Kenangan
menyeruak ke dalam ingatanku. Hari ini setelah sekian lamanya tak pernah
menginjakkan kakiku di tempat ini, aku berkesempatan mengunjunginya lagi. Tempat
yang menjadi simbol kota kelahiranku; Jam Gadang. Tempat yang menjadi kenangan
terakhirku bersama Bapak.
Aku
ingat sekali kapan terakhir kali aku ke tempat ini. Mengagumi kehebatan ‘Jam
Raksasa’ dihadapanku. Aku yang saat itu ditemani oleh Bapak tak habis mendecak
kagum. “Jam Raksasa seperti ini cuma ada 2 lho, Jang,” ucap Bapak kepadaku.
“Lalu,
yang satu lagi, ada dimana, Pak?”
“Kembarannya
ada di Inggris. Bujang tahu?”
Aku
yang saat itu baru berusia 8 tahun belum mengetahuinya. Hanya gelengan lemah
yang dapat kuberikan pada Bapak. “Memang di mana, Pak? Jauh yah?”
“Kembaran
Jam Gadang ini ada di Inggris. Namanya Big
Ben, paham kau Bujang?” Teringat jelas intonasi suara Bapak saat itu.
Suaranya yg berat namun terdengar lembut ditelingaku masih terngiang di
telingaku.
Pelupuk
mataku mengembang. Kenangan yang tidak pernah kadaluarsa itu sukses menyentil
hatiku. Saat aku memejamkan mata, tercetak jelas bayangan senyum Bapak. Lelaki yang
begitu kukagumi. Lebih dari sekedar orangtua. Bapak juga adalah Ibu bagiku yang
tidak pernah merasakan hangatnya pelukan dari perempuan yang melahirkanku. Ibu meninggal
saat melahirkanku, itu yang Bapak ucapkan padaku saat aku menanyakan
keberadaannya.
“Kamu suka melihat Jam Gadang ini,
Bujang?”
“Suka sekali, Pak.”
“Kalau begitu, jika besar nanti,
pergilah ke Inggris. Merantaulah kau kesana. Saksikan sendiri bagaimana
megahnya bangunan itu.”
“Bapak sudah pernah melihat Big
Ben?”
“Belum, maka dari itu, kamu wakili
Bapak untuk kesana.”
Terputar
ulang percakapanku dengan Bapak. Percakapan terakhirku dengannya. Sore itu. Kala
matahari akan pulang keperaduannya. Ketika langit menyilaukan cahaya merah yang
terlihat nanar dan penuh kesedihan olehku. Kesedihan benar-benar tertumpahkan
dari mataku.
“Ayo kita pulang, Bujang.”
Bapak menuntunku sepanjang jalan. Saat
dipersimpangan, terlihat olehku lampu masih menyilaukan warna merah. Saat itu
dengan segera aku berlari menyebrangi jalan. Bapak tak siap dengan gerakanku, terlepas
tanganku dari genggamannya. Saat itu aku lupa akan apa yang terjadi. Yang kuingat
hanya lengkingan suara Bapak yang memanggilku. “Bujaaangg…”
Air
mata menetes perlahan dari kedua bola mataku. Kebodohanku itu mengakibatkan
Bapak celaka. Ternyata saat aku berlari menyebrangi jalan, lampu berubah
menjadi hijau. Kendaraan yang melaju tak melihat keberadaanku. Bapak yang
melihatku hampir tertabrak menyelamatkanku, konsekuensinya Bapak yang
tertabrak.
“Bapak,
maafkan Bujang, Pak,” ucapku menghadap Jam Gadang. Di sini, kenangan terakhirku
dengan Bapak. Di sini pula aku menetapkan impianku, saat Bapak memberitahuku
tentang Big Ben. Dan di sini pula,
saat ini aku ingin Bapak tahu tentang keberangkatanku minggu depan.
“Pak,
Bujang bakal wakili Bapak untuk melihat Big Ben dari dekat, Pak. Minggu depan
Bujang akan berangkat ke Inggris. Bujang dapat beasiswa untuk kuliah di sana,
Pak.”
Senja
kembali menghampiriku. Setelah sekian lamanya tak bermandikan cahaya jingga di
tempat ini, aku menikmatinya. Kususuri jalan di sekitar Jam Gadang. Melihat
hiruk pikuk orang-orang awak yang
sedang liburan di sini. Aku tersenyum simpul. Kuedarkan lagi pandanganku, kali
ini ke arah persimpangan jalan. Kutatap lekat lampu lalu lintas. Lampu hijau
sedang menyala, kendaraan segera melaju dalam diam. Seperti diriku yang
sebentar lagi akan melaju jauh setelah sekian lama terhenti dalam kesedihan
tentang Bapak.
keren :((
BalasHapussedih jg :(
btw, manga ndak pakai baso minang? :p
Malas diak mamakai baso urang awak.
Hapusuda takui' salah mangatiaknyo :D