Kamis, 14 Juni 2012

Kerudung Merah


 Danau Toba masih tetap sama, terlihat indah dan mengagumkan. Tidak ada yang berubah sejak aku melihatnya beberapa tahun yang lalu. Tempat yang selalu menjadi pelarianku saat pikiranku penat, atau tempatku melarikan diri dari rutinitas saat masih berseragam putih abu-abu.
Duduk di pinggir danau Toba lalu memandang jauh ke arah hamparan air yang luas menjadi kegiatan favoritku. Hanya memandang tanpa memikirkan apa pun. Membunuh waktu dengan membiarkan pikiran kosong menatap birunya air di danau Toba.
Mungkin bagi orang lain, hal ini adalah aktifitas yang membosankan, tidak berguna dan sangat membuang-buang waktu. Tidak bagiku, menatap danau Toba seperti terapi ketenangan bagiku. Menyesapi lembutnya semilir angin yang berbisik di telinga, menikmati teduh yang ditawarkan suasana. Waktu terasa berhenti saat aku tenggelam dalam tenangnya danau Toba.
Aku berjalan menyusuri tepi danau Toba. Masih ada, ucapku pada hatiku sendiri saat kulihat masih tegak berdiri pohon yang dulu menjadi tempatku berteduh saat matahari menyalak galak. Aku tersenyum kecil, kusentuh lembut batang pohon itu. Di sini aku sering menghabiskan waktu saat memandang ke arah danau. Tidak banyak yang berubah, hanya ada beberapa ranting pohon yang baru tumbuh dan juga beberapa ranting yang terlihat patah.
Seketika kenangan menyeruak masuk dalam pikiranku. Seragam putih abu-abu, masa-masa yang terlewati di tempat ini dengan seragam itu dan kamu yang mengenalkan tempat ini kepadaku.
“Senja dari tempat ini telihat indah. Sangat indah.”
Aku duduk di bawah pohon dan memejamkan mata. Membiarkan kenangan mengalir deras dalam benakku. “Kamu benar, senja dari tempat ini indah sekali,” ucapku bermonolog. Dalam benakku tetiba muncul senyum wajah khas Zahra. Berkat dia aku menyukai tempat ini.
“Dulu tuh, Ayah sering ngajak aku ke sini pas SMP, makanya aku tahu tempat ini seindah apa ketika matahari terbenam.”
Kenangan memang selalu indah ketika dikenang, walau tanpa disadari terkadang kenangan selalu muncul bersama luka yang kembali memanas. Segera aku membuka mataku sebelum kenangan lain yang lebih pahit muncul. Pohon ini menjadi saksi tak bergerak tentang kisahku dengan Zahra. Kisah sepasang muda-mudi yang dimabuk cinta, dibutakan oleh asmara. Kisah pelajar dengan seragam putih abu-abu yang penuh tawa di awal cerita dan berakhir dengan duka saat menyelesaikannya.
“Shit!” Aku memaki diriku sendiri saat menghadapi kenyataan kenangan selekat darah. Menyatu dalam diri walau selalu ingin menjauhkannya, namun tak bisa. Kenanganku dengan perempuan berkerudung penggila warna merah itu terlalu lekat, seperti darah.
Ini adalah hari keduaku di kota ini. Setelah kemarin seharian bersilahturahmi dengan guru-guru SMA, kini aku ingin menghabiskan waktuku di tempat ini sebelum berangkat ke Inggris keesokan harinya. Aku rindu tempat ini. Empat tahun bukanlah waktu yang lama, namun aku begitu merindukan tempat ini sangat. Beasiswa kuliah di Bandung membuatku hidup menjadi perantauan, meninggalkan teman-teman, tempat favorit dan orang yang kusayangi di kota ini; termasuk Zahra.
Perpisahan karena keadaan selalu lebih memilukan dari alasan apa pun. Sekuat apa pun lengan berusaha untuk tetap menggenggam, jika semesta tak berkehendak, perpisahan adalah sebuah kepastian. Dan jika semesta berkehendak pun, bisa saja sore ini aku akan bertemu dengan Zahra lagi.
Pasca kepindahanku kuliah ke Bandung, komunikasiku dengan Zahra semakin memudar hingga puncaknya di tahun kedua kami benar-benar hilang kontak. Aku menyandarkan punggungku ke pohon, beristirahat sejenak seraya menikmati semilir angin serta pemandangan danau Toba yang mulai menjingga. Ternyata sebentar lagi senja akan tiba.
Detik berlalu menjadi menit. Sorot jingga cahaya matahari semakin memekat. Dari tempatku duduk, terlihat matahari sudah menggantung enggan. ”Senja dari tempat ini begitu indah,” gumamku. Pandanganku terpaku pada pesona jingga sore ini. Kemilaunya terefleksikan sempurna di danau Toba. Serupa cermin raksasa yang memantulkan cahaya jingga secara merata.
Pandanganku teralihkan oleh sosok perempuan dengan kerudung merah yang berada tak jauh dari tempatku duduk. Dia sibuk mengarahkan lensa kamera ke arah matahari yang–sebentar–lagi tenggelam.
”Zahra.” Dengan bodoh aku memanggil perempuan tersebut dengan nama Zahra. Jika orang itu bukan Zahra, aku akan menjadi orang terbodoh di pinggir danau ini.
Perempuan itu menoleh ke arahku. Diturunkannya lensa kamera yang menutupi wajahnya, terlihat perempuan itu memicingkan matanya saat melihat ke arahku. Seperti ingin memastikan apakah aku orang yang dikenalnya. “Rudi!”
Semesta memang tak pernah bisa ditebak. Sebuah pertemuan yang–sangat–tidak disengaja. Bertemu dengan Zahra bukanlah agendaku. Ada kerinduan yang membuncah keluar dari dalam dadaku. Seolah ingin ditumpahkan seluruhnya kepada Zahra. Dia terlihat semakin cantik, senyumnya masih semanis dulu, dengan kerudung berwarna favoritnya, dia semakin terlihat bersinar.
“Kamu, kapan sampai di sini? Ada keperluan apa?” ucap Zahra memulai obrolan basa basi setelah sekian lama tidak bertemu.
Aku mengatupkan bibirnya dengan jemariku. “Nanti saja aku ceritakan. Kini aku ingin sekali lagi menghabiskan senja di sini bersamamu.” Kemudian aku dan Zahra berbagi tempat duduk di bawah pohon ini. Sama seperti bertahun-tahun lalu, ketika aku dan dia masih berseragam putih abu-abu, memandangi senja dari tempat ini selalu indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar