
Duduk
di pinggir danau Toba lalu memandang jauh ke arah hamparan air yang luas
menjadi kegiatan favoritku. Hanya memandang tanpa memikirkan apa pun. Membunuh waktu
dengan membiarkan pikiran kosong menatap birunya air di danau Toba.
Mungkin
bagi orang lain, hal ini adalah aktifitas yang membosankan, tidak berguna dan
sangat membuang-buang waktu. Tidak bagiku, menatap danau Toba seperti terapi
ketenangan bagiku. Menyesapi lembutnya semilir angin yang berbisik di telinga,
menikmati teduh yang ditawarkan suasana. Waktu terasa berhenti saat aku
tenggelam dalam tenangnya danau Toba.
Aku
berjalan menyusuri tepi danau Toba. Masih
ada, ucapku pada hatiku sendiri saat kulihat masih tegak berdiri pohon yang
dulu menjadi tempatku berteduh saat matahari menyalak galak. Aku tersenyum
kecil, kusentuh lembut batang pohon itu. Di sini aku sering menghabiskan waktu
saat memandang ke arah danau. Tidak banyak yang berubah, hanya ada beberapa
ranting pohon yang baru tumbuh dan juga beberapa ranting yang terlihat patah.
Seketika
kenangan menyeruak masuk dalam pikiranku. Seragam putih abu-abu, masa-masa yang
terlewati di tempat ini dengan seragam itu dan kamu yang mengenalkan tempat ini
kepadaku.
“Senja dari tempat ini telihat
indah. Sangat indah.”
Aku
duduk di bawah pohon dan memejamkan mata. Membiarkan kenangan mengalir deras
dalam benakku. “Kamu benar, senja dari tempat ini indah sekali,” ucapku
bermonolog. Dalam benakku tetiba muncul senyum wajah khas Zahra. Berkat dia aku
menyukai tempat ini.
“Dulu tuh, Ayah sering ngajak aku
ke sini pas SMP, makanya aku tahu tempat ini seindah apa ketika matahari
terbenam.”
Kenangan
memang selalu indah ketika dikenang, walau tanpa disadari terkadang kenangan
selalu muncul bersama luka yang kembali memanas. Segera aku membuka mataku
sebelum kenangan lain yang lebih pahit muncul. Pohon ini menjadi saksi tak
bergerak tentang kisahku dengan Zahra. Kisah sepasang muda-mudi yang dimabuk
cinta, dibutakan oleh asmara. Kisah pelajar dengan seragam putih abu-abu yang
penuh tawa di awal cerita dan berakhir dengan duka saat menyelesaikannya.
“Shit!”
Aku memaki diriku sendiri saat menghadapi kenyataan kenangan selekat darah. Menyatu
dalam diri walau selalu ingin menjauhkannya, namun tak bisa. Kenanganku dengan
perempuan berkerudung penggila warna merah itu terlalu lekat, seperti darah.
Ini
adalah hari keduaku di kota ini. Setelah kemarin seharian bersilahturahmi
dengan guru-guru SMA, kini aku ingin menghabiskan waktuku di tempat ini sebelum
berangkat ke Inggris keesokan harinya. Aku rindu tempat ini. Empat tahun
bukanlah waktu yang lama, namun aku begitu merindukan tempat ini sangat. Beasiswa
kuliah di Bandung membuatku hidup menjadi perantauan, meninggalkan teman-teman,
tempat favorit dan orang yang kusayangi di kota ini; termasuk Zahra.
Perpisahan
karena keadaan selalu lebih memilukan dari alasan apa pun. Sekuat apa pun
lengan berusaha untuk tetap menggenggam, jika semesta tak berkehendak,
perpisahan adalah sebuah kepastian. Dan jika semesta berkehendak pun, bisa saja
sore ini aku akan bertemu dengan Zahra lagi.
Pasca
kepindahanku kuliah ke Bandung, komunikasiku dengan Zahra semakin memudar
hingga puncaknya di tahun kedua kami benar-benar hilang kontak. Aku
menyandarkan punggungku ke pohon, beristirahat sejenak seraya menikmati semilir
angin serta pemandangan danau Toba yang mulai menjingga. Ternyata sebentar lagi
senja akan tiba.
Detik
berlalu menjadi menit. Sorot jingga cahaya matahari semakin memekat. Dari tempatku
duduk, terlihat matahari sudah menggantung enggan. ”Senja dari tempat ini
begitu indah,” gumamku. Pandanganku terpaku pada pesona jingga sore ini. Kemilaunya
terefleksikan sempurna di danau Toba. Serupa cermin raksasa yang memantulkan
cahaya jingga secara merata.
Pandanganku
teralihkan oleh sosok perempuan dengan kerudung merah yang berada tak jauh dari
tempatku duduk. Dia sibuk mengarahkan lensa kamera ke arah matahari yang–sebentar–lagi
tenggelam.
”Zahra.”
Dengan bodoh aku memanggil perempuan tersebut dengan nama Zahra. Jika orang itu
bukan Zahra, aku akan menjadi orang terbodoh di pinggir danau ini.
Perempuan
itu menoleh ke arahku. Diturunkannya lensa kamera yang menutupi wajahnya,
terlihat perempuan itu memicingkan matanya saat melihat ke arahku. Seperti ingin
memastikan apakah aku orang yang dikenalnya. “Rudi!”
Semesta
memang tak pernah bisa ditebak. Sebuah pertemuan yang–sangat–tidak disengaja. Bertemu
dengan Zahra bukanlah agendaku. Ada kerinduan yang membuncah keluar dari dalam
dadaku. Seolah ingin ditumpahkan seluruhnya kepada Zahra. Dia terlihat semakin
cantik, senyumnya masih semanis dulu, dengan kerudung berwarna favoritnya, dia
semakin terlihat bersinar.
“Kamu,
kapan sampai di sini? Ada keperluan apa?” ucap Zahra memulai obrolan basa basi
setelah sekian lama tidak bertemu.
Aku
mengatupkan bibirnya dengan jemariku. “Nanti saja aku ceritakan. Kini aku ingin
sekali lagi menghabiskan senja di sini bersamamu.” Kemudian aku dan Zahra
berbagi tempat duduk di bawah pohon ini. Sama seperti bertahun-tahun lalu,
ketika aku dan dia masih berseragam putih abu-abu, memandangi senja dari tempat
ini selalu indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar