“Aku
menunggu pelangi,” ucap Ryan pelan. Pandangannya menatap jauh ke langit.
Bodoh,
ucapku membatin. Langit sore ini terlihat cerah, tak ada setitik pun awan
mendung yang singgah di sana. Aku mendongak menatap langit yang mulai
menjingga. Tanganku berhenti menari di atas keyboards,
senja selalu mampu memesonaku.
“Kamu
lebih suka mana, melihat pelangi atau senja?”
Pertanyaan bodoh. Bukannya kamu
sudah tahu? Tak kugubris pertanyaan Ryan. Aku
kembali melanjutkan pekerjaanku. Ide di dalam kepalaku sudah menunggu untuk
diterjemahkan dalam aksara. Editorku sudah menunggu bab selanjutnya draft
novelku.
Ryan
yang tadi berdiri kini duduk di sampingku. Persis di sampingku. “Ya, aku tahu,
kamu sangat menggilai senja. Benar?” Aku hanya tersenyum simpul kepada
sahabatku itu. Dia yang mengenalku sejak beberapa tahun terakhir, sudah hampir mengetahui
apa saja hal yang kusuka dan tidak.
Kami
duduk di pinggir taman kecil di dekat sungai Musi. Dari tempat kami duduk,
terlihat jelas sungai terpanjang di Pulau Sumatera itu. Tak jauh dari sini,
kami juga dapat melihat jelas jembatan Ampera yang menjadi ciri khas kota ini.
Sepanjang hari ini matahari bersinar cerah, hal yang membuat sorotnya begitu
terang di langit; termasuk sore ini.
Tetiba
sebuah ide untuk membuat puisi hinggap di kepalaku, mengusir sejenak tumpukan
ide cerita yang sudah kususun. Rona jingga, dan pantulan cahayanya di sungai
Musi membuat sisi puitisku keluar. Segera kujentikkan jemariku di keyboard laptop.
Aku, kamu, dan senja
Berbagi waktu di antara jingga yang menaungi kita
Memohon kepada waktu untuk melambatkan jalannya
Aku ingin kamu dan senja lebih lama
Kamu dan senja adalah satu
Tak terbagi dan tak terganti
Aku ingin menatap senja tidak tanpamu
“Kamu
nulis sajak yah?” ucap Ryan. Aku kaget, kepalanya sudah ada dibelakang
pundakku. Mencoba mencuri pandang atas apa yang sedang kuketik.
Segera
kuhalangi dirinya agar tak melihat sajakku, namun dia tetap memaksaku untuk
memperlihatkannya.
“Ayo
dong, aku dikasih liat. Penasaran nih,” ucapnya setengah memohon dan
menggodaku. Senyum manis dia tampilkan di wajahnya. Senyum yang meluluhkanku.
Aku
tak dapat menahannya. Senyumannya terlalu manis, pesonanya terlalu kuat bagiku,
aku pun membiarkannya melihat apa yang kuketik tadi.
“Wah,
ini bagus.” Ryan mencubit pelan pipiku. “Kamu memang berbakat jadi penulis,
Rani.” Kulihat senyumnya begitu lebar. Terasa hatiku menghangat karenanya. “Tapi,
‘kamu’ di sajak ini siapa? Pasti aku, kan?” tanyanya dengan kepercayaan diri
yang sangat tinggi.
Aku
mengangguk pelan. Siapa lagi kalau bukan
kamu, bodoh, ucapku dalam hati. Kamu sahabatku yang juga kekasihku. Memilikimu
adalah kebagiaan besar bagiku. Mungkin aku adalah perempuan yang begitu
beruntung. Memiliki kekasih sepertimu, yang begitu mencintaiku dan menerimaku
apa adanya; walau aku bisu.
Kamu
mengacak-acak rambutku. Kucubit pelan perutmu yang disambut ringisan kecil
olehmu. Lalu kamu memelukku. Ah, senja bersamamu selalu indah. Temaram jingga
yang diberikan oleh mentari menjadi penambah kebahagiaanku. Kamu dan senja, adalah hal yang selalu
kusukai, ucapku melalui kontak mata denganmu saat mata kami saling
memandang dalam keheningan yang ditawarkan senja.
that is so sweet :)
BalasHapus:) Salah satu scene yg aku impikan. menatap senja di dekat sungai Musi.
BalasHapus