Sabtu, 16 Juni 2012

Sehangat Serabi Solo


Deru mesin jahit terus menggema sejak pertama aku datang ke tempat ini. Ya memang, mesin jahit akan selalu hidup, dan menimbulkan suara bising yang khas, kecuali hari minggu . Hari ini aku ikut menemani Bapak untuk mengecek salah satu konveksi miliknya di daerah dekat toko kami di pasar Klewer..
            Walau umurnya sudah tidak lagi muda, energi Bapak untuk mengelola usaha konveksi kemeja batik masih terlihat besar. Hal ini terlihat jelas dari kesigapan Bapak memberikan instruksi, menyortir hasil jahitan dan melihat-lihat model baru yang akan dibuat.
            “Untuk yang model ini,” ucap Bapak menunjukkan sebuah model kemeja batik cap kepada seorang pegawai. “Kalau semua sudah selesai dijahit, segera packing. Sebab minggu depan, pelanggan kita dari Jakarta minta dikirimkan,” instruksi Bapak yang hanya dijawab anggukan oleh karyawannya tersebut.
            Aku duduk di beranda lantai 2 sambil memainkan gadget. Dari tempatku duduk, aku dapat melihat semua aktifitas yang terjadi di konveksi ini. Ada dua orang yang sedang memotong bahan batik cap, puluhan orang tukang jahit yang menekuri mesin jahit, lalu ada juga beberapa orang yang sedang menyortir baju yang sudah jadi dan seorang yang sedang menggosok baju yang sudah siap jual dan mengemasnya dengan plastik bening.
            Tak lama, Bapak menghampiriku. Sorot matanya sangat teduh, walau terlihat lelah membayang di sana. “Kamu kapan masuk sekolah, Nak?”
            “Senin besok, Pak.”
            Bapak mengambil kursi dan duduk di sampingku. “Ndak terasa ya kamu udah SMA,” ucap Bapak membuka obrolan.
            Aku mematikan game yang sedang kumainkan, kuarahkan wajahku pada Bapak. “Iya dong, Pak. Masa iya aku jadi anak kecil melulu,” jawabku tersenyum kecil.
            Bapak tertawa kecil dan mengacak-acak rambutku. Hatiku hangat, senyum yang ada di wajah Bapak selalu menghangatkan hatiku. Ada rasa nyaman dan kasih sayang yang memenuhi dadaku. “Ayo kita ke toko. Tadi Rudi minta Bapak ke sana.”
            “Mas Rudi? Lho bukannya sekarang di toko juga sudah ada Mas Soni? Kenapa Bapak diminta ke sana juga?” tanyaku heran kepada Bapak. Mas Rudi dan Mas Soni adalah kakak lelakiku. Aku adalah  anak terakhir dan perempuan satu-satunya.
            “Katanya ada pesanan batik dari langganan kita di Surabaya. Mereka pesannya ke Pak Gada, sementara Pak Gada lagi nggak masuk hari ini, istrinya sakit. Makanya itu Bapak diminta kesana sama Mas-mu itu, soalnya mereka agak bingung dengan model batik mana yang dipesan.”
            Aku hanya mengangguk kecil pertanda setuju. Kemudian aku dan Bapak berjalan keluar dari konveksi ke toko yang hanya berjarak beberapa puluh meter. Pasar Klewer merupakan surga bagi para pecinta batik. Berbagai macam batik dengan motif dan model yang sangat bervariasi tersedia di sini. Banyak sekali toko batik di pasar ini, termasuk toko milik Bapak.
           “Tia, kita mampir ke warung serabi dulu yah,” ucap Bapak saat kita baru memasuki pasar Klewer. Aku hanya menurut dan mengikuti langkah Bapak.
            “Kamu suka serabi?”
            “Nggak terlalu, Pak.”
            “Wah sayang sekali. Serabi itu enak loh. Ibumu itu jagonya bikin serabi.”
           Bapak memang sangat suka serabi. Katanya, serabi itu sangat nikmat disantap saat masih hangat. Tapi bagiku sama saja, hangat maupun dingin, serabi tetaplah serabi. Dan dulu, memang ibu sering sekali membuatkan Bapak serabi, tapi itu terakhir sekitar 3 tahun yang lalu.
            Saat kami sampai di warung serabi, Bapak langsung memesan beberapa serabi untuknya dan aku. “Dibungkus saja,” ucap Bapak.
            “Pak, kenapa Bapak suka banget sama serabi yah?” tanyaku iseng.
            Bapak menatap kearahku, matanya seolah berbicara padaku. “Kenapa yah, karena enak.” Tawa Bapak berderai. “Dan mungkin, karena ibumu.”
            “Maksudnya?” tanyaku heran.
           “Kamu tahu kan Ibumu jago bikin serabi? Nah mungkin karena itu, Bapak makin suka sama serabi. Oh iya satu lagi, karena serabi Solo yang masih hangat itu tiada tandingannya.”
Aku tersenyum mendengar jawaban Bapak. Khas Bapak sekali, yang penuh guyon. Tawanya yang khas sangat meneduhkan dan memberikan kehangatan yang sangat berarti. Mungkin senyuman Bapak sehangat serabi Solo, tapi tidak pernah habis untuk dikonsumsi.
           

2 komentar:

  1. jadi serabi solo yang penuh kenangan buat bapak ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagi Tia, Serabi Solo mengingatkan pada Bapak.
      bagi Bapak, Serabi Solo mengingatkan pada Istrinya. :)

      Hapus