Senin, 11 Juni 2012

Menunggu Lampu Hijau


Kenangan menyeruak ke dalam ingatanku. Hari ini setelah sekian lamanya tak pernah menginjakkan kakiku di tempat ini, aku berkesempatan mengunjunginya lagi. Tempat yang menjadi simbol kota kelahiranku; Jam Gadang. Tempat yang menjadi kenangan terakhirku bersama Bapak.
Aku ingat sekali kapan terakhir kali aku ke tempat ini. Mengagumi kehebatan ‘Jam Raksasa’ dihadapanku. Aku yang saat itu ditemani oleh Bapak tak habis mendecak kagum. “Jam Raksasa seperti ini cuma ada 2 lho, Jang,” ucap Bapak kepadaku.
“Lalu, yang satu lagi, ada dimana, Pak?”
“Kembarannya ada di Inggris. Bujang tahu?”
Aku yang saat itu baru berusia 8 tahun belum mengetahuinya. Hanya gelengan lemah yang dapat kuberikan pada Bapak. “Memang di mana, Pak? Jauh yah?”
“Kembaran Jam Gadang ini ada di Inggris. Namanya Big Ben, paham kau Bujang?” Teringat jelas intonasi suara Bapak saat itu. Suaranya yg berat namun terdengar lembut ditelingaku masih terngiang di telingaku.
Pelupuk mataku mengembang. Kenangan yang tidak pernah kadaluarsa itu sukses menyentil hatiku. Saat aku memejamkan mata, tercetak jelas bayangan senyum Bapak. Lelaki yang begitu kukagumi. Lebih dari sekedar orangtua. Bapak juga adalah Ibu bagiku yang tidak pernah merasakan hangatnya pelukan dari perempuan yang melahirkanku. Ibu meninggal saat melahirkanku, itu yang Bapak ucapkan padaku saat aku menanyakan keberadaannya.
“Kamu suka melihat Jam Gadang ini, Bujang?”
“Suka sekali, Pak.”
“Kalau begitu, jika besar nanti, pergilah ke Inggris. Merantaulah kau kesana. Saksikan sendiri bagaimana megahnya bangunan itu.”
“Bapak sudah pernah melihat Big Ben?”
“Belum, maka dari itu, kamu wakili Bapak untuk kesana.”
Terputar ulang percakapanku dengan Bapak. Percakapan terakhirku dengannya. Sore itu. Kala matahari akan pulang keperaduannya. Ketika langit menyilaukan cahaya merah yang terlihat nanar dan penuh kesedihan olehku. Kesedihan benar-benar tertumpahkan dari mataku.
“Ayo kita pulang, Bujang.”
Bapak menuntunku sepanjang jalan. Saat dipersimpangan, terlihat olehku lampu masih menyilaukan warna merah. Saat itu dengan segera aku berlari menyebrangi jalan. Bapak tak siap dengan gerakanku, terlepas tanganku dari genggamannya. Saat itu aku lupa akan apa yang terjadi. Yang kuingat hanya lengkingan suara Bapak yang memanggilku. “Bujaaangg…”
Air mata menetes perlahan dari kedua bola mataku. Kebodohanku itu mengakibatkan Bapak celaka. Ternyata saat aku berlari menyebrangi jalan, lampu berubah menjadi hijau. Kendaraan yang melaju tak melihat keberadaanku. Bapak yang melihatku hampir tertabrak menyelamatkanku, konsekuensinya Bapak yang tertabrak.
“Bapak, maafkan Bujang, Pak,” ucapku menghadap Jam Gadang. Di sini, kenangan terakhirku dengan Bapak. Di sini pula aku menetapkan impianku, saat Bapak memberitahuku tentang Big Ben. Dan di sini pula, saat ini aku ingin Bapak tahu tentang keberangkatanku minggu depan.
“Pak, Bujang bakal wakili Bapak untuk melihat Big Ben dari dekat, Pak. Minggu depan Bujang akan berangkat ke Inggris. Bujang dapat beasiswa untuk kuliah di sana, Pak.”
Senja kembali menghampiriku. Setelah sekian lamanya tak bermandikan cahaya jingga di tempat ini, aku menikmatinya. Kususuri jalan di sekitar Jam Gadang. Melihat hiruk pikuk orang-orang awak yang sedang liburan di sini. Aku tersenyum simpul. Kuedarkan lagi pandanganku, kali ini ke arah persimpangan jalan. Kutatap lekat lampu lalu lintas. Lampu hijau sedang menyala, kendaraan segera melaju dalam diam. Seperti diriku yang sebentar lagi akan melaju jauh setelah sekian lama terhenti dalam kesedihan tentang Bapak.

2 komentar:

  1. keren :((

    sedih jg :(


    btw, manga ndak pakai baso minang? :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Malas diak mamakai baso urang awak.
      uda takui' salah mangatiaknyo :D

      Hapus