terlihat jelas sungai terpanjang di Pulau Sumatera itu. Tak jauh dari sini, kami juga dapat melihat jelas jembatan Ampera yang menjadi ciri khas kota ini. Sepanjang hari ini matahari bersinar cerah, hal yang membuat sorotnya begitu terang di langit; termasuk sore ini.
Tetiba sebuah ide untuk membuat puisi hinggap di kepalaku, mengusir sejenak tumpukan ide cerita yang sudah kususun. Rona jingga, dan pantulan cahayanya di sungai Musi membuat sisi puitisku keluar. Segera kujentikkan jemariku di keyboard laptop.

Aku, kamu, dan senja
Berbagi waktu di antara jingga yang menaungi kita
Memohon kepada waktu untuk melambatkan jalannya
Aku ingin kamu dan senja lebih lama
Kamu dan senja adalah satu
Tak terbagi dan tak terganti
Aku ingin menatap senja tidak tanpamu

“Kamu nulis sajak yah?” ucap Ryan. Aku kaget, kepalanya sudah ada dibelakang pundakku. Mencoba mencuri pandang atas apa yang sedang kuketik.
Segera kuhalangi dirinya agar tak melihat sajakku, namun dia tetap memaksaku untuk memperlihatkannya.
“Ayo dong, aku dikasih liat. Penasaran nih,” ucapnya setengah memohon dan menggodaku. Senyum manis dia tampilkan di wajahnya. Senyum yang meluluhkanku.
Aku tak dapat menahannya. Senyumannya terlalu manis, pesonanya terlalu kuat bagiku, aku pun membiarkannya melihat apa yang kuketik tadi.
“Wah, ini bagus.” Ryan mencubit pelan pipiku. “Kamu memang berbakat jadi penulis, Rani.” Kulihat senyumnya begitu lebar. Terasa hatiku menghangat karenanya. “Tapi, ‘kamu’ di sajak ini siapa? Pasti aku, kan?” tanyanya dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi.
Aku mengangguk pelan. Siapa lagi kalau bukan kamu, bodoh, ucapku dalam hati. Kamu sahabatku yang juga kekasihku. Memilikimu adalah kebagiaan besar bagiku. Mungkin aku adalah perempuan yang begitu beruntung. Memiliki kekasih sepertimu, yang begitu mencintaiku dan menerimaku apa adanya; walau aku bisu.
Kamu mengacak-acak rambutku. Kucubit pelan perutmu yang disambut ringisan kecil olehmu. Lalu kamu memelukku. Ah, senja bersamamu selalu indah. Temaram jingga yang diberikan oleh mentari menjadi penambah kebahagiaanku. Kamu dan senja, adalah hal yang selalu kusukai, ucapku melalui kontak mata denganmu saat mata kami saling memandang dalam keheningan yang ditawarkan senja.


2 komentar:

  1. that is so sweet :)

    BalasHapus
  2. :) Salah satu scene yg aku impikan. menatap senja di dekat sungai Musi.

    BalasHapus