Jumat, 15 Juni 2012

Sepanjang Jalan Braga


“Kamu sekarang di mana?” tanya Talita. Aku mengapit ujung telepon helm, sementara pandanganku tetap terpaku menatap jalan.
            “Masih di jalan ke kosan teman, abis dari kampus. Ada tugas yang mau dikerjain di sana, memang kenapa?”
            Talita mendesah pelan, terdengar suaranya di telingaku. “Yah…pulang jam berapa? Mama nyuruh aku ke jalan Braga, minta tolong beli sesuatu di sana.”
            “Lha, motor kamu mana?” tanyaku heran. Padahal Talita sudah memiliki kendaraan sendiri, namun kenapa masih mau pinjam motorku? tanyaku dalam hati.
            “Lagi di bengkel, Bang. Kemarin ada masalah sama mesinnya.”
            “Perasaan motor kamu rusak terus deh.”
            “Pulangnya masih lama nggak, Bang? Kalau nggak, abang aja yah yang ngambil pesanan Mama.”
            “Yaudah deh, nanti aku yang jemput. Kirim alamat dan barang apa yang mau dipesannya lewat sms yah.” Aku menghela nafas pelan, dengan sangat terpaksa aku meng-iya-kan permintaan Talita.
            Segera kuubah tujuanku, kuarahkan laju kendaraanku ke jalan Braga. Siang ini, matahari bersinar cerah sekali. Teriknya membuat peluhku merembas dari pori-pori dan merembas di baju.
            Tak lama aku sampai di Braga, kutepikan motorku di tempat yang seharusnya. Segera aku bergegas ke toko yang diinfokan oleh Talita, kemudian membeli barang yang dipesan oleh Mama.
            Setelah selesai membeli barang yang dipesan, aku tidak langsung bergegas pergi. Kususuri jalan Braga, dan kunikmati pemandangan bangunan yang ada di sini. Sudah lama aku tidak berjalan-jalan di sini, sejak terakhir kali ke sini bersama Amel.
Braga selalu sama, tidak ada yang berubah; tetap terlihat mengagumkan. Sejak pertama aku ke tempat ini ketika masih di bangku SMP, hingga sekarang, bangunan-bangunan khas zaman kolonial di sini selalu membuatku berdecak kagum.
Aku melewati toko alat musik, di toko ini ada berbagai alat musik yang dijual; dari alat musik modern hingga alat musik tradisional pun ada di tempat ini. Aku masuk ke toko ini, namun tidak berniat untuk membeli; hanya sekedar melihat-lihat.
Aku menuju sudut alat musik tradisional, ada berbagai macam alat musik tradisional seperti anglung, karinding, kacapi, rebab dan ada beberapa jenis lain yang tidak aku ketahui namanya. Aku menatap ironi alat-alat musik tersebut, mereka sudah hampi kehilangan maknanya. Tidak banyak orang yang mengenal mereka, termasuk au salah satunya. Alat-alat musik yang dulu begitu populer di masanya ini perlahan mulai hilang dari masyarakat.
Kemudian aku melihat-lihat alat musik lainnya. Kemudian aku keluar dari toko alat musik tersebut saat kurasa tidak ada hal menarik lain yang bisa kulihat. Kembali aku menyusuri koridor jalan Braga, walau sinar matahari cukup terik namun tak mengurangi keinginanku untuk berjalan menyusuri jalan ini. Tujuanku untuk  ke kostan temanku pun luruh.
Langkahku terhenti di depan sebuah lapak lukisan. Di sana dipajang beberapa lukisan yang bagus-bagus. Ada lukisan pemandangan, objek dan…seketika perhatianku teralihkan pada sebuah lukisan perempuan. Cantik, rambut panjang sebahu dengan latar sebuah bangunan tua. ”Di salah satu sudut bangunan di jalan Braga,” gumamku pelan.
Tetiba aku teringat pada Amel. Dulu, aku pernah meminta seorang pelukis melukiskan foto Amel untuk kujadikan kado ulang tahunnya. Saat itu kulihat hasil lukisan yang begitu bagus. Lekuk senyumnya seolah hidup saat aku melihat hasil lukisannya. Sorot matanya terlihat berbinar. Entah pelukisnya yang memang pintar, atau memang pesona Amel yang sangat kuat. Aku tak peduli.
“Sial,” umpatku kesal. Kemudian berjalan menuju tempat aku memarkirkan motorku. Mengingat Amel membuat dadaku sesak. Ada luka dan cinta yang beradu di sana. Kadang cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan suatu hubungan. Seperti kisahku dengan Amel, walau saling mencintai, perpisahan menjadi hal yang harus aku terima.
“Aku mau ngasih ini ke kamu. Kamu boleh datang atau tidak, tapi aku harap kamu bisa mengerti dan tidak membenciku.”
Teringat olehku ucapan Amel seminggu yang lalu. Setelah perpisahan kami hampir setengah tahun lalu, dia muncul lagi dihadapanku bersama sebuah undangan pernikahan. Sebuah perjodohan orangtua, ucapnya memberikan alasan mengapa dia meninggalkanku dulu.
Aku memandang lagi sepanjang jalan Braga di hadapanku sebelum pergi. Sial sekali dia, harus menjadi tempat di mana aku mengingat lukaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar